Setelah menamatkan fic Don't torture me with ur love langsung ngegarap sequel, sama beberapa fic multichap baru, *plak*
Saya gak nyangka fic oneshoot Don't say it bisa dapet review ampek 31, padahal menurut saya pribadi, fic His Life(kesayangan saya) lebih baik, lebih lucu*kayaknya* tapi tragisnya fic his life tiap nambah part makin sepi review,
apalagi part 3, T.T hoho mungkin masalah pair, atau cerita saya yang gak mutu(?)
Padahal saya sudah nyiapin part 4, tapi gak ada yang minat jadi gak saya publish. Saya baca sendiri saja *plak*
(Walah malah curhat!)

Note : Tidak ada niat untuk membuat readers ngakak berlebihan saat membaca setiap fic humor atau rommor (romens humor) yang saya buat, tersenyum itu sehat, tapi ngakak berlebihan itu juga tidak baik, berdampak pada kerasnya hati.
Niat saya hanya sekedar menghibur, membuat anda tersenyum.
Pesan saya, jangan budayakan ngakak berlebihan, Okey?


Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Romance, Humor

Pair : SasuHina

Warning : AU, TYPO(s), OOC(?), DLL

.

.

.

.

.

Kata orang, sifat buaya darat yang telah melekat pada diri seseorang akan sulit sekali dihilangkan.
Survei telah membuktikan dari 100 jiwa lelaki brengsek, hanya 2 yang benar-benar taubatan nasuha.
Benar-benar tragis. Lalu bagaimana dengan sisanya?

Tetap pada jabatannya sebagai buaya. Jika ditanya mengapa meraka tak bisa menjadi orang setia?
Jawaban mereka pasti sama. Yaitu "Hari gini setia pada satu wanita? Yang benar saja?"

Ya... Ya... Silahkan saja sepuasnya jadi buaya darat, nikmati masa-masa kejayaan sebagai seorang brengsek dan silahkan menunggu saat karma datang menyapa.
Yah, mungkin pemuda tampan pemilik sepasang mata onyx ini sering lupa dengan adanya hukum karma. Bukan tidak percaya tapi... Lupa, sebut saja melupakan.
Pemuda tampan itu kini tengah duduk bersandar di bangku taman kota, menikmati senja sembari cuci mata. Ah... Tak ada yang dapat memungkiri bahwa panorama senja di taman kota Tokyo itu begitu indah bukan? Apalagi banyak sekali gadis-gadis cantik yang menikmati sore hari dengan berjalan-jalan menggunakan pakaian yang bisa dibilang cukup irit. Ah... Mata lelaki mana yang tak melotot saat melihat pemandangan sejuk seperti itu.

Pemuda raven itu terus menggulir bola matanya mengikuti lalu lalang gadis gadis cantik yang kebetulan lewat di hadapanya, melempar senyum beserta lirikan tajam sebagai umpan andalannya. Terus melakukan hal itu hingga sepasang mata onyxnya mengangkap sesuatu yang sangat menarik. Gadis cantik berambut merah jambu yang bergaya sporty dengan bola basket di tangannya. Aneh! Mengapa gadis itu bermain basket sore hari begini? Huh, siapa yang peduli? Yang penting ia sungguh manis, tubuh rambingnya terbalut kaos simpel berwarna putih polos dan celana pendek berwarna senada. Rambut merah jambunya dibiarkan tergerai indah. Ughh... Benar-benar membuat setiap pasang mata yang melihatnya merasakan sensasi semriwing.

Tunggu!...

Tunggu dulu!...

Bukankah Uchiha Sasuke kini resmi menjadi kekasih Hinata? Bukankah ia telah pensiun jadi seorang play boy? Tapi, mengapa justru kini ia melirik wanita lain?

"Sasuke."

"..."

"Sasuke."

"..."

"WOI... KENAPA KAU MELAMUN?"

Gubrak!

Lamunan sang pemuda tampan berambut raven tersibak oleh teriakan sang pemuda pucat yang meledak tepat di depan telinga kirinya.

"Sai! Bisakah kau tak mengejutkanku?"

"Kau melamun lagi, Sasuke. Kenapa lagi?"

"Lihat dia." Sasuke menunjuk gadis yang kini tengah mempermainkan bola basket seorang diri, memutar bola dengan lihainya di ujung jari tengahnya.

"GADIS CEMPOL? TAK KUSANGKA, TERNYATA KAU MENYUKAI MINI MOUSE SI TUKANG JAMU ITU." Teriakan Sai menggema di penjuru taman, membuat si tukang jamu yang dimaksud seketika menolehkan pandangan pada dua sosok pemuda tampan itu.

"Jamune mas... Jamu, dijamin top cer. Mau yang mana? Beras kencur, kunyit asem, atau kunci sirih?" Penjual jamu yang biasa di panggil mpok Ten ten itu mulai beraksi menjajahkan jamu pada dua pemuda stoic yang kini menatap cengo si tukang jamu gendong yang sibuk promosi.

"Err... Ada Cola?" tanya Sai dengan nada ragu. Hey, bocah ingusan pun pasti tau bahwa penjual jamu tidak mungkin menjual minuman berkarbonasi macam cola. Kalau mau beli cola di bus umum saja.

Gadis cempol itu seketika merubah air mukanya, raut kesal cenderung angker mulai bermuara pada wajah yang semula manis, "kalau gak niat beli ngapain panggil-panggil saya? Jangan harap kalian bisa godain saya, gini-gini saya sudah punya tunangan," omel si tukang jamu sambil membenahi ikatan selendang pada pundaknya, sedetik kemudian ia beranjak pergi dengan gerutuan tak jelas yang bernaung di bibirnya.

Sasuke berdecak kesal. Yah memang, ide Sai untuk mengusir si tukang jamu memang cemerlang, tapi teriakannya tadi sukses mengundang perhatian orang, bisa-bisa mereka menyangka bahwa Sasuke benar-benar sedang kasmaran sama si tukang jamu.

"Bukan si tukang jamu, Sai! Tapi dia yang sedang main basket." Sasuke menunjuk gadis yang dimaksud.
"Yang rambutnya merah jambu itu?"

"Hn."

"Wah wah..." Sai menggeleng singgat, sejenak mengagumi kemolekan yang dimiliki sang gadis.

Seberkas senyum seringaian terbentuk samar di bibir Sasuke, "bagaimana?"

"Uwo? Kau jatuh cinta lagi, Sasuke? Ingat sumpahmu, bisa-bisa kau tak laku di pasaran karena melanggar sumpah." Sai mengerjapkan mata beberapa kali, ia seakan meyakinkan sepasang matanya dengan apa yang dilihat, Sasuke sedang menyeringai mesum. WHAT? MESUM? Yang benar saja!
Sai tau benar bahwa Sasuke itu pensiunan play boy, tapi... Sebelumnya ia tak pernah melihat Sasuke menampakkan raut wajah mesum seperti ini.

"Jika aku tak laku di pasaran, maka aku akan menikahimu," ucap Sasuke ngelantur.

"Sa-Sasuke..."

"Sai..."

"Sasuke..."

"Sai..."

"Sasuke..."

"Sai."

"Jangan harap aku bersedia kau nikahi, brengsek" Sai bimbang, sebenarnya seringaian mesum itu karena gadis berambut merah jambu atau karena dirinya? Jashin, semoga tak akan ada lagi Chouji, Chouji yang lain.

"Mengapa kau serius sekali?" Sasuke menyeringai.
Benapa lucunya reaksi dari Sai, 'Cih! Benar-benar lugu.'

"Kurasa aku bisa jadi pesaing terberat bagi Chouji, bukankah aku lebih tampan?" Sasuke makin menyeringai, menjahili Sai bagai menggoda anak kecil baginya.
Sangat menyenangkan.

"Cukup! Rasanya aku ingin muntah." Sai membuang muka, seluruh tubuhnya bagai digelitiki rasa merinding.

"Cih! Pemarah."

"Biar."

Hening menyelimuti, keduanya duduk tenang menatap gadis yang masih asyik dengan bola basketnya.

"Sai," Sasuke membuka suara.

"Ya?"

"Bukankah Sakura itu sangat cantik?"

"Ya, cantik sekali. Eh?" Sai menoleh cepat, menatap tak percaya pada sosok Sasuke di sampingnya. "Jangan bilang bahwa kau menginginkannya..."

Sasuke menyeringai, mata onyxnya menatap nista pada gadis berambut merah jambu itu. Jiwa laknaknya seakan bangkit dari tidur panjangnya.
"Dia terlihat lebih lincah, membuatku bersemangat."

"Sasuke." Panggilan lembut terdengar di telinga Sasuke.

"Hn," jawabnya singkat, dalam pikirnya sedikit heran, sejak kapan suara Sai jadi seperti perempuan? Aneh bukan? Sai memang manis tapi dia lelaki tulen.

DEG!

Jangan-jangan...

Jangan-jangan itu...

Jangan-jangan itu adalah...

Sasuke dapat merasakan seluruh aliran darahnya membeku seketika.
Suara itu... Suara lembut milik Hinata.
Demi Jashin, semoga gadis bermata lavender itu tidak mendengar percakapannya dengan Sai.
Bisa hancur jiwa, raga, dan masa depannya jika Hinata sampai tau bahwa jiwa brengseknya bangkit kembali.
Sumpah! Sasuke tak bisa membayangkan ketika para murid dojo milik keluarga Hyuuga mengeroyoknya hingga jelek.

JELEK...

HINGGA JELEEEKKK...

Oh... Jashin apa jadinya jika Sasuke benar-benar dibuat babak belur dan jadi jelek? Hanya membayangkannya saja membuatnya ingin pingsan. Sasuke menelan ludah paksa, mencoba membasahi tenggorokannya yang kini dilanda kekeringan, perlahan Sasuke menolehkan pandang dengan ragu, mendapati gadis Hyuuga yang tengah berdiri di belakangnya, paras cantiknya terlihat bak pelita kehabisan minyak.
Sasuke menatap ngeri pada iris lavender milik Hinata.

Lavender itu hampa.

Lavender itu kosong.

Lavender itu mati ekspresi.

Sasuke menatap tak percaya pada sepasang mata yang kini menyiratkan sejuta misteri di baliknya.
Mata yang mengerikan, tak lembut seperti biasanya.

Apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa gadis itu mendengar percakapannya dengan Sai?
Entah mengapa dugup jantung Sasuke kini berdetak dengan kecepatan di atas rata-rata.

Hyuuga Hinata kini berdiri beku, menatap kosong sosok Sasuke yang kini menampilkan raut wajah yang seoalah tak mengerti.
Ya, Sasuke tak mengerti apa yang telah terjadi pada kekasihnya, penampilannya, air mukanya, sorot matanya, semuanya.
Ia merasa asing saat menangkap sosok Hinata.
Apa beginikah sosok Hinata yang dilanda cemburu?

"Hinata..." panggilnya Sasuke lembut. Sorot matanya menatap lembut pada Hinata, berharap itu dapat mencairkan Suasana.

Namun, pada kenyataannya tak terdengar secuilpun jawaban yang kini sangat didambakan sepasang telinga miliknya.

Hening.

Sasuke hanya dapat menangkap sayup-sayup suara belaian semilir angin yang menerpa lembut pohon-pohon di taman.

"Hinata..." Kembali ia alunkan sebuah nama, dengan ragu, dengan takut, dengan rasa canggung yang dalam.
Apa? Apa yang terjadi pada sang pangeran es?
Sosoknya kini seolah kehilangan sikap tenang, tak mampu menampilkan wajah stoic yang menjadi ciri khasnya.

"TERKUTUKLAH KAU, SASUKE!" Umpat Hinata kasar.

JEDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAR!

Seketika halilintar menghantam bumi, siluet langit pekat bercahyakan kilatan petir seolah murka pada jiwa pendosa penghuni bumi, hembusan angin menghempaskan dahan dan dedaunan rindang, terseling air mata langit yang turun dengan dengan tiba-tiba.

Inikah murka alam?
Sasuke tercekat, paras stoicnya dilanda keterkejutan luar biasa, mata onyx miliknya seakan tak mampu berkedip.
Rasa takut bermuara pada nalarnya.
"Tidak mungkin," gumamnya tak percaya.

"KAU INGKARI JANJIMU, SASUKE!"

"Tidak! Semua ini salah paham." Kepanikan melanda jiwanya, bulir keringat dingin mulai menggenangi paras tampannya.
Ia melirik kecil pada kawan di sampingnya, berharap ada sedikit pembelaan yang dapat diungkapkan Sai.
"Sai," panggilnya pelan dengan sedikit menyenggolnya menggunakan siku.

"Hina-chan, Sasuke tadi bilang gadis berambut merah jambu itu cantik dan lincah loh," ucap Sai dengan senyum lugu. Wajahnya sama sekali tak menyiratkan rasa bersalah, tetap polos bak bocah tanpa dosa. Gubrak!

Inikah yang disebut sahabat?
Pantaskah makhluk laknat macam Sai menjabat gelar sebagai sahabat sejati Sasuke?
Tentu saja pantas, jika tak ada lagi manusia yang tersisa di muka bumi ini.
Sungguh ironi di atas ironi.

"TERKUTUKLAH KAU, PENDUSTA!" Hinata berada di ambang murka, paras lembut terlepas sempurna, terganti raut amarah yang mengerikan.

"Tidak! Kau salah paham, Hina-"

"JELEEEKKKK!"

'JELEEEEKKKK.'

'JELEEEEKKKK.'

'JELEEEEKKKK.'
Pantulan suara Hinata seakan terus mendengung di sepasang telinganya, inikah terakhir kali ia merasakan punya wajah tampan?

"HUAAAAAAAAAHHH"

Hosh... hosh... hosh...

Terlonjak kaget dengan nafasnya yangtersengal, mata onyx membulat sempurna, peluh membanjiri tubuhnya, perlahan ia melirik sekeliling, menangkap kamar kost ukuran 5x5 meter yang didominasi warna putih.
Sejenak ia bernafas lega, bersyukur bahwa itu hanyalah mimpi.
Meski itu adalah mimpi terburuknya.

"Hinata, hanya Hinatalah gadis yang kucintai," gumamnya pelan, perlahan jemarinya mengelus dada, merasa lega bahwa tak ada gadis selain Hinata yang mengisi hatinya.
"Syukurlah, syukurlah, syukurlah, syukurlah, syuk-"

BUAGGH!
Bantal Hello Kitty terlempar dan mendarat di wajah Sasuke, "Sasuke... Kau berisik!"

Raut wajah kesal terbias samar di paras Sasuke, ia menatap kesal pada sosok Sai yang masih terlihat begitu nyaman di ranjang sebelah. Meringkuk di balik selimut tebal bermotif Hello kitty.
'Anak itu,' gerutunya kesal, entah mengapa kini ia merasa sangat kesal pada Sai. Ya, pasti karena dampak mimpi buruknya. 'Dasar! Mulut ember!' Jemari Sasuke seakan berafsu melingkar di leher Sai, mencekiknya hingga ia tak dapat bicara sembarangan lagi.
Tapi, bukannya itu hanya mimpi? Ya. Uchiha Sasuke cukup cerdas dengan tak membawa mimpi pada dunia nyata.

Sasuke melirik jam yang tergantung di dinding sejurus kemudian ia beranjak dari tempat tidurnya, melangkah menuju ranjang milik Sai.
"Bangun, Sai." Sasuke menggoncang tubuh sang pemuda pucat yang terlihat begitu damai saat terlelap.

"Apa-apaan kau ini? Ini kan hari minggu, kuliah libur," ucap Sai dengan nada yang masih terdengar mengantuk. Tubuhnya menggeliat kecil, semakin menyamankan posisi tidurnya.

"Kita olah raga, lari keliling kampung, lihatlah tubuhmu, lembek lemah begini, buaya macam apa kau ini?"

"Keliling kampung? Yang benar saja, di kampung tidak ada ojek, nanti aku pulangnya bagaimana?" jawab Sai ngelantur, pemuda berparas pucat ini seakan masih terobang-ambing di lautan mimpi.

"Cih! Tentu saja lari."

"Sasuke, kau tau kan? Aku tidak kuat lari, bisa-bisa aku pingsan di jalan." Sai semakin merapatkan selimutnya.

"Jika kau sampai pingsan, Chouji pasti akan memberimu nafas buatan," ucap Sasuke dengan seringai yang bermuara pada bibirnya.

"Jahat! Aku tidak mau jadi uke-mu lagi! Putus putus put-"

BLETAKKK!

Jitakan keras mendarat di kening pucat milik Sai.
Kontan membuat pemuda pemilik nama Sai itu bangkit dari posisi tidurnya.
"AAAUUUHHH!"

"Kau terlalu lama tidur, hingga mengigau yang bukan-bukan." Sasuke menarik paksa selimut yang melapisi tubuh Sai.

"BENJOOOL! Tega sekali kau ini, hiks." Sai menggosok keningnya yang merah.

"Sudah! Cepat bangun!"

"Dingin," ucap Sai sendu.

"Perlu dipanaskan dengan cinta Chouji? Oh ya, kemarin aku menemukan surat di bawah pintu, isinya puisi dari Chouji, kau bunga lili kertas, indah di mata-"

"STOP! Aku ingin muntah." Sai bergegas bankit dari ranjang empuknya.
Ya... Ya... Sepertinya Sasuke memiliki satu trik ampuh untuk membangunkan sang buaya yang terlelap, tanpa usaha keras tentunya.


.

.

.

.

"Hadoh, capek!" Sai duduk sembarangan di tepian jalan, wajah putihnya semakin terlihat pucat terseling nafas terengahnya.
Ia menyandarkan tubuhnya di pohon besar, berlindung dari terik mentari pagi yang mulai menyengat, perlahan jemarinya meraih handuk kecil yang tergantung di lehernya untuk mengusap keringat yang membanjiri paras tampannya.

"Cih! Payah kau!" sindir Sasuke dengan seringaian menghina.

"Sasuke! Kau tau sendiri, sejak dulu aku tidak suka olah raga!" Sai memijit pelan pelipisnya.

"Pantas saja kau sakit-sakitan!" Sasuke menonjok kecil pundak Sai.
Ternyata sang buaya darat lemah dalam hal olah raga? Yang benar saja.

"Aku sehat!"

Sasuke menaikkan sebelah alisnya,"sehat? Wajahmu selalu pucat, mana ada orang sehat yang berkulit pucat seperti mayat hidup?"

Raut kesal membingkai paras Sai, ia menghela nafas panjang sambil menengadahkan kepala, menatap garis cahaya silau yang menerobos sela-sela dedaunan.
"Lagi pula, tumben sekali kau mengajakku lari pagi?" tanya Sai kesal.

"Sebenarnya aku ada janji dengan Hinata." Sasuke duduk di sebelah Sai, turut menyandarkan tubuhnya di pohon.

Kerutan samar terbentuk di paras pucat Sai, setengah mati ia sembunyikan raut wajah kesalnya, namun apa daya, usahanya sia-sia.
"Cuih! Mengapa kau mengajakku?" tanya Sai makin kesal, merasa heran dengan tujuan Sasuke, apa ia berniat menjadikan Sai sebagai obat nyamuk? 'Sialan, sialan, sialan, sialan, sialan,' umpat Sai bertubi-tubi, meski hanya dalam hati.

"Aku juga inginnya sendiri, tapi Hinata memaksaku untuk mengajakmu."

Sai gigit jari, ekspresi wajahnya kembali pada kondisi lugu, "jangan salahkan aku jika kini Hinata juga menyukaiku, sumpah aku tak menggodanya, sumpah, sumpah, sum-"

BLETAK!

Jitakan kembali mendarat di kepala Sai,
"Hinata ingin mengenalkan sahabatnya padamu, bodoh!"

"Ho? Siapa? Apa seorang gadis?" tanya Sai antusias, binar matanya menyiratkan sejuta semangat.
Sasuke hanya merespon dengan mengangkat bahu.

"Aku siap lari lagi." Dengan cepat bangkit dari posisi duduknya, Sai segera mengambil ancang-ancang untuk segera berlari.

'Cih! Anak ini,' batin Sasuke heran.

"Sasuke, Sai," sebuah panggilan lembut terdengar.
Dua pemuda stoic itu menolehkan pandang pada sumber suara, mendapati sosok gadis bermata lavender berjalan menghampiri.
"Wah... Hinata, untung kita bertemu di sini, aku tidak perlu lari lagi."

"Haha... Tetap menjadi seorang Sai yang pemalas," canda Hinata dengan senyum menghias parasnya.

"Mana temanmu?" tanya Sasuke. "Emh... Sebenarnya itu-" Muncul gelagat aneh pada diri Hinata, ia mempermainkan kedua telunjuknya, seakan bingung dengan apa yang harus dikatakan.

"Hinata?" Sasuke menagih jawaban.

"-Eh, aduh... Emh-"

"Apa?" Sasuke semakin penasaran.

"Emh... Haduh, bagaimana ini, emh," Hinata makin gelagapan.

Sai mengernyitkan dahi,
"Jangan bilang bahwa kau memang menyukaiku, Hinata!"

"...?"

"...?"

~TBC~

.

.

.

.

Lanjut gak? Hehe? *nyengir*
Yang minta lanjut silahkan review dulu. . . . .