Summary: Hinata, gadis cantik dari keluarga Hyuuga yang dinikahi oleh Raja Fugaku dan sekarang berstatus sebagai selir, telah kehilangan senyumannya. Ia lupa bagaimana caranya untuk tersenyum. Atau lebih tepatnya, ia tak menemukan lagi alasan untuk tersenyum. Sasuke, putra Fugaku, menganggapnya tak lebih dari penghangat ranjang ayahnya, dan memang begitulah kenyataannya. Naruto, pengawal pribadi yang ditugaskan untuk menjaga Hinata, tergelitik untuk mengembalikan raut ceria gadis itu. Bagaimanakah takdir yang mengikat mereka bertiga?

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto

Warning: non-consensual sex, implicit lemon, age gap marriage, AU, OOC. DLDR.

Forbidden Lover

"Kemarilah."

Suara berat lelaki itu memanggil Hinata untuk mendekat. Hinata bergeming di tempatnya. Gaun tidur putih yang melekat di tubuhnya yang berlekuk menjadi sasaran remasan tangan mungilnya. Ia tidak ingin mendekati pria itu. Ia tidak ingin duduk di atas ranjang yang juga diduduki olehnya. Ia tidak ingin membaringkan tubuhnya di ranjang itu.

"Kau tidak perlu takut. Aku hanya ingin berbicara denganmu." Pria berusia empat puluh lima tahun yang sekarang berstatus sebagai suaminya itu berkata lagi. Hinata hanya bisa menundukkan pandangannya.

Ia tidak menginginkan ini. Ia tidak ingin. Setegar apapun ia terlihat di depan semua orang sepanjang hari ini, malam ini—hanya malam ini saja—ia ingin melarikan diri dan menangis sepuasnya. Kembali menjadi Hinata yang cengeng, Hinata yang polos, Hinata yang... belum berstatus sebagai seorang selir.

"Hinata, berapa umurmu?" Akhirnya Fugaku, pria yang sejak tadi berusaha mengajak Hinata untuk duduk di dekatnya, menyerah. Ia langsung bertanya tanpa meminta Hinata untuk mendekat lagi.

"Se-sembilas belas tahun, Yang Mulia..." lirih Hinata yang hampir tak bisa menemukan suaranya untuk menjawab.

"Sembilas belas? Lebih muda setahun dari putraku, Sasuke," gumam Fugaku, lebih pada dirinya sendiri. Ia mengusap dagunya yang tak ditumbuhi jenggot. "Tapi lebih tua tiga tahun dari Mikoto saat aku menikahinya." Seulas senyum duka sesaat muncul di wajah Fugaku.

"Y-Yang Mulia..." Hinata berkata lirih lagi, hampir tak dapat didengar, namun pendengaran Fugaku lebih tajam hingga dapat mendengarnya.

"Ada apa, Hinata?"

"M-Mikoto-sama... saya benar-benar berduka ketika beliau wafat," ujar Hinata, meremas gaun tidurnya lebih erat. "Beliau adalah permaisuri yang sempurna untuk Yang Mulia, saya... saya merasa tidak layak untuk menggantikannya, walaupun hanya sebagai selir..."

"Kau mengatakan itu agar aku tidak menyentuhmu?"

Hinata tersentak. Pertanyaan Fugaku sangat frontal baginya, tapi walaupun Hinata tulus mengucapkan semua itu, sebenarnya ia memang sedikit berharap topik mengenai Mikoto akan menunda apapun itu yang seharusnya terjadi malam ini. Jika ia memang tidak bisa kabur karena pintu ruangan tersebut telah dikunci dari luar dan kabur lewat jendela pun tak berguna karena mereka berada di lantai lima istana, setidaknya ia masih ingin mengulur waktu selama mungkin.

"Y-Yang Mulia..."

"Diamlah," Fugaku memotong. "Aku tidak ingin membahas Mikoto lagi sekarang." Mendengar nama Mikoto membuat rasa sakit yang bersarang di hatinya berdenyut menyakitkan, dan Fugaku tahu itulah yang para petinggi istana coba ubah. Mereka ingin Fugaku melupakan almarhumah permaisurinya dengan membuatnya menikah lagi, meskipun Fugaku tahu sebenarnya itu usaha yang sia-sia. Hinata memang cantik dan muda, dan sedikit mirip dengan Mikoto, namun Mikoto tetap tak akan tergantikan bagi Fugaku.

"Kemari," perintah Fugaku. Nadanya tegas, tak menerima penolakan lagi.

Kharisma Fugaku sebagai seorang raja memang tak terbantahkan. Akhirnya mau tidak mau Hinata melangkahkan kakinya ke arah Fugaku.

"Kau... cantik," Fugaku mengakui, tangannya yang besar menangkup pipi halus Hinata. Hinata mencoba sebisanya agar tidak menyentakkan dirinya untuk menjauh.

"Walaupun aku tidak mencintaimu," Fugaku menghela napasnya ketika pandangannya beralih pada bibir merah muda Hinata yang mengatup rapat, "kau tetap selirku. Kau tahu apa maksudnya?"

"..." Hinata menggigit bibirnya lagi. Ia tahu jawaban pertanyaan itu, namun ia tidak sanggup mengatakannya. Bahkan membayangkannya saja perut Hinata sudah bergolak dengan rasa mual.

"Jangan membuatku bertanya dua kali, Hinata," desis Fugaku tegas. Jemarinya kini menarik dagu Hinata hingga mereka dapat bertatapan dari jarak yang amat dekat.

Mata lavender Hinata membelalak sesaat. Ia tidak terbiasa dengan semua perlakuan ini. Mungkin tak akan pernah.

"Saya... saya harus melayani Yang Mulia sebaik-baiknya," bisik Hinata, mengulangi apa yang dikatakan oleh salah seorang petinggi istana yang menjemputnya. Tenggorokannya terasa tercekik saat ia mengatakan itu.

"Bagus kalau kau mengerti." Fugaku membelai rambut Hinata. "Kalau begitu, lakukan tugasmu sekarang."

Tanpa sempat menjawab, bibir Hinata telah bersentuhan dengan bibir Fugaku. Lembutnya bibir Hinata sudah cukup untuk membuat hasrat Fugaku meletup. Sudah sangat lama sejak ia melakukan hal ini. Mungkin pikirannya bisa dikelabui dengan terus mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan kehangatan seorang wanita, namun tubuhnya tak bisa berbohong. Ia memerlukan pelepasan itu.

Hinata mengeluarkan teriakan kecil saat Fugaku dengan mudah mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur. Sorot mata Fugaku membuatnya takut. Mata Uchiha itu... penuh dengan nafsu. Ia merasa tidak berdaya saat Fugaku dengan cepat mengklaim bagian-bagian tubuhnya yang tak pernah tersentuh orang lain satu-persatu. Cairan bening terkumpul di pelupuk matanya, namun tampaknya Fugaku tak menyadari itu. Ia terlalu sibuk meninggalkan tanda kepemilikan di mana-mana. Dan saat tiba waktunya Fugaku menjamah bagian paling intim dari Hinata, gadis Hyuuga itu tak menahan lagi aliran air matanya. Ia membiarkan air matanya jatuh satu per satu, membasahi bantal yang menjadi tumpuannya.

Hinata mencengkeram seprai beludru berwarna merah marun itu. Rasa sakit yang tak hanya menyerang tubuhnya, namun juga hatinya, tak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Untuk sesaat, ia menyesali keputusannya menyetujui semua ini. Namun ketika benaknya tertuju pada orang itu, orang yang paling disayanginya lebih dari apapun, entah bagaimana Hinata merasa mampu menanggungnya. Ia gadis yang kuat, ia bukanlah gadis lemah seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia bisa menanggung ini. Ia bisa.

"Mikoto..."

Desahan yang terucap tepat di depan telinganya mengguncang Hinata. Baru saja ia merasa sanggup menahan rasa sakit yang menderanya, tiba-tiba satu nama itu muncul, menambah satu lagi pukulan yang menohok hatinya.

"Mikoto..."

Nama itu terucap lagi, tak hanya sekali, namun berkali-kali bagaikan mantra. Hinata merasa dimanfaatkan. Semua yang terjadi sebelum ia memasuki kamar ini sudah cukup buruk, dan sekarang tubuhnya digunakan sebagai substitusi wanita lain. Hinata tidak memiliki satu gram pun perasaan romantis untuk lelaki yang tengah menyetubuhinya itu, namun ia tetap merasa bagai terlempar ke jurang paling dalam. Tidak, ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kecemburuan atau apapun itu. Ini hanyalah masalah harga diri.

Semua penderitaan Hinata akhirnya berakhir saat tubuh lelaki itu mengejang, dan dengan sebuah geraman rendah, ia menarik tubuhnya dari Hinata. Tanpa mengatakan apapun lagi, Fugaku menutupi tubuhnya dengan selimut, memunggungi Hinata, dan memejamkan mata. Hinata hanya diam, ia tak memiliki kekuatan ataupun keinginan untuk menggerakkan ujung jemarinya sekalipun. Bola mata lavendernya menatap kosong ke langit-langit kamar yang dipenuhi ukiran indah dan dihiasi sebuah lampu kristal mewah. Jejak air mata di wajahnya perlahan mengering. Dan saat ia merasa cukup lelah untuk mengatupkan kelopak matanya, Hinata bisa melihat sosok itu.

Sosok yang sangat ia kagumi, yang biasanya memberikan senyuman hangatnya, kini mengernyit jijik. Dan Hinata tahu kenapa.

.

.

"Kakak! Kakak!" Sosok gadis kecil berambut pendek dan berponi tebal itu melingkarkan lengannya di leher seorang pemuda yang lebih tinggi darinya setelah sebelumnya berlari-lari kecil untuk menghampirinya.

"Bagaimana kabarmu, Hinata-chan?" Seulas senyum menghiasi wajah tampan itu, membuat pipi gadis kecil yang dipanggil 'Hinata-chan' itu memerah.

"Hina-chan sehat. Kakak bagaimana? Kakak tidak sakit kan? Bagaimana perjalanan Kakak di Suna? Kakak membawa oleh-oleh untuk Hina-chan?" celoteh gadis itu sambil menatap mata sang 'Kakak' dengan berbinar-binar.

"Kakak sehat, Hina-chan. Kakak akan tetap sehat demi Hina-chan," ujarnya sambil mengelus pipi yang sangat mudah untuk memerah itu. "Lihat apa yang Kakak bawa untuk Hina-chan!" Pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari tas punggung yang digendongnya.

Gadis kecil itu memekik senang bercampur tidak percaya dengan apa yang dipegang oleh sang 'Kakak'. "Gaun? Cantik sekali, Kakak!"

"Kakak yakin Hina-chan akan sangat cocok memakai gaun ini." Pemuda itu tersenyum lembut. Gaun terusan ungu muda yang memiliki detil renda itu memang sangat pas dengan Hinata.

"Terima kasih, Kakak!" Kedua pipi Hinata memerah lagi."Hina-chan akan merawat gaun ini baik-baik!"

"Pakailah gaun itu saat kau bermain dengan teman-temanmu. Mereka pasti akan memuji Hina-chan."

Ekspresi Hinata berubah saat ia mendengar kata 'teman-temanmu'.

"Hina-chan?"

"..."

"Hina-chan, Kakak sudah bilang Hina-chan lebih baik bermain dengan teman-teman Hina-chan selama Kakak pergi, kan?"

"Ta-tapi..." Bola mata besar itu menatap lantai. "Hina-chan selalu gugup saat bersama mereka, Kakak... Hina-chan tidak bisa berbicara dengan lancar di depan anak-anak itu... Dan mereka selalu menertawakan Hina-chan karena hal itu..."

Pemuda itu menghela napas. Sepertinya ia sedikit menyesal karena sudah membiarkan Hinata terlalu melekat padanya sampai-sampai ia merasa tidak nyaman saat bersama dengan orang lain, bahkan anak seumurannya. Hinata memang anak yang pemalu, dan hanya jika ia bersama sang 'Kakak' ia bisa melupakan sedikit sifat dasarnya itu.

"Hina-chan, berjanjilah satu hal pada Kakak," ujarnya serius, berhasil menarik perhatian gadis itu hingga ia memerhatikannya dengan sungguh-sungguh.

"Berjanji apa, Kak?"

"Hina-chan, berjanjilah kau akan..." Suara itu perlahan mengabur dan kemudian lenyap, seiring dengan sosok sang pemuda yang berubah menjadi serpihan-serpihan kecil.

"Kakak! Kakaaaak!"

Hinata berusaha meraih sosok itu sebelum ia benar-benar menghilang. Sayang, usahanya sia-sia. Ia tetap tidak bisa menjangkau sosok itu, dan sebelum ia menyadarinya, ia telah ditinggalkan sendirian di tempat yang tak terdapat apa-apa. Hanya warna putih yang melingkupinya, dan gaun ungu muda itu teronggok menyedihkan di sudut kakinya.

Hinata melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat itu.

Menangis tersedu-sedu sembari memeluk kedua lututnya.

"Kenapa, Kak?" lirih suaranya bercampur dengan isakan yang sesekali muncul. "Kenapa Kakak pergi?"

Tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Hinata kecil.

.

.

Hinata membuka matanya dengan tiba-tiba. Mimpi yang baru saja dialaminya terasa sangat nyata. Ia pun mengusap keringat dingin yang memenuhi kening dan pelipisnya. Tubuhnya gemetaran untuk sesaat. Menyadari kalau ada sesuatu yang terasa aneh, ia pun melirik ke bawah.

Ia tidak memakai baju sehelai pun.

Ingatan Hinata melesat pada malam sebelumnya, pada semua yang terjadi antara dirinya dengan Fugaku, dan ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri untuk menghindari serangan panik.

Hinata pun merasa lega saat mengetahui kalau Fugaku sudah tak di sana lagi. Ia tidak bisa membayangkan harus bereaksi seperti apa seandainya Fugaku masih tertidur di sampingnya.

Sambil menutupi tubuhnya dengan selimut, Hinata menjejakkan kakinya ke atas lantai yang dingin. Ia berjalan dengan agak tertatih, sisa rasa sakit tadi malam masih meninggalkan efek tak menyenangkan di bagian bawah tubuhnya.

"Selamat pagi, Nona. Kami telah menyiapkan air hangat untuk Anda mandi."

Suara seorang pelayan wanita yang tiba-tiba saja masuk ke kamar itu mengejutkan Hinata. Gadis berambut hitam keunguan itu hampir saja melepaskan pegangannya pada selimut yang menutupi sebagian besar tubuhnya.

"Sarapan juga telah disiapkan untuk Nona. Jika ada hal lain yang Nona perlukan, Nona bisa menyampaikannya pada saya." Pelayan itu tampak menghiraukan keadaan Hinata yang hanya ditutupi selimut, mungkin ia tidak ingin membuat Hinata semakin malu sehingga ia bersikap tidak peduli. "Kalau tidak ada yang Nona perlukan saat ini, izinkan saya untuk mohon diri." Pelayan itu pun membungkukkan tubuhnya dengan hormat, lalu melangkah keluar dengan langkah yang mantap, seolah apa yang baru saja dilihatnya adalah hal yang lumrah.

"Mandi... dan sarapan... walau diucapkan oleh pelayan yang mengatakannya dengan sopan, sebenarnya itu perintah, kan?" Hinata bergumam pada dirinya sendiri. "Apakah sekarang tugasku bukan hanya untuk melayani Yang Mulia, tapi juga mematuhi pelayan?" Kerutan kecil muncul di dahi Hinata. "Kakak..."

Hinata menggigit bibirnya sebelum akhirnya ia beranjak ke kamar mandi untuk membasuh semua kotoran yang tak hanya melekat di permukaan kulitnya, namun juga di dalam dirinya.

.

.

.

Dia tidak yakin apakah dia masih bisa hidup dengan bahagia setelah ini.