"Mianhae, aku tak bisa."

"Tapi Ryeong, sedikit lagi. Bertahanlah. Hanya sedikit lagi."

Surai-surai madu itu bergerak mengikuti gelengan kepala.

"Tidak bisa. Kau dan aku sudah tak ada harapan."

"Apa karena dia lebih sempurna?"

Hening sejenak.

"Mianhaeyo, hyung. Mianhae."

"Tung-Tunggu! Ryeong, dengar! RYEONG!"

Pintu besi bergeser, membuka jalan baginya dan kemudian tertutup rapat.

Meninggalkan seorang pria terkepung air meraung rana.

.

.

.

Drowning in a Wave of Sadness © Park Hyesung

The Artist Characters not mine but this Fict and OCs is mine

Enjoy Reading! ^^

.

.

.

Tahun 2115,

Semua sudah begitu mudah. Teknologi yang semakin canggih, alat komunikasi yang bekerja semakin tanpa sekat, dan kemalasan manusia yang mulai merajalela-Yah, ini pengecualin bagi peminat barang-barang baru.

Ribuan robot tampak memenuhi pelusuk kota. Mereka bekerja menggantikan manusia. Melayani pelanggan cafe, misalnya. Dan masih banyak lagi hal-hal kecil lainnya.

Robot sudah bagaikan teman paling setia melebihi anjing. Mereka punya sistem dan memori bagaikan otak dan organ manusia. Mereka sempurna.

Sayangnya kesempurnaan itu tak sampai di situ saja. Gedung-gedung tinggi berjajar di setiap meter. Mobil tanpa roda menyusuri jalanan. Dan kereta gantung dengan terowongan khusus di udara.

Kim Ryeowook memalingkan muka dari kesibukan kota. Berjalan menjauhi kaca jendela ketika ibunya memanggil halus dari ruang tengah.

"Wookie-ah, Kyuhyun datang menjemputmu."

"Bilang aku datang lima menit lagi!" Balas Ryeowook berteriak, membuka lemari, lantas mencari baju yang pantas untuk dikenakan saat kencan.

Yah, hari ini ia punya janji kencan dengan pria bernama Cho Kyuhyun, tunangan resminya.

"Kau tampak cantik." Puji Kyuhyun saat menemuinya di pintu apartemen 2106.

Ryeowook tersenyum, meninju bahunya pelan. "Aku laki-laki, tahu."

Kyuhyun tertawa, merangkulnya dan menyeretnya ke restoran setelah berjalan beberapa meter.

"Mau pesan apa?"

"Yang biasanya saja." Balas Ryeowook seadanya.

Mereka duduk di kursi paling pojok, jauh dari terpaan sinar matahari. Sebagai pria yang baik, Kyuhyun menarik kursi milik Ryeowook untuk dipersilahkan.

"Gomawo, Kyu." Ujar Ryeowook tulus dan sukses membuat hati Kyuhyun melambung.

Pesanan datang tak lama kemudian. Deretan kimbab dan semangkuk bulgogi beserta nasih.

Setelah berdoa, Ryeowook menyantap makanannya.

"Bagaimana dengan proyekmu, Kyu?" Tanya Ryeowook tiba-tiba.

Kyuhyun mendongak dengan mulut penuh isi. "Hm? Bwaik-bwaik saja. Khau tahu, akhu butuh bhebherapa mekanisme lain dan mikoorganisme thulang purba- Uhuk! Uhuk!"

"Tuhkan, jangan bicara sambil makan." Gelak Ryeowook, bangkit menepuk-nepuk punggung Kyuhyun sekaligus menyodorkan segelas air.

Kyuhyun ikut tertawa lebar dan mendadak mengecup pipi Ryeowook. "Kena kau!"

Wajah Ryeowook memerah cepat tanpa bisa dicegah. "Berisik! Siapa suruh kau mengambil kesempatan dalam kesempitan hah?! Sini kau!"

"Ya, ya, ya! Appo! Jangan memukul punggungku!"

"Sst!" Desisan keluar dari sebuah pelayan robot. Rahan besinya naik-turun saat suara program menggema, "Tolong tenang sedikit."

Ryeowook dan Kyuhyun terkekeh dan robot itu berlalu membawa tumpukan piring.

"Harusnya kau tahu malu."

"Kau duluan yang mengerjaiku."

"Aku mengetesmu, melihat kau menuruti saranku atau tidak."

"Tapi kau curang! Kau tak pernah memperobolehkanku menciummu." Sambar Kyuhyun, mengeluarkan unek-uneknya.

Ryeowook terdiam. Menyetujui pernyataan sang tunangan dengan berat hati. Setahun lewat mereka berpacaran tapi bahkan untuk menyentuh tangannya, Kyuhyun harus menunggu selama dua bulan.

Entahlah, Ryeowook merasa tubuhnya tak beres. Berdekatan dengan pria sebaik dan seroyal Kyuhyun seharusnya bisa membuatnya rileks, bukannya tegang.

Sampai sekarangpun masih sama. Ryeowook terus bersandiwara dan memaksakan diri agar nyaman dengannya.

"Aku minta maaf. Lupakan kata-kataku tadi. Jadi makan ya? Jangan diaduk terus."

"Eh?" Ryeowook tersentak, Kyuhyun menatapnya penuh cemas. "A-Ah, tidak perlu minta maaf. Aku cuma melamun biasa kok."

Senyum tipis melengkung di bibir si pria berprofesi ilmuwan. "Setelah ini, ayo kita ke mall. Temani aku beli peralatan."

"Oke, bos!"

.

.

.

"Bagaimana kencanmu, sayang? Menyenangkan?" Rentetan pertanyaan datang ketika pintu apartemen bergeser.

Ryeowook mendengus kecil, lalu tersenyum paksa. "Lumayan. Tapi kami cuma pergi membeli peralatan dan berkelana sebentar mencari bakteri di tanah tandus."

"Oh, tidak apa. Itu artinya dia senang ditemani calon istrinya."

Ryeowook merasa emosinya mendadak naik ke ubun-ubun. Seraya duduk di sofa yang berhadapan dengan Ahjumma Kim, ia mengambil napas dalam-dalam.

"Eomma," Ryeowook memanggil.

Ahjumma Kim membalas dengan gumamam karena sedang meneguk secangkir teh.

Ryeowook memantapkan hatinya. "Eomma, aku ingin... Aku ingin membatalkan pertunangan ini."

Muncratan panjang mengotori wajahnya.

"Apa?! Bicara lagi kalau kau berani!" Bentak Ahjumma Kim, bangun dan mencari tisu untuk membersihkan mulutnya.

"Tapi eomma, aku tak mencintainya." Sungut Ryeowook putus asa.

"Mau cinta atau tidak, kau tetap menikah dengannya! Kita sudah membicarakan ini dari tahun lalu 'kan? Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Memangnya ada laki-laki yang lebih kaya darinya?"

"Bukan! Aku tidak mau memanfaatkannya! Jahat namanya kalau membiarkan Kyuhyun terus percaya bahwa aku mencintainya! Eomma harusnya mengerti itu!"

"Kau tidak memanfaatkannya, kau membalas budi! Ayahnya sudah membantu perusahaan kita selama ini. Dan apa susahnya berpura-pura? Toh dia tak sadar juga."

"Cepat atau lambat Kyuhyun pasti sadar. Sebelum itu semua terjadi, sebelum hatinya terluka, sebaiknya hentikan sandiwara ini!"

"Siapa kau berhak memerintahku?"

"Aku anakmu, eomma!"

"Nah, kau tahu posisimu. Seorang anak mematuhi ucapan orang tuanya. Sekarang, masuk ke kamarmu!"

"Tapi-"

"MASUK!"

Ryeowook mengentak masuk ke kamarnya, membanting pintu itu keras-keras, berharap ibunya mau memikirkan lagi rencana nekat ini.

"Kau pikir eomma tidak tahu?"

Baru saja Ryeowook naik ke atas ranjang, suara ibunya menggelegar dari balik pintu.

"Kau masih mencintai Jongwoon 'kan?"

Jantung Ryeowook serasa berhenti berdenyut. Kenapa tiba-tiba—?

"Tidak!" Teriaknya murka. "Aku sudah melupakannya!"

"Bohong kau. Apalagi kalau bukan Jongwoon? Sudahlah, lupakan saja dia. Dia sudah mati. Mati."

"Dia belum mati!" Tukas Ryeowook keras. "Dia masih hidup! Matanya masih terbuka!"

"Kau sudah gila, Ryeowook! Dia sudah tewas menyelamatkanmu tiga tahun lalu! Kau lupa kecelakaan itu?"

"Dan Eomma ingat itu! Harusnya eomma membiarkanku lajang seumur hidup sebagai bentuk terima kasih! Sebagai bentuk uuntuk mengenangnya!"

Ibunya menghela napas, memberi jeda sebelum menyahut. "Kau benar-benar sudah gila. Belum tentu dia sedang melihatmu melajang terus. Dia juga psti menyelamatkannu karena dia ingin melihatmu bahagia dengan orang lain."

"Tidak, tidak..." Ryeowook menggeleng lemah. Air mata berjatuhan. "Eomma salah paham... Dia masih hidup."

"Yah, dia masih hidup di hatimu. Kau puas? Ke depannya, lanjutkan sandiwaramu. Aku pergi dulu, ada rapat dengan orang Jepang."

Desisan pintu apartemen terdengar semenit kemudian. Ryeowook roboh diempuknya ranjang. Air mata terus terjun ke sisi wajah, membasahi sprei ungu kesukaannya.

"Tuhan, tolonglah hambamu ini. Aku butuh keajaiban. Aku butuh keajaiban."

Isakannya kemudian meledak menjadi tangisan menyayat hati.

.

.

.

Di sisi lain, di mana semuanya gelap dengan penerangan remang cahaya merah, seorang pria histeris.

Seolah-olah mati rasa, kening pria tersebut terus menghantam lengkungan kaca yang membatasi pergerakannya. Mulutnya terbuka, pita suaranya hampir putus untuk memanggilkan satu nama.

"RYEONG! RYEONG! JAWAB AKU!"

Namun balasan tak kunjung datang. Ia pun tak percaya. Kenapa dia belum mati juga?

Jika ditimbang, mungkin sudah berkiloliter darah mengucur, bercampur dengan cairan obat terapi ini, tapi kenapa? Kenapa luka seperti koyakan kulit bisa disembuhkan? Sedangkan kenapa saraf tangan dan kakinya tak mau bersambung?

"Kenapa?" Lirihnya, jatuh di dasar tabung.

Teknologi maju tak menjamin dapat menyembuhkan orang. Ia paham betul itu. Karena semuanya telah dialaminya.

Kecelakaan mesin teleportasi. Seandainya dia tak membantu Ryeowook... Seandainya di tak melompat masuk ke portal itu... Seandainya dia tak mendorong keluar Ryeowook dari bencana itu...

Seandainya...

"Seandainya aku sempurna..."

Pintu besi laboratorium berdesir. Cahaya terang dari koridor menerangi sebagian ruangan.

Kim Jongwoon yang selalu melayang seenaknya dalam tabung mendorong bagian lututnya agar ke atas.

"Ryeong!"

"Hyung..."

Pintu itu tertutup. Kegelapan kembali melanda. Cahaya temaran dari layar komputer dan tabung menjadi penunjuk arah bagi Kim Ryeowook.

"Hyung..."

"Kau datang. KAU DATANG!" Teriak Jongwoon bahagia. Selang alat bantu pernapasannya tampak meliuk ketika ia menempelkan kening di kaca. "Syukurlah. Kau datang, itu artinya kau masih mencintaiku."

Ryeowook memejamkan matanya sesaat. Hatinya seperti teriris mendengar pernyataan syukur itu.

"Hyung, mianhae..."

Obsidian Yesung terbelalak melihat tangan Ryeowook terangkat, siap menyentuh keyboard layar tipis komputer.

"Ryeowook! Apa yang kau lakukan?"

Speaker yang membawa suara Jongwoon keluar dari tabung berdentum. Ryeowook tak berani menatap wajah tampan itu.

"Mengakhiri ini semua." Ujarnya pelan.

Semula kebahagiaan yang memenuhi hati Jongwoon kini berubah menjadi kelam. "RYEONG! KUPERINGATKAN KAU! JANGAN LAKUKAN ITU!"

Tapi seolah telinga Ryeowook telah tuli, jari-jarinya menari di atas keyboard. Siap menonaktifkan segala terapi penyembuhan lewat air dan mekanisme lainnya.

Jongwoon mulai brutal, menggedor permukaan kaca sekencang mungkin. "Ryeong! Ryeong! Sadarlah! Apa kau tak mencintaiku lagi?!"

"AKU MENCINTAIMU, HYUNG. SANGAT!" Ryeowook meledak, akhirnya berbalik menatap Jongwoon dengan mata berbanjir liquid sedih. "AKU MENCINTAIMU! JANGAN MERAGUKAN ITU!"

"LANTAS MENGAPA? MENGAPA KAU BERBUAT INI PADAKU?"

Ryeowook sontak terdiam, terisak kecil saking tak sanggupnya menahan tangis. Benar, semua kesengsaraan Jongwoon adalah kesalahannya.

Jika saja dia tak meminta Jongwoon membantunya dalam proyek mesin waktunya, ini semua tak akan terjadi. Andai saja dia lebih teliti memasang kabel-kabel laknat itu, bencana ledakan dalam ruang dan waktu tak mungkin akan merengut tangan dan kaki kekasihnya.

Andai saja, andai saja Jongwoon tak mencintainya sejak awal, mungkin dialah yang menanggung semua kecacatan itu.

"Hyung kau bodoh!" Seru Ryeowook tiba-tiba.

"Ha? Apa lagi salahku?!" Bentak Jongwoon tersulut emosi. "Yang penting sekarang hentikan aksi nekat-RYEONG!"

"Mianhae, hyung. Aku tak bisa. Aku tak mau kau semakin tersiksa." Ryeowook buru-buru menyelesaikan program penonaktifan.

Sinar harapan sedikit demi sedikit pupus dalam diri Jongwoon. Tidak bisa. Ia tak rela mati begini saja. Masih banyak yang harus ia katakan pada Ryeowook. Masih banyak yang harus mereka lakukan bersama.

Masih banyak cintanya yang belum tersampaikan.

"JANGAN BERCANDA! KAU PIKIR AKU TAK BISA KELUAR?" Jongwoon mundur dan melesat membentukan kepalanya ke kaca hingga retakan yang selama ia buat pecah berserakan.

"Hyung!" Ryeowook tercengang. Jongwoon terkapar di atas lantai yang dingin. Tak sampai disitu saja, pria yang lebih tua darinya itu berjuang segenap jiwa bergerak menggunkan dagunya.

"Enak saja, aku tak mau di sini. Mati di tempat lembab sialan seperti ini sama saja mencoreng nama baikku sebagai dokter." Ujarnya menghibur diri.

Ryeowook menutup mulutnya, tangisannya siap meledak melihat usaha Jongwoon.

"Hyung... Mianhae..." Pemuda cantik itu jatuh berlutut, tersedu-sedu. "Mianhaeyo... Mianhae!"

Bibir Jongwoon terangkat sedikit. Ia menyerah, berbalik terlentang menghadap langit-langit laborotorium yang gelap.

"Aku bergurau. Lupakan saja. Aku sudi mati di sini asal kau di sisiku."

Ryeowook sesegukan, memeluk tubuh Jongwoon yang tak ada tangan maupun kaki itu, persis bagaikan manekin baju yang setengah jadi.

"Maaf... Semua gara-gara aku... Maafkan aku... Aku menyesal." Kepala Jongwoon ditekan kuat-kuat pada bahunya. Sensasi basah dari baju khusus yang Jongwoon kenakan meresap ke pakaiannya.

Jongwoon menggeleng, mengakibatkan darahnya merembes masuk ke bahu Ryeowook.

"Gwaenchana. Aku tak menyalahkanmu. Aku cuma menyesalkan kenapa aku cacat begini bahkan kau sampai tak mau menunjukkanku pada Ibumu."

"Hyung!" Pekik Ryeowook tak tahan, rasa bersalah semakin merayapi hatinya.

Jongwoon terkekeh lemah, napasnya mulai terdengar gusar. "Lupakan. Aku benar-benar kesal karena bisa di sampingmu. Itu saja."

"Tapi kau di pelukanku sekarang."

"Untuk saat ini saja."

"Kau benar, saat ini saja." Ryeowook menyetujui.

Denyut jantung Jongwoon semakin melemah tanpa bantuan cairan terapi. Tanpa bantuan alat pernapasan, paru-paru pria itu semakin menyempit.

Tinggal tunggu waktunya saja ajal menjemput.

"Ya, Kim Ryeowook. Aku punya satu permintaan."

"Apa itu?"

"Turunkan kepalaku sedikit, posisinya kurang enak."

"S-Sunguh?" Ryeowook mensejajarkan mata mereka, langsung berfokus pada luka lebar di dahi Jongwoon.

"Jangan tatap aku seperti itu." Gurau Jongwoon di menit-menit akhirnya. "Jujur saja aku senang bisa bersentuhan lagi denganmu. Inilah saat yang paling kuidam-idamkan selama tiga tahun terakhir."

Air mata Ryeowook jatuh bebas ke wajahnya. Jongwoon juga menikmatinya.

"Tutup matamu. Dan jangan bergerak."

Ryeowook menurutinya. Memejamkan kelopaknya rapat-rapat.

Kim Jongwoon menghela napas, berjuang segenap tenaga untuk duduk.

Ryeowook berjengit ketika merasakan keberadaan kekasihnya lenyap dari tangan. "H-Hyung, kau kemana?"

"JANGAN BERGERAK!- Tadi aku bilang begitu, kan?!" Omel Jongwoon kesulitan.

"Tapi-"

"Turuti saja!"

Ryeowook bungkam, membiarkan Jongwoon melakukan apapun sesuka hatinya.

'Sedikit lagi...' Batin Jongwoon, nyaris mencapai bibir plum itu.

Namun Tuhan Maha Adil. Manusia hanya merencanakan dan Ia yang memutuskan. Kasat mata, seorang malaikat pencabut nyawa melayangkan sabitnya. Memutuskan rantai antara nyawa dan raga Kim Jongwoon.

Bruk!

"Jongwoon hyung!"

Ryeowook sontak terbelalak. Tubuh cacat itu jatuh tergelincir ke lantai melewati tangannya.

Kepala mungil itu menggeleng lemah. "Tidak... Tidak... Ya, Kim Jongwoon brengsek! Bukan perpisahan seperti ini yang kuinginkan! Ireona! Ireona! Bertanggung jawablah... KIM JONGWOON!"

Bahkan ciuman yang ia berikan tak mampu menghidupkannya kembali.

.

.

.

"Selamat pagi, kembali lagi bersama saya Lee Sungmin dalam Channel Korean. Kali ini berita utama datang dari Chamdeong, Seoul. Seorang ilmuwan terkenal sekaligus pewaris perusaahan KimTaeGuk ditemukan tewas dini hari di laboratorium rahasia bawah tanah.

Kim Ryeowook, nama korban, diduga oleh kepolisian setempat bahwa ia bunuh diri tiga hari yang lalu. Barang bukti berupa pisau bedah dan barang kedokteran tertancap di tubuhnya. Korban tampak memeluk seorang jasad dalam pelukannya.

Menurut tim forensik, jasad dalam dekapannya adalah orang mati yang tak ditemukan tiga tahun yang lalu, seorang dokter yang dihormati seluruh orang, Kim Jongwoon yang tewas akibat ledakan hasil proyek Ryeowook.

Belum pasti—"

Bunyi televisi dimatikan.

Cho Kyuhyun murka bukan main, sekaligus patah hati luar biasa.

"Ryeowook-ah..."

.

.

.

The End

A/N:

Huh? Kok aneh ya? Dan rasanya... Saya jadi wajib publish fict baru setiap malam minggu ya? /slapped

Well, ini ide numpang lewat sewaktu denger lagu Drowning in a Wave of Sadness versi Luz. Kesannya putus asa banget dan kebetulan PVnya berbau hanya kotak dengan sesuatu di dalamnya.

Entah kenapa... Saya terkesan bikin fict sadis mulu ya. Death chara mulu beberapa belakangan ini ==v Kalo gak yah bertepuk sebelah tangan « ini mah karena pengalaman.

Last, mind to review? ^^