Chapter 1 : Thoughts

Kurt Hummel

Kurt terbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda. Mendesah panjang.

Liburan musim panas sudah berlangsung selama dua hari, dan dia merasa tidak melakukan sesuatu yang berarti, yang, entah mengapa sangat membuatnya frustasi.

Kurt berbalik ke kanan, menatap ke tempat tidur sebelah yang kosong. Tempat tidur Finn Hudson. Seseorang yang telah lama sangat disukainya, didambakannya, dan diinginkannya. Kurt tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti ketika ayahnya Burt dan ibu Finn, Carole Hudson, menikah, dan laki-laki yang selama ini diidam-idamkannya akan menjadi saudaranya.

Kurt mendesah lagi. Menatap tempat tidur kosong itu. Mungkin rasa cintanya kepada Finn tidak akan bisa terbalas sampai dunia kiamat, namun perasaan bahwa Finn akan menjadi saudaranya jauh lebih janggal dan jauh lebih aneh dari segala jenis perasaan yang pernah Kurt harapkan terhadap seseorang bernama Finn Hudson.

Kurt kemudian berpaling ke kalender dinding di antara tempat tidurnya dan tempat tidur Finn, dan melihat lingkaran merah di sekeliling angka 7 Agustus. Finn baru akan kembali ke rumah ini 4 hari lagi dari camp futbol-nya. Buat Kurt, kondisi ini tidak menyenangkan dan juga tidak menyebalkan, karena memang rupanya Finn telah menerima kondisi Kurt sepenuhnya, Finn mau mengerti, dan kini menganggap Kurt sebagai temannya.

"Menjadi seorang teman pun tidak begitu buruk", bisik Kurt kepada dirinya sendiri.

Kemudian Kurt menutup matanya, berusaha untuk tidur. iPod-nya dinyalakan, didengarkannya playlist dari Josh Groban sebagai lagu pengantar tidurnya, berharap bahwa esok hari liburannya lebih produktif dari dua hari ini.

Quinn Fabray

Buat Quinn, rumah Mercedes Jones mungkin adalah rumah yang sangat sempurna. Rumah Mercedes tidak besar, tidak berhalaman luas, pun tidak berperabot mahal. Tetapi rumah ini adalah sebuah rumah, dimana bisa didapatkan fungsi rumah sebenarnya. Tempat dimana ketika seorang dokter gigi yang pulang pukul 7 malam disambut oleh kecupan hangat istri dan anak gadisnya, makan malam sederhana yang nikmat, serta atmosfer ruang keluarga yang pantas.

Kamar Quinn terletak persis di sebelah kamar Mercedes. Quinn tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa kamarnya yang sekarang ditempatinya ini pernah ditempati oleh seorang anak lelaki. Mercedes dapat menyulapnya menjadi kamar yang cocok untuk Quinn, dan Quinn sangat mensyukurinya.

Hari ini tanggal 3 Agustus, dan Quinn sedang duduk termenung di meja dapur keluarga Jones. Mr dan Mrs Jones sudah tidur, dan sayup sayup Quinn bisa mendengar suara nyanyian Mercedes di kamar mandi. Entah mengapa keheningan di sekeliling Quinn terasa begitu sempurna dipadu oleh nyanyian Mercedes yang terdengar sampai ke bawah.

Quinn memutar-mutar kaleng cola-nya, dan mendadak air matanya menetes. Dia membayangkan dan merindukan berada di tengah ruang tamu kediaman Fabray, bercanda dan tertawa bersama ayah dan ibunya. Bingung, menyesal, dan rasa puas campur menjadi satu di benak Quinn. Quinn menyesal dengan pertengkaran dia dan ayahnya, bingung karena menolak tawaran ibunya untuk tinggal kembali di kediaman Fabray, serta puas karena baru pertama kali di dalam hidupnya dia berani mengatakan yang sebenarnya dia rasakan di depan ayah dan ibunya, mengkonfrontasi kondisi hidup mereka, serta menjadi dirinya apa adanya.

Quinn segera mengusap air matanya. Matanya beralih ke arah jam dinding di dapur. Pukul 23.15. Quinn beranjak dari dapur menuju ke kamarnya di lantai dua. Ketika Quinn sampai di depan pintu kamarnya, tepat ketika Mercedes menghentikan nyanyiannya. Quinn membuka pintu kamarnya, berharap ada yang bisa membuat hidupnya lebih menarik keesokan harinya.