"Aku membenci hujan. Sangat."

"Tapi, aku menantinya—"


Eyeshield 21 © Riichirou Inagaki_Yusuke Murata

Glaw©

FOR EYESHIELD 21 AWARDS 12/11 - 01/12: METAMORPHOSIS

FOR FANFICTION FESTIVAL

~oO(O0O)Oo~

Summary:Aku benci hujan, sangat. Antara guyuran hujan itu, aku bertemu dengannya. Tapi, akankah semuanya berubah, jika aku tahu siapa dia yang sebenarnya? /ES21 AWARDS: METAMORPHOSIS/FANFICTION FESTIVAL

Genre: Science Fiction/Romance (sumpah kayaknya gak begitu 'waw' romensnya ;w;)

Rate:T

Warning:Mamori's POV, OOC-maybe, AU, sci-fi sebagai latar, crack pair (silahkan tebak #udahketebakdiatastahu), gaya penulisan berubah drastis QAQ. Don't like? Don't read!

Note:Mungkin unsur Science Fiction tidak begitu kental, tapi selamat menikmati m(-,_,-)v Dalam bahasa Wales, Glaw artinya hujan ._. (Bakapon -red.)


Chapter 01 of 02


10th years old—Rainy day


Aku benci hujan.

Ya, sangat.

Tepatnya hujan asam yang sangat merusak.

Mereka mengguyur semuanya. Mereka merusak semuanya. Mereka mengikis semuanya. Mereka-

Aku benar-benar membenci mereka. Mereka sama sekali tak bermanfaat.

Tanah dan tumbuhan teracuni oleh air mereka. Bangunan dan kendaraan dirusak oleh mereka. Sangat fatal akibatnya kalau air asam itu kena kulit manusia.

Mereka terbentuk dari gas SO2 yang berasal dari industri atau pembakaran tidak sempurna dari kendaraan bermotor. Gas SO2 dapat bereaksi dengan oksigen sehingga membentuk gas SO3. Jika gas SO3 larut dalam air atau udara lembab, maka akan membentuk asam sulfat yang jauh lebih berbahaya—sebab asam sulfat adalah larutan aki—. Umumnya batas normal hujan mempunyai pH 5,6. Tapi derajat keasaman ini turun—sifat asam naik—akibat konsentrasi gas tersebut makin tinggi di atmosfer. Karena sebuah mega industri di masa lalu. Aku menghafal asal-usul ini di luar kepala.

Jangan lupakan gas NO dan NO2 yang sangat beracun, dan bisa menyebabkan hujan asam juga.

Sangat susah untuk mendapatkan air bersih. Air harus dikelola di pabrik air untuk menyaring zat-zat tersebut. Aku tidak percaya dulu manusia bisa menikmati hujan dan bermain-main di antara guyurannya. Aku tidak percaya bahwa dari air hujan itu, akan diserap oleh tanah dan menjelma menjadi air tanah yang sehat. Sebagian air yang tidak terserap oleh tanah, akan masuk ke saluran air alami yang disebut sungai, kemudian mengalir jernih sampai ke laut.

Ha, bahkan tanah itu sudah teracuni asam dan insektisida. Tidak ada kilauan jernih dari air sungai itu.

Segalanya asam, dan sangat korosif.

Bukan hanya hujan. Gas yang dihasilkan—berasal dari sisa industry—mengeluarkan aroma tidak mengenakkan. Bila terhirup manusia, akan berbahaya bagi paru-paru. Sehingga kami harus menyediakan beberapa masker di tas kami jika kami tidak sempat berlindung di rumah-rumah kami.

Hujan begitu menakutkan bagi kami. Jika hujan turun, kami langsung berhamburan mencari tempat berlindung. Takut dengan tiap tetesan hujan asam akan membuat kulit kami gatal, baju kami dan sepatu kami akan terkikis. Takut dengan bau asam menyengat yang setia menyertai bila hujan turun. Kadar keasaman hujan makin lama makin mengkhawatirkan. Hujan begitu mengerikan bagi kami para manusia yang menanggung akibat dari para pendahulu kami.

Mereka. Huh, aku ingin menyeret mereka ke masa ini. Mereka telah membuat generasi kami begitu menderita! Lupakan soal mimpi-mimpi hijau yang sangat memikat untuk di dengar itu. Kami tidak tahu bahwa hujan dulu sangat bersahabat pada kalian, karena kalian tidak memberi kesempatan. Kami tidak tahu dan tidak pernah melihat soal pembiasan berwarna-warni yang muncul setelah hujan reda—yang kalian sebut pelangi. Kami hanya bisa menikmati keindahan masa lalu kalian melalui buku-buku dongeng dan ensiklopedia. Betapa beruntungnya kalian, yang hidup di masa itu. Dan betapa pelitnya kalian, tidak menyisakan keindahan itu kepada kami!

Hari ini adalah hari Lingkungan Sedunia. Hari yang sekedar formalitas belaka. Hanya sambutan dari menteri lingkungan hidup, mengenang masa lalu, dan hal basa-basi lainnya. Hujan asam itu menyambutnya dengan gembira. Ia menurunkan air korosifnya. Seperti mengejek harapan-harapan kami, ia membuat semua orang yang sedang berkumpul, basah dan berbondong-bondong pergi ke Rumah Sterilisas—semacam Rumah Sakit.

Aku diam di rumah, tidak mengikuti acara seremonial yang juga diadakan di sekolah. Peduli sekali akan detensi yang akan menantiku di shougakusei—SMP. Melihat gempuran hujan asam yang mengetuk-ngetuk kubah kaca rumahku. Kubah kaca itu—diganti setiap 3 bulan sekali—berfungsi untuk melindungi rumah tiap orang agar tidak mengikis bangunan. Kubah kaca itu juga melindungiku dari gas berbahaya itu. Selama aku di sini, aku aman.

Kapan hujan asam itu pergi? Kapan hujan itu bersahabat pada kami? Suatu pertanyaan yang tiap hari aku lontarkan. Namun hanya bergaung-gaung dalam hati. Entah siapa yang akan menjawabnya.

Aku sangat membenci hujan ini. Ya, tidak akan ada yang bisa menghentikanku untuk menghapus rasa kebencianku ini.

Pcak!

Aku tertegun melihat sosok yang berkeliaran berani di antara guyuran hujan itu.


14th years old—Bright day


"Ruisu, bagaimana kalau besok kita pergi ke Rain Obsevartory?"

"Tidak. Lain kali saja."

Ruisu. Aku mendapati nama itu saat aku nekat menerobos hujan dengan payung khusus yang berat, tak lupa memakai masker khusus dan sepatu boot khusus. Tindakan itu jika dilihat orang lain pasti dianggap mau bunuh diri. Aku menghampiri seorang anak laki-laki yang terlihat di depan rumahku. Anak laki-laki itu mengenakan jas hujan asam khusus-harganya sangat mahal-membawa botol kaca, memakai masker, dan berdiri melihat daun-daun coklat yang tertimpa air hujan. Anak laki-laki itu heran dan menatapku sinis. Mungkin terlihat dari ekspresi mukaku yang khawatir atas aktivitasnya yang sedikit berbahaya. Hei, jas khusus itu tidak menjamin melindungimu setiap hujan menggerus. Jas itu pasti akan terkikis juga.

Sepertinya anak laki-laki itu lebih tua dariku.

"Hei, sedang apa kamu? Bukankah ini sedang hujan?" tanyaku pada waktu itu.

"Bukan urusanmu,"jawabnya dengan bahasa jepang yang aneh. Dan hei, ketus sekali jawabanmu.

"Kupikir kau tersesat atau apa. Soalnya aku baru pertama kali melihatmu," jelasku.

"Lib mi alon!*"hardiknya, dengan kalimat yang tidak aku mengerti.

"Apa? Apa yang kamu katakan?" tanyaku.

Anak laki-laki itu mendengus. Lalu ia berdiri di hadapanku. Tubuhnya tinggi sekali. "Apa maumu, hah?"

"Aku hanya ingin menolongmu."

"Eh?"

"Dari hujan yang mematikan ini!"

Setelah itu anak laki-laki itu tertawa mengejek, sementara aku bingung dan heran. Apa salah mengatakan bahwa hujan ini mematikan? Penyebab kematian utama di negara ini karena hujan asam lho. Anak laki-laki kemudian menatapku dengan tajam. Seolah-olah pandangan itu mau menusukku dalam-dalam. "Jangan meremehkanku, gadis payah."

Itulah sekilas dari pertemuanku dengan anak laki-laki yang menurutku—err, sombong. Anak laki-laki itu namanya aneh, hanya kutangkap kata 'Ruisu' dari mulutnya. Sejak saat itu dan selanjutnya, aku memanggilnya Ruisu.

Ia mempunyai rambut pirang keemasan yang biasa aku lihat di para pemain film asing. Sungguh merupakan keberuntungan tertentu aku bisa bertemu dengan orang asing. Karena masalah lingkungan masing-masing, tiap negara saling terisolir. Sehingga wajar saja saat itu aku terkagum-kagum. Dia memiliki hidung yang mancung, juga memiliki mata warna biru, sama sepertiku yang mendapatkan warna mata cerah ini dari nenekku.

Sejak saat itu, kami saling bertemu. Entah kenapa aku menganggap sosok Ruisu sangat menarik. Dia sulit ditebak dan misterius. Mukanya datar dan tidak terbaca. Selain itu, kebiasaannya mengumpulkan air hujan tiap waktu tertentu, membuatku tertarik. Hanya saja dia cuek dan gaya bicaranya meremehkan. Mungkin itu gaya bicara dari negara asalnya, sehingga aku maklum saja.

Pernah kutanyakan kenapa dia melakukan hal itu—mengambil sampel air itu tiap seminggu sekali—dan dia menjawab; untuk kakeknya. Apakah keluarganya adalah ilmuwan?

Kemudian aku tanyakan lagi; Apakah kamu ingin menjadi seperti dia?

Dia menjawab; Tidak.

Kembali saat aku berusaha mengajaknya ke Rain Observatory, sebuah tempat di mana hasil penelitian tentang hujan asam katanya baru menunjukkan hasil yang menggembirakan. Lamban laun, hujan itu akan ramah kepada kami.

Dan dia tetap saja mengatakan; Tidak.


16th years old—Rainy day


Sudah 6 tahun aku mengenalnya. Pola hubungan kami sama tiap waktu—kau tahu maksudku. Meskipun dia sinis dan gaya bicaranya ketus sekali—lama-lama kami pun akrab. Entah bagaimana cara untuk mendeskripsikan tahap-tahap yang aku lewati, semata-mata hanya untuk memahami perangainya dia. Mungkin sifat kami yang berbeda saling mengisi satu sama lain. Segalanya mengalir begitu saja. Ya.

Hari ini hujan. Hujan asam seperti biasanya. Hari ini ulang tahunku. Aku sudah mendapati beberapa hari ulang tahunku lalu diiringi dengan hujan asam tersebut. Biasanya, aku kesal dan tenggelam dalam mood yang jelek. Tapi tidak untuk tahun ini. Sepertinya hatiku ini perlahan-lahan seperti asam—mengikis rasa kebencianku terhadap hujan dan menghilangkan perlahan-lahan.

Ruisu, seperti yang aku tahu—dia sangat misterius. Beberapa kali aku lontarkan pertanyaan untuknya, dijawab dengan pendek dan ketus. Aku harus ingat, dia bukan tipe yang senang berteman.

Tapi, tidak ada halangan untuk berteman dengannya.

Rain Observatory sedang bersemu di hati orang-orang. Bagaimana tidak? Beberapa puluh tahun kami menunggu dan menunggu, akhirnya hasil menggembirakan dari penelitian yang tiada henti-hentinya pun bersua. Kadar pH hujan asam perlahan-lahan menuju kadar normal. Tinggal menunggu sedikit lagi. Ya! Itu berarti, hujan itu akan menjadi sahabat kami. Airnya menjadi sahabat tanaman hidroponik kami. Akhirnya, hujan itu tidak menakutkan lagi bagi kami.

Perusahaan industri yang memberikan sumbangsih besar atas pencemaran udara, diatur agar bisa ramah lingkungan. Memang butuh waktu untuk menetralkan tanah, dan merekayasa genetik tanaman yang tahan menghadapi hujan asam. Aku tidak sabar menantikan hal itu. Jika Jepang berhasil menormalkan kadar pH hujan, maka akan membantu negara-negara yang mempunyai masalah dengan negara kami.

Kukabarkan pada Ruisu tentang informasi tadi. Dan dia hanya mendengus pelan. "Aku sudah mendengarnya jauh daripada dirimu."

Seperti biasa, ia sangat merendahkan lawan bicara. "Dengar darimana? Aku selalu mengikuti perkembangan di situs resminya, kok."

"Kau tidak boleh tahu. Sebab kau tak perlu tahu." Pelit sekali.

Ruisu menghela nafas, lalu dia memandangku. "Kau belum memberitahuku buat apa aku harus ikut kemana pun kau pergi?"

"Eer...," kuberikan jeda sejenak untuk menyiapkan diri. "Ini hari ulang tahunku."

Ruisu mengangkat alis. "Aku bukan temanmu apalagi teman kencanmu. Mengerti?"

"Hei, saat ini tidak ada temanku yang bisa memberikan waktunya. Kau punya banyak waktu 'kan?"

Rintik hujan melambat, pertanda hujan mau reda. Ruisu berdiri dari kursinya—kami terjebak hujan di dalam kafe—kemudian dia meraih jas hujannya lalu keluar. Aku menatapnya panik.

"Mau kemana?" tanyaku. "Kau marah?"

"Terserah," jelasnya pendek, tanpa menungguku yang buru-buru memakai payung berat, bermaksud untuk menyusulnya. Meskipun rintik hujan mulai sedikit turun jarang-jarang, tetap saja satu tetesan air hujan itu berbahaya buat kami.


17th years old—Bright day


Genangan air yang menghadang di jalanku, aku hindari agar tidak mempercepat pengikisan sepatu boot-ku. Langkah kaki Ruisu sangat lebar dan cepat. Sebentar saja, aku sudah tertinggal beberapa meter darinya. Duh, apa dia marah atau sejenisnya? Ternyata kami tidak sedekat yang kuduga.

Keramaian yang kami lalui sudah berganti menjadi bukit hamparan lahan penghijauan yang sedang dikembangkan. Ruisu menaiki bukit dan beberapa kali nyaris saja terpeleset-itu karena lumpur dan cairan asam yang sangat licin. Ia tidak mendapatkan kesulitan yang berarti. Sedangkan aku? Aku tidak mau jatuh terjerembab.

"Ruisu, bantu aku untuk naik!" pintaku.

"Manja. Naik saja sendiri!" sahut Ruisu ketus.

Sedikit demi sedikit, akhirnya aku bisa menaiki bukit dengan susah payah. Kupastikan tidak ada noda lumpur yang menempel. Aku berdiri di sebelah kanan Ruisu, bermaksud untuk memprotesnya karena dia membiarkanku kesulitan. Dan kulihat...

Sebuah busur raksasa yang berwarna-warni.

Itu... apa?

Jangan-jangan itu...

"Ya, benar," ucap Ruisu seolah-olah tahu apa yang kupikirkan. "Pembiasan cahaya matahari oleh uap air setelah hujan reda. Menghasilkan spektrum warna yang tercipta secara alami. Fenomena yang muncul selama dua bulan akhir-akhir ini. Pelangi."

Aku terpesona. Apakah ini yang kulihat di buku ensiklopedia? Benarkan ini yang aku selalu impikan untuk melihatnya secara langsung? Benar-benar terjadi! Aku melihatnya. Aku melihatnya. Aku—

Busur raksasa yang berwarna indah. Tujuh warna terpantul dengan jelas di bola mataku. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Inikah fenomena di masa lalu itu? Aku memandangnya lekat-lekat, ingin mematrinya kuat-kuat di memori otakku.

"Nih, foto." Ruisu memberikan sebuah kamera digital-sepertinya produk lama. Aku menatapnya heran.

"Kau... suka pelangi?" tanyaku sambil mengarahkan lensa kamera ke lengkungan berwarna itu.

"Tidak."

"Terus, kenapa kau menyuruhku untuk memotretnya? Kamu bisa memotretnya sendiri 'kan?"

"Hanya mengantisipasi," ucap Ruisu yang tidak aku mengerti. "Kau mungkin akan mengeluh karena kau tidak membawa sesuatu yang bisa kau lihat kapan saja. Memorimu tidak cukup jelas untuk mengingat, tahu."

"Ooh... kalau begitu terima kasih. Kameranya aku bawa ya untuk print foto. Besok aku akan mengembalikannya kepadamu."

Ruisu hanya mengangkat bahu.

Aku memotretnya beberapa kali. Hasilnya ada sepuluh foto. Aku melihat hasil fotoku dengan puas. Aku akan menyimpan foto-foto ini, lalu meminta klub mading buat menaruh foto ini di dinding.

Hm, sepertinya ada foto lain. Aku terus menekan Next, jauh dari foto-fotoku. Kulihat sebuah keluarga, bangunan besar, dan—

—hei, bukankah salah seorang dari foto-foto itu...

Set—!

Ruisu mengambil kameranya.

"Hei!" protesku.

"Bisakah kau berinisiatif menjaga privasi?" ucapnya marah. "Aku saja yang mem-print foto-fotomu. Ambil hasilnya besok!"

Dia marah. Dia marah. Dia marah. Dia—

"A... aku benar-benar minta maaf!" ucapku kalut. Aku menundukkan badanku berkali-kali.

"Hentikan! Aku tidak butuh ucapan, tapi tindakan!" bentaknya sambil memasukkan kamera itu ke dalam saku jas hujan di bagian dalam.

"Eh? Maksudmu... apa?" tanyaku penasaran. "Tindakan? Hm, apa yang bisa kulakukan?"

Ruisu menatapku tajam. Dan dia mengucapkan sebuah pernyataan yang membuatku sesak, "Jangan sok mendekatiku. Mengerti?"

Kenapa? Kenapa hanya karena sebuah kamera—

"Kenapa!" ucapku tidak mengerti. "Bukankah kita teman?"

"Teman?" ucapnya lagi, dengan nada bicara yang sedikit berbeda. "Aku tidak pernah menganggapmu teman. Kau yang mendekatiku dan masuk dalam kehidupanku. Kau yang menganggap demikian. Sedangkan aku, tidak."

Tubuhku serasa kehilangan tenaga dalam waktu singkat. Kenapa dia seperti ini? "Aku... menyebalkan ya?"

"Eh?"

"Aku menyebalkan 'kan?" tanyaku sambil mempertegas ucapanku. "Kalau begitu, aku minta maaf! Kalaupun aku benar-benar berpisah dengan dirimu, aku tidak mau menyisakan dendam di dalam hatimu."

Haha. Salam perpisahan yang bagus, Mamori. "Tapi, seharusnya kau mengatakannya dari awal. Kenapa harus sekarang? Hari ini kan—"

"Hari ulang tahunmu. Benar," ucapnya pelan. "Semoga umurmu yang bertambah bisa mengerti kenyataan."

Dia menuruni bukit, meninggalkan aku di puncak. "Selamat tinggal," ucapnya dengan nada menyakitkan.

Busur indah itu, kini membias dan menghilang. Warnanya pudar dan bergabung dengan langit sore.


Next