Aku benci wanita. Sangat mudah membayangkan bagaimana seorang Hibari Kyoya mengatakan hal itu. Mungkin kalian akan berpikir kenapa orang ini bisa tidak menyukai kaum hawa yang sudah pasti akan selalu memuaskan kaum adam. Ada banyak hal yang benar-benar menjadi alasan utamanya.
I hate Women, Problem?
Disclaimer: Amano Akira
Fic by Ishimaru Miharu
Rate: K+
Warning: OC, OOC Hibari (soalnya di sini Hibari baik banget -) OOC Haru (Haru kan sayang anak kecil)
DLDR please.
"Papa! Tangkap!" teriak seorang bocah bertopi yang menggenggam erat bola dengan sarung tangan. Di depannya terlihat seorang pria paruh baya –yang kelihatannya adalah ayah dari bocah itu. Pria itu tersenyum lebar, melihat anaknya yang sangat bersemangat.
Di Jumat sore ini memang adalah waktu santai terbaik. Karena mayoritas karyawan sudah melepaskan semua urusan kantor di hari Jumat, dan menghabiskan waktu mulai dari Jumat sore sampai hari Minggu. Orang biasanya akan menghabiskan hari-hari itu dengan keluarganya.
Hibari pun ingin begitu. Dia tengah memperhatikan bocah dan ayahnya yang sedang main lempar bola di dekat sungai besar. Iri, kah?
Bukan. Itu bukan berarti Hibari tidak punya keluarga. Dia punya. Dia masih punya orang tua, meskipun orang tuanya hanya tinggal ayahnya, dan sekarang dia tinggal bersamanya.
Ibunya sudah meninggal beberapa bulan lalu. Di bulan Mei. Bulan kelahirannya. Hibari memang bukan tipe orang yang mengharapkan hadiah ulang tahun, tapi mendapati orang yang sudah membesarkan kita selama bertahun-tahun meninggal –dan lagi di bulan kelahirannya sendiri, siapapun pasti tertekan. Hanya orang yang tidak pernah merasakan kehangatan saja yang tidak merasa terbebani.
Ayahnya berkata, ibunya meninggal karena penyakit yang memang sudah lama ia punya. Hibari tentu tahu itu. Tapi mungkin karena janji yang dibuat ibunya yang membuatnya kepikiran.
'Kyoya, jangan begitu. Ibu mengerti, karena itu…' Hibari hanya menghela napas, ketika tiba-tiba ingatan masa lalunya akan ibunya menghampiri pikirannya.
Melihat angka yang ditunjuk jarum pendek pada jam tangannya adalah angka lima, ia segera berdiri lalu meninggalkan tempat itu. Ia berjalan menuju halte untuk pergi menjemput seseorang, di TK.
"Papa!" teriak girang seorang anak perempuan berambut hitam sebahu, melihat orang yang sudah sangat familiar berjalan mendekatinya. Anak itu berlari kecil agar bisa segera meraih lengan orang itu –yang tak lain adalah ayahnya.
Sang ayah –yang diketahui bernama Hibari Kyoya itu menyambut anak itu dengan melebarkan kedua tangannya.
"Hn? Ada apa? Kau sepertinya semangat sekali hari ini?"
"Hehe! Ada guru baru yang baik sekali! Aku senang sekali, tadi aku dibantu olehnya ketika aku tidak mengerti pelajarannya," anak itu tersenyum lebar sambil bercerita. Ditambah lagi dia merasa tambah senang ketika sudah berada di pelukan ayahnya.
Hibari hanya tersenyum mendengarnya. Anak perempuan yang berada di pelukannya ini bernama Hibari Misaki. Dia adalah anak Hibari. Kalau Hibari sudah punya anak, berarti dia sudah menikah kan? Ya, dia sudah menikah, tapi sekarang dia merawat Misaki seorang diri. Dengan kata lain single parent.
"Ya sudah, ayo kita pulang," ujar Hibari, melepaskan pelukannya lalu menggandeng tangan anaknya. Ia menoleh ke tempat guru TK itu berdiri. "Terima kasih,"
Di jalan pulang, Misaki tidak berhenti bercerita. Dia tidak pernah kehabisan bahan cerita, karena itu Hibari juga tidak merasa kesepian. Hibari memang tidak suka ramai, tapi dia juga tidak suka kesepian ditinggal sendiri.
"…lalu, guru itu menjelaskan bagaimana caranya mengerjakan perkalian," celoteh Misaki sambil tersenyum lebar.
"Lho? Jadi soalnya perkalian ya? Katamu kemarin kan baru diajarkan pertambahan dan pengurangan," memang, kemarin juga Misaki bercerita banyak hal. Dan dia bilang kemarin pelajarannya baru sampai yang dasar-dasar saja.
"Iya! Kemarin baru sampai situ! Tapi hari ini malah dikasih perkalian! Nggak dijelasin dulu lagi!" Misaki menggembungkan pipinya, dan ini menambah nilai keimutannya.
"Wah, memang siapa gurunya?"
"Guru baru atau guru bejat?"
"Hush, kamu niru siapa sih. Guru bejat deh!"
"Yang bejat namanya… siapa ya? Daemon kalau nggak salah,"
"Aah, pantas. Lalu yang baru?"
"Lupa deh,"
Misaki berjalan sambil setengah berlompat-lompat. Benar-benar anak yang hiperaktif. Misaki memang hanya mirip Hibari dari luar saja.
Hibari yang berada lumayan jauh di belakang Misaki, terheran melihat anaknya satu itu tiba-tiba berjongkok saja. Sontak ia segera mendekatinya tanpa mempercepat langkahnya.
"Ada apa?" tanyanya. Misaki tidak menoleh sama sekali. Hibari mengintip Misaki sedang melihat apa, dan ternyata… "…kucing?"
"Dia sendirian ya? Kasihan… dia juga luka-luka," ucapnya sambil mendekap kucing itu. Memang dia luka-luka.
"Misaki, lepaskan kucing itu. Kotor," ujar Hibari, yang awalnya mengira ada sesuatu. Melihat Misaki tidak segera melepaskannya, Hibari jadi tidak sabaran. "Misaki..! Lepaskan!"
"Pa, pelihara dia yuk. Sembuhkan juga lukanya," bantah Misaki, tetap mendekap erat kucing itu. Hibari netral-netral saja dengan binatang, tapi bukan berarti dia suka. "Misaki-"
"Dia masih kecil, pa. dia masih kecil tapi sudah sendirian!" mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Misaki, anaknya, Hibari tertegun.
3 tahun lalu…
"Haru!? Mana Haru!? Pergi ke mana dia?!" teriakan menggema di rumah itu, mencari sesosok gadis berkucir. Melihat yang ada adalah wanita paruh baya yang menggunakan kinagashi dengan ekspresi pucat, Hibari merendahkan suaranya. "Ibu, ibu lihat Haru?"
Wanita yang Hibari sebut 'ibu' itu semakin pucat. Ia tahu bagaimana menyeramkan anaknya jika ia menjawabnya. "H-Haru? …d-dia…"
"Cepat, ibu!" si anak sudah tidak sabar, memburui si ibu. Sang ibu akhirnya hanya menyerahkan sepucuk surat. "Ini ada di atas mejanya,"
Surat itu berbunyi;
Kyoya, maaf. Aku pergi tanpa bilang-bilang padamu. Dan lagi aku tahu kau tidak akan mengizinkanku. Aku sudah tidak kuat mengurus Misaki. Aku tidak pernah mengharapkan Misaki lahir. Jadi tolong kau saja yang urus Misaki.
Jangan cari aku.
Haru
Hibari menggeratakkan giginya. Siapa yang bisa menerima perkataan seperti itu dari seorang ibu? Siapa? Tidak ada. Hanya orang sinting yang akan menerimanya.
"'Tidak pernah mengharapkan Misaki lahir' katanya?! kalau begitu aku sangat menyesal kenapa aku bisa menikahimu! Perempuan bangsat!" melihat anaknya yang sangat depresi sampai seperti itu, si ibu hanya menghela napas. Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah mengurus Misaki seorang diri.
Flashback:off
"Tch…" Hibari hanya mendecih. Misaki juga saat itu masih kecil. Masih dua tahun. Tapi dia ternyata tidak diterima ibunya sendiri yang bahkan adalah orang yang mengandungnya. Memang sampai sekarang Hibari belum menceritakan alasan kenapa Haru –ibunya itu meninggalkannya. Toh, Misaki juga tidak pernah mempertanyakannya.
Hibari akhirnya mengizinkan. Lagipula kucing itu bisa menjadi teman mainnya jika dia sedang sendiri dan Hibari pergi bekerja atau yang lainnya. Karena yang seharusnya menemani ketika di saat seperti itu adalah sebuah sosok yang disebut ibu kan?
"Kami pulang!" ucap Misaki. Tentu dia selalu sangat semangat ketika pulang, apalagi jika pulang dengan membawa 'teman'.
"Selamat datang... uhuk," suara serak berat membalas salam Misaki. Ayah Hibari, atau juga kakek Misaki. Misaki langsung berlari kecil mendekati si kakek –dengan tetap si kucing didekapannya. "Wah, kucing siapa ini? Dia luka-luka,"
"Misaki memungutnya di jalan! Dia kasihan luka-luka, jadi mending dibawa pulang dan disembuhkan lukanya! Papa juga membolehkan," jawabnya tetap riang. Dia memamerkan kucing yang ia pungut itu pada kakeknya. Kakek hanya tersenyum karena Misaki jadi lebih bersemangat –walaupun biasanya juga sangat bersemangat.
"Ayah, Misaki, mau makan apa? Sashimi saja tidak apa-apa kan?" tanya Hibari dari dapur sambil mengenakan celemek. Memang Hibari yang selalu memasak setelah ibunya meninggal.
Misaki dan kakek mengangguk, lalu mereka melanjutkan obrolan mereka. Dan makan malam mereka berjalan seperti biasa, tenang tapi juga menghibur karena ada Misaki di sana.
Malam sudah semakin larut. Manusia-manusia di seluruh dunia yang sekarang sedang berada di lingkup waktu yang disebut malam itu mayoritas sudah tidur. Tapi di sini kita mendapati keluarga yang masih terbangun, karena mereka kedatangan anggota baru.
"Papa, kenapa disembuhkannya pakai perban? Misaki kalau luka jarang diperban," ucap seorang anak perempuan, yang daritadi memperhatikan seorang pria dewasa –ayahnya yang sekarang sedang menutupi luka-luka kucing yang anaknya pungut.
"Kalau luka Misaki memang butuh diperban, pasti diperban," balas Hibari, si ayah. Yah, sebenarnya kalau Misaki luka, selalu dipakaikan plester, bukan perban. Kalau memang hanya luka kecil, lebih baik pakai plester kan, agar tidak terlalu mencolok? Tapi sampai sekarang tidak terdengar ada kucing yang menggunakan plester untuk lukanya. "Nah, selesai,"
"Waaah! Kakek! Kucingnya sudah diperban! Pasti lukanya akan cepat menutup!" jerit Misaki girang. Hibari mengingatkan Misaki agar tidak berisik, karena nanti bisa mengganggu tetangga. Kakek yang melihatnya tersenyum senang, melihat cucunya sangat terbuka padanya.
"Lalu? Kamu sudah terpikirkan namanya?" tanya kakek, seraya mengelus kepala si kucing. Misaki hanya memasang tampang heran.
"Nama? Untuk apa?" tanyanya, polos. Mendengarnya, kakek hanya tersenyum, sedangkan Hibari menggeleng.
"Nama adalah tanda keberadaan jiwanya. Kalau kau mengakui adanya kucing ini di rumah ini, maka berikanlah nama, Misaki," tutur kakek. Senyum masih terulas jelas di wajahnya yang keriput. "Kakek juga mengakui keberadaan ayahmu, karena itu kakek berikan nama untuknya,"
Hibari terperangah mendengarnya. 'Oh iya, kalau tidak salah...'
FLASHBACK
"Selamat, tuan. Anak perempuan," ucap seorang suster. Hibari hanya memasang tampang lega mendengarnya. Dia langsung masuk ke ruangan tempat Haru, istrinya berada sekarang.
"Haru, bagaimana? Kau tidak apa-apa?" tanya Hibari, melihat gadis berambut sebahu terbaring lemas. Gadis itu hanya mengangguk. Hibari menoleh ke arah bayi yang berada di sebelah tempat tidur pasien. Bayi perempuan yang rambut dan warna matanya mirip Hibari, serta wajah dan bentuk matanya yang mirip Haru.
Hibari menggendong si bayi. Hibari juga ikut tersenyum melihat bayi yang dipelukannya itu terlihat seolah tersenyum juga. "Mau namakan dia siapa?" tanya Hibari pada Haru, walau tanpa melihatnya. Hening sebentar.
"Ngg...kau saja yang memberinya nama. Aku tidak usah," jawab Haru, entah kenapa terdengar seperti elakan. Hibari tidak terlalu menganggap berat ini, jadi dia langsung menetapkan namanya adalah Misaki, Hibari Misaki.
Flashback:off
'Harusnya aku sadar dari itu...' batin Hibari. Dia baru sadar kalau Haru dulu terlihat tidak berminat memberi nama untuk Misaki, anak yang dia lahirkan dengan susah payah.
"Begitu ya... tapi Misaki belum kepikiran," Misaki menguras otak. Ia bingung memberikan nama. Kalau Misaki juga diberi kesempatan untuk memilih nama untuk dia sendiri juga pasti tidak akan berlangsung dengan cepat.
Misaki memperhatikan kucing itu. "Bulunya abu-abu...ah!" kelihatannya Misaki terpikirkan ide. "Haiya!" kakek sempat bingung mendengar nama macam Haiya. Hibari juga menggelengkan kepala dan menghela napas.
"Kenapa Haiya?" tanya kakek, lembut. Misaki tersenyum lebar, seperti memang ingin bercerita.
"Kan bulunya abu-abu!" ucap Misaki dengan memamerkan gigi susunya yang berderet rapi. Hibari memang sudah menduga alasannya.
"Tapi masa' karena bulunya abu-abu jadi Haiya?" protes Hibari, jadi gemas melihat anaknya yang masih begitu polos. "Kan lucu, paaa," balas Misaki, merasa idenya yang paling bagus.
"Bagaimana kalau Chime? Nanti kita pasang kalung leher yang ada bel-nya," usul kakek, ikut tidak tahan melihat anak dan cucunya itu. Kalau Hibari setuju-setuju saja, tapi Misaki kelihatan tidak setuju. Lihat saja, bibirnya mulai maju. "Tidak imuuut! Haiya sajaaa!" rengek Misaki mulai menjadi-jadi.
"Kalau... Shia dari 'shiawase (kebahagiaan)', bagaimana?" kakek tidak kehabisan akal. Dari sini kelihatan kakek tidak setuju kucing itu dinamakan Haiya.
Misaki berpikir. Sepertinya dia berniat mempertimbangkannya. Dan akhirnya Misaki setuju. Sekarang, ada anggota baru di keluarga Hibari, Shia!
"Ihihi, Shia! Geli, tahu!" kikik Misaki, karena Shia yang tidak henti-hentinya mengelilingi leher Misaki. Padahal besok Misaki tetap harus bangun pagi walaupun libur, tapi walaupun sudah larut tetap saja belum tidur.
"Shh... Shia, kamu jangan begitu. Misaki jangan berisik, kakek sudah tidur," Hibari yang masih terjaga, menunggu Misaki tidur dulu. Kalau Hibari tidur duluan, nanti bisa-bisa Misaki mulai tidur saat sudah pagi –atau juga tidak tidur sama sekali.
Shia menurut, dia pun mulai tenang di dekat kepala Misaki. Hibari mulai lega, berpikir kalau Shia sudah tidur, Misaki juga akan tidur karena tidak ada teman main lagi. Tapi ternyata Misaki terlihat masih belum mau tidur. "Misaki? Cepat tidur,"
Misaki hanya tersenyum-senyum sendiri. Takut kalau anaknya kesambet atau sejenisnya, Hibari mengayunkan tangannya di depan Misaki. "Hoi, Misaki? Kenapa senyum-senyum? Tidur,"
"Ehehe... yang tinggal di sini tambah satu lagi," ucapnya setelah tersadar dari lamunannya, tetap sambil tersenyum. Ia lalu menoleh pada ayahnya. "Papa,"
"Ya?"
"Misaki mau nanya dong,"
"Apa?"
"Kenapa teman-teman Misaki dijemput sama perempuan, pa?" pertanyaan yang simpel. Tapi Hibari yang ditanya anaknya dengan pertanyaan seperti itu tidak bisa menjawabnya. Jawabannya sangat mudah. Karena perempuan itu adalah ibu mereka. Lalu bagaimana kalau nanti Misaki menanyakan di mana ibunya? Jawabannya sama mudahnya dengan yang tadi, tapi juga sangat sulit untuk dikatakan. 'Ibumu pergi karena tidak mau mengurusmu'. Coba bayangkan ayah kalian berkata seperti itu pada kalian.
Hibari mencoba untuk tetap tenang, dan tidak terlihat khawatir. Misaki yang masih menunggu jawaban Hibari, menatapnya makin dalam. "Pa?"
"Itu karena orangtua mereka perempuan," jawaban yang tidak terlalu asal. Misaki lumayan puas, tapi tetap saja masih ada yang ingin dia tanya.
"Tapi waktu itu aku lihat ada yang punya orangtuanya laki-laki sama perempuan, pa," Misaki bertanya dengan tampang polos –sangat polos. Dia masih kecil, dan memang dianjurkan untuk banyak bertanya agar banyak yang dia ketahui. Tapi kalau yang ditanya adalah hal yang lebih baik belum diketahui karena umur yang belum memadai bagaimana?
"Ada yang punya dua juga. Nah, sekarang tidur saja," dengan jawaban yang singkat seperti itu, Misaki sebenarnya belum puas. Tapi kali ini dia menurut. "Selamat malam, pa," ucapnya, lalu berbalik badan –memunggungi Hibari. Hibari walaupun tidak yakin Misaki sudah memejamkan mata atau belum, tapi ia yakin Misaki juga akan tidur pastinya. Jadi Hibari pun mulai tidur.
Anak itu belum tertidur. Dia hanya berusaha tertidur tapi sebenarnya pikirannya berkeliaran seperti tidak tahu tujuannya. Tapi sebenarnya pikirannya simpel sekali.
Pa, teman-temanku semuanya punya 'mama'...
TBC
a/n: nyooong! Si monyong dateeeng xD -?- Salah, ini Miharu~ sekarang Miharu lagi addict banget anjir gila badai sepo-sepoi cetar membahana sama KHR *u*/ banyak cogan *gampar* paling suka Mukuro xD mirip Sebas, tapi Miharu bilang lebih cakep Mukuro~ gara-gara bajunya keliatan santai kali ya? Ouo tau ah, tapi kalo kalian nanya Miharu kenapa bikinnya Hibari sama OC yang jadi anak kalo emang suka Mukuro, jawabannya gampang~ soalnya Miharu mau bikin fic yang pake Mukuro pairingnya sama Miharu :p *aslimintadigampar* tapi kalian pasti gak ngerestuin3 *gakbakaladayangngerestuin
ngemeng-ngemeng, ini Miharu gak apa-apa ya a/n nya panjang, soalnya lagi pengen banyak yang ditulis :3 juga klik kanan refresh abis belajar *cie*, soalnya sekarang lagi UAS xD mana besok MTK xD
yang nungguin WaNoJi...jangan ditungguin. -?- Miharu mogok ide -.- waktu itu lagi minta saran sama beta-reader gila shotacon itu gimana cara nyampein kata-katanya, taunya dia malah bikin ngaco. – udah deh, ide nya kebuang semua abis bikin ngaco chap 2 –'
nah, sekarang Miharu mau nanya nih. Tombol review di bawah tuh maksudnya apa ya? Ada yang mau coba klik itu? *u* *ngehasut
