Welcome in my fanfic, readers .. :D
baiklah, Racchy cuma newbie yg mencoba publish fict nya disini, jadi enjoy ..
Mohon bantuan perkenalannya, senpai sekalian karena *aduh malunya* Racchy belum terlalu ngerti istilah-istilah dalam warningnya.

Yosh ! Happy reading ..


HUNTER X HUNTER disclaimer by YOSHIHIRO TOGASHI

MY FIRST FICTION

"YORK SHIN"

.


.

Semua barang supah ter-pack rapi di dalam koper besar itu. Namun, sang pemilik masih sibuk dengan keadaan kamar sewaan miliknya, yang sudah hampir kosong tapi masih terlihat berantakan. Hn, memang susah kalau dirimu itu remaja cinta kebersihan. Merasa tidak puas, maka ia terus menggerutu sambil berkali-kali menyibak-merapihkan seprainya yang sudah digantinya terlebih dahulu.

"Kau masih belum selesai, Kurapika ?" Seorang wanita kecil memperhatikannya dari depan pintu. Tatapan heran yang tersamarkan ditujukannya seolah-olah ada definisi ejekan, ya-tuhan-sudah-dari-tadi-belum-juga, kepada gadis itu.

"Masih banyak yang belum beres, Senritsu." Jawabnya asal.

"Kau sudah menge-pack barang-barangmu. Semua surat-suratmu sudah diurus dan yah, apa lagi ?"

"Banyak lagi. Kamar ini belum beres, bagaimana dengan tempat tinggal kita di York Shin nantinya ? Kepindahan bukanlah hal yang mudah, Senritsu."

"Ah, kau linglung. Aku jadi bingung juga." Senritsu-wanita kecil itu menggaruk kepala belakangnya. "Segala urusan di York Shin sudah kuurus. Jangan pikirkan hal sepele yang tidak penting. Kau, atau mungkin aku juga ikut berjanji akan kembali ke York Shin kalau semua sudah aman kan ?"

Kurapika, si gadis pirang memancarkan tatapan melamun. "Semua sudah aman ya ?" Gumamnya, pelan. "Hn, iya Senritsu. Aku merindukan York Shin."


.

Keempat sekawan itu kini termenung. Hujan mendominasi bahkan hampir mengeliminasi keheningan diantara mereka. Semuanya tengah bergelut dalam kecamuk pemikiran batin sendiri-sendiri.

Lama sudah .. Anak kecil hijau, pendek, berambut jabrik hitam itu sudah tak tahan. Keheningan bukanlah temannya. Dan tampaknya, sampai kapanpun dia takkan mau berdamai dengan keheningan.

"Jadi bagaimana ?" Ucapnya lembut. "Sudah selesai memikirkan rencana selanjutnya, temen-teman ?" Tanyanya.

Anak kecil yang satu lagi, bocah keperakan, sedikit lebih tinggi dari-nya berteriak frustasi.

" Demi Choco Robokun, Gon ! Dari tadi kau tak memikirkan rencananya, heh ? Ayolah, putuskan rencana kita selanjutnya, teman-teman. Aku tak mau pulang ke rumah." Tuturnya.

Gon memanyunkan bibirnya, tak berniat membalas Killua. 'Apa-apaan Killua mengatakan aku tidak berpikir ? Padahal dia pun telah menyerah dengan memikirkan rencana versinya sendiri.' Gerutunya dalam hati.

Kini, dua bocah-bocah itu telah menyerah. Tinggal dua remaja lagi-kalau boleh dibilang dewasa- yang belum mengucapkan apa-apa tentang rencana mereka selanjutnya.

Satu-satunya perempuan, pirang diantara kelompok itu juga ikut angkat bicara. "Sejujurnya aku juga tak tahu. Beberapa rekanku mengatakan kalau York Shin saat ini memang kurang baik. Pertempuran York Shin yang menyebabkan semuanya." Ia menggumamkan kalimat terakhirnya dengan sangat pelan.

"Ah, bagaimana ini. Sudahlah, aku saja yang ambil keputusan." Laki-laki berambut pendek yang sedari tadi belum bicara langsung angkat protes.
"Sebaiknya kita berpencar. Kita tidak bisa terus-terusan di kota ini. Pembangunan disini saja masih belum bergerak. Dan kau," Dia menunjuk si gadis pirang "Kurapika, kau harus pergi dari sini. Kota ini terlalu keras untuk perbaikan mentalmu, apalagi .. err, kau tak mampu membunuh kepala laba-laba itu."

Tak ada yang menjawab. Hujan masih setia menjadi backsound yang menghiasi.

Gon memperhatikan Kurapika. Gadis itu duduk tertunduk di pojokan dengan tatapan nanar yang menerawang. Tak ada protes yang terluncur dari bibirnya. Gon beralih pada Killua dan Leorio dengan cepat lalu dengan satu anggukan mantap, "Aku setuju. Kita harus berpencar."


.

TES TES TES

Hujan senja kini membuai ingatan bocah jabrik 14 tahun yang tengah termenung itu. Relungnya yang kosong-hampir terpenuhi oleh cerita si Killua saja-kini terasa haus mendengar kabar dua temannya lagi. Hari yang bertumpuk, terus berganti menjadi bulan, lambat laun pun rentangnya berubah menjadi tahun. Ya, dua tahun memang waktu yang singkat untuk bertualang. Tapi dua tahun, bukan waktu yang singkat untuk perpisahan.

"Gon ?"

"Ya, ada apa Killua ?"

Killua berkacak pinggang. Tak segan-segan dia menyentil dahi Gon.

"Aww, Killua. Sakit !" Sorak Gon.

"Makanya jangan melamun ! Aku tak mau harus membereskan tasmu juga." Killua bersungut-sungut menatap Gon dan tasnya yang belum beres. Gon pun balas menatap dengan mata yang disipitkan.

"Hufft, terserahlah ibu." Gerutunya.

"Eeh ? Apa kau bilang, Gon ? Jangan panggil aku seperti itu ! Hah !"

KRING_KRING_KRING~

Killua mengurungkan niatnya dulu untuk menjitak kepala jabrik milik Gon. 'Beruntung sekali ponselku berdering.' Pikirnya. Dengan sebal, Killua menyambar ponselnya.

"Moshi-moshi." Sapa Killua.

"Lukia !" Balas orang di seberang sana.

"Killua, baka !" Protes Killua

"Ah, itu tak penting. Kau dan Gon akan berangkat besok kan ?"

"Mm, yah. Kau sendiri, Leorio ?"

"Aku sudah disini. Gomenasai, tidak mengatakan pada kalian. Aku sudah dua hari di York Shin. Kebetulan ada pekerjaan. Jadi aku berangkat duluan.

"Itu tak apa. Sudah ya, aku harus menolong Gon beres-beres. Jaa .."

"Eh, Killua .. Killua, aku mau bicara dengan Go-"

TUT_TUT_TUT

Gon hampir menyelesaikan mengemas barang-barangnya. Samar-samar ia menyimak juga Killua yang berbincang kecil di telepon.

"Siapa, Killua ?" Gon bertanya basa-basi.

"Paman Leorio." Kekeh Killua.

"Waa, bagaimana kabarnya ?" Tanya Gon dengan mata yang berbinar.

"Eeh itu ? Ahahaha, Gon. Aku lupa menanyakan kabarnya." Killua menjawab cengengesan.

"Aaaah~ kau ini bagaimana sih."

"Tidak tau, Gon." Killua membuang muka. "Katanya dia sudah sampai di York Shin."


.

Gadis pirang dengan mata sapphire itu menatap sekali lagi pada bangunan yang selama ini ia huni bersama teman-temannya. Mungkin memang yang terbaik kalau ia harus pergi dari York Shin. Memori-memori buruk dan kejam banyak berseliweran disini. Lama-lama disini, ia bisa gila. Apalagi ada si Lucifer itu.

"Sudah siap, Kurapika ?" Leorio bertanya.

Kurapika harus mengulum senyum yang dipaksakannya, "Sudah, Leorio." Jawabnya dengan suara rendah. "Boleh aku berkeliling York Shin dulu ? Sekali saja untuk yang terakhir." Pintanya sedikit memelas.

Leorio angkat bahu. "Tentu saja, aku akan menemani."

"Oh, tidak. Tidak usah." Gadis itu menggelengkan kepala dengan keras. "Kau harus bersiap-siap juga berangkat ke kota yang mau kau tuju. Aku dengan Senritsu saja. Dia juga sedang beres-beres di apartemennya. Lagian, aku ingin menikmatinya sendiri." Mata gadis itu mulai menerawang.

Sekali lagi, Leorio angkat bahu. "Terserah kau sajalah. Tapi hati-hati, badanmu sedikit lemah. Kau demam."

"Hn. Aku hanya demam ringan. Jangan khawatir."

Dan, ia pun mulai berjalan. Bebauan yang ditimbulkan hujan terasa enak sekali diciumi. Hujan sudah pergi, dan meninggalkan becekan-becekan disana-sini. Rasanya saat-saat hujan dan becekan di York Shin sangat membekas. Ia tak tahu seperti apa kelak hidupnya diluar York Shin.

Kurapika kebingungan. Jika ada orang yang dikenalnya saat ini, maka ia ingin bertanya kemana tujuannya pergi. Ah, kenapa harus tempat ini ? Ini jelas sekali definisi dari perkataan Leorio padannya kan ? Ia benar-benar gila jika harus datang kesini. Namun, apa hendak dikata jika kau biarkan hati memimpin sepenuhnya. Kurapika mendongak membaca pamflet "PANTI REHABILITASI" milik kota York Shin itu. Bukan akalnya yang menyuruhnya mendatangi tempat detensi orang-orang gila itu, namun sisi paling murni dalam hatinya. Bahwa sebenarnya ia takut jika tak melihat wajah sang 'danchou' dari organisasi terkutuk yang membuatnya menjadi yatim piatu. Bahwa ia meragukan keamanan kota yang lama-lama dicintainya juga, terancam dalam bahaya karena orang di dalam panti itu.
Bahwa dalam segala keinginannya
'membunuh' kaki-tangan organisasi itu, apalagi kepalanya.
Dan itu membuat ia perlahan-lahan jatuh cinta…


.

"Senritsu ?" Kurapika menatap cemas sambil memainkan-memutar ponselnya dengan limbung.

"Ya, kenapa Kurapika ?" Dan itu harus membuat Senritsu berhenti menyeruput latte-nya dengan berisik. Agaknya, kawannya ini sedikit sedih mengenai kepulangan mereka. Dan agaknya, dia tahu apa penyebabnya. Pasti si Lucifer.

"Aku tidak tahu. Apa kau sudah menghubungi Gon dan Killua ?" Tanya Kurapika dengan pandangan tak fokus.

Terdengar helaan napas. Mestinya jika belum merasa tenang, Kurapika bisa memberitahunya dulu kan ? Maka, mereka bisa menolak untuk kembali ke York Shin. "Kau takut kembali kan ? Harusnya aku tahu dari awal dan membatalkan semua rencana ini." Ucap Senritsu menyesal. "Aku tahu," Tambahnya, "Kita bisa menunda. Waktu lepas landas masih 1 jam lagi. Aku akan membatalkannya."

"Tidak !" Dan saat itulah Kurapika tersentak. "Aku bisa. Aku bisa kembali ke York Shin." Katanya. "Kau mengerti kan ? Kalau aku sangat rindu. Pada semuanya …" Ucapnya lirih.

Senritsu mengangguk. Dia sangat tahu, kalau Kurapika rindu pada semuanya. Terlebih untuk seseorang yang berani merebut segalanya darinya. Cinta tidak bisa dihindari, terlebih dengan alasan dendam apalagi benci. Batasnya bahkan tak sampai satu inci. Rasanya tak ada orang yang tak memahami.

KRING_KRING_KRING~

"Oh ya, moshi-moshi ?" Sapa Senritsu yang tiba-tiba ponselnya berdering.

"Hai Senritsu. Gon disini." Balas Gon.

"Oh, Gon ! Bagaimana ?" Tanyanya girang mendapati Gon yang bersuara di seberang.

Awalnya Gon terdiam lalu mengangguk dan tersenyum hambar di seberang, namun yakin jika Senritsu tak bisa melihatnya ia lalu menambahkan, "Aku dan Killua sudah aman. 30 menit lagi kami berangkat. Mungkin akan sampai lebih dahulu dari kalian."

"Baguslah. Kami kini di kafe bandara. Waktu kami 1 jam lagi untuk beristirahat."

"Yah, baik." Gon tak suka basa-basi. "Bagaimana keadaaan Kurapika ?"

"Oh, yeah." Senritsu sedikit melirik ke arah Kurapika yang termenung, bahkan tak mendengarkan tampaknya. "Tentu, dia baik-baik saja. Bukankah tadi malam kau sudah meneleponnya ?" Jawab Senritsu akhirnya.

"Baiklah. Semuanya baik. Sampai ketemu ya"

"Ya,"

TUT_TUT_TUT

Killua terus mengunyah Choco Robokunnya. Sangat berisik, hingga akhirnya seorang pramugari memperingatkannya. Sambil bedecak kesal, Killua mengunyah pelan dan berbisik pada Gon yang duduk di sampingnya.

"Apa kata Kurapika ? Dia baik-baik saja ?" Bisik Killua

"Huh, yah." Gon menjawab dengan gaje. Membuat Killua manyun sendiri.

"Ah, yah. Mungkin, maksudku. Aku tak berbicara dengannya, aku bicara dengan Senritsu, dan sepertinya kita akan sampai lebih dahulu." Terang Gon akhirnya.

Killua memilih diam. Baguslah, dia rindu sekali dengan teman-temannya. Ah, cepatlah sampai. Dia ingin melihat seperti apa wajah Leorio dan Kurapika. Tambah jelekkah, atau tambah bagus, seperti dirinya. Hihihi, itu membuat Killua terkikik sendiri.

"Killua.." Panggil Gon dengan volume kecil.

"Hn ?" Killua menoleh, anak ini mengacaukan fantasinya saja. "Ada apa ?"

"Menurutmu laba-laba sudah mati sepenuhnya ?"

Killua terdiam, merenung sebentar. Lalu memejamkan mata, "Mungkin, Gon." Tuturnya kemudian, membuat Gon menoleh penasaran pada bocah bersurai keperakan itu. "Mungkin belum, Gon." Gon menahan napas selagi Killua melanjutkan, "Sebenarnya aku menyuruh Leorio, agar sekalian dia bertugas, dia juga mengecek keberadaan Genei Ryodan di York Shin." Jelas Killua akhirnya.

"Hasilnya ?" Tanya Gon

"Kau tidak akan mengharapkan jawabannya."

"Lalu bagaimana dengan Kurapika kalau begitu ?" Gon bertanya lagi, menampilkan kecemasan miliknya.

Killua mengangkat bahu, "Entahlah, kurasa biarkan dia melihat sendiri." Elak Killua menghentikan pembicaraan tepat sebelum bunyi take off pesawat yang menderu.


.

Leorio berdiri disana. Sebuah apartemen yang dipilihnya meghadap ke laut. Disampingnya berdiri seseorang yang takkan pernah ia menyangka bisa menemaninya berdiri disini. Benar yah, atmosfer sudah berubah 2 tahun belakangan ini.

"Sudah lah, itu saja. Selamat datang kembali di York Shin." Ucap sosok itu dingin, tanpa ekspresi berarti. Benar, hanya itu. Setelah mengantar Leorio ke apartemen yang dipesannya, sosok itu segera berbalik pergi. Tugasnya sudah selesai, dan harus segera kembali bekerja.

"Eh, tunggu." Leorio mengacak rambutnya, merasa canggung. Dia selalu berhadapan dengan Machi dalam keadaan tak enak. Namun kini berbeda sekali.

Mendengar Leorio kembali memanggilnya, Machi berbalik memperlihatkan sepasang iris keemasan yang belum berubah dari segalanya. "Ada yang lain lagi ?" Tanyanya langsung.

Kilatan di mata Leorio menandakan ia tertantang. Oke, Machi sudah berubah, sudah bukan penjahat lagi. Buktinya, ia bisa bekerja di apartemen ini. Tapi bukan hanya Machi. Dia juga. Adakah yang memperhatikan bahwa sekarang ia sudah mahir dalam nen ? Adakah yang memperhatikan bahwa sekarang ia tak hanya baku menggunakan tuksedo saja ? Dan masa, tak ada yang sadar bahwa ia juga sudah berubah ? Ia sudah tak lagi memakai kacamata menggelikan itu ! Wajahnya tampan sekerang ! Ia seorang dokter yang sukses !

"Kau membuang waktuku jika hanya diam dan menatapku aneh begitu, dokter Leovkhy." Tutur Machi datar.

BRAVO ! Itu yang ditunggunya.

"Kau mengenal nama itu ?" Tanya Leorio mencairkan suasana.

Namun Machi kembali berbalik membelakangi Leorio. "Aku tak mengenalnya, aku hanya tahu karena aku sering mendengar nama yang terkenal itu. Seorang dokter dari Rusia, Leovkhy Yovko." Machi tersenyum kecil. "Anda tahu, nama Anda disebut-sebut karena selain pintar, Anda adalah dokter yang tampan. Senang berkenalan dengan Anda." Katanya sambil terus berjalan.

"Ya." Senyum diwajah Leorio merekah. "Senang juga berkenalan dengan Anda. Tapi tolong, panggil aku Leorio saja." Ucapnya. Lalu ..

"Eh, oi ! Omong-omong berapa nomor apartemen mu ?" Sorak Leorio saat sosok Machi hampir jauh.

Tanpa berbalik, Machi yang mendengar sedikit terkikik, lalu membuat angka 400 dengan jarinya.

GREAT ! Awal yang bagus, Leorio ! Ia kembali menghadap laut. Tak sabar menanti kawan-kawannya. 'Laba-laba-mu sudah jinak, Kurapika.'


.

"Oh, nona Kuruta. Aku merasa terhormat kau menyempatkan berkunjung ke bilikku ini." Suara itu membuat Kurapika bergetar. Namun wajah pemilik suara menyiratkan keletihan yang mendalam, juga perasaan gembira tersirat di di baliknya.

Kurapika melepas gagang pintu, menguatkan hati kalau ia akan masuk ke dalam. "Kau tak perlu menyindirku dengan sambutanmu yang begitu." Ucapnya.

Namun 'sang danchou' tetap tersenyum, tak mudah goyah oleh tatapan sedingin apapun yang dilancarkan pemilik safir itu. "Detak jantungmu tak beraturan. Apakah gerangan yang terjadi ?" Tanyanya tetap ramah.

Bibir Kurapika terangkat seperti senyuman mengejek. "Kau terluka, bodoh. Badanmu hanya onggokan daging yang tak berguna. Kau tak bisa lagi mencakarku." Ejek Kurapika pedas, mengabaikan keramahan Kuroro.

"Ya." Kuroro Lucifer terdiam. Ia mengelap darah yang meluncur tiba-tiba di sudut bibirnya. "Kau tahulah, luka ini sebagai bayaran. Aku senang menjadi seonggok daging yang tak bisa mencakarmu. Karena aku tak ingin itu." Katanya, lalu tersenyum.

Hati Kurapika mencelos. Terkutuklah ia ! Ia benar-benar takut meninggalkan orang ini. Apa yang akan terjadi jika ia pergi ? Apakah sipir-sipir itu akan membunuh orang ini ? Apakah,.. oh Tuhan ! Jangan biarkan ia menangis disini.

"Hei, nona ?"

"…"

"Nona ?

".."

"Kurapika ? H-hei ! Kau ? Apa yang terjadi padamu ?" Kuroro mencoba melepaskan rantai yang ada di tangannya saat melihat Kurapika yang tertunduk dan diam.

"Kurapika ! Apa yang terjadi padamu ?" Teriaknya saat tak berhasil.

"Ssst, diam." Bisik Kurapika pelan, suaranya bergetar, membuat Kuroro benar-benar terdiam. Kurapika berjalan mendekat, dan berlutut menyamakan tingginya dengan Kuroro yang terduduk sementara kedua tangannya terikat rantai pada tiang yang kuat.

"Apa yang terjadi padamu ?" Bisik Kuroro saat wajahnya dan Kurapika sudah dekat.

Kurapika masih diam. Matanya terasa panas dan pandangannya buram oleh air mata. Bahunya mulai bergetar.

Entah kekuatan apa yang mampu membuat Kuroro menarik paksa tangannya dengan sangat keras dari tiang yang merantainya. Sebelah tangan kanannya yang bebas itu beralih menyentuh wajah mungil gadis di depannya. Mengusapnya perlahan dan mengangkatnya hingga safir milik gadis itu bertemu tepat dengan onyxnya.

'Tidak ! Jangan menangis !' Kuroro berteriak dalam hati. Ia tidak bisa membiarkan Kurapika menangis sesakit ini. Kenapa dia ?

"Kau akan memberitahuku apa yang terjadi, bukan ?" Pinta Kuroro selagi matanya menyayu memandang Kurapika.

Namun Kurapika bergeming, dan malah melepaskan ikatan yang merantai pergelangan tangan Kuroro yang satunya lagi. "Kau mau tahu ya ? Kalau begitu, akan kuberi tahu. Tapi dengan satu syarat." Pinta Kurapika.


.

Menurutmu evolusi waktu memang melambat akhir-akhir ini ? Entah mengapa, Kurapika merasa begitu. Sejak rencana ia dan kawan-kawannya kembali berkumpul di York Shin, membuat waktu seperti memberi efek slow motion dalam segala persiapannya. Akhir-akhir ini dia merasakan lelah yang amat sangat. Perasaannya berkecamuk, yah. Semuanya, mulai dari rindu, senang, sedih, cemas, takut, bingung semuanya. Semua macam perasaan mulai menyerangnya. Dan ia merasa itu semua karena waktu yang melambat.

Memang teori yang tak masuk akal, namun itulah yang dipikirkannya saat baru bangun dari tidurnya. Bangun dari mimpi yang adalah kejadian-kejadian yang dialaminya sebelum meninggalkan York Shin.

"Hosh.. hosh.. hosh .. Kuroro.." Bisiknya kecil. 'Tenang'. Atur napas, dan rilekskan pikiran.

"Kau sudah bangun, Kurapika ?" Senritsu menurunkan buku yang dibacanya, "Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Kita akan segera sampai. Jadi jangan sampai tertidur lagi. Ayo siap-siap." Jelasnya.

"Hn, baiklah." Kurapika merapikan rambut dan pakaiannya. Dan benar saja, pesawat segera mendarat.

Para penumpang berhambur turun. Kurapika dan Senritsu berada di pintu A, dan dengan celingukan mencari kira-kira Gon, Killua, atau Leorio. Belum lama mereka merasa kebingungan, seorang anak bersurai perak mencolok bersuara dengan heboh, "ITU MEREKA !" Teriak Killua, dan menarik Gon beserta Leorio ke tempat Kurapika dan Senritsu.

"Kurapika !" Sambut Gon sambil berlari-lari kecil ke sosok itu.

Kurapika tersenyum. Dadanya berdebar-debar. Dia benar-benar rindu dengan bocah ini. Tempat ini. Semuanya.

Killua ikutan berlari di belakang, sedang Leorio berjalan santai dengan senyum bahagia terkembang di wajahnya.

"Tadaima, Gon, Killua." Sapa Kurapika.

"Okaeri !" Jawab mereka kompak.

Leorio menyalami Senritsu lebih dulu, lalu membantu mengambil barang bawaan mereka. Setelah itu, ia segera mampir ke tempat Kurapika, Gon, dan Killua. Leorio tak bisa melepas senyumnya. Itu, sosok kawannya yang teramat ia rindukan. Gadis itu tambah cantik sekarang. Rambutnya yang pirang itu sudah panjang, sedikit melewati bahunya. Matanya tetap menenangkan, biru safir yang berkilauan. Di belakangnya Senritsu berdehem, "Kau harus menyalaminya dulu." Ucapnya pada Leorio yang masih terpana.

"Selamat datang kembali, Kurapika." Sapa Leorio akhirnya.

Kurapika tersenyum, lalu berdiri dari tempatnya beserta Gon dan Killua duduk. "Terimakasih, Leorio. Kukira, aku harus menyapamu lebih dulu." Ujarnya sedikit menyindir.

"Ahahaha. Tidak begitu. Kita ini teman kan ?" Leorio segera memeluknya, disusul Gon, Killua dan juga Senritsu.

"Leorio, Gon, Killua .. Aku sangat merindukan kalian." Ya, sangat.

"Kami juga, Kurapika." Jawab mereka kompak.

Tanpa mereka sadari sepasang onyx mengintai mereka dari balik keramaian. Senyuman tersungging di wajahnya.


.

Hari ini melelahkan sekali. Begitulah yang dipikirkan oleh seseorang yang sedang berkutat di balik piano dan komponisnya. Panggung tempat yang dihuninya saat ini sudah sepi. Hanya ada dia, dan beberapa anggota marching band setelah usai pertunjukan.

Jari-jarinya setia menekan tuts-tuts piano yang sulit dihentikan. Dia mencintai musik. Musik yang dihasilkannya sudah berubah. Dia menyukai musik yang lembut, yang menyentuh hati, bukan menyakiti hati. Dia menyukai musik yang menenangkan, mampu mengobati, bukan melukai. Dulu musiknya beraliran gelap. Namun kini matanya yang hitam itu terbuka oleh sebuah cahaya menyilaukan. Ya, tidak sesuci putih. Tapi kuning warna baru yang dapat dilihatnya sejak terlibat konflik dengan si pemilik aura. Dulu kerjanya mencuri. Banyak sekali macam aura yang sudah dimalingnya. Mulai dari yang paling keji, hingga paling lunak. Namun yang ini berbeda. 'Itu' lah yang membuat dia berubah.

"Jangan terlalu menikmati seperti itu." Sahut sebuah suara. Dengan malas, karena permainan musiknya diganggu, dia segera menatap tak suka orang itu.

"Huh." Machi menghela napas. 'Dasar ketua biadab dia pasti tidak tahu kalau aku ingin memberitahunya tentang kekasihnya itu." Cibirnya, tentu dalam hati saja. "Tolong danchou, jangan tatap aku seperti seekor kecoa."

"Ya.. ya ya. Katakan yang ingin kau katakan." Katanya, lalu kembali menutup mata, dengan bunyi piano yang merendah.

"Pengguna rantaimu akan pulang." Kata Machi lurus, dan datar.

Kuroro bahkan belum membuka matanya, dan terus memainkan pianonya dengan merdu. "Sudah kuduga. Pasti hari ini." Ucapnya lambat sembari berjalan keluar dari panggung yang dihuninya.


TBC ..


Hah, selesai juga .. Terimakasih buat yang mau baca ..
Apalagi kalau sempat meREVIEW nya, karena sebagai author baru disini, Racchy sangat butuh masukan dari readers sekalian . Jadi gimana ? Rachhy lanjutkan kah ? So, Sekali lagi,
REVIEW PLEASE ..