"Sakuuu, ikut yaaa..." bujuk Ino dengan nada semanja mungkin. Ia bisa mendengar helaan nafas dari sahabatnya di seberang sana.

Gadis yang dipanggil Sakura itu menyandarkan kepalanya di punggung sofa berwarna peach dengan iPhone di telinga kanannya. Sepasang emerald miliknya menatap kaiyu-shiki di sisi kanan ruang tamu. Hanya gemercik air dari gerakan ikan-ikan koi yang berenang dengan lincah yang terdengar. Ah, betapa heningnya suasana kediaman Haruno saat itu.

"Siapa saja yang ikut?" tanya Sakura.

"Aku, kau, Sasuke, dan Sai. Ikut, Saaak!" Suara nyaring nona Yamanaka itu berkoar-koar di telinganya.

"Tak tau. Mungkin saja aku ada acara hari itu," jawab Sakura cuek. "By the way, siapa pula itu Sai?"

Ino terkekeh pelan. "Cowok yang kutemui di Festival Konoha itu. Aku sudah menceritakannya padamu, kan?"

"Hooh, yang main di rumahmu sampai jam 9 malem itu?"

"Yep. Tidak mungkin hanya aku satu-satunya perempuan yang ikut. Makanya aku mengajak dirimuuu."

"Lalu?"

"Masalahnya Sasuke cuma mengenalku, Sai juga begitu. Aku khawatir mereka nanti tidak akur. Kalau kau ikut, aku bisa menemani Sai, dan kau dengan Sasuke tuh."

"Aku seperti orang tambahan, ya?" cecar Sakura sambil memutar bola matanya imajinatif. Setelah menghela nafas panjang, akhirnya ia menjawab, "Oke. Aku ikut."

Teriakan girang Ino terdengar keras sampai-sampai Sakura menjauhkan ponselnya jauh-jauh dari telinganya, sebelum hal barusan merusak gendang telinganya. Gadis Haruno itu tersenyum kecil membayangkan sahabatnya itu sedang bersorak sorai kegirangan di kamarnya.

"Oke! Jam 7 kumpul di rumahku, ya! Love you, Sak! You're my saviour!"

"Hmm, hmm," gumam Sakura tidak jelas.

"'Kay! See ya!"

.

.

.

Bring Me Down © Aika Umezawa

.

.

Standard Disclaimers Applied

.

.

Warning:

Alternate Universe, Out of Characters (perhaps)

.

.

.

Chapter 1

.

Rainy Day

.

.

.

"Kau menyuruhku datang pagi-pagi sedangkan yang lain belum?" Sakura berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya. Ia menaikkan alisnya pada gadis berambut pirang yang terkekeh. Karena Ino terus-terusan menelponnya, Sakura tidak sempat menghabiskan sarapannya dan langsung menghambur pergi. Ia juga tidak sempat memilih-milih pakaian dan berakhir dengan kemeja panjang bergradasi pink, jeans putih, dan sepatu sandal cokelat tua. Rambut merah mudanya yang panjang dibiarkan tergerai mencapai pinggang.

"Hehe, maaf deh. Tadi Sasuke telpon, katanya dia masih di jalan. Nanti kita jemput dia di Konoha Square. Sai sebentar lagi sampai," ucap Ino sambil nyengir tanpa merasa bersalah. Sakura hanya menggelengkan kepalanya dan duduk di tepi tempat tidur Ino. Diletakkannya tas selempang hitam miliknya di bawah beserta jaket yang ia bawa.

Pelayan kediaman Yamanaka membawakan dua gelas jus leci dan meletakkannya. Sakura menggumamkan terima kasih, yang dijawab dengan anggukan kecil sang pelayan sebelum ia menghilang di balik pintu. Menghirup sedikit jusnya, Sakura memulai pembicaraan. "Oke, jadi—"

Belum sempat Sakura menyelesaikan kalimatnya, dentingan bel listrik kediaman Yamanaka terdengar sampai kamar tempat Ino dan Sakura berada. Kedua gadis itu bergegas menuju pintu dan bertenggerlah pemuda berwajah pucat dengan T-shirt hitam polos, celana seragam hitam, dan sepatu kets. Dengan senyum cerah, Ino menyambutnya.

"Hai, Sai! Ayo masuk!" seru Ino mempersilakan Sai untuk masuk.

Orang bernama Sai itu mengangguk kecil dan melepas sepatu kets hitam miliknya. Ino mengenalkan Sai pada Sakura, sahabatnya itu. Mereka berdua berjabat tangan dengan menyebutkan nama masing-masing. Usai sesi perkenalan, Ino menyeret Sakura mengikutinya ke kamar untuk mengganti baju.

Setelah mengaduk-aduk isi lemarinya dan membuat seisi kamarnya berantakan dengan baju yang bertebaran di mana-mana, akhirnya Ino memutuskan untuk mengenakan long tank-top hitam dengan kalung dari bebatuan yang dirangkai sedemikian rupa dan kardigan cokelat muda. Dengan skinny jeans sebagai bawahan dilengkapi flat shoes hitam, penampilan Ino bisa dibilang sempurna. Kasual, namun tetap terlihat feminim. Ia mengambil tas selempang yang ia gantung di pintu kamarnya dan mengisinya dengan barang-barang yang perlu dibawanya, disampirkannya tas itu di bahunya.

"Sip. Ayo berangkat~!" seru Ino ceria.

.

.

.

Hujan-hujan begini mau ke Kyoto? Yang benar saja. Walau kuungkapkan pada Ino, tentu ia tetap bersikeras untuk pergi. Well, aku juga jarang pergi ke luar kota sih. Tapi tidak dengan cuaca seperti ini, kan? Duh. Ford hitam yang dikemudikan supir pribadi Ino meluncur menuju Konoha Square, tempat kita menjemput orang yang bernama Uchiha Sasuke.

Aku mengobrol dengan Ino tentang sekolah, dari guru biologi Chiyo-sensei yang membuat tiap siswa menjatuhkan kepalanya di atas meja saking bosannya dengan penjelasan ibu yang sudah berumur itu sampai Maito Gai, guru olahraga yang—dengan semangat masa mudanya yang menggelora—menyuruh kami untuk berenang gaya bebas dua puluh kali bolak-balik ukuran lebar kolam utama di komplek olahraga Konoha High School yang ukurannya 50 m x 30 m, yang sama artinya 600 meter atau 0.6 kilometer; dan belum termasuk dengan satu kali gaya punggung untuk nilai rapot semester 1. Terkadang Sai yang duduk di depan menyahuti obrolan kami—tepatnya berkomentar—yang memancing Ino untuk sekedar meninju bahunya pelan. Dan hari ini aku melihat wajah Ino yang sedemikian senang. Err, bukan berarti selama ini dia tidak senang. Malah kelewat senang hingga membuat rusuh. Maksudku, aku tidak pernah melihat Ino yang sedemikian senang bersama laki-laki. Dengan wajahnya yang cantik, sepasang iris baby blue, dan rambut pirangnya yang panjang dan lembut itu, lelaki manapun pasti akan dengan mudah ia dapatkan. Tapi dia yang seperti ini malah tertarik dengan Sai. Wah.

Tidak sampai lima belas menit, kami sudah tiba di Konoha Square. Supir Ino—Hito-san—memarkirkan mobilnya di bawah kanopi depan pintu utama Konoha Square. Kubuka pintu mobil di sebelah kananku lalu bersandar pada punggung kursi di belakangku. Sambil menunggu, aku memutar lagu dari ponselku. Earphone terpasang pas di telingaku dengan lagu "Rain" dari YUI mengalun merdu. Ah, pas sekali dengan suasana hujan rintik-rintik seperti ini. Kupejamkan sejenak mataku sembari menikmati setiap alunan nada yang keluar.

Setelah beberapa lagu telah dimainkan, aku mulai merasa bosan. Aku melirik benda elektronik mini yang kugenggam. Jam 8 lewat 20 menit. Bayangkan, sudah setengah jam lebih dan orang itu belum menunjukkan ujung rambutnya sekalipun. Apakah ia tidak tahu kalimat bahwa waktu adalah uang? Menyia-nyiakan waktu sama dengan menyia-nyiakan uang. Apalagi, ia membuat dua orang perempuan menunggu. Maklum, aku tidak terbiasa menunggu orang selama ini. Paling lama mungkin 10 menit, tidak sampai setengah jam seperti ini.

Baru saja aku ingin bertanya pada Ino, sesosok pemuda dengan hoodie biru tua berlari-lari kecil ke arah mobil tempat kami berada. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena hujan yang mulai deras. Kututup pintu mobil di sebelah kananku agar butir-butir air tidak masuk ke dalam. Dan saat itulah, pemuda itu masuk dari pintu mobil dekat Ino.

"Lama sekali kau, Sasuke," gumam Ino sembari turun dari mobil untuk melipat kursi mobilnya agar pemuda itu bisa masuk ke bagian belakang dan meminta Sai untuk pindah ke belakang pula.

Setelah kembali duduk di kursinya, Ino memberi tanda untuk segera jalan menuju Kyoto kepada Hito-san. Pemuda itu membuka penutup hoodie-nya dan menunjukkan wajah di baliknya. Well, aku memang pernah mendengar cerita tentang dia dari Ino. Tapi aku tidak menyangka bahwa orangnya seganteng ini. Dan karena aku masih gadis normal yang tertarik dengan laki-laki berparas tampan, tentu saja dikenalkan dengan orang seperti ini sedikit-banyak membuatku gugup. Kuangkat wajahku untuk melihatnya lebih jelas dan ternyata kedua mata kami beradu pandang. Sepertinya dia melihat keterkejutanku dan segera saja menunjukkan senyum menyeringai yang oh-waw-banget padaku. Aku mengalihkan pandanganku untuk menenangkan jantungku yang berlompat-lompatan tak karuan sambil berdoa semoga dia tidak mendengar suara degup jantungku yang (kurasa) begitu kencang.

Ino membalikkan tubuhnya dan mengikutiku bersandar pada pintu mobil di belakangnya, jadinya kami berdua saling berhadap-hadapan.

"Sas, kenalin. Yang di sampingmu itu namanya Sai," kedua pemuda di belakangku—atau samping?—saling menjabat tangan masing-masing, "kalau yang ini Haruno Sakura."

Ia mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Sambil tersenyum kecil, dia berkata, "Uchiha Sasuke."

Aku mengangguk dan menggumamkan 'Haruno Sakura' sambil menjabat tangan yang terulur itu. Tangannya terasa dingin, mungkin karena ia tadi berada di tengah hujan dan udara dingin.

"Sekelas sama Ino?" tanya Sasuke.

Aku menggeleng pelan. "Ino di kelas X-3, aku X-5. Kau?"

"X-9 di bawah. Makanya aku tidak kenal banyak anak di atas," jawab Sasuke. Wow. Itu 'kan kelas Superior. Kudengar ujian masuknya cukup sulit. Hebat, hebat.

Ino menyahut. "Kelasmu di bawah gitu, sih. Orang-orangnya juga jarang keluar kelas."

"Lagipula aku hanya mengenalmu, Dobe..." Manik obsidian Sasuke kembali menatapku, "dan sekarang Sakura." Ia melepaskan hoodie-nya dan diletakkannya begitu saja di atas tas Jansport hitamnya. Tangannya mengacak-acak poninya yang sedikit berantakan. Hng? Rambutnya kok... aneh? Mencuat begitu seperti umm... chicken butt?

.

.

Eh, tapi benar begitu bentuknya.

.

.

Bah, peduli amat dengan rambutnya. Okay, skip babbling.

.

.

"Iya, sih. Makanya sering-sering main ke atas! Sombong kali kau!" seru Ino sambil meninju bahunya pelan. Manik baby blue-nya menatap jalan yang basah oleh hujan. Tiba-tiba sekelebat ide melintas di benaknya. "Btw, Hinata mau ikut kita tidak, ya?"

"Pagi-pagi gini? Pastinya tidak bisa," sahutku.

Sasuke kembali menatapku dengan wajah penasaran. "Kau kenal dengan Hinata juga?"

Aku mengangguk. "Dulu pernah nonton film bersama. Dia itu teman SD dari sahabatku di SMP. Kau satu kelas dengannya, 'kan?"

"Iya. Dia itu sasaran empuk untuk dijahili," jawab Sasuke sambil tersenyum menyeringai, memperlihatkan sederet gigi yang putih bersih. Wew.

"Dijahili? Misalnya?" tanyaku penasaran.

Sasuke tertawa kecil. "Hahaha, macam-macam. Dia sering dijahili anak-anak satu kelas karena polos sekali, terutama aku. Reaksinya itu lucu kalau dikelitikin."

Aku dan Ino tertawa mendengarnya. Tak kusangka Hinata sepolos itu. Ino pun menceritakan bagaimana seorang Hinata itu. Wajar saja kalau Ino tahu banyak tentangnya, jarak rumah mereka tidak terlalu jauh dan selalu bersama-sama sejak TK. Kami berempat tertawa bersama. Kulirik Sasuke dari sudut mataku, lalu tersenyum tipis. Sepertinya Uchiha Sasuke ini orang yang cukup menyenangkan.

.

.

.

"Toiletnya di mana, ya? Kalau macet begini, kapan kita sampai Kyoto?" gumam Sasuke.

Jalan menuju Kyoto memang padat luar biasa. Padahal baru sampai di perbatasan Tokyo-Kyoto, tapi keadaan saat itu amat sangat padat—sampai-sampai hanya bisa berjalan 1-2 meter, sebelum kembali berhenti. Keadaan seperti itu jelas-jelas membuat frustasi, ditambah rintik-rintik gerimis yang membasahi jalan. Harus ekstra hati-hati untuk melalui jalan-jalan yang becek yang digenangi air tersebut.

Sakura melirik orang-orang yang kini berlalu lalang di jalan, keluar dari mobil masing-masing. Sepertinya mereka semua sama frustasinya dengan mereka. Beberapa orang terlihat kembali dari tempat di kejauhan sana. Tidak terlihat dari posisi Sakura dan kawan-kawan, namun jelas dari arah jalan menuju Kyoto. "Coba tanya mereka."

Ino menurunkan kaca mobilnya dan bertanya pada orang yang tepat lewat di samping kaca jendela, "Ji-san, maaf. Mau tanya, toiletnya dimana, ya?"

"Di sana, Dik. Naik sedikit, agak ke dalam," jawab pria itu.

"Terima kasih, Ji-san."

Pria itu mengangguk lalu melenggang pergi. Setelah memberi pesan pada supirnya, Ino, Sakura, Sasuke, dan Sai keluar dari mobil. Mereka berempat mengikuti arahan dari paman yang mereka tanyai. Ternyata memang benar-benar macet. Dua mobil polisi dikerahkan untuk mengatur kendaraan-kendaraan yang ingin menuju Kyoto.

Sasuke dan Sai menaiki gundukan tanah merah yang licin dengan mudah. Begitu pula dengan Ino, yang dibantu oleh Sai. Sedangkan Sakura masih ragu untuk melewati gundukan itu. Tanah merah itu begitu licin untuk dilalui. Ditambah lagi, di bawahnya terdapat genangan air yang cukup luas. Berarti, apabila ia terpeleset sedikit saja, maka ia akan terjerembab di genangan air dengan lumpur yang menempel di mana. Gosh. Membayangkannya saja sudah membuat Sakura mengurungkan niatnya untuk ke toilet. Melihat kerutan di dahi gadis pink di hadapannya, Sasuke pun nalar pula. Ia mengulurkan tangannya kepada Sakura, membuat pemilik manik emerald itu menengadahkan kepalanya untuk melihat si empunya tangan.

Dengan wajah setengah-tersenyum-setengah-menyeringai, Sasuke berkata, "Pegang. Aku akan menarikmu untuk naik."

Kalimat tersebut membuat Sakura curiga, apalagi dengan senyuman misterius sang Uchiha. Ia masih membiarkan tangan Sasuke mengambang di udara. "Jangan-jangan kau mau melepaskanku saat hampir sampai di atas agar jatuh terguling-guling dan terdampar di kubangan lumpur tepat di bawahku ini, ya?" tuduh Sakura.

Sasuke tertawa ringan. "Ya ampun, Sakura. Aku tidak sejahat itu. Ayo naik."

Tapi tetap saja gadis itu masih wanti-wanti karena Sasuke tetap saja mengembangkan senyum setengah-setengah miliknya. Walau begitu, akhirnya Sakura meraih tangan Sasuke, yang langsung dipegang erat-erat oleh pemuda itu. Ditariknya perlahan-lahan hingga Sakura tiba di puncak.

"Tuh. Tidak kulepas, 'kan?" Uchiha muda itu menyeringai kecil, yang dibalas dengan putaran mata dari Sakura.

"Iya, iya. Thanks, Sasuke."

"No problem."

.

.

.

Setelah selesai dengan panggilan alam masing-masing, Sakura dan Ino berpisah jalan dengan Sasuke dan Sai yang kembali ke mobil. Dilihat dari situasi, jalur mereka menuju Kyoto tadi ditutup. Di persimpangan keempat jalur tersebut dijaga oleh tiga orang polisi yang masing-masing dari mereka sibuk menjawab pertanyaan setiap orang. Kedua gadis itu bermaksud untuk ikut bertanya pada polisi lalu lintas mengenai kemacetan ini.

"Maaf, Pak. Kami mau bertanya. Kenapa kita tidak bisa melalui jalan ini? Sudah 1 jam kami sama sekali tidak bergerak dari posisi kami," kata Sakura.

"Oh. Jadi seperti ini, Nona. Kendaraan dari Kyoto menuju Tokyo dan sekitarnya juga sama padatnya. Bahkan pengalihan jalan pun sudah dilakukan, namun nihil. Sehingga kami mencoba untuk memberlakukan sistem buka-tutup jalur," jelas polisi tersebut.

"Kira-kira sampai kapan, ya?" tanya Ino.

"Kurang tahu, ya. Kalian juga mau ke Kyoto?"

Mereka berdua mengangguk. Lalu polisi itu berkata, "Sebaiknya kalian lewat jalur belakang. Kalian berputar arah. Agak jauh memang, namun itu lebih baik. Kalau tetap di sini, sampai tengah malam pun kalian tidak akan sampai di Kyoto."

.

.

.

"Begitulah." Sakura menjelaskan kepada dua orang lainnya—tiga, dengan Hito-san—mengenai keadaan jalur menuju Kyoto yang luar biasa padat. Mereka memutuskan untuk mengikuti saran dari polisi tersebut daripada terjebak entah sampai kapan di perbatasan antara Tokyo dan Kyoto. Sakura melirik Swatch yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

"Dan sudah masuk jam makan siang pula. Jadi bagaimana?" tanya Sakura.

Ketiga temannya saling melempar pandang. Lalu mengangkat bahu.

"Apa kita ke Iwatayama Monkey Park saja?" usul Sai.

Sakura, Ino, dan Sasuke menoleh pada pemuda berwajah pucat itu. "Memangnya kau tahu jalannya?"

"Iya, tidak terlalu jauh dari sini, sih. Mau ke sana saja?"

"Hm. Oke."

Mobil Ino itu pun perlahan-lahan mulai meninggalkan tempat 'laknat' itu dan mengarah pada instruksi yang diberikan oleh polisi tadi. Hujan kembali turun dengan derasnya dan membuat udara semakin dingin. Sakura mematikan AC mobil dan mengeratkan jaket parasutnya.

Entah ini hari sial atau apa, ternyata jalan memutar ini juga macet. Well, tidak terlalu parah sih. Hanya saja, sama-sama macet. Dan hujan deras ini sama sekali tidak memperbaiki keadaan, malah memperburuk. Suara klakson mobil yang menuntut untuk terus berjalan terdengar dari hampir setiap mobil di sekitar situ.

Tapi kali ini tidak memakan waktu lama untuk melanjutkan perjalanan. Kepadatan mobil rupanya tidak separah tempat pertama. Namun ada masalah lain.

"Ini di mana, ya?" gumam Sakura. "Kok aku sama sekali tidak mengenal tempat ini?"

Gadis Haruno itu celingukan melihat sekitarnya. Di sisi kanan dan kiri jalan banyak terdapat kedai-kedai kecil yang berjualan di pinggir jalan. Di depannya, jalan tak berujung padat merayap oleh mobil-mobil maupun motor yang nekat menembus hujan.

Keadaan seperti ini lama-lama membuat Sasuke angkat bicara juga. "Hei, Sai. Sebenarnya kau tahu jalan tidak?"

Pertanyaan Sasuke barusan membuat Sai menunjukkan cengirannya. Hal ini jelas membuat Sasuke dan kedua gadis di depannya menoleh ke belakang dengan horornya.

"Jangan bilang kamu lupa jalannya..." tebak Ino dengan suara pelan, berharap semoga saja kata-katanya salah. Tidak perlu kata-kata lagi, ekspresi innocent di wajah Sai sudah menjawab semuanya.

.

DUAGH!

.

"Ouch."

.

"SAAAI! KAMU GIMANA SIIIH? KALAU KITA KESASAR BAGAIMANA, HAH?" teriak Ino dengan tidak santainya. Tangannya mencengkram rambutnya frustasi. Mata birunya mendelik tajam pada Sai yang kembali menunjukkan senyum tanpa ekspresinya. Keinginan untuk menjitak Sai kembali muncul dalam pikirannya. Tangannya sudah terkepal, siap-siap untuk melayangkan jitakan pada pemuda yang hanya menunjukkan wajah datar.

"Wetseh, santai, No. Dunia belum berakhir," ujar Sakura santai. Ia bersandar di pintu mobil sambil tetap menggerakkan matanya ke sekelilingnya.

Pandangan tajam Ino beralih pada Sakura. "Sama saja tau!" jawab Ino sewot.

"Kalau kita panik malah banyak hal buruk yang akan datang," kata Sakura enteng.

"Bener tuh kata nona Haruno," timpal Sasuke.

Sakura kembali memutar bola matanya mendengar cara Sasuke menyebut namanya. "Daripada kita terus-terusan tanpa tentu arah seperti ini, mending tanya sama orang daerah sini," usul Sakura. "Gantian, cowok-cowok yang nanya."

Sai dan Sasuke saling bertukar pandang. "Kita?" tanya mereka sambil menunjuk dari sendiri.

"Iya. Masa aku terus? Sekalian gantian kalian yang duduk di tengah, biar gampang keluarnya kalau mau tanya-tanya. No, pindah."

Sakura memberi komando pada mereka untuk bertukar posisi. Kini Sakura dan Ino duduk di belakang, sedangkan Sasuke dan Sai di tengah. Mobil kembali berjalan walau sedikit, sebelum kembali berhenti pada beberapa puluh meter. Sakura melihat sebuah toko kelontong di tepi jalan sebelah kiri dan memberi tanda pada kedua cowok untuk turun dan bertanya.

Bukannya keluar dari mobil, mereka berdua malah berdebat untuk memutuskan siapa yang harus bertanya terlebih dahulu. Sebal, Sakura menyuruh Sai untuk geser sedikit agar ia bisa mendorong kursi mobil dan keluar untuk bertanya. Sasuke dan Sai bergumam 'wow' pada inisiatif Sakura dan akhirnya menyusul gadis itu untuk bertanya.

Rintik-rintik hujan sedikit membasahi pucuk kepalanya, namun tidak cukup deras untuk membuatnya basah kuyup. Ia mendekati toko tersebut dan bertanya pada pemiliknya.

"Maaf, saya mau tanya. Kalau jalan menuju Iwatayama Monkey Park ke arah mana ya?" tanya Sakura pada seorang wanita paruh baya dengan kimono sederhana yang membalut tubuhnya.

Wajah wanita itu melembut dan menyunggingkan senyumnya. "Oh, Nona terus berjalan mengikuti jalur ini. Belokan ke dua sebelah kanan, Anda lewat situ. Seterusnya cukup ikuti jalan."

Sakura mengangguk mengerti. "Baik. Ariga—"

TIIIN!

Setelah mengucapkan terima kasih terburu-buru, cepat-cepat Sakura masuk ke dalam mobil karena ditarik oleh Sai dan tidak sempat untuk pindah ke bangku belakang karena mobil-mobil di belakang mereka sudah mengklakson dengan berisiknya.

"WEIII, SABAR BISA KALI!" teriak mereka berempat saking kesalnya.

Hito-san segera tancap gas meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Ia mengikuti instruksi dari Sakura yang sempat didengarnya saat gadis itu bertanya tadi. Kali ini jalan cukup mulus tanpa hambatan. Karena sebangku dengan dua lelaki yang mempunyai tubuh lebih besar darinya, bangku mobil terasa sempit sekali. Tidak tahan berlama-lama seperti ini, ia berdiri menghadap Sasuke dan Sai selagi Ino melipat kursi mobil untuk pindah ke belakang, lalu melaluinya sebelum sebuah gundukan membuat mobil terguncang dan menyebabkan gadis itu kehilangan keseimbangan. Dengan sigap, Sasuke menahan bahu Sakura agar tidak menabrak kaca. Akhirnya Sakura kembali ke bangku belakang dengan utuh dan selamat.

Keempat remaja itu menghabiskan waktu mereka dengan bertukar cerita; saling menceritakan kisah masing-masing.

"Oh iya. Bagaimana kabar pacarmu, Sas?" tanya Ino.

.

Pacar?

.

"Baik-baik saja, kok," jawab Sasuke sembari tersenyum tipis.

Ino bergumam pelan. "Sudah hampir setahun, 'kan?"

.

Setahun?

.

"Ya. Bulan Juli nanti."

"Pacarmu orangnya seperti apa, Sasuke?" Kali ini Sakura yang bertanya.

Sasuke berpikir sebentar. Kemudian ia menjawab, "Polos. Dan agak manja karena anak satu-satunya. Susah dapat izin dari orangtuanya kalau mau ke mana-mana, makanya jarang sekali jalan berdua. Biasanya aku yang datang ke rumahnya."

"Kau sayang sekali ya dengannya..." gumam Sakura.

Pemuda itu tersenyum hambar. "Ya, aku sayang padanya. Tapi aku tidak tahu apakah dia juga merasa begitu..."

.

.

.

.

.

To be continued

.

.

.

.

.

Glossary:

Kaiyu-shiki: strolling garden.

A/N:

Umm, halo (?)

Kalau dilihat-lihat, plotnya agak ngaco nan berantakan yak.

Saya menggunakan setting asli Jepang, seperti kota Tokyo, Kyoto, Osaka, dll. Mungkin nama-nama seperti Konoha, Suna, etc akan digunakan sebagai nama distrik saja kali ya ._. #seenaknyasendiri #kicked

Alur kecepetan. Mana minim deskrip begitu -_- #gulingguling

Yosh! Kritik? Saran? Silakan.

Mind to review? :3