101

© Lee Taeyoung

(Jalan cerita serta setting merupakan milik saya, sedangkan para member EXO adalah milik SM Entertaintment serta orangtua mereka masing-masing)

MOHON JANGAN PLAGIAT, NANTI SAYA SUMPAHIN BOTAK!

Sekian.


Episode One

Kau menyeka keringatmu dari kening dan menghela nafas dalam sambil mengibaskan tanganmu di hadapan wajahmu yang memerah karena panas. Musim panas di Los Angeles sama sekali bukan favoritmu; walaupun kau tahu betul bahwa negara asalmu terasa lebih panas padahal di bulan itu seharusnya hanya hujan yang terjadi. Kau memperhatikan beberapa orang yang melewati dirimu dan menggeleng ketika menemukan beberapa wanita yang dengan jelas menunjukan bahwa ia tidak mengenakan dalaman apapun.

Matamu mengerling dibawah panasnya matahari dan sebuah senyuman megembang di bibirmu ketika mendapati dua orang wanita dari luar kaca kafe terkenal di seluruh dunia itu, Starbucks. Dengan cepat namun hati-hati, kau menyebrang ketika lampu merah untuk pejalan kaki berganti menjadi hijau. Dua orang yang sedari tadi kau perhatikan menatap keluar dan menemukan matamu. Keduanya langsung melambaikan masing-masing gelas milik mereka dengan heboh hingga kau hanya dapat tertawa sambil terus menggenggam tali tas tote putihmu.

Sepatu converse hitammu mengeluarkan decitan kecil ketika menyentuh lantai ubin kafe itu sambil mendorong pintunya pelan. Seorang karyawan, pria, menyambutmu dan membiarkanmu memilih salah satu dari pilihan minuman dan makanan ringan yang ada di menu. Kau mengetuk jari telunjukmu di dagu sebelum akhirnya menetapkan pilihanmu pada segelas passion fruit tea dan sebuah kue mangkuk dengan isi selai blueberry. Pria itu mengangguk dan memintamu untuk duduk, karena akan ada yang mengantarnya untukmu. Kau membayarnya dengan uang pas dan memasukan beberapa sen dalam sebuah toples bertuliskan 'tip' ketika ia membalik badan, meminta seorang barista dengan cepolan diatas kepalanya membuatkan pesananmu. Dia berbalik menghadapmu kembali dan memberikan kertas kasirnya. Kau menerimanya dengan senang hati dan menyelipkannya pada dompetmu–kebiasaan sejak dahulu.

Kau berjalan kearah meja kedua sahabatmu dan menelengkan kepala bingung ketika keduanya mengerling padamu dengan alis yang bergerak naik-turun, sugestif. Kau memasukan dompetmu kedalam tas putihmu dan mengambil ponselmu, iPhone 6 bewarna hitam legam. Sahabatmu melirik namun mendiamkan saja dan salah satunya menyisiri rambut barumu yang kemarin malam baru saja kau warnai kembali. Ia tersenyum, "Warna baru?" Kau mengangguk, "Sebenarnya belom selesai, sih. Bagian belakangnya belum begitu rata."

Sahabatmu yang memiliki secangkir penuh substansi hitam pekat dengan asap mengepul, mengerling padamu dari balik cangkir putih bersih dengan logo Starbucks ditengahnya, "Mau dibantu?" Tersenyum, kau mengangguk, "Mau menginap?" Kedua sahabatmu mengangguk secara bersama-sama, dan tepat saat itulah, pria yang tadi berjalan kearahmu dengan sebuah nampan di tangannya. Dia meletakan gelas plastik berisi substansi bewarna ungu kemerahan dengan beberapa kubus es yang mengambang, sebuha sedotan hijau yang masih terbungkus dengan apik, dan sepiring kecil kue mangkuk yang harumnya mengundang. Kau memberikan sebuah senyuman dan pria itu mengerling sedikit, membuatmu kebingungan ketika dia berbalik–terlihat puas.

"Ah." Kau menengok kearah suara dan menemukan kedua sahabatmu yang menggeleng kepala perlahan. "Masih tidak peka saja, ya?" Kau menatap keduanya bingung sambil menggigit bagian terluar dari kue mangkuk yang renyah itu kemudian menelengkan kepalamu, meminta penjelasan. Sahabatmu, dengan jari jemari termanikur, mengibaskan tangannya didepan wajjah bodohmu, "Tidak, tidak apa-apa. Omong-omong, kau belum sarapan?" Kau menggeleng, mulut penuh dengan kue yang kau kunyah dengan telaten, kedua sahabatmu menatapmu–menunggu.

"Sudah," jawabmu, kemudian cengengesan dan menggaruk tengkuk. "Tapi kalian tahu aku, tidak cukup." Sebuah senyuman muncul pada masing-masing bibir. Sahabatmu menyesap kopi hitamnya sampai habis dan berdiri, "Aku akan memesan segelas es teh. Mau?" Sahabatmu yang satu lagi, mengangkat gelasnya sendiri dan menggoyangkannya, masih terisi tiga per empat. "Masih punya lemon tea."

Mengangguk, "Baiklah."

Kalian bertiga berjalan di jalan setapak taman itu dengan kau yang berada di tengah-tengah. Kau merespon dengan sedikit tawa keluh kesah sahabatmu, sambil sesekali menyesap substansi pendingin tubuhmu; sedikit berhati-hati agar tidak muncrat kemana-mana ketika sobatmu, dengan sengaja, menceritakan kejadian lucu. Sinar terik matahari tidak begitu merajalela karena banyaknya vegetasi yang memayungi kalian bertiga.

Perjalanan yang kalian tempuh hanyalah selama dua puluh lima menit–hampir tiga puluh, kalau dihitung berapa banyak kalian harus berhenti karena tali sepatumu tidak bisa diam. Kalian akhirnya sampai pada kamar apartemenmu. Memasukan kunci milikmu, dengan sebuah gantungan berbentuk sebuah wajah karakter anime yang kau punya sejak SMA, kau membukanya sedikit dan meneriakan sebuah 'aku pulang', yang disambut dengan keheningan.

"Hoh, dia tidak ada." Kau melepaskan sepatumu dan berjalan dengan hanya memakai kaus kaki kekecilan milikmu. Kau berbelok ke kanan, ke dapurmu dan menemukan sebuah catatan kecil post-it kuning yang ditempel pada karton besar putih di kulkasmu, kertas karton yang telah kau gambari dan tulisi besar-besar menggunakan spidol permanen, 'AGENDA'. Kau mencabut kertas kuning kecil itu dan membacanya sebentar sebelum membuangnya dan membuka kulkas untuk mengambil sekarton jus jeruk.

"Waktunya tepat sekali, dia sedang pulang ke kampung halaman," kau berkata dan mengambil dua gelas ramping untuk diisi dengan substansi kuning dengan perasa buatan yang dingin. Sahabatmu mengangguk dan berbaring diatas sofa kulit hitam, "Dia orang mana?" Kau membawa kedua gelas itu pada sebuah meja kecil nan pendek yang diletakan sebagai penengah antara sofa dan tempat televisi. Kau mengetuk dagumu, "Sepertinya California."

Televisimu dinyalakan dan kau mendudukan dirimu diatas kaki sahabatmu yang menjulur, sahabatmu kelihatan tidak terlalu peduli dan membiarkanmu. "Kau tahu kan kalau barista tadi sepertinya menyukaimu?" Tiba-tiba sahabatmu bertanya. Kau menatapnya heran dan mengernyitkan dahi, "Yang tadi? Rambut cokelat berantakan?" Matamu mengerling pada sahabatmu yang duduk diatas karpet dengan kaki terlipat. Dia menangkap tatapanmu, "Well, dia cukup imut. Kau kan sukanya yang imut-imut." Kau memutar bola matamu dan mengambil salah satu kaki sobatmu untuk kau letakkan diatas pangkuanmu, yang satu lagi kau jepitkan diantara punggung dan senderan sofamu.

Ia mendesis sebentar dan menyamankannya di belakang punggungmu. Kemudian ekspresinya berubah seperti orang yang baru teringat akan sesuatu, "Oh iya. Ada temanku di fakultas fotografi, dia ingin membuat sebuah tugas yang membutuhkan model; pokoknya harus asia dan perempuan." Kau mengernyit, sedikit tersinggung, "Rasis sekali temanmu itu." Mengibaskan tangannya, ia mengambil sebuah kertas kecil yang ada di kantung terusan miliknya. Kau mengambilnya, alismu asih bertaut dan membaca nama yang tertera; tertulis dengan huruf cetak yang apik dan tidak berantakan.

Kai

+1657XXXXXX

"Katanya, kalau kau mau, telepon saja nomor itu," jelas sahabatmu sambil mengendikan bahunya. "Lagipula, itu kan bisa jadi batu injakan untukmu. Sudah lama kan, kau mengejar jadi seorang model?" Kau menggembungkan pipimu, "Baiklah, aku akan memikirkannya."

Episode One : End.


Author's Babble :

Yeah, satu fanfiksi baru yang mengusung readersxbias atau OC–yang sangat saya benci dahulu, tetapi mulai saya sentuh perlahan demi perlahan; sebab ternyata asik membayangkan bahwa dirimu sendiri lah adalah seorang tokoh utama. Walaupun dalam hidup kita masing-masing, tentunya kita adalah tokoh utama untuk diri kita masing-masing.

Saya membebaskan para pembaca untuk berangan-angan dan membayangkan sendiri suasana serta wajah-wajah yang ada di fanfiksi ini; dan, saya sangat berharap sekali, kalau pembaca-pembaca sekalian malah benar-benar merasakan bahwa kalian semua terjun bebas kedalam cerita ini. Untuk itu, saya persembahkan fanfiksi ini untuk kalian.

Oh iya, saya juga tidak tahu apakah fakultas fotografi itu ada atau tidak; kalau tidak, diadakan saja ya, hehe. Namanya juga imajinasi liar.

Mohon kritik, saran, dan fave-nya; saya amat sangat menghargai itu semua dari kalian. Dan, saya juga meminta maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan maupun EYD, maklum masih belajar Bahasa Indonesia; wong, ulangan Bahasa saya saja masih hancur.

TERIMA KASIH!

Lee Taeyoung