Disclaimer: Hunter x Hunter and all of its characters respectively belongs to Yoshihiro Togashi sensei
Genre: Sci-Fi, Drama, Hurt/Comfort, Angst, etc
Rate: T, well, just for safety, though this chapter sounds lighter
Pairing(s): no official pairing for this chapter, may change in later chapters
Warning: Female IC, OOC-ness, typo(s), perhaps, AU, etc
Do not flame me about stuff that I've mentions above
I accept no silent reader, you read, you review
Catastrophe Damsel
Chapter 1: Pilot
H. Kaoru
2012
"Dr. Lucilfer", ujar pemuda berambut coklat itu,
"Ya?", sahut pemuda itu singkat dengan nada datar,
"Ini", pemuda berkacamata itu menaruh sebuah berkas berisi data pasien diatas meja Kuroro, sang dokter.
Pemuda itu menghela nafas, ia menaruh cangkir kopinya diatas meja, kemudian mengambil berkas yang tadi diberikan oleh asistennya itu,
"Terima kasih, Leorio", ujarnya, ia masih belum membuka berkas itu,
"Ya, sama-sama, semoga harimu menyenangkan, Dokter", sahutnya sambil tersenyum dan menutup pintu, sepeninggal Leorio, Kuroro mulai membuka berkas tersebut dan membacanya, nama yang tertera di halaman pertama pada berkas itu tampak menarik perhatiannya,
"Hn, Kurapika...Hibiki", gumamnya pelan dengan nada bosan.
Gadis itu berambut pirang, dengan postur semampai dan tubuhnya yang terbilang kecil untuk ukuran gadis seusia dirinya, rambutnya jatuh menutupi wajahnya dengan poni panjangnya yang nyaris membuat matanya tak terlihat, ia menunduk dengan tatapan yang menunjukkan kekesalannya, sesekali mata cerulean itu mendelik dan melirik dengan sorot yang sangat sinis pada orang-orang disekitarnya.
"Kau akan membawaku kemana, Ibu?", desis gadis itu dengan nada bertanya, disampingnya terlihat seorang wanita berambut kecoklatan dengan wajah formal yang membuatnya terlihat berada diusia 40-an, dan wanita itu memegangi tangan anak gadisnya dengan cara yang membuat anak itu terlihat seperti seorang pengutil di swalayan yang tertangkap basah oleh satpam penjaga dan hendak dibawa ke kantor polisi terdekat,
"Youth Centre, Kurapika, dan jangan menyalahkan aku karena ini ulahmu sendiri", tegas wanita itu tanpa melepaskan pegangannya dari anak gadisnya yang menatapnya dengan kegusaran yang benar-benar tampak, bahkan dalam raut wajahnya,
"Yah, terserah, lagipula aku tidak menyesal", jawab Kurapika dengan nada mengejek, sama sekali ia tidak menunjukkan penyesalan apapun atas apa yang dilakukannya. Wanita itu menghela nafas lelah, lalu ia berujar,
"Dengar, kita sudah sepakat bahwa kau akan menjalani terapi disini sampai kau menyesal telah mengacaukan pesta pertunanganmu sendiri", ia menatap Kurapika dengan lembut, mencoba membuat anak gadisnya itu menuruti kata-katanya,
"Sudah berapa kali kubilang, Bu, aku tidak menyesal atas apa pun yang kulakukan", Kurapika membalas perkataan sang ibu dengan nada suara yang penuh dengan penekanan,
"Tapi kau menyerang salah satu kerabat ayahmu, Pak Uvogin, dengan menggunakan rantai pengikat pagar rumah, Kurapika, itu terlalu berlebihan", sang ibu membalas perkataan gadis itu, mengingatkannya dengan cara terbaik, yah, setidaknya dia berpikir demikian, agar anak itu mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf, tapi nampaknya usahanya sia-sia sekali karena Kurapika tidak terlihat menyesal sedikitpun,
"Bu, dia adalah anggota Genei Ryodan, kelompok pencuri yang telah membantai sukuku, memangnya salah kalau aku memukulnya?", Kurapika berargumen lagi, wanita itu menghela nafas dan mencoba bersabar menghadapi apapun yang menimpa putri semata wayangnya ini,
"Dengar sayang, kau terlalu terobsesi dengan khayalanmu, dan menurutku itu tidak akan baik untuk masa depanmu", wanita itu berujar pada Kurapika dengan nada lembut, dibelainya rambut keemasan gadis itu,
"Tidak! Itu bukan khayalan, aku tahu itu", jawab Kurapika sambil menampik belaian lembut sang bunda dirambutnya, lalu berusaha menarik tangannya dari wanita itu, sehingga sang ibu menahannya lebih kuat,
"Hentikan Kurapika, kumohon", pintanya dengan suara yang terdengar begitu sendu,
"Kau tidak berhak memberitahuku apa yang harus kulakukan, karena kau bukan ibuku!", seru gadis itu, masih berusaha memberontak, namun sang ibu menahannya lagi, kali ini ia memeluk Kurapika,
"Aku paham akan hal itu, maafkan aku", katanya lirih, Kurapika pun terdiam untuk kali ini, lalu membiarkan wanita itu memeluknya,
"Yang jelas aku tidak mau dijodohkan dengan Shalnark, karena dia juga anggota Genei Ryodan", kata gadis itu sebelum ia memutuskan untuk membisu, hingga tak sepatah katapun terdengar lagi, diantara keduanya, sepanjang perjalanan menuju sebuah tempat yang disebut Youth Centre itu.
"Jadi apa yang kau inginkan, Nona Hibiki?", tanya Kuroro sopan pada gadis berambut pirang itu, yang kini duduk dihadapannya dengan ibunya berada disampingnya,
"Yang kuinginkan? Tentu saja kematianmu, dan...duniaku yang kau hancurkan, Danchou Laba-laba", gadis itu berujar sinis, ia menyilangkan kedua lengannya didepan dadanya dan menatap Kuroro dengan penuh kebencian yang terpijar dengan sangat jelas dikedua bola mata cerulean-nya,
"Danchou Laba-laba? Apa maksudmu?", balas Kuroro sambil mencantumkan jawaban gadis itu dalam memonya, pandangannya ia alihkan dari Kurapika ke ibunya yang duduk tepat disisi kanan gadis itu, wanita itu berkesah pelan,
"Inilah yang kuhadapi setiap hari, Dr. Lucilfer, ia terus membicarakan tentang-", wanita itu terpaksa menghentikan kalimatnya saat melihat putri semata wayangnya itu memalingkan wajahnya dengan penuh gerutu dan ia beranjak dari kursinya,
"Kurapika, kau mau kemana? Kurapika?", ia memanggil gadis itu, Kurapika menggerutkan keningnya,
"Maaf saja, tapi aku tidak ingin berbicara dengan orang yang telah mengetuai pembantaian sukuku", jawab Kurapika dengan nada tegas yang terdengar penuh emosi, wanita itu pun segera berdiri dan menahan tangan gadis itu,
"Sayang, Dr. Lucilfer hanya ingin membantumu..", lirih wanita itu sambil terus menahan tangan Kurapika yang juga terus berusaha melepaskan diri dan hendak pergi dari sana,
"Kurapika-", panggil Kuroro tiba-tiba sambil berdiri di balik mejanya, sejujurnya ia merasa tertantang menghadapi gadis belia yang sepertinya sangat membenci dirinya ini, ditambah lagi sang gadis ternyata mengganggapnya sebagai, 'Danchou Laba-laba' yang ia sendiri tidak tahu apa maksudnya, benar-benar pasien yang menarik,
"Apa yang kau inginkan?", tanya pemuda itu dengan nada tenang, gadis itu berbalik dan menatapnya dengan pandangan yang sangat tajam, yang seakan bisa membunuhnya jika gadis itu adalah seorang telepatis—orang yang bisa berhubungan dengan alam pemikiran orang lain hanya dengan memikirkannya—namun kenyataannya tidak demikian, gadis bernama Kurapika Hibiki ini hanya seorang putri tunggal keluarga Hibiki yang termahsyur dengan tambang rare metal-nya, tidak mungkin ia adalah seorang telepatis, ia hanya seorang gadis biasa, gadis kaya biasa, yang kebetulan memiliki imajinasi yang terlalu tinggi, dan mengira dirinya adalah orang lain, hn...mungkin saja.
"Aku tidak memiliki kepentingan untuk menjawab pertanyaanmu, Dokter", Kurapika menjawab dengan nada yang agaknya terdengar mengejek saat menyebutkan kata 'dokter' , Kuroro menaikkan sebelah alisnya dengan wajah yang terlihat menyebalkan dimata gadis itu,
"Apa?", tanyanya sinis, Kuroro sedikit heran mendengarnya, belum pernah ia menghadapi seorang pasien yang membencinya sampai seperti ini, yah, sepertinya kali ini akan sulit.
"Bagaimana pertemuan pertamamu dengan gadis Hibiki itu, Dr. Lucilfer?", tanya Leorio saat mereka sedang makan siang, Kuroro terdiam selama beberapa saat, lalu tertawa dengan nada yang tidak terdengar senang, malah cenderung miris,
"Entahlah, dia sangat merepotkan", jawab Kuroro tenang, Leorio terkejut mendengarnya,
"Sejauh ini aku belum pernah mendengarmu mengeluh soal pasienmu, Dr. Lucilfer", Leorio merespon komentar Kuroro tentang pasiennya barusan, Kuroro mengerjapkan matanya beberapa kali dengan wajah bingung, ia menghela nafas pelan,
"Benarkah?", ia berkata singkat, lalu memasukkan potongan kecil croissant yang dipesannya untuk makan siang itu kedalam mulutnya,
"Ya, selama ini setiap aku bertanya tentang pasienmu, kau selalu menjawabnya dengan, 'bukan masalah', 'terlalu mudah', dan...'aku tidak yakin dia sampai harus datang padaku'..", balas Leorio sambil menirukan cara Kuroro bicara tentang para pasiennya yang dulu, Kuroro sendiri tertegun mendengarnya, ia tak bisa bicara selama beberapa saat karena komentar barusan terlalu tepat baginya, namun itu mengartikan satu hal, yaitu bahwa gadis yang datang padanya jam 10 pagi tadi adalah jawaban atas doa-doanya selama ini,
Oh, tidak, pikir Kuroro saat teringat akan doanya semalam, dimana ia memohon pada Tuhan untuk mengakhiri hari-harinya yang membosankan, dan sebagai seorang psikiater muda yang jenius, ia tahu bahwa bunuh diri adalah hal konyol, tentu saja, dan ia tidak terpikir kesana saat mengharapkan Tuhan mengakhiri kehidupannya yang dipenuhi dengan rutinitas yang membosankan seperti selama ini, namun jika saja ia tahu bahwa akhir dari hidup yang membosankan berarti mendapatkan bencana, ia akan memilih untuk tidak pernah mengakhiri hidup membosankannya itu.
Kuroro menghela nafas lelah, membayangkan bahwa ia telah membuat kesalahan besar dengan berdoa seperti itu tadi malam mengganggu nafsu makannya, sehingga ia kehilangan selera makannya dan meninggalkan mejanya begitu saja.
Sementara asistennya Leorio tak mampu bereaksi apapun saat melihat pemuda itu berdiri dan membersihkan pinggir-pinggir mulutnya dengan tisu lalu beranjak pergi dari sana tanpa membayar terlebih dahulu, yang artinya ialah yang harus membayarkannnya.
"Apa-apaan sikapmu tadi, Kurapika?", seru wanita itu ketika mereka sampai dirumah, Kurapika tidak menyahut sama sekali, ia memutuskan untuk diam, seperti biasanya, dan langsung melesat menuju kamar tidurnya yang terletak dilantai atas,
"Kurapika, aku bicara padamu! Turun kesini, sekarang!", ia berseru lagi, yang lagi-lagi tidak dihiraukan sama sekali oleh gadis muda berambut pirang itu, yang masih saja meneruskan perjalanannya menuju kamar tidurnya, lalu ia menyerah, menghela nafas lelah sambil menghempaskan tubuhnya keatas sofa, lalu berdiri lagi dan mengambil whiski yang berada dalam lemari pendingin.
"Akh...kehidupan yang berat..", gumamnya sambil menenggak minuman beralkohol dengan suhu rendah itu, lalu ia kembali menyandarkan kepalanya ke kepala sofa, dan memijat kedua pelipisnya dengan satu tangan sementara tangan satunya memegang gelas berisi minuman itu.
Kurapika menutup pintu kamarnya dengan keras dan bersandar dibaliknya, ia menghembuskan nafas yang terdengar seperti orang yang menahan tangis, berat sekali, seperti melepaskan rasa sesak yang memenuhi dadanya dan menghimpitnya sampai ia hampir kesulitan bernafas, airmata jatuh ke pipinya yang dingin dan ia segera menyekanya dengan punggung tangannya, perlahan ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan duduk dengan posisi bersandar pada daun pintu dibelakangnya sambil membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya dan menangis terisak-isak.
Gadis itu tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan untuk saat ini, namun yang jelas ia hanya ingin menangis, menumpahkan segenap rasa yang berkecamuk hebat di dalam ruang hatinya yang semakin sempit dan penuh terisi oleh banyak hal yang ia inginkan dan tidak, tapi yang pasti ada satu kata yang terus ia lirihkan dalam hembusan nafasnya yang bergetar,
"Mama..mama...".
Sebuah kertas berada dalam jarak pandang psikiater muda itu, hari ini, untuk kesekian kalinya, ia kembali meneliti berkas-berkas berisi data-data tentang gadis muda berusia 17 tahun itu, Kurapika.
Banyak hal yang tidak ia mengerti tentang delusi yang dialami oleh gadis belia itu, ia lahir dari sepasang insan yang berbahagia di keluarga Hibiki yang termahsyur, sekolahnya baik-baik saja, berprestasi malah, lingkungan tempat ia dibesarkan sangat indah, terlalu seperti mimpi bahkan, jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya.
Satu-satunya hal buruk yang pernah terjadi dalam hidup gadis itu hanyalah kematian ibu kandungnya 10 tahun yang lalu, ketika gadis itu masih 7 tahun, lalu sang ayah menikah lagi dengan seorang wanita yang luar biasa—dalam arti positif—saat gadis itu berusia 13 tahun.
"Apa yang salah dengan gadis ini?", gumam Kuroro sambil berpikir keras, sungguh sangat tidak wajar jika hal sepele semacam itu membuatnya berubah dari gadis manis yang menyenangkan menjadi gadis pemberontak dan cenderung bersikap negatif seperti yang ia lihat tadi pagi.
Ia mengambil foto Kurapika yang berada di halaman paling depan dalam berkas itu, tersisip dengan rapi berkat sebuah penjepit kertas yang menahan foto itu agar tetap berada ditempatnya, diamatinya struktur pembentuk ekspresi di wajah gadis itu, sebagai seorang psikiater, ia pasti tahu kalau ada yang tidak beres, namun nyatanya, nihil.
"Dr. Lucilfer, sudah jam 9, sebaiknya kau pulang", ujar Leorio dari balik pintu yang terbuka 1/4 bagian itu, Kuroro terkejut sedikit, ia menghela nafas pelan,
"Baiklah, aku akan segera membereskannya", sahut Kuroro datar, ia pun segera merapikan berkas milik Kurapika Hibiki tersebut beserta meja kerjanya,
"Biar kutebak-", ujar Leorio tiba-tiba, Kuroro berhenti sebentar dari aktivitas berberesnya dan menoleh pada Leorio,
"Kau menghabiskan seharian ini untuk memahami gadis itu berdasarkan data-data yang ada, benar?", Leorio melanjutkan kata-katanya dengan nada yang terdengar khawatir,
"Yah, begitulah", Kuroro berkesah pelan, ia pasrah saja menjawab pertanyaan itu sejujurnya, lagipula tak ada yang bisa ia katakan selain itu, dan apa gunanya berbohong, terutama pada Leorio yang sudah menjadi asistennya selama beberapa tahun terakhir ini.
"Kau datang lagi? Kukira kau tidak ingin bertemu denganku, Nona Hibiki", Kuroro berujar setengah bertanya pada gadis yang kini duduk dengan manis dihadapannya,
"Jangan bercanda, siapa yang mau bertemu denganmu-", tukas Kurapika sinis, "Aku disini karena kau menjadwalkan terapi untukku setiap hari selasa, dan menurutmu sekarang ini hari apa?", gadis itu melanjutkan kata-katanya yang tak lebih dari serangkaian kalimat yang menunjukkan keengganannya untuk datang hari itu, Kuroro tersenyum tipis,
"Baiklah, Nona Hi-", Kuroro bermaksud menyetujui gadis itu,
"Kurapika", potong sang gadis cepat, entah kenapa ia tidak begitu suka dipanggil dengan sebutan begitu,
"Oh, jadi Kurapika, apa yang ingin kau katakan hari ini?", tanya Kuroro, sedikit beramah-tamah, pada gadis bermata cerulean itu,
"Yang ingin kukatakan...aku membencimu", Kurapika berujar cepat, kata-kata itu terlintas begitu saja dikepalanya saat ia diminta mengatakan apa yang ingin dikatakannya oleh pemuda dihadapannya ini.
Kuroro menghela nafas lelah, seharian kemarin ia habiskan untuk mencari tahu tentang gadis itu dan hari ini ia menghadapinya secara langsung, namun semuanya tidak sedikitpun memberinya gambaran mengenai apa yang terjadi pada gadis ini dan mengapa ia juga berada dalam delusinya, padahal kenyataannya, mereka belum pernah sekalipun bertemu sebelum senin kemarin, dan itu membuatnya bingung,
"Dengar, kita belum pernah bertemu dan aku bukan seorang...apa yang kau katakan kemarin?", ujar Kuroro tegas, ia berusaha mencairkan suasana yang nampak begitu tegang ini, karena tanpa bantuan dari sang pasien sendiri, mustahil untuk menghilangkan delusi yang berada dalam kepalanya itu,
"Danchou Laba-laba, pemimpin dari sebuah kelompok bernama Genei Ryodan atau Laba-laba, yang mendalangi pembantaian Suku Kuruta, sukuku, demi mengambil mata merah kami, puas?", papar Kurapika dengan nada sinis yang masih tercermin bahkan dalam mimik dan nada suaranya, Kuroro sedikitnya terkesan dengan imajinasi gadis ini yang begitu lengkap dan terstruktur, seolah itu bukanlah sebuah bayangan abstrak yang hadir untuk melindungi pikiran seorang individu dari apapun yang bermaksud membuatnya trauma,
"Oh, kau membuatku terkesan Kurapika...dan membuatnya terdengar sulit untuk diatasi", ujar Kuroro yang meninggalkan bagian akhir kalimat itu untuk pemikirannya sendiri, ia harus mengakui, bahwa ini adalah pasien pertamanya yang membencinya, tidak kooperatif, dan menaruhnya sebagai peran antagonis dalam 'dunia'nya, sehingga akan sangat sulit baginya untuk mendekat pada sang penderita.
Kuroro memutuskan untuk diam sambil mengamati struktur pembentuk ekspresi di wajah gadis itu, dan ia dapat membuat satu kesimpulan bahwa gadis ini akan menjadi pasiennya untuk waktu yang sangat panjang dan berbagai terapi yang sangat banyak, kecuali ia bisa mempersingkatnya,
Ah, mungkin aku bisa menerapkan penelitianku padanya, ia berpikir sambil terus memandangi wajah gadis yang balik menatapnya dengan pandangan sinis dan sorot mata yang tajam,
"Bisa kau mempercepat ini? Aku harus mengikuti jamuan minum teh, 2 jam lagi", Kurapika tiba-tiba bicara dan membuyarkan pikiran Kuroro yang dalam,
"Oh, baiklah, lagipula kita juga sudah selesai", sahut Kuroro sopan, ia pun beranjak dan membukakan pintu untuk gadis pirang ini,
"Sampai bertemu selasa depan, Kurapika", ujarnya ramah, sementara gadis itu hanya melangkah perlahan menuju pintu dan melirik sinis dengan ekor matanya saat ia berada tepat disamping sang pemuda,
"Aku tak akan menantikannya", ujarnya sinis sebelum ia berlalu, Kuroro menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum tipis tanpa melepaskan matanya dari punggung gadis Hibiki itu,
"Hn, kita lihat saja, Kurapika", gumamnya pelan.
A/N: so, how was it?
well, this is my first Sci-Fi story, if you may asked, and I hope you all like it.
End words, review please...
