Slip

.

.

Main:

Kim Mingyu x Jeon Wonwoo

Meanie

Side:

Woncoups

Gyuhan

Jiwon

.

.

Warning: typos yes

.

.

Enjoy!

TELOLET!

.

.


Wonwoo terbangun di atas rerumputan hijau. Matahari bersinar dengan terang di atas kepalanya. Meskipun mentari terasa menyengat, Wonwoo tak merasa sepanas yang seharusnya ia rasakan. Angin yang berhembus dengan kencang terasa sangat menyejukkan dan mengurangi rasa gerahnya. Aneh, pikirnya.

Wonwoo bangkit, terduduk, dan Ia memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan, mengamati keadaan sekitar. Otaknya tak dapat mencerna apa yang terjadi. Seingatnya ia tertidur di atas tempat tidur empuk tercintanya, di dalam kamar yang berantakan karena belum sempat ia bersihkan. Tapi sekarang ia terbangun di...di mana ini?

Sejauh mata memandang Wonwoo hanya melihat rerumputan, pohon, bukit kecil, dan langit yang biru, cerah tak berawan. Wonwoo terkekeh pelan menyadari dimana ia berada. Ini pasti dalam mimpi. Jadi ini yang namanya lucid dream. Menyadari bahwa seseorang sedang bermimpi saat mimpi masih berlangsung. Berarti ia hanya perlu bangun untuk kembali ke alam nyata, kan? Karena sejujurnya, bangun di tempat berbeda dari di mana kau tidur itu menakutkan.

Ini pasti akibat terlalu lama berada di angkasa, di dalam benda bernama pesawat. Padahal terakhir kali ia mengalami jet lag adalah bertahun-tahun yang lalu. Wonwoo membaringkan kembali tubuhnya di atas rerumputan. Ia mulai memejamkan matanya lalu merapalkan mantra apa saja yang bisa membuat dirinya terbangun hingga sebuah suara menginterupsi kegiatannya.

"Hyung! Wonwoo Hyung!"

Wonwoo membuka matanya, mencari-cari asal suara. Dilihatnya seorang anak laki-laki berlari ke arahnya dengan raut wajah cemas. Anak itu berhenti berlari setelah sampai dihadapannya yang sedang terduduk. Ia berjongkok. Dahinya berkerut dalam dan kedua tangannya meraba tubuh wonwoo, mencari luka.

"Hyung, tidak terluka,kan? Apa ada yang sakit? Jangan-jangan memar. Ayo, hyung! Kita pulang. Tuan Kim bisa membunuhku jika tahu hal ini, aish! Hyung, kenapa diam saja? Hyung, katakan sesuatu! Jangan diam saja, kau membuatku takut!"

Wonwoo sampai pusing mendengar celotehan anak yang sepertinya baru berumur 15 tahun karna anak itu berbicara dengan suara keras dan nada membentak, tak ketinggalan dengan cara bicaranya yang sangat cepat seperti kereta api. Heol, sungguh tak sopan. Tapi, Wonwoo tahu kalau anak ini benar-benar khawatir. Wonwoo sampai tersentuh karena rasanya selama 28 tahun ia hidup rasanya tak ada yang benar-benar mengkhawatirkannya seperti anak ini.

"Aku tak apa. Tak memar. Sepertinya tak terluka juga" Anak itu mendesah lega. Wonwoo tersenyum kecil. Anak yang polos, semua terbaca dari wajahnya. Wonwoo kembali memecah keheningan dengan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal pikirannya.

"Kau mengenalku tapi aku tak mengenalmu, siapa kau? Dan...di mana kita? Kenapa kita pakai hanbok?"

Anak itu langsung pingsan seketika.

.

.

.

"Lee Chan! Jelaskan padaku apa yang terjadi! Kenapa Wonwoo jadi seperti ini, hah?!" Anak itu, Lee Chan, berdiri di luar kamar tempat Wonwoo diperiksa oleh tabib. Ia berdiri dengan kaki gemetar. Tangannya meremas-remas ujung depan bajunya dan kepalanya menunduk dalam.

Di dalam kamar tersebut, Wonwoo duduk di ranjang selagi tabib memeriksanya. Suara dari luar ruangan begitu keras dan menggema sehingga Wonwoo dapat mendengar semuanya. Rasa iba muncul saat seseorang yang disebut Tuan Kim memarahi Chan dengan keras. Anak itu pasti ketakutan karena jujur saja Wonwoo sendiri juga merinding mendengar bentakan Tuan Kim.

Para pelayan berkumpul di depan kamar tersebut akibat keributan yang terjadi, membuat Chan merasa kecil karena dikerumuni banyak orang di bawah mata elang Tuan Kim. Mereka menatap iba pada Chan. Bisik-bisik pun mulai terdengar. Kebanyakan mengatakan kalau Chan tak akan selamat melihat bagaimana murkanya tuan mereka.

Chan bersimpuh pada kedua lututnya lalu membungkuk dalam-dalam.

"Naeuri, saya pantas mati. Saya telah melakukan kesalahan besar", ucapnya dengan suara terisak dan wajah dipenuhi air mata. Kedua orang tua Chan, yang juga pelayan di kediaman Tuan Kim, hanya dapat menatap sedih anak tunggal mereka. Mereka pasrah dengan apa yang akan terjadi karena mereka hanya pelayan yang tak punya kekuasaan.

"Baguslah kalau kau sadar. Seokmin! Seret anak ini ke halaman belakang lalu tebas kepalanya", ucap Tuan Kim dengan dingin tanpa belas kasihan.

Seokmin hanya dapat menghela napas dan menarik lengan Chan untuk berdiri. Kaki Chan lemas bukan main. Ibunya menangis meraung-raung mendengar ultimatum Tuan Kim. Ayah Chan terlihat lebih tenang dan terkontrol namun jejak air mata yang terus mengalir dapat terlihat di wajah lelahnya.

Pintu kamar itu terbuka, menampilkan Wonwoo dengan baju yang dipakai berantakan dan asal-asalan. Wonwoo menatap wajah Chan dengan iba lalu mengalihkan tatapannya pada Tuan Kim yang menatapnya tajam. Tuan Kim mengalihkan tatapannya pada tabib yang berdiri menunduk di belakang Wonwoo.

"Kenapa kau membiarkan dia keluar? Apakah kau ingin dipenggal juga?" Tabib itu terlihat tenang seperti sudah biasa terkena amukan Tuan Kim.

"Maafkan saya, tapi Naeuri memaksa"

"Apa yang kau lakukan? Kembali ke kamarmu, selesaikan pengobatanmu", ucapnya pada Wonwoo dengan dingin. Wonwoo balas menatap dengan lebih dingin, membuat semua orang disana terperanjat karena Wonwoo yang mereka kenal tak akan punya keberanian untuk balas menatap tuannya tepat di mata saat tuannya sedang dalam suasana hati yang buruk.

"Bukannya yang kau yang butuh pengobatan? Karena sepertinya otakmu bermasalah" Semua orang disana menahan napas mendengar jawaban Wonwoo. Mereka pikir, Wonwoo benar-benar tak waras. Sepertinya kepalanya yang terbentur menyebabkan Wonwoo jadi tak waras. Hanya orang tak waras yang berani melawan tuan mereka yang sedang dalam suasana hati yang buruk.

"Terbentur membutmu gila ya? Tabib Shim, kembalikan dia seperti semula" Tuan Kim memberikan smirk yang sangat menakutkan di mata para pelayan sebelum beranjak dengan Seokmin yang menyeret Chan dibelakangnya.

Wonwoo benar-benar kesal dengan orang sialan –Tuan Kim- ini hingga tak dapat mengendalikan dirinya. Di lepasnya sepatu yang dikenakannya lalu dilemparkan kuat-kuat hingga mengenai kepala Tuan Kim. Semua orang kembali menahan napas, mengetahui akan ada kemurkaan periode kedua.

Tuan Kim berbalik dengan wajah memerah marah, berjalan cepat ke arah Wonwoo dan mendorongnya dengan kuat ke dinding. Tuan Kim menekan bahu Wonwoo ke dinding dengan kuat, membuat Wonwoo meringis sakit.

"Apa yang kau lakukan?" Tuan Kim mengatakan dengan suara tenang dan rendah yang menandakan bahaya siaga level 1.

"Lepaskan Lee Chan", ucap Wonwoo dengan suara yang dingin.

"Sudah benar-benar bosan hidup?"

"Lepaskan Lee Chan"

"Sudah bosan hidup denganku ya?"

"Lepaskan Lee Chan"

"Mengingat keadaanmu, akan kuingatkan bahwa aku tak menyukai anak yang tak patuh. Kembalilah jadi anak baik, maka aku akan melupakan ini semua", ucap Mingyu dengan senyum menawan yang mematikan. Wonwoo menghela napas menahan amarah.

"Mingyu... Namamu Kim Mingyu, kan?" Wonwoo mengingat informasi tentang Tuan Kim yang diberitahukan tabib Shim selagi memeriksanya tadi. Mingyu -Tuan Kim- menaikan satu alisnya, pertanda tak mengerti. Wonwoo menghela napasnya.

"Kim Mingyu, berapa umurmu hah?! Kau sudah dewasa, jangan kekanakan! Nyawa manusia itu bukan mainan. Jadi sebaiknya lepaskan Lee Chan dan urusi hidupmu sendiri!" Semua orang, termasuk Mingyu, tertegun. Tak ada yang pernah mengomeli Mingyu. Bahkan ibunya saja tak pernah, sebab itulah ia tumbuh menjadi anak yang seenaknya. Apalagi keluarganya merupakan keluarga terpandang dan mempunyai kedudukan di pemerintahan, membuat Mingyu semakin merasa dunia berada dalam genggamannya.

"Sudah benar-benar bosan hidup rupanya bocah ini. Seokmin, tebas kepalanya juga" Wonwoo sudah tak dapat menahan tangannya yang gatal akhirnya memukul kepala Mingyu dengan keras. Lagi-lagi semua orang menahan napas.

"Bocah?! Ya! Sudah cukup aku menahan kesabaranku! Bocah kau bilang?! Kau itu lebih muda dariku dan memanggilku bocah?! Dan apa-apaan itu?! Kau sedari tadi bicara banmal denganku, hah?! Kau sudah sebesar ini masih tidak tahu sopan santun?!" Semua orang tertegun melihat kemarahan Wonwoo karena Wonwoo yang mereka kenal merupakan pribadi yang lemah, lembut, baik hati, sopan, dan tenang serta tidak pernah terlihat marah.

Wonwoo menarik napasnya, berusaha mengatur emosinya.

"Aku biasanya tidak cepat marah, tapi kau benar-benar menguji kesabaranku. Dan kuperingatkan kau! Jangan pernah main-main dengan nyawa hanya karena kau marah" Wonwoo menubrukkan bahunya pada bahu Mingyu, meninggalkan Mingyu yang mematung, lalu menyambar lengan Chan dan membawanya keluar.

Mingyu menggeram kesal. Wonwoo terlalu berbeda dari sebelumnya akan menjadi masalah baru baginya. Para pelayan masih mengerubunginya memuat Mingyu semakin kesal.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN?! KEMBALI BEKERJA!"

Para pelayan pun membubarkan diri dengan tergesa, takut terkena amukan periode tiga.

.

.

.

Wonwoo dan Chan duduk di bawah pohon tua yang besar dan rindang. Chan ragu untuk bicara karena merasa bersalah. Karenanya, Wonwoo kehilangan ingatan dan suasana rumah jadi buruk. Sedangkan Wonwoo berpikir bagaimana caranya kembali.

Sejauh mata memandang, Wonwoo sama sekali tak melihat gedung-gedung pencakar langit yang biasanya sangat mudah dijumpai. Ia tak melihat ada pesawat yang melintasi langit. Orang-orang yang masih memakai pakaian tradisional dan naik kuda. Tak ada mobil atau motor, bahkan jalannya belum diaspal. Dan sesuatu mengatakan pada Wonwoo bahwa ini juga bukan set syuting film. Ya, Wonwoo sudah sadar 100% bahwa sepertinya ini bukan mimpi –walaupun ia berharap ini mimpi. Dan ia sadar sepertinya ia tengah terlempar ke masa lalu.

"Anu... Hyungnim..." Wonwoo menoleh menatap Chan yang duduk tak tenang.

"Aku minta maaf. Kalau tadi aku tak mengajak hyung main di bukit pasti hyung tidak akan terpeleset hingga jatuh dan hilang ingatan" Chan yang berbicara dengan penuh penyesalan itu bagi Wonwoo seperti anak kucing yang tersesat, jadi Wonwoo memeluknya dan itu sukses membuat Chan kaget dan kikuk.

"Tak apa-apa, tak usah dipikirkan. Itu bukan salahmu" Tuannya ini memang baik hati, tak seperti Tuan Kim yang seperti iblis. Chan terharu dan malah menangis. Meskipun Chan adalah penjaga Wonwoo yang dituntut untuk selalu kuat, pada dasarnya ia memang cuma anak kecil.

"Yak! Kenapa malah menangis?! Aish!" Chan mengusap air matanya dibantu Wonwoo. Jika tak melihat bedanya pakaian yang mereka kenakan, orang yang melihat pasti mengira mereka adalah kakak-adik yang sangat akrab.

"Tapi... Jadi namaku betul-betul Wonwoo?" Chan mengangguk, maklum dengan Wonwoo yang hilang ingatan.

"Margaku?"

"Jeon" Wonwoo mengangguk mengerti, jadi nama dan perawakan dirinya di masa lalu tetap sama.

"Mingyu itu siapa?"

"Suamimu, hyung" Wonwoo serasa terkena serangan jantung mendadak karena tabib Shim hanya memberitahu informasi tentang Mingyu, tanpa menjelaskan hubungan Wonwoo dengannya. Sial.

"Berapa umurnya? Kelihatannya masih muda tapi wajahnya sudah berkerut-kerut seperti itu. Pasti karena terlalu banyak marah-marah" Chan tertawa.

"Umur Tuan Kim 20 tahun, hyung" Wonwoo melotot.

"Jadi aku menikah dengan anak kecil. Heol" Dahi Chan berkerut mendengar ucapan Wonwoo.

"Anak kecil?"

"Iya, kan? Dia kan delapan tahun lebih muda dariku" Dahi Chan berkerut semakin dalam.

"Delapan tahun apanya? Kalian hanya beda setahun"

Ok. Jadi, Wonwoo kembali muda. Pantas saja tubuhnya terasa ringan dan lebih bugar.

.

.

.

TBC

.

.

.


Hi hello annyeong~

maapkeun daku guys, aku bakal gantungin kalian bikos it's gonna be a really slow updated fic heuheu ;;_;;

aku hanya terlalu cinta sebong terutama meanie guys

kalo ada kata-kata yang ga paham cari di gugel aja yes, i males jelasin hakhakhak /plakk/

terakhir, thanks buat yang sudah baca!

see you on the next chap! chu~