Title: Possessive—The Beginning
Rate: K+
Genre: Romance.
Cast: Kim Jaejoong, Jung Yunho, Shim Changmin, Park Yoochun, Kim Junsu, and other.
Disclaimer: Yunho milik Jaejoong. Jaejoong milik Yunho. Saya milik Yunho.
Pairing: YunJae. YooSu
Warning: OOC. Gaje. BL. Typo. Alur berantakan.
Note: kritik dan saran diizinkan. NO BASH! Karena akun ini milik Ai CassiEast saudara saya.
.
[Possessive]
.
Bagiku, suatu hal yang baru saja kulakukan bisa disebut sebagai prestasi. Mungkin saja prestasi terbesar dalam 21 tahun sejarah hidup seorang Kim Jaejoong. Bayangkan saja! Membiarkan Jung Yunho, kekasihku menginap di tempat terpencil nun jauh dari Seoul dikelilingi singa-singa betina lapar yang siap menerkamnya kapan saja. Meski aku tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa banyak laki-laki lain yang juga bersamanya.
Biar kuceritakan padamu. Kejadian laknat–ah, maksudku tak terduga itu berawal ketika aku datang menghampiri apartemennya di pusat kota untuk memberikannya sarapan pagi. Jung Yunho yang terlihat super tampan meski hanya dengan kaos hitam dan celana jeans sedang mengikat tali sepatu sportnya di depan pintu apartemennya, tak lupa tas ransel yang terletak di sisi kirinya. Seketika muncul kerutan di dahiku, tak mengerti dengan pemandangan yang tersaji di hadapanku ini. Apalagi setelahnya datang wanita-wanita yang juga membawa tas ransel seperti Yunho. Wanita-wanita yang kukenal sebagai teman kuliah kekasihku. Ingat itu! Hanya teman. Tidak lebih!
Yunho berdiri—setelah selesai mengikat tali sepatu dan menggendong tas ranselnya—kemudian meminta izin kepadaku menghabiskan waktu liburan semester yang tinggal sebentar lagi. Tak lupa ia menyelipkan permintaan maaf karena lupa memberitahuku sebelumnya–meski seharusnya ia juga harus meminta maaf karena tak mengajakku. Aku mengangguk mengerti dan kuserahkan kotak makan yang kubawa kepadanya. Untuk yang satu ini, setidaknya dia harus menghargaiku. Ia mengucapkan terima kasih diakhiri pernyataan cintanya kepadaku, kemudian berlalu pergi melewatiku. Aku tidak membalasnya, terlalu fokus memperhatikan wanita-wanita di sekelilingnya yang kini tampak bertanduk merah bagai iblis di mataku. Mereka menyeringai dan kepala mereka tampak membesar ketika mengekori kekasihku. Lihatlah! Kekanakan sekali. Mereka pikir itu berpengaruh? No! Never!
"Yunho aaaaaah~", aku berteriak sambil memeluk pintu apartemennya ketika kurasa Yunho dan para cecunguk itu sudah jauh.
"Kajimaaaaa~"
.
.
.
Satu lagi prestasi lain yang telah kuukir selama kurang dari setengah jam ini. Aku pandai berpura-pura. Lebih tepatnya, aku berbohong bahwa aku baik-baik saja. Aku cemburu, aku marah, aku tidak ingin membiarkannya pergi. Kalau bisa aku akan mengurungnya terus di rumahku–ani, di kamarku saja. Biar hanya aku yang boleh melihatnya, menyentuhnya, bersamanya dan tidak ada yang bisa mengambilnya dariku. Meski terdengar tidak berperikemanusiaan, tapi harus kuakui itulah perasaanku yang sebenarnya.
Seminggu lalu kami memutuskan untuk kembali menjalin kasih setelah tiga tahun berpisah. Mungkin dia tidak tahan melihat pesonaku yang menyandang status single sehingga dengan gagah berani mengajakku balikan. Dan dengan tak kalah gagah berani(?), aku menerimanya. Tentu saja, aku masih sangat mencintainya. Saat itu Yunho memutuskanku secara sepihak. Kau pasti tau apa alasannya, kan? Apa? Kau bilang kau tidak tau? Baiklah, akan kuperjelas lagi. Aku seorang yang posesif.
"Aku mencintaimu. Satu kalimat itu kurasa cukup mewakili perasaanku padamu. Jadi jangan pernah meragukanku lagi."
Kalimat itu seolah menjadi warning alert ketika rasa posesifku kembali mendominasi. Aku tidak ingin dia meninggalkanku (lagi) hanya karena mengulangi kesalahan yang sama. Kau tau? Aku tidak ingin disamakan dengan keledai. Karena itulah mulai saat ini–mungkin—aku akan mengukir prestasi-prestasi lain yang pastinya sangat berat untuk kulakukan.
Kim Jaejoong, fighting!
.
.
.
Buatkan aku biskuit aroma jeruk. Ditambah kopi panas dengan sedikit krim lebih enak.
Rasa menyesal menyelimuti diriku ketika mengirim pesan 'Aku namja yang kesepian' kepada Changmin, teman baikku yang juga sepupu Yunho. Lihatlah balasannya! Ia merampokku! Meminta ini itu pada seorang namja yang tengah dilanda penderitaan(?) hebat.
Apa? Kau bilang hanya karena biskuit dan kopi bisa disebut merampok? Kau belum tau seberapa banyak makanan yang bisa masuk ke dalam perut karetnya itu. Aku bahkan tidak menjamin dia tidak meminta yang lain.
"Jaejoong hyuuuuung~"
Nah, datang juga namja tiang itu, padahal belum sampai 15 menit sejak ia membalas pesanku. Ia bahkan masuk begitu saja ke dalam apartemenku tanpa basa-basi dan langsung mencomot biskuit aroma jeruk yang baru saja kusajikan di meja beberapa detik lalu.
"Tidak hangat."
Aku mendelik mendengar komentarnya ketika memakan cookies buatanku, seharusnya ia berterima kasih telah kusisakan biskuit kemarin sore itu untuknya, "jangan terlalu berharap terhadap sesuatu yang mustahil, Changmin ah."
Namja yang lebih muda dua tahun dariku itu hanya membalas dengan gumaman karena mulutnya dipenuhi makanan hingga sesekali remahan cookies keluar dari sela bibir tipisnya. Sementara dia melakukan kegiatan kesukaannya –makan—aku menyeduh air panas untuk membuat kopi pesanannya. Di tengah kesibukan kami, aku mulai bercerita. Mulai dari Yunho yang pergi meninggalkanku, Yunho yang menginap dengan teman-temannya yang mayoritas adalah wanita, dan Yunho yang sudah seminggu ini tidak memberi kabar padaku, membalas pesanku pun tidak.
"Ada makanan lain? Aku masih lapar."
Suara Changmin terdengar. Kepalaku menoleh secepat kilat ke arah ruang tamu yang memang terlihat dari dapur dimana aku sedang berada. Pandanganku mengikuti pergerakan Changmin yang menghampiriku dan berdiri di sisi kananku dimana ada kulkas di hadapannya. Ia membuka lemari es satu pintu itu dan seketika mata dan mulutnya terbuka lebar demi melihat isinya. Dengan tangan panjangnya, ia mengambil coklat batang dan menutup kulkas.
"Banyak bahan makanan yang kau punya. Setidaknya buatkan aku telur gulung, hyung. Untuk tambahan makan siang."
Aku menggeretakkan gigiku seraya memegang lengan teko berisi air panas dengan erat. Rasa-rasanya ingin sekali menuang isi teko ini tepat ke wajah tampan Changmin.
"Mungkin disana susah sinyal, hyung. Lagipula, dia mencintaimu yang berarti orientasi seksualnya berbeda. Jangan terlalu cemas seperti itu."
Ucapan Changmin barusan seketika membuatku terharu. Kalimat bijak seperti itu terkadang terucap dari bibirnya ketika aku berkeluh kesah padanya. Membuat namja yang sudah kuanggap dongsaeng itu terlihat lebih dewasa dari usia sebenarnya.
"Kau benar. Changmin ah, i love you." Aku menghampirinya yang sedang duduk di sofa ruang tamu dan hendak memeluknya. Namun jari telunjuk Changmin dengan tidak sopannya menoyor keningku untuk menjauh.
"Aku tidak suka namja."
Begitu katanya ketika menolak untuk dipeluk, aku berdecak, "lalu Kyuhyun bagaimana?", aku menyinggung seorang teman satu sekolahnya yang juga berkelamin sama seperti kami.
Tepat setelah aku bertanya seperti itu, Changmin langsung meraung. Pertemuan kami yang seharusnya diisi oleh pembicaraan mengenai 'betapa menderitanya aku merindukan Yunho' menjadi 'sesi curahan hati oleh Shim Changmin'. Oh, Tuhan! Aku menyesal, sungguh sangat menyesal.
.
.
.
Sesuai saran Changmin dan dengan menahan semua kekesalan dalam diriku yang menumpuk, aku memutuskan pergi ke game center. Meski hari sudah hampir beranjak malam, tetap tidak menyurutkan keinginanku itu. Lagipula, aku butuh pelampiasan atas semua keping-keping kesabaran yang susah payah terkumpul.
Dan sekali lagi, sesuai saran Changmin, aku terpaksa mengajak Junsu yang katanya sangat mengantuk dan kini tengah tertidur di kursi penumpang di sebelahku. Changmin bilang, jika tidak ada Yunho, sikapku tak ubahnya wanita-wanita yang menjajakan dirinya kepada pria-pria berdompet tebal. Sialan Changmin. Dengan mudahnya dia berkata seperti itu ketika aku akan mengajak Hyunjoong, Yamashita, Gunseuk, atau Seunghyun untuk bermain bersama. Meski Junsu juga namja, tetapi –lagi lagi—Changmin bilang bahwa, setidaknya aku dan Junsu sejenis. Ck, apa maksudnya?
Mobilku berhenti di basement salah satu mall yang memang sudah menjadi langgananku. Setelah melepas sabuk pengaman, aku membangunkan Junsu dengan menepuk-nepuk pundaknya cukup keras. Mungkin karena itulah ia menanggapiku dengan suara lumba-lumbanya yang meninggi hingga 5 oktaf.
"Pergi saja sendiri dan tinggalkan aku disini! Aku sangat mengantuk, hyung!"
Tepat setelah meneriakiku, ia kembali tertidur. Aku berhenti mencoba untuk membangunkannya. Kuputuskan menelepon Yoochun, kekasihnya yang juga teman baikku untuk menjemput namja imut di sampingku ini. Meninggalkannya disini sementara aku bermain itu sangat tidak mungkin, Junsu bisa dehidrasi.
"Kau sudah tau dia sangat mengantuk tapi tetap memaksanya menemanimu?!"
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku mendengar teriakan untuk yang kedua kalinya dari sepasang kekasih itu. Namja bersuara husky di seberang sana masih berbicara panjang lebar yang intinya hanya menyudutkanku saja. Bahkan dengan jarak sejauh itu –tanpa loudspeaker- aku masih bisa menangkap maksudnya dengan jelas.
"Waktu tidur siangnya terganggu karenamu."
Suara Yoochun terdengar memelan dan setelah itu ia tidak lagi berbicara. Merasa memiliki kesempatan untuk berbicara, aku segera meminta maaf dan meminta tolong agar Yoochun menjemputnya. Pasalnya aku sudah terlanjur disini dan tidak mungkin mengantarnya kembali ke rumah.
.
.
.
Kilatan pistol laras panjang yang terlihat seperti aslinya itu terpantul di layar permainan menembak. Aku menggenggamnya erat sejajar dengan dadaku dan bersiap dalam posisi membidik layar. Permainan ini sangat cocok untuk mengekspresikan keadaanku sekarang. Harus kau ketahui, aku ahli dalam menembak.
Kutekan tombol start untuk memulai permainan. Tanganku kembali memegang pistol mainan itu erat dan mataku memicing melihat pembukaan permainan itu sebelum ronde satu dimulai. Tak lama tulisan round 1 muncul di layar kemudian segera digantikan dengan sebuah ruangan yang tampak akan hancur. Di balik dinding yang sudah terkelupas catnya itu muncul seseorang berseragam yang juga membidik ke arahku –musuh.
BANG!
Untuk Junsu yang seperti beruang hibernasi ketika tertidur. Bahkan waktu tidur siangnya lebih lama dari seharusnya hingga tak bisa menemani aku, sahabatnya untuk bermain bersama. Padahal dia selalu menyombongkan diri betapa hebatnya ia dalam game apapun.
BANG!
Untuk Yoochun, soulmate-ku yang seharusnya mengerti keadaanku yang mengenaskan, tapi malah memarahiku hanya karena membawa pergi Junsu yang tengah mengantuk. Ia bahkan mengikuti kekasihnya itu meneriakiku.
Tibalah aku pada akhir dari setiap ronde yang selalu ada musuh dengan bom di tangannya dalam jumlah banyak di dalam sebuah tank, hingga aku harus bergerak cepat dalam menginjak-melepas pedal di bawah untuk membangun perisai pertahanan.
BANG BANG BANG BANG BANG!
Untuk Changmin yang selalu saja tak pernah bisa kukalahkan dalam hal apapun. Tak terhitung berapa banyak ia menindasku dengan perkataannya bahkan perbuatannya. Kekerasan secara verbal dan fisik, yang kami sebut dengan one touch. Mengingat pertemuan kami tadi siang benar-benar membuat amarahku memuncak. Aku sudah menyiapkan makanan dalam jumlah banyak sebagai tanda terima kasih untuk Changmin karena mau menemaniku, tapi ia malah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan menceritakan kisahnya dengan Kyuhyun yang katanya memilukan itu, aku sangat rugi! Ketidakberdayaanku menghadapi bocah satu itu menambah daftar kekesalanku menjadi panjang. Belum lagi Yunho yang membuatku uring-uringan.
"AAARGH~"
Pemandangan di layar yang menunjukkan nyawaku tinggal 1 membuatku terperanjat, berteriak frustasi karena lupa melepas pedal untuk membangun dinding perisai. Kenapa jadi begini? Padahal biasanya aku bisa lolos hingga ronde kelima tanpa kehilangan nyawa sedikitpun.
SET
"Bukan begitu caranya, Jae. Lihat aku."
Aku mengerjapkan mataku tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang ini. Seorang pria tampan dengan balutan sweater cream yang sangat kurindukan ada di sampingku. Merebut pistol mainan dari tanganku dan mulai melanjutkan permainan. Memperlihatkan keahliannya dalam membidik musuh.
Suara bising yang ditimbulkan oleh mesin game ini seolah tak terdengar olehku. Aku sibuk memikirkan bagaimana kekasihku bisa dengan seenaknya datang kesini tanpa rasa bersalah setelah meninggalkanku begitu saja dan tidak pernah ada kabar. Jika aku yang dahulu sangat menyebalkan karena selalu minta diberi kabar setiap jam sekali—kemudian ia merasa terbebani, tapi untuk yang satu ini aku tidak terima. Tak ada toleransi! Sedikitpun!
"Mainkan saja sendiri.", dengan cepat aku berbalik untuk kemudian berlalu pergi. Meninggalkan area game center. Biasanya seorang pria, ah maksudku seorang seme akan mengejar uke-nya ketika pergi karena merajuk, tapi itu tak akan terjadi. Aku sangat tau sikap Yunho yang cuek –mungkin juga muak—jika aku seperti ini. Biarlah, toh aku sudah terbiasa.
"Jae, tunggu aku.", panggilnya.
Aku berhenti, menoleh kemudian sedikit memicingkan mata, meneliti penampilan Yunho secara keseluruhan. Baru kusadari penampilannya sedikit err.. bisa dibilang sangat lusuh–meski masih terlihat tampan di mataku. Ditambah tas ransel besar di punggungnya. Aku tidak melihat tas itu ketika ia bermain tadi.
"Tasku tadi dititipkan." Katanya, seolah memahami kebingunganku.
"Kau tau aku disini?", tanyaku. Kami berjalan beriringan.
Ia mengangguk, "dari Yoochun. Aku langsung kesini begitu kembali ke Seoul."
Oh manisnyaa~ menemui kekasihnya langsung tanpa pulang terlebih dahulu. Lalu aku akan terkesan? Hmm, sama sekali tidak! Perlakuan manis itu tak dapat mengalahkan keresahan menunggu kabar darinya selama seminggu. Lihat, ia malah tersenyum dengan tampang bodohnya tanpa meminta maaf sama sekali.
"Pulanglah.", kataku. "kau pasti sangat lelah. Aku juga ingin pulang. Beristirahat."
"Jangan tinggalkan aku, Jae." Seketika aku berjengit kaget ketika lengannya melingkari bahuku, membuat tubuhku merapat dengannya. "aku ikut pulang bersamamu." Pintanya kemudian.
"Wae? Mobilmu?", aku menatapnya dan ia membalasku kemudian tersenyum.
Ia sedikit menggerakkan tangan kanannya yang bebas, pergerakan yang terlihat kaku. "aku terkilir. Dongho yang membawa mobilku dan mengantarku kesini."
Tiba-tiba terbersit rasa bersalah jauh di sudut hatiku. Hanya sedikit, sungguh. Aku tak berpikir untuk menyalahkan diriku lebih jauh. Egois? Terserah. Kau sudah tau pasti bagaimana sifatku.
"Sini. Biar kubawakan." Kataku seraya mengambil alih tas ransel dari punggungnya. Sesekali ia memberontak kecil, mengatakan padaku bahwa ia baik-baik saja. Tapi aku yang cukup kuat dan kondisi tangannya yang terkilir itu membuatnya mengalah. Aku memanggul tas itu di pundakku kemudian berjalan lebih cepat diikuti olehnya. Aku menghela napas berat, mencoba menetralkan emosi. Tak ingin membahas dulu masalah 'tak ada kabar darinya' sekarang. Lagipula, rasanya tak elit bertengkar di tempat seperti ini. Apalagi dengan keadaannya seperti itu, aku bisa saja kalah telak sebelum menabuh genderang perang. Sifat keibuan yang kumiliki –kata Changmin membuatku mudah bersimpati.
.
.
.
Meski Yunho terus mengajakku bicara, fokusku terhadap jalan tetap bisa kukendalikan. Atmosfer kemarahan yang menguar dari diriku berangsur-angsur hilang karena harus berkonsentrasi terhadap mobil yang tengah kukendarai. Mengemudi dalam keadaan emosi itu sangat tidak keren. Yaah, meski harus kuakui tidak sepenuhnya aku menanggapi Yunho. Terkadang aku hanya bergumam dan mengangguk. Tapi pembicaraan mengenai 'kamar menginap' membuat atensiku cukup teralihkan.
"Aku putuskan tidur di kamar eomma." Katanya. "meski ia sempat menolak karena takut aku tertular."
Eomma Yunho? Menginap? Kurasa aku belum mendengar mengenai beliau yang ikut liburan bersama Yunho sebelumnya.
"Eommoni ikut denganmu?", tanyaku. Masih fokus menatap jalan.
"Hei, kau tidak mendengarkanku pasti. Aku menginap di Gwangju. Tempat perkemahanku tidak jauh dari rumah."
Seketika aku tersenyum. Sedikit menyesal menanggapinya dengan setengah hati tadi, hingga tak mendengar kabar baik itu. Dalam hati aku bersyukur karena dengan begitu, godaan untuk Yunho berselingkuh setidaknya berkurang.
Sudut mataku memperhatikan Yunho yang terlihat menghela napas.
"Kuharap eomma baik-baik saja."
Ah, benar. Eomma Yunho. Aisssh aku terlalu memikirkan mengenai liburan Yunho hingga sedikit mengesampingkan fakta bahwa beliau sedang sakit. Kurasa ketakutanku ditinggal olehnya mengalahkan rasa peduliku. Seharusnya aku tak boleh begini.
"Eommoni sakit apa? Lalu bagaimana dengan abeoji dan Jihye?", tanyaku.
"Demam, mungkin kelelahan. Mereka baik."
Aku menginjak pedal rem ketika melihat lampu merah di perempatan. Kugunakan kesempatan itu untuk melihat ke samping. "Syukurlah. Semoga eommoni lekas sembuh.", kataku diakhiri senyuman.
"Lalu kau tidak menanyakan keadaanku?"
"Ye?"
"Sedari tadi kau hanya menanyakan keluargaku."
Mendengar ucapan yang terlontar darinya barusan membuatku tertawa lepas. Ucapan yang lebih seperti keluhan itu sangat kekanakan menurutku. Ia cemburu bahkan pada keluarganya sendiri? Jung Yunho, yang benar saja.
"Kau bercanda? Aku sudah melihatmu baik-baik saja di depan mataku.", kataku setelah berhasil mengendalikan diri, meski masih terkikik sesekali. Terlihat dari bahuku yang berguncang.
"Maaf, bukannya tidak memperhatikanmu. Kau sudah ada di hadapanku dan baik-baik saja."
"Aku tidak peduli! Pertama kali bertemu setelah libur sekolah, kau malah menanyakan orang lain!"
Seketika aku menelan ludah gugup. Suatu kejadian terlintas begitu saja di kepalaku. Kejadian yang sama persis seperti sekarang ini. Bedanya adalah saat itu akulah pihak yang merasa cemburu. Hanya karena pagi hari ketika ia datang ke sekolah dan melihatku, ia menanyakan teman satu ekskulnya yang juga teman sekelasku untuk menanyakan jurus taekwondo baru yang lupa dihapalnya. Jika aku merasa sikap Yunho kekanakan, apakah dulu dia juga berpikir seperti itu?
"Lampunya sudah hijau, Jae."
Sontak aku beralih menatap ke depan dan melirik kaca spion.
TIIIIN TIIIN
Menyadari mobil-mobil di belakangku mungkin akan mengamuk jika aku tak segera menyingkir dari hadapan mereka, aku langsung tancap gas. Kulirik sebentar Yunho di sampingku yang sempat mematung karena terkejut. "Maaf. Setelah ini, ayo kita obati lukamu. Sekalian kubuatkan makan malam.", kataku, tepat setelah itu ia tersenyum.
Yunho ah, tadi kau bermaksud mengingatkanku, kan? Maaf, dan terima kasih telah mengerti. Kumohon setelah ini, jangan tinggalkan aku lagi. Jika sikapku yang menyebalkan ini sudah melewati batas, segeralah menegurku.
.
.
.
Menghabiskan liburan dengan cara yang berbeda membuatku merasa sangat merindukan Yunho. Aku ikut kursus memasak sementara Yunho menyukai kegiatan berupa petualangan, seperti berkemah di Gwangju minggu lalu. Setelah kembali berhubungan, kami bahkan tidak pernah kencan di libur semester ini. Meski sering kali bertemu dengan teman yang lain, tapi aku tidak bisa menyebut itu kencan. Definisi kencan menurutku adalah bersenang-senang bersama Yunho, berdua saja.
Seperti sekarang ini, kami menyempatkan waktu untuk makan siang bersama di kantin kampus. Sulit sekali mencari waktu luang untuk dihabiskan bersama. Karena sudah memasuki semester baru, kami disibukkan oleh kuliah. Apalagi kami mengambil jurusan yang berbeda.
"Aku bertemu dengan Eunjae di acara reuni SMP. Dia ingin bertukar nomor telepon."
Akibat dari kegiatan liburan kami yang berbeda, aku bertemu mantan kekasihku ketika SMP. Bukannya terlalu percaya diri, tapi pria itu menunjukkan gelagat ingin bersamaku lagi. Terlihat dari caranya memandangku ketika itu, terlebih ia meminta nomor teleponku. Tapi sekarang aku punya Yunho, kurasa kekasihku berhak tau hal ini. Dulu, aku yang memutuskan boleh atau tidaknya Yunho menyimpan nomor telepon wanita yang dekat dengannya. Meski pada akirnya kularang semua, yang terlanjur ada, akan kuhapus.
"Berikanlah. Akan bagus tetap menjalin hubungan dengan teman lama."
Jus pisang Yunho—ani, jus pisang ambon(?)—yang sedang kuminum terhenti di tenggorokanku, aku tersedak. Apa katanya? Dia mengizinkan aku dan Eunjae bertukar nomor telepon? Apa dia tidak takut aku meninggalkannya dan kembali pada Eunjae? Kau akan menyesal jika aku kembali padanya, Jung Yunho. Jangan menangis jika melihatku berdua dengan Eunjae, bermesraan!
T to the B to the C
