Note: Pertama kali bikin karya di fandom ini… welcome me? :3
Cerita beginian emang udah sering dibuat sih, tapi ane mau coba buat versi ane sendiri ah…
VOCALOID © Crypton Future Media
Tales of Evil
Chapter 1: The Daughter of Evil
"Lihat, Len! Aku buatkan ini untukmu!"
Seorang gadis kecil berlari ke arahku, mahkota dari karangan bunga erat di genggamannya. Senyum menghiasi wajah kecilnya.
Aku menatapnya, membalas senyumannya. Aku berniat mengatakan terima kasih, tapi, seakan tidak ingin menerimanya, ia meletakkan mahkota itu di atas kepalaku seraya tersenyum.
"Aku rasa Len cocok memakainya!"
Aku hanya bisa membalas senyumnya.
Ia menunjukkan seringai manis padaku sebelum berlari menjauh ke arah taman. Aku menyentuh mahkota bunga di kepalaku. Lembut. Bunga yang terasa dingin menandakan kalau mereka baru saja dipetik beberapa saat lalu.
"Kejar aku, Len!"
Aku mendengarnya memanggilku sambil berputar di atas bukit, tawa lepasnya menggema di seluruh taman. Sesuai keinginannya, aku berlari mengejarnya ke balik gundukan bukit.
Aku mendengar kedua orangtuaku bertengkar. Aku mendengar berbagai kata-kata kasar yang tidak seharusnya kami dengar terlontar dari bibir mereka. Aku hanya ingin mereka menemani kami tidur. Aku takut, sangat takut.
Aku memeluk Rin dengan erat, menahan tangisku sebisa mungkin. Keadaan saudara kembarku tidak lebih baik dariku. Isakan tangisnya yang tertahan terdengar sangat jelas, sangat menyakitkan. Kedua tangan kecilnya menggenggam pakaianku dengan erat, begitu erat sampai jari-jarinya memutih.
"Ini seharusnya tidak boleh terjadi! Semua ini gara-gara kau membiarkan kedua anak itu tetap hidup!" Aku mendengar ayah berteriak.
"Bukan salahku!" Ibu membalas. Suaranya terdengar bergetar, tapi tetap tegas. "Orangtua macam apa aku ini kalau sampai tega membunuh darah dagingku sendiri?"
"Kau terlalu baik! Bagaimana nasib negeri ini kalau sampai memiliki dua penerus? Kau tahu itu terlarang!"
"Hanya itukah yang kau pikirkan?"
"Aku memikirkan nasib negeri ini, nasib kita berdua!"
"Tanpa memikirkan nasib nyawa seorang anak yang tak berdosa, nyawa anakmu sendiri?"
Tangisan Rin semakin keras. Aku berusaha menenangkannya. Ayah dan ibu tidak boleh sampai mengetahui keberadaan kami di sini, menguping pembicaraan mereka.
Aku nyaris tidak memercayai pendengaranku saat mendengar pukulan keras. Aku mengintip melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat untuk memastikan. Ayah menampar ibu, sangat keras sampai meninggalkan bekas kemerahan di wajah cantik ibu.
"Dasar perempuan kurang ajar!"
Rin tidak sanggup menahan tangisnya lagi. Aku pun tidak ingin mendengar lebih dari itu. Dengan cepat aku menarik lengan saudara kembarku, berlari menyusuri lorong istana yang hanya diterangi cahaya bulan, berusaha bergerak sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara yang akan membagunkan seisi istana. Aku membawanya kembali ke kamar kami, menimbun diri dalam kehangatan selimut, menutup telinga kami dengan bantal, dan berharap kalau saat terbangun keesokan harinya semua ini hanyalah mimpi.
.o.o.o.
Aku terbangun dengan sentakan. Sinar matahari pagi merebah melalui celah di tirai jendela kamar. Aku mengerjap beberapa kali untuk menghilangkan perih dan sembabnya mataku.
Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku bangun terlambat. Dengan gerakan cepat, aku terduduk dan berdiri dari tempat tidur, bergegas untuk bersiap-siap memulai kesibukanku di hari yang baru ini.
Walaupun aku yakin itu semua akan dimulai dengan omelan dan bentakan dari Tuan Putri.
"Selamat pagi, Len! Bersiaplah menerima amukan Tuan Putri!" Koki istana menyapaku, seperti biasa dengan cara bicaranya yang agak urakan.
Aku hanya tersenyum padanya, walau dalam hati ingin sekali aku melayangkan tinju tepat di wajahnya.
Berlari menyusuri lorong-lorong istana yang panjang dan serasa tidak ada habisnya, aku terus berharap kalau kemarahan Tuan Putri tidak akan sebesar yang dikatakan koki istana. Aku mengetuk pintu ruangan dimana penguasa negeri ini bertahta, duduk dengan megah diatas singasananya. Terdengar jawaban kasar dari dalam ruangan. "Masuk, dasar lamban!"
Aku mulai panik mengetahui kalau sang Putri mengenaliku hanya dari ketukan pintu, dan melangkah ke dalam dengan cepat. Aku berlutut di hadapan seorang gadis berambut keemasan, yang umurnya tidak lebih dari 14 tahun, Rin Kagamine, penguasa termuda dalam sejarah negeri ini.
Adik kembarku.
Aku merasakan tatapannya yang tajam tertuju padaku. "Maafkan aku, Yang Mulia."
Ia hanya mendengus kesal dan mengalihkan pandangan dariku. Setidaknya ia tidak mengomel seperti dugaan koki istana.
Aku mendesah pelan, sangat pelan sampai aku yakin ia tidak mendengarnya walaupun jarak antara kami tidak begitu jauh. Kami adalah kakak beradik yang dilahirkan dalam keluarga bangsawan kerajaan. Sebetulnya itu bukanlah masalah, melainkan sebuah anugerah. Yang menjadi malapetaka adalah fakta bahwa kami adalah anak kembar.
Kerajaan ini melarang adanya dua penguasa di waktu yang bersamaan, karena itu memiliki anak kembar sebagai penerus kerajaan adalah sebuah kutukan. Saat kami berumur 7 tahun, ayah dan ibu kami memisahkan kami dan kami dididik dengan cara yang berbeda. Ayahku membawa Rin dan mendidiknya untuk menjadi ratu penerus kerajaan menggantikan dirinya dan ibu, sementara aku dididik sebagai pelayan dari tuan putri, yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik kembarku sendiri.
Kini, kedua orangtuaku yang telah tiada akibat perang dengan negeri tetangga beberapa tahun lalu telah digantikan. Karena itu, disinilah aku berlutut, di hadapan saudara sedarahku sendiri, Sang Ratu, sebagai pelayan setianya seumur hidup. Beginilah cara nasib mempermainkan kami.
"Aku ingin jalan-jalan," ia berkata dengan nada acuh tak acuh. "Siapkan Josephine, bersihkan ia dengan hati-hati. Kalau sampai ia terluka atau kotor, aku akan memenggalmu."
Aku mematuhi perintahnya dan bergegas ke taman untuk mengambil Josephine, kuda putih kesayangan Tuan Putri. Kuda itu adalah pemberian ayah sebagai hadiah ulang tahun kesepuluhnya.
Josephine meringkik senang saat melihatku. Kuda itu jinak, tapi hanya padaku dan Rin. Ia pernah nyaris menendang tukang kebun saat ia berusaha mengelus kepalanya.
"Apa kabar, Josephine?" Aku mengelus surainya dan menepuk lehernya. "Tuan Putri ingin menikmati harinya denganmu, sebaiknya kau bersiap-siap."
Seakan mengerti perkataanku, kuda putih itu meringkik sekali lagi. Mata hitamnya berbinar menatapku. Aku mengeluarkannya dari kandang dan membersihkannya sebelum memasang pelana dan tali kekang, dan kemudian menuntunnya ke gerbang depan dimana Rin menunggu kedatangan kami berdua dengan tidak sabar.
Satu hal lagi yang membuat perbedaan diantara kami adalah bahwa Rin tidak ingat kalau kami bersaudara. Ia tidak ingat kalau aku adalah saudara kembarnya, keluarga sedarahnya yang selalu menemaninya bermain saat kecil dulu. Mungkin itu akibat pelatihan ketat dari ayah, tapi aku tidak tahu dan aku tidak ingin tahu. Rin dilatih dengan keras dan ia selalu menderita selama ini. Saat ini, kebahagiaannya sudah cukup bagiku.
Aku menemani Rin berkeliling istana seharian. Memang tidak banyak yang bisa dilihat, karena sebagai orang terpenting di negeri ini Rin dilarang berkelana di perkotaan dan di hutan, membatasi dunianya sebatas tembok istana, tapi ia selalu menikmati saat-saat bebas seperti ini. Ia senang memperhatikan keadaan di lingkungan, seperti kupu-kupu atau kumbang yang terbang dan hinggap di bunga-bunga, atau ikan-ikan di kolam. Aku pun ikut menikmatinya, karena di saat-saat seperti inilah aku dapat melihat senyum tulus di wajahnya, bukan kerutan kesal yang selalu terukir di wajahnya jika berada di dalam istana.
"Len," ia memanggilku seraya tersenyum, raut wajahnya tidak terbaca. "Kalau seandainya aku terlahir kembali, mungkinkah aku terlahir sebagai kupu-kupu yang begitu bebas?"
Aku hanya menatapnya dan tersenyum. Saat itu aku sadar, bahwa meskipun seluruh dunia berbalik dan melawannya, tidak peduli apa yang orang katakan, aku akan disana. Aku akan disana, berada di sampingnya, melindungi senyuman dan kepolosan itu.
To be continued.
Note: Sebenernya ini udah jadi 4 chapter, tapi postnya pending dulu ya… mau nyari feedback dari para reader-tachi~ :3
Review?
