Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Oliver Wood.

Rating: T

Cerita ini untuk Rise Star dan para reviewer.


"Siapa berani taruhan lima puluh Galleon emas? Aku yakin sampai detik ini, Hermione Jean Granger, penyihir brilian paling genius sepanjang sejarah Sekolah Sihir Hogwarts belum pernah merasakan manisnya ciuman pertama!"

Lavender Brown, gadis darah murni yang baru-baru ini menggondol gelar Ratu Gosip Gryffindor menyeringai geli di depan cermin. Tangan rampingnya bergerak sigap, mencocolkan ramuan masker lumpur di wajah cantiknya yang semulus pualam.

Mengamati bayangan rupa di kaca, Lavender melirik Hermione yang asyik menekuri buku teks Transfigurasi Tingkat Menengah. Di pangkuan Hermione, Crookshanks, kucing gemuk berkaki bengkok bergelung melingkar, mendengkur panjang pendek saat majikan perempuannya menggaruk kuping belakangnya.

"Aku rasa Hermione tidak tertarik pada hal romantis, Lav," Parvati Patil, sahabat karib Lavender bergumam dramatis, memusatkan konsentrasi pada aktivitas menghiasi kuku jemari kaki. Kegiatan merepotkan yang selalu dijalani dara berkulit hitam manis itu sebelum berbaring di peraduan. Malam ini, sesuai dengan suasana sukma yang berbunga-bunga, penyihir keturunan India itu memilih cat kuku bermotif hati yang bergerak hilang timbul jika terpapar sinar lentera.

"Oh, tidak!" Lavender melompat ke tengah-tengah ranjang Hermione. Lonjakan kerasnya membuat kasur melesak ke bawah sebelum melambung ke posisi semula.

Crookshanks yang merasa terganggu mendesis beringas sebelum menukik turun dengan sekali hentakan. Ekor sikat botolnya terangkat tinggi-tinggi, tanda akurat kalau kucing jantan pemarah itu sedang berada dalam kondisi hati super-jelek.

"Lavender Brown! Apa yang kau lakukan? Lihat, Crookshanks ketakutan," Hermione menggeleng kesal, menutup sampul buku berjilid tebal keras-keras. Merunduk, Hermione menjulurkan tangan, mencoba merayu si kucing muka penyok untuk segera kembali ke tempat tidur.

"Shuhh, biarkan saja kucing manja itu. Sudah saatnya ia keluyuran berburu tikus," usir Lavender enteng, kelima jarinya yang terawat rapi mengibas-ngibas tanpa henti.

Mendengus terhina, Crookshanks melesat meninggalkan kamar diiringi desahan panjang juragan perempuannya. Sebelum Hermione sempat memprotes, Lavender duduk bersila. Acuh tak acuh dengan lelehan masker lumpur yang membasahi seprai Hermione, gadis berkulit putih bersih itu mengacungkan telunjuk tepat ke hidung berbintik milik teman sekamarnya.

"Tak tertarik pada hal romantis? Mamamia! Jangan bilang kau juga tak berselera pada pria!" jari-jari lentik Lavender menari energik, diselingi kilatan nakal di sepasang mata bola atraktifnya.

"Humph," Hermione mendengus keras, menyingkirkan pustaka yang belum selesai dibaca ke atas nakas. Jika tak mengingat status Lavender sebagai pacar baru teman dekatnya, Ronald Bilius Weasley, Hermione pasti sudah mengelem mulut usil Lavender dengan lusinan mantra paten.

"Aku masih normal, Lavender. Aku juga naksir laki-laki seperti kalian."

"Syukurlah kalau begitu. Nah, tunggu apalagi? Cuma kamu satu-satunya gadis puber di Hogwarts yang belum menikmati ciuman pertama," Parvati menyindir pedas sembari memandangi jari kaki yang terhias indah dengan pandangan puas.

Sebenarnya, sesuai dekrit pendidikan, murid tahun ketiga belum diperbolehkan berdandan berlebihan. Namun, peraturan tinggal peraturan. Sejak awal didirikan, selalu ada siswi bandel yang nekat mengakali rambu-rambu tersebut.

Parvati misalnya.

Pelajar penggemar pelajaran Ramalan itu selalu mewarnai kuku kaki di malam hari dan menyembunyikannya di siang hari dengan kaus kaki. Terkadang, saudari kembar siswi Ravenclaw, Padma Patil itu menyembunyikan lukisan rajah tangan di balik selubung jubah panjang.

"Betul, Hermione. Jangan minder dengan penampilanmu yang serba pas-pasan. Aku yakin, para cowok pasti mau memandangmu dari sudut lain selain kutu buku sok tahu," sembur Lavender kurang ajar, pura-pura tak melihat delikan sewot Hermione yang tak terima disebut kutu buku tidak laku.

"Eloise Midgen yang berhidung miring serta raksasa jerawatan seperti Millicent Bulstrode saja sudah punya pacar. Mereka laku, Hermione! Laku!" jerit Lavender bersemangat, menjotos bantal bulu angsa Hermione sampai penyok.

Menaikkan alis hingga setinggi Kandang Burung Hantu Hogwarts, Hermione merebut bantal bersulam renda yang mulai mengalami gejala tepos dini. Menatap serius, manik mata cokelat Hermione melebar, memerhatikan Lavender dari ujung kaki hingga pangkal surai.

Dengan keseluruhan aset yang dimiliki, Lavender dipastikan tak kekurangan peminat. Dibekali mata seksi, rambut berkilau serta kulit cerah tanpa noda, tak salah kiranya jika Lavender dinobatkan sebagai salah satu idola sekolah paling disukai saat ini.

Begitu juga halnya dengan Parvati, Hermione membatin dalam hati.

Darah India yang mengalir deras membuat penyihir berambut hitam sepinggang itu dikaruniai kecantikan eksotis setara putri sultan. Tak heran jika setiap kali Parvati melenggang di koridor, lusinan pemuda Hogwarts dari berbagai angkatan setia mengekor seperti gerombolan hamba sahaya.

"Ini bukan masalah fisik, Lav. Aku tak pernah malu dengan penampilanku," kilah Hermione, menggembungkan kembali bantal yang gepeng dengan tebasan tongkat sihir.

"Sampai sekarang, aku belum berkencan karena pria yang aku suka tak tertarik pada masalah cinta," lanjut Hermione, merebahkan surai kusut masai di atas bantal.

"Gargoyle gundul!" Lavender memekik lantang, mengagetkan Hermione yang bersiap-siap terbang ke alam mimpi.

"Jangan-jangan cowok incaranmu homo, Hermione. Kutang Merlin! Aku harus menjauhkan Won-Won-ku darinya. Won-Won-ku yang berotot," desah Lavender histeris, mengelap wajah berlumpur dengan ujung selimut Hermione.

Mendengar erangan tak masuk di akal itu, Hermione hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Merampas selimut dari muka comel Lavender, Hermione buru-buru menutupi tubuh dengan kain bau lumpur tersebut.

Menutup mata serapat brankas Bank Sihir Gringgots, Hermione tak menggubris rengekan Lavender yang mendesaknya untuk membocorkan nama pemuda idamannya.

Kakak kelas yang sudah dicintainya sejak bertahun-tahun lalu...


Meringkuk di tribun penonton, Hermione merapatkan kelepak mantel sekencang mungkin. Menyipitkan mata melawan derasnya buliran hujan, gadis berambut semak belukar itu berjuang menonton jalannya pertandingan.

"Oh, Hermione. Harry sepertinya mengalami kesulitan."

Ginny Weasley, teman dekat Hermione yang sejak kecil mengagumi legenda dunia sihir, Harry James Potter berkomat-kamit gelisah. Mata cokelat kekuningan Ginny tanpa lelah menelusuri angkasa, mencari-cari sosok Seeker pujaan yang tengah berlaga di udara.

"Kalau begini terus, pertandingan bisa berlangsung berhari-hari. Badai hebat membuat Harry tak bisa menangkap Golden Snitch," keluh Ginny sedih, mengusap perlahan titik-titik air hujan yang mengguyur wajah.

"Aku punya gagasan bagus yang bisa memecahkan masalah rabun jauh dan penglihatan buram Harry. Tunggu sebentar di sini," Hermione melambaikan tangan dan berlari ke arah lapangan.

Tepat saat Hermione tiba di ujung lapangan, Kapten Quidditch Gryffindor, Oliver Wood meminta perpanjangan waktu. Rupanya, penyihir ganteng merangkap Kiper itu mencoba memanfaatkan peluang setipis apapun untuk memperbaiki konsentrasi Harry yang mulai anjlok ke titik nol.

"Gawat, Harry. Kalau begini terus, laga tak akan berakhir sampai malam," Wood mengeluh panjang, menggoyang-goyangkan rambut cokelat untuk mengeringkan rembesan air hujan.

"Aku tak bisa melihat Golden Snitch dengan jelas. Angin topan membuat lensa kacamata basah dan berembun," Harry menghela napas lelah, mengelap kanta kacamata bulat dengan ujung kostum.

Hermione yang kebetulan mendengar percakapan itu langsung menyela. Mengulurkan tangan, Hermione mendesak Harry untuk segera mencopot alat bantu penglihatannya.

"Aku punya ide hebat, Harry. Berikan kacamata itu padaku. Cepat!"

Wood yang baru menyadari kedatangan Hermione menoleh dan memandang tertarik. Manik cokelat emasnya mengamati Hermione yang menggigil kedinginan di balik mantel tebal.

"Impervius."

Sesaat setelah Hermione merapalkan mantra, lensa kacamata Harry langsung jernih seketika, terbebas dari tempelan noda serta tetesan air hujan.

"Nah," Hermione menyerahkan kembali kacamata yang sudah dimantrai ke tangan Harry yang menyeringai antusias. "Sekarang kacamata ini akan menolak air."

"Brilian," Wood berkata dengan suara serak. Tatapan dan gerakan tubuhnya seolah mengisyaratkan hasrat kuat untuk mencium Hermione.

Untuk sesaat, Hermione tercengang melihat kilat panas di mata emas kakak kelasnya. Menutupi rasa malu dan debaran jantung yang berdentum-dentum, Hermione buru-buru kembali ke tempat semula di tribun penonton.

Sesampainya di ujung tribun, Hermione menata deru napas dan raut muka. Sesekali, penyihir kelahiran Muggle itu bergumam pelan pada dirinya sendiri. Kebiasaan antik yang selalu dilakoni Hermione setiap kali dilanda kebimbangan batin.

"Jangan bodoh, Hermione. Jangan besar kepala dulu. Belum tentu dia ingin menciummu. Mungkin itu cuma imajinasi nakalmu saja."

"Hermione, ada apa? Lekas duduk dan merapat di sini," suara heran Ginny memotong diskusi Hermione dengan mata batinnya sendiri.

"Mmm... yah," tanpa banyak kata, Hermione menjejalkan pinggul di samping Ginny. Bergelung di bawah payung besar hitam yang dipegang sobat perempuannya.

"Lihat, Hermione. Harry terbang ke atas. Sepertinya ia telah menemukan Golden Snitch."

Hermione yang masih bergulat memikirkan reaksi Wood terperanjat kaget dan mendongak ke atas. Menatap langit tebal kelabu berselimut air hujan, tepat di saat Harry, salah satu sahabat baiknya meluncur ke bawah dari ketinggian ratusan meter.

"Oh, tidak! Harry!" Ginny dan Hermione berteriak kalut bersamaan. Lengkingan ngeri mereka bertambah nyaring saat lusinan Dementor, makhluk berkeropeng berkerudung hitam mengitari tubuh lunglai Harry.

Selain mengacaukan jalannya pertempuran, insiden penyerbuan tak terduga itu menggemparkan seisi stadion. Untungnya, di saat murid dan staf pengajar lain hanya menjerit tak berkutik, Kepala Sekolah Profesor Albus Dumbledore bergerak sigap.

Mengacungkan jari keriput ke udara, penyihir renta bermata biru jenaka itu melafalkan Mantra Arresto Momentum. Mantra yang dalam sepersekian detik efektif mencegah Harry bertubrukan langsung dengan bumi...


Merepet yang bukan-bukan, Hermione bergolak tak tenang di dekat ranjang Harry. Bolak-balik tak tentu arah seperti setrikaan kena sihir, Hermione mencoba menyaring desas-desus yang bergetar di sekelilingnya. Bisik-bisik seputar spekulasi kondisi Harry maupun kesehatan mental Wood yang langsung bersembunyi di ruang ganti pemain begitu duel dinyatakan selesai.

Tak lama kemudian, Harry membuka mata hijau cemerlangnya. Menggosok pangkal hidung yang masih menyisakan lendir busuk Dementor, Harry menanyakan nasib tunggangannya. Sapu balap Nimbus Dua Ribu yang terakhir kali dilihatnya terlempar ke pelukan pohon Dedalu Perkasa.

Dengan berat hati, Hermione membalurkan serpihan Nimbus Dua Ribu di atas pangkuan Harry. Kesedihan Harry karena ditinggal mati sapu balapnya mengusutkan benak Hermione. Pikirannya kian ruwet saat kakak kembar Ron, Fred Weasley mengumumkan fakta kalau Wood masih bersemedi di ruang ganti.

"Kapten masih di kamar mandi. Kami rasa dia mencoba menenggelamkan diri."

Meski anggota Quidditch Gryffindor yang lain mentertawakan kemungkinan Wood bunuh diri, Hermione tetap disandera keresahan mendalam. Menggigit bibir bawah, Hermione berjuang mengekang keinginan menghambur ke ruang ganti seperti banteng betina kesurupan.

Setelah hampir setengah jam menghibur Harry, Hermione dan Ron meninggalkan Ruang Kesehatan, bersiap-siap menyantap makan malam di Aula Besar. Belum genap sepuluh langkah, Hermione mendadak memutar arah, melaju terburu-buru ke Aula Depan.

"Hoi, Hermione. Mau ke mana?" Ron berteriak kaget, tak menyangka kalau sobat perempuannya memiliki kecepatan kaki di atas rata-rata.

"Aku ada urusan sebentar, Ron. Kau pergi saja duluan ke Aula Besar."

Pada mulanya, Ron berniat menyusul teman terdekatnya itu. Biar bagaimanapun juga, tak baik bagi anak gadis berjalan sendirian di luar ruangan pada malam hari. Namun, niat tulus itu batal setelah cacing perutnya melolong kelaparan. Menjerit-jerit minta diisi dengan sepanci gulai kaki.

"Hati-hati, Hermione. Jangan lama-lama ya! Malam sudah semakin larut!" pesan Ron, meneriakkan janji untuk menyisakan sebagian jatah hidangan malam untuk Hermione.

Menyeringai senang, Hermione mengangguk singkat sebelum melesat menuju ruang ganti Gryffindor. Tempat di mana pemuda idolanya diprediksi mati menenggelamkan diri...


Berdiri ragu-ragu, Hermione bergumam gelagapan di depan pintu. Berperang antara keinginan mendobrak masuk atau merayap kembali ke Aula Besar.

"Sadarlah, Hermione. Mungkin Wood tak segampang itu mati bunuh diri. Mungkin ia sudah balik dan tidur di kamarnya sendiri. Ingat, ini sudah satu jam lebih sejak pertandingan selesai," Hermione berbisik kepada dirinya sendiri, tak sadar saat pintu ruang ganti Quidditch Gryffindor berderak terbuka.

Tersentak, Hermione membalikkan punggungnya. Suara kesiap kagetnya kian kencang tatkala butiran mata cokelat hangatnya menangkap segurat pemandangan menyegarkan.

Oliver Wood, kakak kelas yang dipuja selama ini terpaku di ambang pintu. Di atas jubah sekolah yang kering dan wangi, rambut cokelat bersemburat emasnya sedikit lembap. Setiap helai halusnya menguarkan aroma sampo mint yang memabukkan.

"Hermione? Apa yang kau lakukan di sini?" Wood bertanya takjub, tangan kokohnya tanpa sadar menggosokkan handuk putih ke rambut basah yang menggantung lembut.

Berdeham samar, Hermione menelan ludah dalam-dalam, berjuang membasahi batang kerongkongan yang mendadak setandus padang gurun.

"Aku ingin melihat keadaanmu. Apa kau baik-baik saja?"

Wood tersenyum tipis mendengar tanggapan sarat perhatian itu. Binar mata cerahnya menyorot gembira, melelehkan siapapun yang beruntung melihatnya.

"Yah, aku baik-baik saja. Sedikit kesal dan sedih karena kalah dari Hufflepuff," gumam Wood, mendesiskan nama Kapten Quidditch Hufflepuff, Cedric Diggory di sela-sela repetan.

Menghentikan omelan sebalnya, sadar kalau keluhannya sedikit kekanak-kanakan, Wood melempar senyum memikat. Seringai seksi yang membuat mulut Hermione menganga selebar tanggul jebol.

Hermione semakin melongo saat menyadari arah pandangan Wood. Mata cokelat emas Wood bergerak naik turun perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit menyusuri sekujur tubuh kecil Hermione yang berselimutkan lumpur lapangan.

Mengumpat pelan, Hermione menyesali kealpaan menaburkan Mantra Scourgify untuk merapikan dan membersihkan diri. Berbalut jubah lepek, rambut kucel serta tampang kusut, Hermione yakin kalau penampilannya saat ini seratus persen menyedihkan, tak ubahnya seperti tikus got kecebur empang. Benar-benar bukan jenis penyihir yang layak berdekatan dengan pemuda semenawan Oliver Wood.

"Seharusnya saat ini kau ada di Aula Besar, Manis. Menghangatkan diri sambil menyantap makanan enak," Wood menggenggam pelan bahu Hermione. Gerakan akrab yang sedikit banyak membuat nadi Hermione berdetak lebih cepat dari biasanya.

Melepas jubah dengan cekatan, Wood menyampirkan kain hangat itu di sekeliling pundak Hermione yang berlepotan noda. Membelai halus kedua pipi Hermione, iris cokelat bercahaya Wood menyorotkan tatapan khawatir.

"Sebaiknya kita kembali ke asrama. Kau harus mandi dan berganti baju bersih secepatnya," Wood menepuk lembut pipi Hermione yang merona merah muda. Jemarinya bergerak ringan, membersihkan sejumput lelehan tanah yang bertengger di sana.

Menggandeng lengan Hermione, Wood menuntun adik kelasnya menuju Aula Depan. Tepat di undakan terakhir, perut Hermione melengking nyaring, membuat gadis bergigi besar-besar itu hampir mati saking malunya.

Terkekeh paham, Wood mengeratkan dekapan lengan. Bibirnya berbisik rendah di dekat daun telinga Hermione yang memerah.

"Sepertinya, acara bersih-bersih ditunda dulu. Jangan sampai kau kelaparan, Manis."

Selama perjalanan menuju Aula Besar, tempat di mana hidangan malam disajikan, Hermione dan Wood tak melontarkan satu potong kalimat pun. Sesekali, ujung mata mereka saling melirik. Saat kebetulan beradu pandang, kedua murid berbeda angkatan itu buru-buru memalingkan muka, menyembunyikan semburat warna merah di wajah masing-masing.

Tak melepaskan rengkuhan tangan, Wood mengantarkan Hermione ke meja makan Gryffindor. Saat itu, Aula Besar sudah dipadati murid berbagai asrama. Tapi, hanya segelintir siswa yang memedulikan genggaman erat Wood di lengan Hermione. Keapatisan yang bisa dimengerti mengingat selama ini Wood steril dari skandal seks maupun gosip percintaan panas.

"Err-my-knee, akhirnya kau datang juga," Ron bergumam dengan mulut penuh buntut ikan tongkol. Sisa-sisa buntut ikan yang belum tuntas dikunyah menyembur ke luar, mendarat telak di tangan Wood yang tengah menarik bangku untuk Hermione.

"Ron!" tegur Hermione galak, buru-buru mengambil kertas tisu dan membersihkan remah kunyahan dari tangan kekar Wood. Ron yang biasa diomeli Hermione hanya memutar bola mata sebelum melanjutkan mencucus telur mata sapi dengan ayunan garpu.

Tergelak pelan, Wood mengedipkan sebelah mata. Kerlingan manis yang membuat Hermione hampir menjatuhkan kertas tisu yang digenggamnya. Setelah menyelipkan sehelai ikal rambut Hermione ke balik kuping, Wood beranjak ke deretan bangku yang diduduki teman seangkatannya.

"Ssst, Hermione," Ron mencolek lengan Hermione yang termangu malu.

"Jubah siapa yang kau pakai? Besar amat."

Memandangi jubah yang menyelubungi tubuh, Hermione tersenyum merona. Mengangkat salah satu lengan jubah ke hidung, Hermione menghirup aroma kayu cendana yang menggetarkan jiwa.

Aroma yang identik dengan sosok pemuda pujaannya...

Saking fokusnya meresapi wangi maskulin itu, Hermione tak menyadari jika tingkahnya diamati sepasang mata cokelat keemasan. Tersenyum jantan, Wood mengangkat cawan jus labu kuning dingin, bersulang untuk gadis manis yang mulai mengusik ketenangan jiwanya...


Bulan Februari, jelang duel Quidditch Gryffindor melawan Ravenclaw.

"Benar-benar deh Wood itu. Dia nyerocos terus mengenai taktik melawan Ravenclaw. Katanya, aku tak boleh bersikap ksatria jika berhadapan dengan Cho Chang," Harry menggerutu dongkol, mencelupkan pena bulu ayam jago di botol tinta aneka warna.

"Cho Chang si Seeker mulus yang populer itu?" dengus Ron, mengaduh kesakitan tatkala cubitan ganas Lavender mendarat di lengan kanan.

Bergelayut lekat seperti bekicot di batu kali, Lavender memelototi pacar barunya. Sorot membunuhnya perlahan susut saat Ron tersipu malu, menjawil hidung mancung Lavender dengan ujung telunjuk.

"Aku kira Wood menyukai Cho Chang. Tapi, sepertinya mustahil ya. Kalau ia suka, tak mungkin Kapten kita mendesak Harry untuk menjungkirkan Cho dari atas sapu," Lavender balas mengelus pucuk hidung panjang Ron dengan telunjuk, tak sadar sama sekali kalau kesimpulan ngawurnya disambut delikan sengit Harry yang diam-diam menyimpan cinta mendalam pada gadis manis berwajah oriental tersebut.

"Wood tak mungkin naksir perempuan. Mungkin dia lebih suka mencium Bludger karatan ketimbang bibir perempuan," Ron berkomentar sok tahu, disambut anggukan sepakat Harry.

"Menurut Fred, selepas lulus dari Hogwarts, Wood berambisi masuk ke klub Puddlemere United. Jadi, sepertinya tak ada waktu bercinta baginya," lanjut Ron, tampak puas dengan prediksi tak berdasarnya.

Mengintip dari balik lembaran Buku Monster Tentang Monster yang meledak dan menyalak ribut, Hermione terdiam seribu bahasa. Meski Ron bersikeras menyatakan Wood tak punya waktu untuk menjalin kisah kasih di sekolah, Hermione berpendapat sebaliknya.

Kendati usai kejadian di kamar ganti itu Wood kembali menjaga jarak, Hermione yakin seniornya itu masih memiliki ruang untuk percintaan. Terbukti dengan getar ketertarikan yang seringkali muncul setiap kali mereka bertatap muka...


Laga final Quidditch Gryffindor versus Slytherin.

Padatnya bahan ujian membuat Hermione menyesali keputusan menyetujui pemakaian Pembalik Waktu yang diajukan Kepala Asrama Gryffindor, Profesor Minerva McGonagall.

Memang, di awal tahun ajaran ketiga, Profesor McGonagall mengizinkan Hermione memakai Pembalik Waktu untuk memborong berbagai mata pelajaran ekstra. Gara-gara bidang studi tambahan itulah hari-hari Hermione berlalu cepat seperti roket kelebihan bahan bakar. Membuatnya tak menyadari kedatangan hari pertandingan pamungkas Quidditch tahun ini.

Memikirkan laga final, kegalauan luar biasa menyerang Hermione. Maklum saja, tak lama usai pertarungan pemuncak, murid tahun ketujuh termasuk Wood akan meninggalkan Hogwarts untuk selama-lamanya.

"Apa yang harus aku perbuat, Crookshanks? Sebenarnya, aku ingin merasakan ciuman pertama dengan Wood. Tapi, sebentar lagi dia lulus dan mengejar karier sebagai atlet Quidditch," Hermione membocorkan mimpi terbesarnya, jemarinya terus menggosok bulu lebat kucing muka penyoknya yang mendengkur kekenyangan.

"Hermione, ayo kita segera ke lapangan," Ginny berseru penuh semangat, menarik tangan Hermione dengan kekuatan setara kuda nil gila.

Selama perjalanan menuju lapangan Quidditch, Ginny terus-menerus mengambil alih percakapan. Tanpa jemu menyatakan optimismenya mengenai hasil pertarungan terakhir tahun ini.

"Harry punya Firebolt, sapu balap paling mutakhir abad ini. Gryffindor pasti menang dan meraih Piala Quidditch," seru Ginny berapi-api, mata cokelat kekuningannya bersinar penuh pengharapan.

Tersenyum lemah, Hermione merespon kebahagiaan adik kelasnya. Manik cokelatnya terpancang lurus ke lapangan Quidditch yang mulai terlihat di depan mata.

"Kuharap begitu, Gin. Soalnya aku punya resolusi yang harus dituntaskan seandainya Gryffindor menang nanti."

Mendengar pengakuan tersebut, Ginny menghentikan ayunan pergerakan tungkai. Menatap Hermione lekat-lekat, tanpa tedeng aling-aling Ginny menyemburkan praduga yang disimpannya selama ini.

"Resolusi tentang Wood? Kau akan menyatakan cinta padanya jika Gryffindor jadi jawara?"

Pernyataan tepat sasaran itu membuat Hermione tak bisa berkata-kata untuk sesaat. Hermione benar-benar tak menyadari kalau juniornya mengetahui rahasia terdalam yang disimpan rapat-rapat.

"Bagaimana kau tahu aku menyukai Wood? Selama ini aku tak pernah bilang pada siapapun."

Mendecakkan lidah, Ginny memutar bola mata bening yang memikat. Menepuk lengan Hermione, dara berambut semerah pijar bara itu kembali berbicara.

"Aku tahu perasaanmu sebab kau menunjukkan gelagat sama sepertiku. Gelagat yang hanya diperlihatkan seorang gadis yang menyimpan cinta pada seseorang yang tak bisa diraihnya."

Memeluk erat Hermione, Ginny berbisik rendah di lubang telinga kakak kelas kesayangannya, "Aku doakan semoga semua mimpimu terkabul, Hermione. Kau pasangan yang cocok untuk Wood."

Ekor mata Hermione memanas, terbelenggu isak bahagia. Hermione tak menyangka adik kelasnya memerhatikan dan memedulikannya sejauh itu. Mengusap cairan air mata, Hermione membisikkan doa serupa untuk Ginny yang menyimpan cinta terpendam pada Harry.

Tersenyum menguatkan, dua sahabat dekat itu kembali melaju menuju lapangan Quidditch. Tempat di mana hasil pertarungan akan menentukan masa depan percintaan mereka...


Seperti yang sudah diprediksi, pertempuran antara Gryffindor versus Slytherin diwarnai aksi sikut dan kebrutalan membabi-buta.

Tak henti-hentinya punggawa Slytherin melakoni taktik kotor untuk menjatuhkan personel Gryffindor dari batang sapu. Beater Slytherin, Lucian Bole yang sekekar pendekar bahkan tega menghantamkan Bludger ke perut Wood yang berjaga di depan tiang gawang.

Hermione meraung tak terima menyaksikan aksi barbar tersebut. Untungnya, perut kencang Wood terbilang kuat sehingga lolos dari ancaman ketok magic di Ruang Kesehatan.

Berniat balas dendam atas kebiadaban yang menimpanya, Wood mengganti strategi pertandingan. Siasat jitu yang dalam waktu singkat membuat perolehan skor susul-menyusul dengan kecepatan gila-gilaan.

Di saat pertempuran berdarah mendekati titik didih, Harry berhasil merebut Golden Snitch, bola emas kecil penentu akhir pertandingan. Stadion meledak dengan sorakan kemenangan sewaktu Harry mengangkat tangan di udara. Mempertontonkan kepak sayap Golden Snitch yang terperangkap di antara genggaman jari-jemarinya.

Hermione seakan-akan dibutakan air mata bahagia menyaksikan kemenangan perdana Wood di turnamen Quidditch Hogwarts. Senyum Hermione semakin merekah sewaktu pemuda idamannya memeluk Piala Quidditch yang mengilap diterpa sinar mentari.

Malam itu, skuat Gryffindor merayakan keberhasilan mereka dengan berpesta semalam suntuk. Perayaan semakin membahana setelah duo kembar kocak Weasley, Fred dan George menjarah bertroli-troli manisan dari toko permen Honeydukes.

Setelah menari plus bernyanyi berjam-jam sampai kehabisan suara, satu persatu siswa Gryffindor kembali ke tempat tidur untuk meneruskan pesta di alam mimpi.

Di atas matras, bergulung dalam balutan selimut rajut, Hermione berguling-guling gelisah. Niatnya untuk mengungkapkan isi hati seusai pertandingan terpaksa terkubur sebab Wood selalu dikelilingi banyak pemuja. Entah itu para staf pengajar, personel Quidditch asrama lain maupun fans maniak yang berharap bisa mendapatkan secuil cinta dari sang idola.

Tak tahan dengan kegundahan hati, Hermione melompat dari tempat tidur. Melirik Lavender dan Parvati yang mendengkur ngorok tanpa henti, Hermione menyambar mantel tidur. Ketimbang terjaga sampai fajar, Hermione memilih mengerjakan perkamen tugas Rune Kuno di Ruang Rekreasi.

Sesampainya di Ruang Rekreasi yang sudah dirapikan kembali oleh peri rumah yang bekerja di Dapur Hogwarts, Hermione beranjak ke meja pojok ruangan, tempat di mana dirinya biasa mengerjakan lembaran tugas.

"Tak bisa tidur, Manis?"

Suara tenang Wood membuat jantung Hermione nyaris keluar dari katup. Menengok dari balik bahu, Hermione menatap Wood yang bersandar di salah satu sofa beledu.

"Umm, iya," Hermione mengutuki dirinya sendiri yang gelagapan seperti orang tolol di depan pria muda idamannya.

Bangkit dari posisi, Wood bergerak menghampiri Hermione yang tertegun-tegun. Ditinjau dari jubah dan seragam Quidditch yang melekat elegan di tubuh Wood, Hermione berani bertaruh kalau sedari tadi murid tahun terakhir itu belum beranjak dari Ruang Rekreasi.

Berdiri tegak di hadapan Hermione, Wood menyunggingkan seutas senyum lembut. Seringai mengundang yang membuat Hermione hanyut seperti korban banjir bandang.

"Kau belum mengucapkan selamat atas kemenanganku."

Hermione terbelalak mendengar ucapan tak disangka-sangka tersebut. Belum mengucapkan selamat? Apa maksudnya? Bukankah sesaat sebelum pesta kemenangan digelar ia sudah menyampaikan rangkaian suka cita?

"Aku sudah memberimu ucapan selamat. Tak ingat ya? Bersama-sama dengan Ron dan Ginny," urai Hermione, mengenang kembali pernyataan selamatnya yang menggebu-gebu.

"Itulah masalahnya, Manis," ujung bibir seksi Wood terangkat sedikit, suara merdunya menembus masuk ke relung kalbu Hermione.

"Aku berharap kau memberiku selamat secara pribadi."

"Pribadi?" gagap Hermione terbata-bata, terkejut dengan perubahan atmosfer di sekelilingnya. Hermione kian tersekat sewaktu matanya menangkap sorot posesif di iris cokelat emas Wood. Pandangan penuh gairah membakar yang tak pernah disaksikannya selama ini.

"Iya, secara pribadi," Wood mengulangi perkataan, terselip sedikit nada geli di suaranya.

"Kalau begitu selamat atas kemenanganmu, Kapten," Hermione akhirnya bisa memaksa pita suaranya bekerja dengan benar untuk mengucapkan kalimat selamat standar yang melekat di benak.

"Tidak cukup hanya dengan itu, Manis," Wood terkekeh geli, mata hangatnya bersinar nakal dalam keremangan Ruang Rekreasi.

Mulut Hermione membuka dan menutup saking terkejutnya. Merlin, ada apa dengan Wood malam ini? Tak biasa-biasanya pemuda pendiam ini bertingkah menggoda seperti sekarang.

"Tak cukup? Lalu apa maumu?"

"Aku menginginkanmu," tersenyum menantang, Wood meletakkan tangan di belakang kepala Hermione. Hembusan napas segarnya yang membius berdesir di ujung bibir Hermione.

"Sejak dulu aku menginginkanmu."

Selepas mengucapkan pengakuan itu, Wood mengulum dan memagut lembut bibir Hermione. Membuka mulut Hermione dengan jentikan lidah, perlahan-lahan Wood memperdalam ciuman manis memabukkan yang sarat luapan gairah membara.

Mengakhiri ciuman hangat yang panjang, sensual dan menggairahkan, Wood menatap wajah dara yang lebih muda empat tahun darinya. Sejak pertama kali mengenal Hermione, ia selalu dipusingkan dengan gejolak aneh yang mendera. Gelombang perasaan posesif yang mati-matian ditepis demi misi mempersembahkan trofi juara untuk kontingen asrama singa.

Kini, setelah ambisi itu terlaksana, Wood merasa hampa. Kekosongan hatinya kian parah setelah menyadari dirinya akan lulus dalam waktu dekat. Kelulusan yang berarti dirinya tak lagi bisa melihat wajah Hermione. Tak bisa lagi mendengar gelak tawa maupun meresapi keharuman aroma raga yang menggetarkan jiwa.

Hentakan kehilangan itu membuat Wood membuka pintu hati. Pelan tapi pasti mengakui dengan bersungguh-sungguh bahwa dirinya selama ini mencintai adik kelasnya.

"Itu tadi ciuman pertamaku. Rasanya memang manis seperti yang aku harapkan selama ini."

Suara malu-malu Hermione membangunkan Wood dari belitan imajinasi. Mengusap perlahan sudut mulut Hermione, Wood berbisik rendah sebelum melumat bibir Hermione dalam kecupan penuh gairah.

"Jika kau bersamaku, kupastikan ciuman selanjutnya juga akan terasa manis..."


Stadion Bodmin Moor Millennium, beberapa tahun kemudian.

"Ini Hermione, kue yang kau inginkan."

Tersenyum hangat, Ginny Weasley Potter menyerahkan sekantung kue kering ke tangan Hermione yang berselonjor santai di tribun keluarga.

"Maaf kalau merepotkan, Gin. Tapi, saat ini aku sangat ingin memakan kue buatan ibumu," Hermione balas tersenyum, mengambil sebungkus kue kering dengan penuh rasa syukur.

"Sudahlah, Hermione," Ginny menjatuhkan diri di kursi terdekat sebelum merenggangkan kedua lengan dengan gerakan elegan.

"Mum paham betul kondisimu saat ini. Tak baik menolak keinginan jabang bayi bukan?"

Mengusap perut dengan penuh kasih sayang, Hermione menghayati kebahagiaan yang membungkus diri, mensyukuri rangkaian mimpi indah yang berubah menjadi kenyataan.

Ya, seusai ciuman pertama di Ruang Rekreasi, mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Setelah Wood lulus dari Hogwarts, mereka setia menjalin romansa jarak jauh dan berkomunikasi intens melalui pos burung hantu.

Tak lama sesudah diwisuda, Hermione direkrut sebagai Healer atau tenaga penyembuh di klub Puddlemere United, tempat di mana Wood mengabdi. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, di pertarungan pamungkas Liga Quidditch Inggris-Irlandia, Wood melamar Hermione di depan jutaan saksi mata yang memadati stadion utama.

"Dan sekarang, sambutlah anggota Puddlemere United!" gelegar membahana membelah stadion, bercampur-baur dengan gemuruh tepuk tangan dan siulan para penonton.

Mendengarkan setiap nama personel tim yang dipanggil, Hermione mengilaskan senyum pengharapan. Memegangi perut yang membuncit, Hermione mencondongkan diri ke depan, bersiap-siap menyambut aksi suaminya yang selalu dilakukan sebelum dan sesudah pertandingan. Rutinitas mesra yang selama bertahun-tahun ini menjadi bahan gosip dan tontonan gratis bagi para pemirsa.

Duduk tenang di atas sapu balap, Wood melambai ke tribun keluarga. Setelah seluruh anak buahnya mulai berbaris rapi, Wood melesat ke arah Hermione yang tersenyum-senyum malu.

"Berikan aku ciuman keberuntunganmu, Manis."

Diiringi pekikan nyaring dan siutan melengking penonton, Wood menciumi bibir istrinya dengan posesif. Menyapukan ciuman manis untuk terakhir kali, Wood mengedip nakal dan kembali ke formasinya.

Sebelum peluit pertandingan ditiup, Wood melemparkan ciuman jarak jauh sembari berteriak lantang. Teriakan sarat nada kemenangan yang langsung disambut ledakan keriuhan membabi-buta.

"Seperti yang kujanjikan, Mrs Wood. Bersamaku, ciuman selanjutnya dan selanjutnya lagi akan tetap terasa manis."

Tak mengindahkan gemuruh iri penonton, Hermione balas melemparkan ciuman jarak jauh untuk suaminya.

"Betul sekali, Mr Wood. Bersamamu semua kecupan pasti terasa manis..."

TAMAT