KONOHA VILLAGE
Chapter 1. Prologue
Desclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Drama/Mysteri/Humor/Horror/Romance/Fantasi
Rating : T
Summary : Naruto bergabung dengan Akatsuki, Klub pemburu hantu di sekolahnya. Satu persatu misteri tentang Desa Konoha terungkap. Mulai dari misteri Hinata pengidap DID. Sai, pria misterius yang memiliki hawa dingin. Misteri kematian orang tua Sasuke. Hingga misteri besar tentang keberadaan Kushina yang tidak pernah Naruto temui selama hidupnya. (Drama/Mysteri/Humor/Horror/Romance/Fantasi)
Warning : AU/OOC/ Typo/ genre tiap chapter mungkin berbeda/ Update tidak menentu.
Chapter 1. Prologue
.
.
.
Desa Konoha yang terkenal dengan sebutan Desa Daun tersembunyi ini letaknya berada di kaki gunung yang terpencil. Namun jangan salah, meskipun terpencil tetapi desa ini mempunyai fasilitas yang lengkap seperti sekolah, rumah sakit, pasar, kantor polisi, bahkan sebuah stasiun kereta yang menyambungkan desa ini dengan desa lainnya. Hanya saja sekolah untuk tingkat menengah atas belum tersedia disini, jadi mereka harus pergi ke pusat kota untuk melanjutkan sekolah. Tapi dengan adanya kereta, tidak sulit bagi penduduk desa untuk bepergian ke desa lain bahkan ke pusat kota sekalipun. Namun desa ini memang terpencil dan jarang di kunjungi oleh penduduk lain, karena desa ini terkenal dengan keangkerannya.
Mitosnya, di gunung Konoha terdapat seorang Ratu Iblis yang dulu sering menculik para wanita untuk mengambil alih tubuh mereka. Kasus penculikan tersebut sudah berhenti sejak 17 tahun yang lalu. Konon katanya, Ratu Iblis sudah menemukan tubuh abadinya tapi ada juga yang menyebutkan kalau Ratu Iblis telah disegel di puncak gunung Konoha.
Ratu Iblis saat ini memang sudah tidak menerror Desa Konoha, tapi bagaimana dengan hantu-hantu lainnya? Tentu saja mereka masih berkeliaran dan mengusik kehidupan warga desa. Itulah sebabnya, tidak ada yang berani keluar rumah jika matahari sudah tenggelam. Kehidupan di malam hari seakan mati di desa ini. Semua orang berdiam diri di rumah mereka masing-masing.
-KONOHA VILLAGE-
"Aku sudah mendaftarkanmu ke Ho Akademi," ucap seorang pria berambut kuning memulai pembicaraan. Saat ini ia tengah menikmati sarapan pagi dengan putra sematawayangnya.
"Huh! Kenapa sih, ayah tidak bangun Highschool saja disini? Sekolah di pusat kota itu pasti merepotkan!" gerutu sang anak, yang sepertinya tidak terima bersekolah di pusat kota Negara Api.
"Membangun sekolah itu tidak mudah, Naruto. Di tambah lagi sekolah di pusat kota terasa lebih baik. Kau akan tahu bagaimana dunia luar," jelas Sang ayah yang menjabat sebagai kepala Desa Konoha.
"Masalahnya aku tidak suka naik kereta. Kalau aku terlambat sedikit saja, keretanya akan meninggalkan aku," ucap Naruto sambil menggembungkan pipinya. Anak yang kini tengah menginjak usia 16 tahun tersebut memang manja jika berurusan dengan ayahnya
"Ahaha, itu bagus untuk membuatmu lebih disiplin, Naruto. Jadi bangunlah lebih pagi agar kau tidak ketinggalan kereta."
"Anak-anak lain bangun lebih pagi karena dibangunkan ibu mereka!" Nada bicara Naruto sedikit meninggi.
"Ah, aku harus segera pergi, Kau baik-baik di rumah ya, Naruto," Minato bergegas mengambil koper hitamnya dan segera pergi. Sepertinya ia tahu kemana arah pembicaraan Naruto.
"Huh! Selalu saja begitu!" gerutu Naruto kesal. Yah, dia memang seorang anak yatim yang tidak memiliki ibu. Entah ibunya telah meninggal dunia atau bercerai dari ayahnya, ia tak pernah diberitahu. Setiap ia bertanya, ayahnya hanya mengatakan bahwa ibunya selalu menyayanginya. Dan setiap ia membahasnya, ayahnya selalu mengalihkan pembicaraan atau buru-buru pergi seperti sekarang ini.
Naruto melanjutkan sarapannya seorang diri. Menyedihkan memang, tapi ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, sendirian, dikucilkan dan dijauhi.
Sejak ia kecil, ia selalu disebut sebagai anak iblis. Ia tak pernah tahu apa alasannya, apa karna ia tidak punya ibu? Ataukah ibunya benar-benar iblis? Naruto tak pernah ambil pusing soal itu. Yang ia inginkan hanya diperlakukan seperti orang normal lainnya.
Ia sangat bersyukur ketika ayahnya diangkat menjadi Kepala Desa Konoha. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai berhenti mengucilkannya. Ia mulai disegani sebagai anak Kepala Desa Konoha. Namun sebagai akibatnya, ia tak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama ayahnya. Ayahnya selalu sibuk dengan urusan pemmerintahan, ditambah lagi setiap sabtu-minggu yang seharusnya menjadi hari libur, ayahnya gunakan untuk kepentingan rapat antar desa.
Jika waktu bisa berputar kembali, Naruto ingin memilih menjadi anak yang dikucilkan dan menghabiskan banyak waktu bersama ayahnya daripada menjadi anak kepala desa yang disegani tapi tetap kesepian.
Namun apapun jalan hidup yang Naruto tempuh saat ini bukanlah untuk disesali. Ia harus tetap bersyukur karena masih punya tetangga yang sangat perhatian padanya. Pemilik rumah yang ada disamping kiri rumah Naruto, keluarga Uchiha, sudah Naruto anggap seperti keluarganya sendiri.
Setelah selesai sarapan, Naruto mencuci piring kotor tersebut. Kemudian ia memutuskan untuk pergi keluar, ini adalah libur panjangnya sebelum masuk Ho Akademi. Naruto tentu saja tak ingin menyia-nyiakannya, ia berniat mengajak temannya untuk bermain atau sekedar jalan-jalan.
Naruto berdiri disebuah rumah besar bercat biru tua yang berada tepat disisi kiri rumahnya. Rumah kediaman Uchiha.
"Aloohaaa! Sasuke! Apa kau ada didalam?" teriak Naruto didepan pintu.
Hening. Tak ada jawaban apapun dari dalam rumah.
"Kemana si Teme? Apa jangan-jangan dia pergi berlibur bersama Itachi-Nii dan mereka tidak mengajakku?! Huaah! Menyebalkan sekali!"
Ceklek
Pintu rumah bercat biru tua tersebut terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya berambut hitam yang menyambut kedatangan Naruto dengan seulas senyuman hangat.
"Naru-chan? Mencari Sasuke ya?" tanya wanita tersebut.
"Iya, Baa-san. Apa Sasuke masih tidur?" tanya Naruto yang tidak merasakan hawa keberadaan Sasuke di dalam rumah.
"Tidak. Tadi pagi Sasuke pergi bersama ayahnya untuk mendaftar sekolah di Ho Akademi. Sasuke mengajakmu juga, tapi ayahmu bilang kau sudah didaftarkan kemarin," jelas wanita tersebut yang ternyata Ibu dari Sasuke, Uchiha Mikoto.
"Ah, begitu yah.. yasudah kalau begitu aku pergi dulu ya, Baa-san. Jaa~ ne," Naruto buru-buru pamit dan pergi keluar halaman rumah kediaman Uchiha tersebut.
"Ehh! Kau tidak masuk dulu? Sudah sarapan?" teriak Mikoto sebelum Naruto benar-benar pergi.
"Aku mau ke rumah Sakura-chan saja, aku sudah sarapan kok. Jaa~" teriak Naruto kemudian menutup pintu gerbang. Mikoto tersenyum di depan pintu. Yah, Naruto memang bukan anaknya, tapi ia menyayanginya seperti anaknya sendiri. Semenjak kepindahannya ke desa ini, Mikoto lah yang berperan menjadi Ibu pengganti untuk Naruto.
-KONOHA VILLAGE-
Seorang gadis remaja berambut merah muda sedang duduk termenung di halaman rumahnya. Ia memandang dedaunan yang bergoyang tertiup angin dengan tatapan sendu. Rambut panjangnya yang terurai sedikit berantakan karena terbawa angin.
Pikirannya sedang kalut saat ini. Ia baru saja berdebat dengan ayah dan ibunya yang berniat menyekolahkannya di desa sebelah. Padahal ia sangat ingin sekali sekolah di Ho Akademi. Namun mengingat keadaan orang tuanya yang sederhana, sulit bagi Sakura untuk bisa bersekolah disana. Selain biayanya yang mahal, Sakura juga butuh uang saku lebih untuk naik kereta.
Satu-satunya cara untuk dia bisa bersekolah disana adalah dengan beasiswa. Tapi Sakura tidak begitu berprestasi di sekolah, ia tidak yakin apa dia akan lolos ujian beasiswa mengingat sekolah itu adalah sekolah nomor 1 di negara Api.
"Woiii! SAKURA-CHAAN!"
Sakura yang sedang melamun tersentak mendengar teriakan cempreng yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah jalan. Terlihat pria berambut kuning jabrik tengah berlari kearahnya. Yah, siapa lagi kalau bukan Naruto. Teman sebayanya yang selalu satu sekolah dengannya sejak Sekolah Dasar.
"Jangan berteriak begitu, Naruto! Ini masih pagi, kau bisa mengganggu ketenangan para tetangga! Terlebih lagi, kau mengagetkan aku!"
Bletak!
Sakura menghajar kepala kuning Naruto begitu ia tiba didepannya.
"Ouuchh!" Naruto Hanya meringis mengusap kepalanya yang agak benjol.
"Kau sedang apa Sakura? Apa kau sudah mendaftar sekolah?" tanya Naruto kemudian duduk di kursi rotan yang berada di depan rumah Sakura.
Sakura berjalan menuju kursi lain yang berada di samping meja.
Ia menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Naruto.
"Aku... belum, mungkin besok aku akan mendaftar ke Kusa Gakuen," jawab Sakura lesu.
"APAAA? KUSA GAKUEN? Bukannya kau ingin sekolah di Ho Akademi?" tanya Naruto heboh. Yah, dia memang tipe orang yang berisik.
"PELANKAN SUARAMU!" bentak Sakura, "ayahku tidak akan bisa menyekolahkan aku di tempat elit seperti itu!" jelasnya dengan nada tinggi. Naruto tersentak, ia baru sadar kalau Sakura hanyalah anak dari seorang petani. Naruto tidak pernah memikirkan masalah uang sebelumnya, ia mendapat uang, makanan dan fasilitas lengkap dari Ayahnya. Naruto ingin sekali membiayai sekolah Sakura, tapi yang kaya kan ayahnya, bukan dirinya. Tidak mungkin Naruto membayar biaya sekolah Sakura dengan uang ayahnya, itu bisa menimbulkan cemburu sosial terhadap warga yang lain.
"AHAAA!" sebuah ide akhirnya datang ke kepala kuning Naruto. "Kan masih ada beasiswa?" tanya Naruto dengan semangat.
"Aku ini bukan orang pintar! Aku tidak mungkin lolos ujian beasiswa! Dan pasti ada banyak dari penjuru negara yang ingin mendapat beasiswa juga!" bantah Sakura. Ia sudah putus asa untuk sekolah di Ho Akademi.
"Tenang! Aku akan membantumu belajar! Kau pasti lolos!" tegas Naruto sambil berdiri mengepalkan tangan dengan semangat yang membara.
"Dia kan anak paling bodoh di sekolah, bagaimana bisa dia membantuku belajar," gumam Sakura dengan sewatdrop di dahinya.
"Aku juga akan membantumu," terdengar sebuah kalimat yang menginterupsi obrolan mereka. Naruto dan Sakura melihat ke sumber suara.
"SASUKE?!" teriak Sakura refleks. Sedangkan Naruto menatap sinis ke arah lelaki berambut raven yang di panggil Sasuke tersebut.
"Kenapa kau ikut-ikutan mau membantu Sakura?" gumam Naruto dengan kesal.
"Stt! Kau ini bicara apa! Kalau belajar dengan Sasuke-kun, aku yakin bisa lolos!" ucap Sakura semangat.
"A-apa? Kenapa kau tiba-tiba semangat begitu Sakura?" tanya Naruto heran. Padahal beberapa menit yang lalu Sakura begitu lesu dan putus asa. Ah Naruto memang tidak mengerti mood seorang wanita!
"Baiklah, ayo kita mulai belajar sekarang!" ajak Sakura semangat.
"Aku duluan, Sasuke. Jangan pulang terlalu larut," ucap seorang pria paruh baya di belakang Sasuke.
"Ojii-sama! Aku tidak menyadari kau ada disana, heheh.. kenapa cepat sekali mendaftar sekolahnya?" tanya Naruto antusias.
"Yah, hanya mengisi formulir," ucap Fugaku dingin sambil berlalu. Mereka bertiga diam beberapa saat. Mereka sudah tidak heran dengan sikap dingin Fugaku, benar-benar mirip dengan Sasuke. Buah jatuh memang tidak akan jauh dari pohonnya.
-KONOHA VILLAGE-
Disudut lain Desa Konoha, terdapat sebuah mansion yang sangat megah. Pagar tembok menjulang tinggi membatasi mansion tersebut, terdapat sebuah tulisan 'mansion hyuuga' di depan gerbang masuk tempat tersebut. Rumah yang sangat besar tersebut hanya dihuni oleh enam orang saja, dua diantaranya hanyalah pelayan.
Hyuuga adalah salah satu klan paling kaya di desa ini. Mereka memiliki perusahaan di bidang property, beberapa lahan luas yang ada di desa Konoha ini pun sebagian besar adalah milik keluarga Hyuuga. Namun klan Hyuuga termasuk kedalam klan yang tertutup. Tidak banyak orang yang dapat berinteraksi langsung dengan mereka. Mereka lebih sering menghabiskan waktu didalam mansionnya.
Menurut rumor yang beredar, dulu klan Hyuuga adalah klan yang ramah. Hanya saja, 16 tahun yang lalu istri dari Hyuuga Hiashi, melahirkan seorang bayi perempuan berambut indigo. Anak itu disebut-sebut sebagai anak pembawa sial, entah apa penyebabnya. Semenjak itulah mereka membenteng mansion dengan pagar tinggi dan menghindar dari dunia luar.
Saat ini keluarga Hyuuga sedang menikmati makan malam mereka. Di ruang makan yang sangat besar tersebut hanya ada empat orang yang memenuhi kursi makan. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara saat makan. Itu adalah tatakrama di keluarga elit ini. Hanya ada suara sendok dan garpu yang berdenting saling beradu.
"Otou-sama, ada yang ingin aku bicarakan," ucap seorang gadis berambut indigo memulai pembicaraan. Dari tadi ia sudah tidak sabar untuk mengatakan ini, tapi ia harus menunggu semua orang selesai makan untuk bicara. Saat ini makanan di piring mereka sudah habis. Saatnya ia bicara!
"Katakan saja," ucap pemimpin klan tersebut, Hyuuga Hiashi.
"A-aku, ingin bersekolah bersama Neji-Niisan," ucap gadis tersebut sambil menunduk. Ia tak berani memandang mata ayahnya tersebut.
"Kalau kau sekolah disana, kau hanya akan menyusahkan!" ucap Hiashi ketus. Pandangan tajam ia lemparkan pada anak pertamanya tersebut. Sedangkan yang di tatap hanya menundukan kepalanya dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang menggenang dimatanya.
"Kenapa ayah? Disana kan ada Neji-Nii yang akan menjaga Nee-chan," bela Hanabi, anak kedua Hiashi yang memiliki rambut coklat tua khas Hyuuga. Sedangkan Neji yang berada di kursi sebrang Hinata hanya diam melihat pembicaraan ini.
"Hanabi, jangan ikut campur! Pergi ke kamarmu dan kerjakan PR-mu!" titah Hiashi.
"Tapi ini tidak adil ayah, kenapa hanya Nee-chan yang tidak boleh bersekolah diluar mansion?!" ucap Hanabi dengan nada yang sedikit meninggi. Yah, dia memang anak yang berani, berbanding terbalik dengan kakaknya yang kini tengah menunduk menahan air matanya. Hanya dia yang berani menentang pemimpin klan tersebut.
"Hinata itu berbeda denganmu dan juga Neji! Dia itu lemah dan hanya akan menyusahkan semua orang!" bentak Hiashi sambil berdiri dari kursinya ia berniat pergi dari ruang makan. Hanabi sedikit tersentak. Ayahnya selalu bilang kalau kakaknya ini berbeda, tapi apa yang berbeda dari Hinata? Dia hanya punya warna rambut yang berbeda, tidak lebih!
Sret!
Hinata berdiri dari kursinya, air mata yang dari tadi ia tahan sudah tak terbendung lagi. Tanpa menghiraukan apapun, ia berlari menuju kamarnya yang berada di paling ujung mansion. Hiashi hanya terdiam melihatnya kemudian pergi dari sana meninggalkan Hanabi dan Neji yang masih terdiam diruangan tersebut.
"Hanabi, kerjakan PR-mu! Aku yang akan menenangkan Hinata," perintah Neji. Hanabi memutar bola matanya bosan. Ia pun menurut dan berjalan gontai menuju kamarnya.
"Kenapa sih semua orang selalu menyuruhku mengerjakan PR!" gerutunya pelan. Neji pun melangkahkan kakinya menuju kamar Hinata.
Brukk!
Dari lorong menuju kamar Hinata, terdengar bunyi sesuatu yang jatuh. Neji mempercepat langkahnya menuju kamar Hinata. Benar saja, tak jauh dari sana Hinata tergeletak di lantai. Sepertinya tadi dia terjatuh.
"Hinata, apa kau baik-baik saja?" Neji meraih tangan Hinata untuk membantunya berdiri.
Set!
Tangan Neji di tepis kasar oleh Hinata, ia segera bangkit dan berlari menuju kamarnya.
Blam!
Hinata membanting pintu dan menutupnya dengan keras. Neji hanya tercengang melihat kelakuan Hinata. Itu seperti bukan Hinata! Ini pertanda buruk!
Hinata berdiri di depan kaca lemarinya, meneliti setiap inci dari tubuhnya sendiri. Ia mengenakan kaus abu-abu yang kebesaran dan celana hitam panjang yang simpel.
"Oh, ya ampun! Gadis ini benar-benar tidak tau cara berpakaian!" gerutu Hinata pada dirinya sendiri. Kemudian ia berjalan menuju lemari pakaiannya yang terletak di samping kaca. Hinata mengacak baju-baju yang ada di dalam sana. Sepertinya dia sedang mencari sesuatu.
"Arrgh! Hanya ini baju yang dia punya? Apa dia tidak punya hotpants atau rok mini?"
Tok...tok..tok...
Neji mengetuk pintu kamar Hinata dengan gelisah. Ia berharap kalau Hinata bertingkah begitu karena sedang kesal saja. Tidak mungkin kan kalau dia pingsan hanya karena jatuh. Kecuali jika kepalanya terbentur lantai sih. Ahh, Neji semakin pusing memikirkannya.
Hinata mengabaikan seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Akhirnya setelah menggeledah lemari besar tersebut Hinata menemukan pakaian yang cocok untuk dia pakai. Sebuah kaus oblong putih yang ketat dan rok pendek rempel berwarna biru.
Setelah ganti baju ia mengikat ponytail rambut panjangnya dan menyisakan poni ratanya yang terurai. Kemudian ia mengoleskan liptint berwarna merah pada bibirnya. Hinata menatap dirinya didepan cermin. Sempurna!
"Mari kita mendaftar ke Ho Akademi. Ini sebagai ucapan terimakasihku karena kau memberikan aku kebebasan setelah sekian lama."
Tok...tok...tok...
"Hinata, izinkan aku masuk! Buka pintunya!" terdengar suara Neji dari balik pintu.
"Mengganggu saja!" gerutu Hinata pelan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Pandangannya berhenti pada sebuah jendela yang tidak di lengkapi dengan tralis. Hinata menyeringai. Sejurus kemudian ia sudah melompat keluar jendela. Meninggalkan Neji yang masih mengetuk pintu kamar Hinata.
Hinata berjalan menyusuri jalanan Desa Konoha dengan ceria. Sesekali ia merentangkan tangannya sambil bersenandung kecil. Sudah lama sekali Hinata tidak menghirup udara diluar mansion.
"I-itu kan, gadis itu!"
"Benar, ayo lari!"
"Kabuurr!"
Terdengar suara-suara yang menganggu pendengaran Hinata.
"Cih. Dasar hantu-hantu pengecut!" umpat Hinata begitu melihat tiga makhluk yang berada cukup jauh di depannya terbang kemudian menghilang.
Orang-orang menatap Hinata begitu ia tiba di stasiun. Ia hanya mendelik kesal. 'Apa mereka tidak pernah melihat gadis cantik naik kereta?' batin Hinata.
Setelah memesan tiket, ia pun duduk di salah satu kursi kosong menunggu kereta yang akan membawanya ke Ho Akademi. Hinata mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempat ini. Hanya ada beberapa orang yang akan naik kereta bersamanya.
Tak lama, kereta yang Hinata tunggu pun tiba. Ia segera menuju pintu kereta yang terbuka dan mulai melangkahkan kaki untuk masuk kedalam.
Brukkk!
Seseorang menyenggol bahu Hinata, sepertinya orang itu akan turun dari kereta.
"Apa kau tidak punya mata?!" bentak Hinata. Ia agak sensitif dengan benturan. Kalau sampai kepalanya terbentur lalu pingsan, kebebasannya akan terenggut.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucap laki-laki berkulit pucat yang menabrak Hinata. Hinata tercekat begitu melihat mata orang ini. Ia hanya mematung sambil membulatkan matanya. Memastikan kalau matanya sudah bekerja dengan maksimal.
Laki-laki bermata hitam tersebut berlalu turun dari kereta. Hinata masih terbengong menatap punggung pria itu.
'S-siapa dia?' batin Hinata.
Laki-laki yang tadi menabrak Hinata berjalan memasuki Konoha, tangan kanannya menyeret sebuah koper hitam. Sesekali ia melirik secarik kertas yang berisi alamat di tangan kirinya. Sepertinya ia kebingungan mencari alamat tersebut. Tak jauh dari sana, terlihat seorang pemuda berambut kuning jabrik yang sedang berusaha naik ke atas pohon di halaman sebuah rumah.
Ia pun memutuskan untuk menanyakan alamat tersebut kepada pria itu.
"Haaap! Yak! Sedikit lagii!" Pria berambut pirang tersebut nampaknya sedang menyemangati dirinya sendiri. Ia sedang menggelantung di batang pohon berusaha untuk naik lebih tinggi.
"Umm, permisi," ucap laki-laki berambut Hitam tersebut. Anak berambut pirang yang ternyata adalah Naruto itu menengok ke sumber suara. Ia pun segera turun dari pohon apel tersebut.
"Aku ingin bertanya, apa kau tahu dimana kantor desanya?" tanya laki-laki berkulit pucat tersebut. Naruto meneliti pria didepannya, sepertinya dia bukan orang sini.
"Lurus saja, kemudian belok kiri, lalu belok kanan. Ada bangunan bercat putih yang cukup besar," jawab Naruto sambil menunjuk jalanan yang ia maksud.
"Terimakasih," jawab pria itu sambil tersenyum kemudian berlalu sambil menyeret kopernya.
Bulu kuduk Naruto sedikit merinding begitu pria itu berlalu. Ia mengusap tangannya berusaha menghilangkan hawa dingin yang menyusup kulitnya.
"Aneh, ini kan musim panas, kenapa dingin begini ya," gumam Naruto.
"NARUTO! KAU SUDAH DAPAT APELNYA BELUM?!" Teriak Sakura dari dalam rumahnya. Saat ini ia sedang istirahat belajar bersama Sasuke dan Naruto. Naruto ditugaskan oleh Sakura untuk memetik apel untuk mereka olah menjadi jus.
"TUNGGU SEBENTAR! AKU BELUM BISA NAIK!" sahut Naruto dan segera bergegas menuju pohon apel yang berada di halaman rumah Sakura itu.
Para calon murid Ho Akademi berlalu lalang di sekitar gedung. Tampaknya cukup banyak murid yang mendaftar di sekolah ini. Hinata memasuki gerbang sekolah tersebut. Semua mata tertuju padanya. Bagaimana tidak? gadis cantik berkulit putih ini mengenakan pakaian yang cukup menantang, di tambah lagi bibirnya yang merah merona berkat polesan liptint. Penampilannya tidak seperti anak yang baru lulus SMP.
Hinata cuek dan melanjutkan langkahnya menuju lorong sekolah. Sebenarnya dia agak kebingungan dimana ruang pendaftarannya. Saat di perempatan lorong, Hinata tidak bisa menahan langkahnya begitu berpapasan dengan seseorang.
Brukk!
Hinata menabrak dada bidang orang tersebut. Nampaknya dia cukup tinggi karena tinggi Hinata hanya sebatas dadanya.
"Aww," Hinata hanya meringis kemudian mundur satu langkah dari orang tersebut kemudian mengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang ia tabrak. Di depannya berdiri seorang pria berambut jingga, dengan pierching di masing-masing telinganya.
'Kenapa bisa ada preman di sekolah ini?' batin Hinata.
"Kau tidak minta maaf?" tanya pria tersebut.
Hinata mengerutkan dahinya, "Ini kan bukan salahku," bantah nya. Pria di depannya memutar bola matanya. Kemudian memperhatikan Hinata dari ujung kaki sampai ujung kepala.
'Hmm, kaki jenjang, paha putih mulus, body gitar spanyol, leher jenjang, bibir merah merona, pipi tembem, hidung mancung, rambutnya juga indah. Dan yang paling penting, dadanya-'
BUAGGHH!
Hinata melayangkan bogeman mentah tepat di pipi pria tersebut. Hinata tahu betul tatapan pria itu mengarah kemana.
"OUCHH! KENAPA KAU MEMUKULKU?!" bentak pria tersebut tak terima.
"Itu adalah balasan untuk pria mata keranjang!" balas Hinata sengit sambil menujuk mata pria tersebut.
Pein terkadang bingung dengan wanita. Kalau bagian tubuhnya tidak mau ditatap orang lain, kenapa dia berpakaian ketat begitu? Hhh~ namanya juga perempuan, laki-laki tidak akan mengerti jalan pikiran mereka.
"Dengar ya, nona manis! Kau baru saja memukul pipi seorang ketua klub Akatsuki!" tandas Pria tersebut sambil memegangi pipinya yang memar.
"Heh? Klub bodoh macam apa itu?" Hinata meremehkan. Setahunya, klub yang biasa ada di sekolah itu klub basket, drama atau musik. Dia tak pernah dengar ada klub yang namanya Akatsuki.
"Sudah ku duga, orang awam tidak akan mengetahuinya. Akatsuki adalah klub pemburu hantu," jelasnya
"Kau bisa melihat hantu?" tanya Hinata.
"Ti-tidak juga."
"Hanya orang bodoh yang mendirikan klub pemburu hantu tapi tidak bisa melihat hantu!" ucap Hinata sambil beranjak dari sana. Tujuannya jadi terhambat gara-gara preman ini. Laki-laki tersebut hanya terdiam mendengar kata-kata Hinata. Sepertinya kata-kata Hinata benar-benar menohok hatinya.
"Aku bisa melihat hantu," lanjut Hinata. "Ada hantu tepat di samping kirimu," Hinata pun berlalu menuju ruang pendaftaran. Meninggalkan laki-laki berpierching tersebut yang mematung. Setelah beberapa detik berlalu, pria itu melirik ke arah kiri dengan gerakan patah-patah. Tidak ada apa-apa disana. Tapi entah mengapa bulu kuduknya tiba-tiba saja berdiri.
"WAAAAAAA!" ia pun berlari menuju ruang klubnya di ujung lorong.
BRAAAKK!
"ASTAGANAGAAA! APA KAU INGIN MEMBUATKU JANTUNGAN, HAH?!" bentak seseorang bersurai perak yang ada di ruang klub tersebut.
"GAWAT! SEPERTINYA ADA HANTU DI SEKOLAH INI!" teriak Pria berambut jingga yang baru saja menggebrak pintu tersebut.
"Kau ini kenapa sih, Pein? Apa kau di kejar setan?" tanya pria berambut merah yang sedang merapihkan barang-barang kedalam box.
"Mana ada setan mengejarnya, palingan dia dikejar siswi karena kepergok ngintip toilet cewek," celetuk Hidan, si pria bersurai perak.
"Dengar! Aku baru saja bertemu dengan seorang gadis yang bisa melihat hantu!" ucap Pein histeris. Mengabaikan celotehan Hidan yang ada benarnya juga.
"Apaaa? Kau yakin?" Sasori si rambut merah tidak percaya dengan kata-kata ketuanya tersebut.
"Aku yakin sekali! Dia yang bilang kalau dia bisa melihat hantu! Dan dia juga jago berkelahi! Dan yang paling penting dia seksiii!" Pekik Pein heboh. Sasori dan Deidara sweatdrop begitu mendengar kalimat terakhir dari Pein.
"Pokoknya, kita harus membuat dia bergabung dengan klub kita!" Pein menatap anak buahnya dengan tatapan berapi-api. Hidan dan Sasori saling pandang. Sepertinya gadis yang Pein maksud tidak akan mau bergabung dengan klub aneh ini begitu saja. Apa lagi kalau ketuanya mesum seperti dia.
"Pokoknya, kita harus buat demonstrasi semenarik mungkin saat demo klub!" tambah Pein. Hidan dan Sasori hanya bisa menghela nafas berat. Sepertinya liburan musim panas mereka akan di sibukkan dengan latihan demonstrasi. Menyebalkan!
.
.
.
TBC
A/N :
Haloo! Haloo!
Fai datang lagi dengan fict baru, huehehe *padahal fict lain belum tamat -_-
Adakah yang baca fict ini?
Berkenan untuk review?
