Harusnya
Genre: Romance – Friendship
Rate: T
Warning: BL onesided!Waywood, spoiler bagi yang belum membaca COHF, dan (mungkin) typo yang main petak umpet.
Disclaimer: The Mortal Instruments dan The Secret Treasons bukan punya saya. Saya tidak mengambil keuntungan apapun selain untuk hiburan semata.
A/N: Dibuat untuk mengikuti #BiweeklyPrompt4 dengan tema 'Geminto', sekaligus fic bahasa Indonesia pertama saya di fandom ini. Moga-moga enggak salah bikin. (/.\)
Pagi itu, Robert Lightwood memulai harinya dengan tetesan air mata.
'Jauh' bukanlah kata yang cocok untuk Michael Wayland dan Robert Lightwood. Semua orang mengenal mereka sebagai sepasang parabatai super usil dan selalu berdampingan, berjalan di samping satu sama lain. Michael yang berjalan di depan dan Robert di belakang dengan langkah pendeknya bukan deskripsi akurat untuk kata 'berdampingan'.
Fix sudah, hari ini adalah hari bencana bagi mereka. Dimulai dengan kalimat pernyataan cinta dari Michael kepadanya dan dibalas dengan penolakan keras darinya: "Jangan mengucapkan hal menjijikkan itu lagi padaku, Michael."
Di depannya, Michael tertawa lemas. Tawa khas seorang Michael Wayland, tetapi dihiasi kepahitan yang ketara. "Sudah kuduga kau akan bicara begitu. Kau terlalu gampang ditebak, kau tahu?" Pemilik surai coklat yang bergelung acak-acakan itu menghela napas panjang. "Maaf kalau aku menjijikkan, tetapi beginilah aku yang sebenarnya."
Bahu itu harusnya tidak bergetar; tangan itupun harusnya tidak terkepal. Bibir Michael harusnya mengulum senyum atau seringaian lebar, bukan membentuk garis lurus yang membuatnya merasa bersalah.
Semua ini salah, batin Robert bersikeras. Michael harusnya tidak jatuh cinta padanya. Hubungan mereka sebagai parabatai tidak boleh diartikan seperti itu. Mereka harusnya menghabiskan hari ini di kafe favorit untuk merayakan ulang tahun Michael. Bersama dan berdua saja, seperti tahun-tahun sebelumnya. "Semua ini salah," ucap Robert lagi. Tidak dikatakan dengan keras, namun meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Michael," panggilnya pelan. Ia tidak mendapat apapun sebagai respon. Mata biru tuanya menangkap punggung familiar yang makin menjauh. Tangan sosok yang berada jauh di depannya itu dimasukkan ke saku jaket. Ekspresi ceria yang biasa menghiasi wajah menghilang, digantikan kemuraman dan kesedihan. Robert memanggilnya berulang kali, namun Michael tidak juga menoleh. Suaranya yang semula pelan berubah keras, dari bisikan menjadi teriakan. Ia berusaha menggapainya, tetapi jarak antara mereka makin terasa jauh.
Jauh, jauh, jauh—
Sesaat sebelum kabut menghalangi pandangannya, ia melihat Michael berbalik melemparkan senyum terakhir kepadanya.
"Aku tidak peduli kau akan membenciku atau tidak, tetapi ingatlah kalau aku akan selalu mencintaimu, Robert."
Hari itu, mentari bersinar terang. Kalender menunjukkan tanggal yang sama seperti di mimpinya. Sekarang, tidak ada lagi senyuman maupun tawa canda. Yang ia temui ketika membuka mata hanyalah kesunyian yang mengiris hati.
Dalam diam, ia berucap pelan:
"Kau adalah orang terbodoh yang pernah aku temui, Michael Wayland."
The end.
