Author : Reiforizza A.

Disclaimer : "Yu-Gi-Oh!" merupakan milik Takahashi Kazuki, sedangkan "Neon Genesis Evangelion" milik dari Hideaki Anno dan Gainax. Tiada yang saya klaim, tiada pula profit dari fanfiction ini.

Warning : OOC-ish, AR, blood, slight gore.

Genre : Psychological, Science Fiction, Angst.

Pairing : Non-Slash

Rating : T

Summary : "Seandainya aku tidak diciptakan untuk menuruti perintah… bolehkah aku melenyapkan semua diriku yang lain?"


Stage I:

Open Those Cold Eyes

"Akagi-senpai! Tolong lihat ini!" Salah seorang staf teknis NERV bernama Ibuki Maya berusaha memberi tahu seniornya keadaan yang ia temukan. Air mukanya dipenuhi rasa takut dan cemas.

"Apa yang terjadi?" Tanya Ritsuko cepat-cepat.

"Terjadi kelainan pada kondisi pilot EVA unit 01!" Hyuga Makoto, salah satu operator Magi ikut menginformasikan keadaan ini padanya.

"Gawat! Denyut nadi pilot tidak teratur, gelombang otaknya kacau, dan dia mulai memuntahkan darah!"

"Segera keluarkan dia dari entry plug!" Perintah Ritsuko, "sangat berbahaya jika dia tetap berada di dalamnya dengan larutan LCL yang terkontaminasi. Atur life supporter sampai tingkat 40%"

"Baik profesor," jawab keduanya serempak. Mereka segera melaksanakan apa yang diperintahkan atasannya, selain itu tak ada seorang pun yang ingin kehilangan remaja berusia 14 tahun yang memegang tali kehidupan umat manusia.

"Aoba! Segera perintahkan tim medis untuk menjemput pilot di cage no.4, sudahi tes sinkronisasi dan suruh pilot lain keluar dari entry plug."

Shigeru Aoba mengangguk tanda mengerti, dia langsung membuka jalur komunikasi agar tim medis tiba tepat waktu. Sementara itu Ritsuko berlari keluar dari ruang komando untuk melihat langsung kondisi pilot. Tugasnya tidak hanya menjadi penanggung jawab e-project, menjamin keselamatan pilot juga merupakan tugas yang ia emban sebagai Kepala Operasi Ilmiah NERV. Apalagi pilot yang satu ini merupakan salah satu hasil ciptaan penting sama seperti Rei.

Ritsuko tiba lebih dulu di cage. Dia harus menunggu sebentar ketika larutan LCL keluar dari plug. Kemudian hatch-nya terbuka secara otomatis, memperlihatkan sosok anak laki-laki yang tak sadarkan diri di dalamnya.

«¤»

Seorang anak laki-laki lain berjalan tehuyung-huyung dalam lorong yang sempit dan gelap di sudut kota Domino. Sekujur tubuhnya penuh luka memar akibat perbuatan para berandalan sekolahnya, dan hujan deras yang turun justru malah memperparah keadaan. Bibirnya membiru, tubuh lunglainya mengigil kedinginan. Satu-satunya hal yang membuatnya tetap sadar adalah keyakinan bahwa tak lama lagi ia akan mencapai rumah. Satu-satunya tempat dimana dia bisa berlindung dari hujan ini, tempat dimana ia bisa mengompres dan membalut luka di tubuhnya. Cuma itu, tidak lebih…

Anak itu berhenti mandadak tepat ketika telinganya menangkap bunyi langkah kaki di atas genangan air dari arah belakang. Dia menelan ludah, apa para berandalan itu masih belum puas juga mempermainkannya? Dia berusaha untuk lari dari situ tapi tak sanggup. Dipejamkan kedua matanya serapat mungkin, bersiap menghadapi rasa sakit tambahan yang akan ia terima beberapa saat lagi. Namun dia terkejut begitu sebuah suara tak dikenal memanggil namanya.

"Mutou Yuugi-san?"

Dia membalikkan tubuhnya perlahan, rasa lega dan bingung bercampur menjadi satu. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka tahu namanya? Dia memperhatikan para pria di hadapannya dengan seksama. Masing-masing dari mereka menggunakan kacamata hitam, jaket, dan celana panjang berwarna keperakan, lalu di dada sebelah kiri terdapat sebuah simbol berbentuk setengah daun bertuliskan 'NERV'. Anak itu menelan ludah lagi, berusaha membasahi tenggorokannya yang kering. "Ya, namaku Mutou Yuugi…"

"Kami adalah Agen Intel NERV," kata salah satu dari mereka, "Berdasarkan surat ordonasi nomor dua, kami akan membawamu ke markas pusat NERV."

Dia syok mendengarnya, apakah ia melakukan suatu kesalahan sehingga orang-orang ini harus membawanya pergi? Anak itu mundur beberapa langkah begitu mereka mulai mendekati dan memegangi tangannya, memaksa dia untuk ikut bersama mereka.

"Tu-tunggu dulu!" Biarpun sudah berusaha untuk melepaskan diri namun tetap saja gagal. Dia bahkan tak bisa bergerak ataupun melihat ke sekeliling akibat terhalang oleh seragam perak orang-orang itu. Kemudian, hidung dan mulutnya disekap sesuatu yang lembut seperti kain, bau obat langsung tercium dari situ. Setelah beberapa saat, dia mulai mengantuk dan melemah. Sudah terlambat saat ia menyadari bahwa aroma obat itu adalah chloroform Dia sedang dibius! Menahan nafas sekarang juga percuma, tak ada tenaga lagi yang tersisa, meskipun itu hanya untuk membuka mata. Kesadaran perlahan-lahan meninggalkan dirinya.

«¤»

"Bagaimana kondisinya, profesor Akagi?" Fuyutsuki Kouzou, wakil komandan NERV langsung menemui bawahannya itu begitu ia mendapat laporan tentang kondisi pilot EVA unit 01 beberapa saat yang lalu.

"Ah, profesor Fuyutsuki… ternyata anda…" jawab wanita berambut pirang tersebut, dia berhenti sebentar lalu berkata, "dia sudah mulai membaik, meskipun detak jantungnya masih belum stabil, tapi berada dalam batas wajar. Sekarang sedang tidur karena pengaruh obat."

"Apa yang terjadi?" Pria bijak itu bertanya lagi, "kenapa kesehatannya memburuk di saat tes sinkronisasi? EVA tidak menolak penyambungan syaraf dengan pilotnya bukan?"

"Tidak," Ritsuko menjawab cepat-cepat, "tidak ada kelainan di bagian itu. Tingkat kesalahan sinkronisasinya bahkan dibawah 0,001%"

"Jangan-jangan ini…"

"Ya," wanita itu meneruskan, "kekhawatiran kita selama ini menjadi kenyataan. Biar bagaimanapun, dia itu cuma buatan dan tidak sebaik versi originalnya."

"Lalu, kudengar 'versi original' yang kau maksud itu juga The Found Children…"

"Tepat sekali," Ritsuko membenarkan, " datanya sudah dikirim Organisasi Marduk kemarin siang. Saat ini sedang dijemput oleh Agen Intel NERV. Dalam waktu 14 menit mereka akan tiba di markas pusat."

Kouzou mengangguk puas. "Tidak terlambat 2,3% pun dari jadwal. Komandan ingin agar dia bisa melakukan tes sinkronisasi besok, tolong usahakan yang terbaik." Pria itu baru akan berjalan pergi, namun suara Ritsuko menghentikannya.

"Tunggu Profesor! Apakah itu tidak terlalu cepat baginya? Pertama-tama kita harus jelaskan dulu situasinya pada anak itu dan tunggu beberapa saat agar dia siap. Sinkronisasi antara EVA dan pilot tidak akan bisa dilakukan jika…"

"Kau benar," sela Kouzou, "jadi apa kau punya solusi untuk ini?"

"Ya, ini dia." wanita itu tersenyum, menunjukan sebuah mini CD kepada atasannya, "akan menarik jika mereka dipertemukan, bukan? Ini akan jadi percobaan yang menyenangkan."

Wajah Kouzou berubah menjadi lebih cerah mendengarnya. "Baiklah, aku mengerti rencanamu dan kurasa komandan pun akan setuju. Akan kutunggu laporannya di mejaku."

"Baik." Dia menunggu sampai Kouzou menghilang dari pandangan, kemudian diraih telepon genggam miliknya dan menekan beberapa nomor, "Halo, ini aku. Kalian yakin targetnya tepat…Hmm, begitu? Bagus, lekas bawa dia ke ruang 114 begitu kalian tiba."

«¤»

Beberapa saat kemudian, para Agen Intel NERV yang ditugaskan membawa Mutou Yuugi ke markas pusat telah sampai. Staf yang dipimpin oleh Ritsuko datang menyambut mereka. "Wah, ini rupanya anak terpilih bernama Mutou Yuugi. Benar-benar mirip dengannya. Baiklah, segera siapkan alat operasi!"

"Baik, Profesor!" Mereka segera membawa Mutou Yuugi ke ruang 114 dan memulai operasi kecil pada anak itu. Leher bagian belakangnya disayat dan mereka memasukan sesuatu semacam microprocessor di sana. Operasi tersebut hanya memakan waktu selama 45 menit. Begitu mereka selesai, seorang anak laki-laki lain dibawa masuk. Anak laki-laki yang sebelumnya tak sadarkan diri ketika tes sinkronisasi dengan EVA.

"Dia masih belum sadar juga ya?" Tanya Ritsuko kepada tim medis yang membawanya.

"Ya, seperti yang anda lihat, kasusnya hampir sama seperti First Children, hanya saja sulit terdeteksi oleh kita. Dan juga…" kata seorang pria berjas putih sambil menyerahkan sebotol cairan kepada Ritsuko, "hipotesis sementara menunjukkan bahwa dia tak bisa bertahan tanpa ini."

Wanita itu mengambil nafas dalam-dalam, berpikir untuk sesaat sementara matanya menatap sosok tak sadarkan diri di tempat tidur, "kita tidak bisa kehilangan salah satu senjata ampuh kita sekarang, terlebih lagi Magi masih belum menemukan kelainan yang terdapat pada sistem tubuhnya dan ada kemungkinan 'cadangannya' juga mengalami hal yang sama."

Pria tersebut tersenyum pahit, lalu megalihkan tatapannya kepada anak laki-laki tersebut, "senjata yang ampuh, namun rapuh. Bukan begitu, Profesor?"

"…"

«¤»

Yuugi membuka matanya perlahan-lahan, dia menghela nafas ketika kabut masih menghalangi pandangannya. Butuh beberapa saat agar bisa melihat jelas ke sekeliling. Dia terpaku saat melihat seorang anak perempuan berambut biru pucat, bermata merah menyala sedang berdiri di samping kanan tempat tidurnya. Tunggu, tempat tidur?

"Kamu siapa?" tanya Yuugi setengah tidak sadar.

"Ini makananmu," ucap anak perempuan itu sambil mengangkat nampan berisi makanan dari troli yang ada di sampingnya,"dokter berpesan agar kau langsung makan begitu sadar."

Menyadari pertanyaannya diabaikan, Yuugi cuma terdiam. Dia mencoba untuk bangun, tapi tiba-tiba lehernya terasa sakit, begitu juga lengan kirinya. Ketika diperiksa, ternyata ada selang infus terpasang di sana. Pikiran Yuugi mulai mencerna pernyataan anak perempuan tersebut, "Dokter? Jadi ini rumah sakit ya?"

"Bukan… sekarang kau berada di markas pusat NERV."

Yuugi terkejut setengah mati, matanya melebar karena syok. Ternyata kejadian di gang sempit sebelumnya, para pria berseragam keperakan, semua itu betul-betul terjadi! Belum Yuugi tenang dari rasa syok-nya, anak perempuan tadi berjalan menjauh, sepertinya dia akan pergi.

"Ah!" Desis Yuugi panik, "kenapa aku dibawa ke sini, beritahu aku apa yang terjadi..."

"Maaf, bukan aku yang akan menjelaskan hal ini kepadamu, sampai nanti."

"Tunggu! Tolong jangan pergi." Yuugi bangkit meskipun lehernya masih terasa sakit, namun anak perempuan itu terlanjur keluar. Dia mengerang kesakitan ketika rasa perih di belakang lehernya semakin menjadi. Ketika disentuh, dia merasa ada sesuatu semacam perban terbalut disana. Yuugi mencoba mengingat kembali kejadian saat ia diganggu berandalan sekolahnya, kalau tidak salah mereka tidak melukai lehernya waktu itu, mungkin…

Yuugi menarik nafas dalam-dalam, mencoba fokus pada masalah utama yang ia hadapi. Pokoknya aku harus keluar dari sini dulu, pikirnya seraya melepaskan selang infus yang ada di lengan kirinya. Dia meringis kesakitan begitu selangnya ditarik, darah segar pun mengucur perlahan. Yuugi tidak peduli. Dia turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu yang dipergunakan anak perempuan itu sebelumnya.

"Cuma perasaanku atau pintu ini memang tidak ada handle-nya," gumam Yuugi, memelototi pintu baja besar di depannya. Dia memeriksa pintu itu baik-baikmemang tidak ada handle-nya! jerit Yuugi dalam hati. Bagaimana cara anak perempuan tadi keluar?

Sejurus kemudian tatapan Yuugi mendarat di samping kanan pintu baja tersebut. Disana terdapat sebuah benda berbentuk kotak yang dilengkapi tuts angka dan sebuah layar kecil. Yuugi pernah melihat yang seperti itu di televisi, itu adalah alat pengaman yang biasa di pasang di kantor-kantor. Perlu sebuah sandi untuk bisa membukanya. Sandi? Yuugi mulai merengut, mana dia tahu sandi untuk membuka pintu itu! Tapi peduli amat, kalau tidak dicoba tidak akan tahu hasilnya.

Yuugi asal saja menekan, dia tahu kemungkinan sandinya benar kecil sekali, bahkan nyaris nol. Tapi dia terus saja menekan. Beberapa saat kemudian, tanda peringatan berbunyi keras dari mesin pengaman itu, dan dilayarnya tertulis: REFUSED. PLEASE ENTER THE CORRECT KEYPASS. Yuugi menelan ludah.

Gawat…

Dia bertambah panik, meskipun dia terus menekan tutsnya, tapi suara yang ditimbulkan mesin itu tidak mau berhenti. Kenapa benda ini tidak mau diam? Pikirnya hampir putus asa.

Beberapa saat kemudian, mesin pengaman itu…

Rusak…

Kabel-kabelnya terjulur keluar diiringi beberapa percikan listrik. Sementara Yuugi sendiri terlihat kelelahan, napasnya tersengal-sengal, butiran keringat mengucur deras di wajah dan lehernya. Yang penting sudah diam, pikir Yuugi polos.

Pintunya sudah tidak mungkin lagi dipakai untuk keluar, dia membalikan badan, berharap ada jalan keluar lain, jendela misalnya.

Yuugi kembali terpaku, di sebelah tempat tidurnya ternyata ada satu tempat tidur lagi dan… ada orang terbaring disana! Dia nyaris melompat karena senang, untunglah ia tidak sendirian di ruangan ini. Yuugi pun berjalan menghampiri objek tersebut. Meski agak bingung, kenapa dia bisa tidak sadar ada orang lain di sana. Tapi sepertinya karena dia kelewat asyik mendiamkan pintu bodoh itu.

Yuugi terus berjalan mendekat, kelihatannya orang itu tak sadarkan diri karena sejak tadi dia tidak bergerak, lagipula seandainya dia tersadar, dia sudah pasti menegur ketika Yuugi sedang sibuk 'merusak' pintu. Yuugi pun mencapai tempat tidurnya dan…

"Ke…kenapa???!!"

Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut dengan apa yang ia lihat. Orang… tidak, anak laki-laki yang terbaring itu sangat mirip dengan dirinya. Rambut spike hitam dengan outline merah, dan warma keemasan di bagian depannya…

Sangat mirip. Bagaikan melihat diri sendiri.

Dia memerhatikan sosok yang tertidur itu baik-baik. Anak itu tampak begitu damai dalam tidurnya,

"Aku ingin melihat seluruh mukanya" gumam Yuugi tanpa sadar. "Seandainya masker ini tidak mengganggu…"

Benar juga, kenapa anak ini memakai masker penyuplai oksigen? Apakah dia sakit?

«¤»

"Profesor Akagi."

Wanita yang dipanggil itu berbalik dari kursinya menghadapi si pemanggil, "ada apa Kaworu?"

"Aku mau lihat hasil tes sinkronisasi hari ini dong," pinta Kaworu sambil memperlihatkan senyumannya yang khas.

"Kalau itu minta saja sama Maya," jawab Ritsuko. Namun perhatian Kaworu malah teralih pada sebuah monitor di sampingnya. Pada layarnya terlihat pemandangan di ruang 114…

Kaworu mendekati monitor tersebut, memerhatikan orang-orang yang ditampilkan dengan penuh minat, "Profesor, apakah ini…"

"Benar," Ritsuko meneruskan, "sesuai dugaanmu, ini adalah sebuah reuni…"

«¤»

Yuugi masih menanti anak di depannya terbangun, kenapa waktu 10 menit menunggu terasa begitu lama? Kalau dipikir-pikir, sejak kapan anak ini tertidur? Sejam yang lalu? Sehari yang lalu? Atau seminggu yang lalu? Kenapa Yuugi merasa dia tidak akan pernah sadar? Bagian sangat kecil dihatinya, entah dimana, berpikir bahwa sosok yang mirip dirinya ini tidak akan pernah terbangun. Selamanya.

Nyatanya, anak itu sekarang mulai membuka mata. Perlahan, seakan dia sulit melakukannya. Entah Yuugi harus kecewa atau tidak begitu ia tahu bahwa bola mata yang dimiliki anak tersebut berwarna merah bukan ungu seperti miliknya. Warna merah yang sama dengan anak perempuan tadi.

Dia menatap langit-langit untuk sesaat, mungkin sedang memfokuskan lensa mata, sementara itu dia pun melepaskan masker respirator yang terpasang di wajahnya.

Yuugi menelan ludah, menunggu anak itu menyadari kehadiran dirinya. Benar saja, ketika dia bangkit dari tempat tidur, dia kelihatan sangat kaget melihat sosok Yuugi. Selama beberapa saat keduanya diam, saling memandang satu sama lain.

Yuugi mengisi paru-parunya dengan udara, bersiap untuk berbicara pada anak itu, "Maaf, aku… aku harus keluar dari sini…"

Dia meletakkan maskernya dan turun dari tempat tidur.

"Bisakah kau membantuku keluar dari sini?"

«¤»

Kaworu kembali tersenyum mendengar kata-kata Ritsuko, dengan penuh keyakinan dia menyatakan, "kalau aku adalah Profesor Akagi, aku tidak akan pernah membiarkan mereka berdua bertemu."

"Apa maksudmu?" tanyanya tidak mengerti.

Kaworu memejamkan mata, mengingat kejadian dulu, dimana dia sedang berjalan bersama kedua pilot EVA yang lain di salah satu koridor NERV.

"Karena… dia pernah berkata begini padaku dan Rei; 'Seandainya aku tidak diciptakan untuk menuruti perintah… bolehkah aku melenyapkan semua diriku yang lain?'"

«¤»

Dia meletakkan maskernya dan turun dari tempat tidur, mendekati Yuugi yang masih diam di tempat. Ternyata ada satu hal lagi yang membedakan mereka berdua selain warna bola mata. Itu adalah tinggi badan. Yuugi lebih pendek beberapa sentimeter dibandingkan dia.

Yuugi masih tak bergerak sementara remaja di depannya mengangkat kedua tangan dan meletakkannya di leher Yuugi yang diperban. Beberapa detik kemudian Yuugi panik karena tiba-tiba ia sulit bernapas, selain itu luka di lehernya terasa bertambah menyakitkan. Dia sedang dicekik!

Yuugi memandangi anak tak berekspresi itu dengan wajah ketakutan, kengeriannya bertambah ketika dia mulai bersuara…

"Apakah boleh… kalau aku melenyapkanmu…?"

Yuugi memejamkan kedua mata serapat mungkin, berusaha untuk terus bernapas sementara kedua tangannya mencoba melepaskan jemari yang mencengkram lehernya.

"Se…sessaak…" desahnya, "sa...kii…t…"

Yuugi mengumpulkan semua kekuatan yang masih tersisa dan berteriak, "TOLONG HENTIKAN!"

"Tidak!" jawabnya pendek.

Yuugi terkejut dengan penolakan tersebut, sementara itu, dia terus didesak kebelakang. Yuugi tidak bisa kemana-mana lagi begitu tubuhnya didorong ketempat tidur, sekarang dia terjebak.

Yuugi semakin sulit bernapas dan penglihatannya mulai kabur akibat kekurangan oksigen, cekikan di lehernya pun bertambah keras. Tanpa ia sadari, anak laki-laki itu semakin mendekat, cukup dekat sehingga Yuugi bisa merasakan hembusan napas di telinga kirinya…

Kemudian dia berkata lagi, dengan suara yang tidak lebih pelan dari bisikan…

"Kumohon…Matilah…"

«¤»

Ritsuko dan salah satu asistennya berlarian di koridor menuju ruang 114. Mereka tidak boleh terlambat datang, jika tidak nyawa seseorang akan melayang. Sedikit kelegaan muncul begitu pintunya sudah terlihat di depan mata. Dia segera mengeluarkan sebuah ID card, lalu menggesekan benda tersebut di security device agar pintunya terbuka, namun tidak terjadi apapun. Tiba-tiba Ritsuko menepuk dahinya, dia lupa bahwa beberapa saat lalu Yuugi merusak sistem pengaman pintu tersebut. Terpaksa harus dibuka dengan cara manual.

"Pintu ini rusak, kita harus mendorongnya agar bisa terbuka," asistennya mengangguk, mereka pun membuka pintu berat itu sekuat tenaga. Ketika sudah terbuka setengahnya Ritsuko langsung masuk. Hal pertama yang ia lihat adalah sosok anak laki-laki yang berdiri di tengah ruangan, tapi bukan Yuugi. Dimana Yuugi?!

"Yuugi!" panggil Ritsuko. Karena tak kunjung mendapat jawaban, secara refleks dirinya mengikuti arah tatapan anak itu, dia terkejut bukan main begitu melihat orang yang ia cari tergeletak tak sadarkan diri di lantai. "Yuugi!" jeritnya panik.

Sementara Ritsuko dan asistennya mengecek keadaan bocah malang tersebut. Sang pemilik bola mata merah cuma berdiri diam, bibirnya terus bergerak mengucapkan nama yang disebutkan Ritsuko barusan, "Yuugi…" seakan-akan sedang mencoba mengingat sesuatu.

"Profesor, anak ini tidak bernapas!" Seru sang dokter.

"Apa katamu?!" Ritsuko tidak kalah panik mendengarnya, "Lakukan CPR sekarang!" Asistennya segera melakukan apa yang diperintahkan, sementara Ritsuko memasangkan respirator ke mulut Yuugi. Ketika lehernya diangkat, wanita itu terhenyak melihat perbannya terlepas dan darah segar mengucur deras dari sana.

Dia mengalihkan pandangan kepada anak lelaki lain di situ. "Kau mencekiknya sekuat tenaga!" ucapnya setengah berteriak, "Apa kau benar-benar ingin membunuhnya?!"

"Ya."

Ritsuko kaget, tidak percaya sama sekali dengan jawaban yang ia dengar. Entah karena terlalu sederhana atau karena kata itu terlalu menyeramkan jika diucapkan dengan penuh keyakinan. Dia bertanya kembali, namun kali ini dengan suara yang lebih lirih, "kenapa…? Memangnya kamu punya alasan…?"

"Karena kalian memperlakukanku secara tidak adil," jawabnya datar, "apa karena aku bukan manusia?"

Ritsuko kehabisan kata, dia cuma menatap lurus-lurus remaja berbola mata merah dihadapannya. Berharap bisa mengerti apa yang diucapkan bola mata itu barang sedikit saja. Namun, ia tidak menemukan apapun. Semakin mencari, dia malah semakin tersesat. Tiba-tiba suara batuk seseorang membuatnya tersentak.

"Profesor, dia selamat!" kata sang dokter sambil membantu Yuugi duduk. Wanita itu langsung berbalik, kelegaan terlihat jelas di wajah tegangnya, "kau baik-baik saja?"

"Le…leherku…" desah Yuugi berusaha mengalirkan oksigen untuk paru-parunya.

Ritsuko hanya mengangguk pelan. "Aku tahu, yang penting sekarang kau jangan banyak bergerak, nanti darahnya keluar semakin banyak. Tapi tenanglah, kau pasti sembuh. Kami akan merawatmu," ujarnya lembut.

Namun, kata-kata menenangkan itu tidak membuat Yuugi rileks, wajahnya malah terlihat ketakutan, otot-ototnya menegang, dan mulai gemetar hebat. Ritsuko dan asistennya saling pandang, sama-sama tidak mengerti dengan bahasa tubuh Yuugi. Tapi beberapa detik kemudian wanita itu menyadari sesuatu, "Yami, keluarlah…" kata Ritsuko tanpa menoleh.

Dia menurut. Anak itu pun berjalan menuju pintu keluar sambil terus menatap Yuugi dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Yuugi sendiri sama sekali tidak berani menatap balik, dia cuma memejamkan matanya serapat yang ia bisa, seolah–olah takut akan terbakar oleh bola mata merah itu. Ritsuko menyadari gerak-gerik keduanya, dia sungguh tidak tega melihat tubuh Yuugi semakin bergetar dengan keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Dia khawatir jika keadaan ini berlangsung lebih lama lagi Yuugi akan kolaps.

Keduanya menarik napas lega ketika objek penyebab ketegangan mereka sudah keluar dari ruangan.

Situasi ini tidak semudah yang kuduga sebelumnya, pikir Ritsuko getir. Dia membantu mengangkat Yuugi ke tempat tidur, kemudian dia mengeluarkan obat bius dan alat suntik dari saku jasnya. Melihat alat suntik seperti itu membuat Yuugi bertanya-tanya, belum sempat ia bersuara, Ritsuko lebih dulu menjelaskan, "jangan takut, ini cuma obat bius. Kami akan menjahit luka di lehermu, itu saja."

Yuugi menjadi sedikit lebih tenang mendengarnya, dia tidak lagi mempermasalahkan kenapa lehernya sampai terluka, karena mungkin memang para berandalan itu yang membuatnya. Lagi pula, Yuugi sendiri tidak bisa ingat saat-saat ia diusili, pikirannya hanya terfokus pada harapan bahwa sakit yang ia rasakan akan berakhir.

"Rileks saja, jangan tegangkan otot-ototmu, nanti jarum suntiknya susah tembus," Yuugi mengangguk sedikit tanda mengerti. Dia memejamkan mata sementara proses pembiusan dilakukan, beberapa saat kemudian Yuugi mulai mengantuk.

"Tidurlah, kau sudah mengalami banyak hal hari ini. Sudah saatnya kau istirahat." Ritsuko menepuk-nepuk kepala anak itu supaya dia lebih santai. Yuugi juga membiarkan sedatif mengalir bersama darah dan menenangkan seluruh syaraf di tubuhnya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu yang penting, dia masih belum diberitahu kenapa pihak NERV membawanya secara paksa ke tempat ini.

Yuugi sangat ingin bertanya, tapi dia sudah terlalu mengantuk, membuka kelopak mata saja sudah sulit,

apalagi mengeluarkan suara. Diantara batas sadar dan tidak sadar, telinganya menangkap sebuah percakapan.

"Profesor, anak ini sempat mati…" bisik sebuah suara pria.

Yuugi nyaris bisa mendengar desahan sesal diruangan itu beberapa saat setelah ucapan tadi terlontar. "Yami mencekiknya…"

Meski dalam keadaan setengah tidak sadar, Yuugi bergidik. Jadi, itu namanya …Aneh. Terlalu aneh jika ada manusia bernama demikian. Sebab terasa begitu jahat, begitu menakutkan.

Rasa kantuk Yuugi terus bertambah, sementara itu beberapa pasang langkah kaki memasuki ruangan.

"Profesor, kami membawa semua yang anda minta.'

"Maaf, kalian jadi harus bekerja dua kali. Seperti yang kalian lihat, jahitan di leher anak ini terbuka, dan ada kemungkinan Microprocessor yang dipasang sebelumnya mengalami kerusakan. Terpaksa kita harus melakukan instal ulang."

Yuugi betul-betul tidak mengerti dengan maksud percakapan itu, namun dia yakin bahwa dirinya sedang dibicarakan.

"Tidak masalah, bisakah kita mulai operasinya sekarang?"

"Ya."

Yuugi tidak sanggup berpikir lebih jauh lagi, dia harus tidur, sekarang juga…

«¤»

Ikari Gendou, pemimpin tertinggi NERV duduk diam menatap seorang anak laki-laki di seberang mejanya. Dia memegang sebuah file berjudul `Laporan Pengawasan Second Children`yang baru saja ia baca. Pria itu meletakkan file tersebut ke meja seraya bersandar di kursi kantornya. Tanpa mengalihkan pandangan dia mulai berbicara dengan nada dingin dan tegas…

"Kau tahu apa kesalahanmu?"

"Percobaan pembunuhan," jawab anak itu tanpa ada getaran sedikit pun pada suaranya.

"Siapa korbannya?"

"Entah"

"Siapa?"

Kali ini anak tersebut tidak menjawab, namun tubuhnya tetap tegak, matanya menatap lurus ke depan. Dia tidak menundukkan kepala sedikit pun sejak memasuki kantor itu. Seakan tidak memiliki dosa saja…

Gendou mulai tidak sabar, dia kembali dengan pertanyaan baru, "Apa alasanmu membunuhnya?"

"Karena kupikir dia klonku."

"Kau tahu ada peraturan yang melarang itu, bukan?"

Dia mengangguk.

"Terlebih lagi, anak yang kau coba bunuh ini bukanlah klon…."

Kepalanya langsung diangkat begitu penjelasan tersebut didengarnya.

"…tapi Mutou Yuugi, Fourth Children, pilot Evangelion unit 3…"

Gendou berhenti sejenak, menunggu bagaimana lawan bicaranya akan bereaksi. Namun, nihil. Raut wajah anak itu tetap tidak berubah, sama seperti tadi.

"Ada yang ingin kau katakan?"

"Tidak ada."

"Jangan lupa bahwa tugas dan kewajibanmu hanyalah menuruti perintah. Kau dilarang membuat keputusan sendiri. Camkan hal ini baik-baik di kepalamu," kata Gendou.

"Baik," ujarnya patuh.

"Kau sudah boleh pergi."

Anak itu membungkuk sedikit, lalu berbalik menuju pintu keluar.

«¤»

Perspective of Yuugi

Substage:

Sometimes There Is No Correct Answer

Aku mulai membuka mataku perlahan-lahan, dari ketidaksadaran menuju kesadaran dan dari gelap ke terang. Begitu kabut yang menghalangi fokus mataku lenyap, yang kulihat cuma langit-langit berwarna putih bersih. Aku mencoba menengok ke sekeliling, tapi niat itu langsung kuurungkan begitu kurasakan nyeri yang tidak asing di leherku.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ingatan tentang kejadian sebelumnya mulai berputar di kepalaku. Tadi pagi aku masih sekolah seperti biasa, belajar seperti biasa, dan 'digencet' seperti biasa. Sebelum akhirnya beberapa orang pria berseragam keperakan membawaku dengan paksa ketempat ini. Apa namanya? Agen Intel NERV dan markas pusat mereka? Aku menarik napas lagi.

Aku sungguh tidak mengerti kenapa mereka harus membawaku kemari. Lalu pukul berapa sekarang? Aku harus segera pulang, ini bukan tempat dimana aku seharusnya berada. Yah, meskipun aku tahu tidak ada seorangpun yang menungguiku di rumah, tapi aku merasa tidak nyaman di sini. Apalagi mereka belum memberikan penjelasan apapun padaku sejak tadi.

Apakah NERV itu semacam rumah sakit? Sebab luka-luka di sekujur tubuhku diobati, dan juga… bau steril di ruangan ini sering kuhirup ketika aku ke dokter dulu. Tapi mana ada sistem rumah sakit yang membius orang di jalanan.

Leherku terasa berdenyut-denyut, pengaruh biusnya mulai berkurang ya? Tiba-tiba bayangan sepasamg mata merah melintas di kepalaku. Seluruh bulu kudukku berdiri dan aku mulai gemetaran. Kuteliti ruangan ini baik-baik, berharap pemilik mata itu tidak berada bersamaku disini. Kulirik samping kiriku, tidak ada tempat tidur yang dia gunakan sebelumnya dan di samping kananku juga tidak ada siapapun. Rupanya aku telah dipindahkan ke ruangan lain. Ah, tapi lebih dari itu aku sangat lega dia tidak berada bersamaku disini.

Ketika pertama kali melihatnya, aku begitu takjub karena dia sangat mirip denganku. Untuk sesaat, aku mengira bahwa mungkin aku punya saudara tanpa kuketahui. Wajahnya sangat pucat seperti habis kehilangan darah dan masker respirator terpasang di mulutnya. Apakah dia sakit? Apa mungkin dia juga pasien di `rumah sakit` aneh ini?

Waktu itu aku menunggu dia terbangun, berharap orang ini bisa membantuku keluar dari sini atau setidaknya memberitahuku bahwa aku tidak sedang diculik. Kelopak matanya terbuka, memperlihatkan sepasang bola mata yang luar biasa merah. Ketika dia melihatku, dia tampak terkejut. Mungkin sama kegetnya denganku ketika pertama kali melihatnya. Kuberanikan diri meminta bantuannya, dia cuma diam tak bersuara. Kemudian raut wajahnya berubah menjadi ekspresi yang tidak bisa kubaca. Tanpa sadar, kedua tangannya berada di leherku dan dia mulai mencengkram! Oh Tuhan, rasanya sangat sakit! Dia ingin membunuhku ya?! Dia ingin membunuhku! Aku berusaha sekuat tenaga melepaskan tangannya dari leherku tapi sia-sia, aku kalah kuat.

Dia bertanya kepadaku, "Apakah boleh kalau aku melenyapkanmu?"

Apa maksudnya itu? Memangnya siapa orang ini? Aku baru saja bertemu dengannya dan dia baru saja bertemu denganku, tapi kenapa dia ingin aku menghilang? AKU SALAH APA?

Napasku terasa sesak, leherku juga semakin sakit. Aku meminta dia berhenti, tapi dia malah menolak dan menambah kekuatan cengkramannya. Aku terus didesak sampai membentur tempat tidurku, akibatnya aku terjebak, tidak bisa kemana-mana lagi.

Ketika penglihatanku mulai kabur, dia berbisik lirih di telingaku. Dengan suara yang lembut dan begitu sopan dia memohon. Memohon agar aku mati…

Aku merasakan keringat dingin di dahiku bertambah banyak, dan anehnya aku tak bisa berhenti mengingat kata-katanya waktu itu, wajahnya yang pucat, tangannya yang dingin. Dia nyaris seperti mayat. Bola mata merahnya pun jauh lebih dingin lagi. Meski dia berharap aku mati, tapi kenapa aku tidak bisa merasakan nafsu membunuh darinya? Apa benar dia itu manusia? Ya, dia pasti bukan manusia.

Kenapa dia ingin aku mati?

Pertanyaan itu terus muncul di kepalaku.