by the dusk
haikyuu © furudate haruichi
saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini
Pagi menyapanya dengan kejam; suhu udara pada pukul lima pagi di satu hari musim panas adalah paradoks dengan kelambu langit subuh di atas. Dunia yang Hitoka kenal masih rapat menutup mata dan dunia yang sama sedang menghitung mundur datangnya baskara menyapa hangat.
Di pangkuannya, lembar sketsanya penuh dengan goresan pensil. Lima belas menit berjalan dan corat-coret arang itu masih tak berbentuk, pudar dan nyata bertubrukan abstrak. Ujung tumpul pensil kini berputar gelisah menyentuh angin, tepat di permukaan gading. Ilhamnya mendadak mandek, suatu kondisi yang Hitoka tak dapat pahami. Mengapa itu bisa terjadi? Kebuntuan itu seharusnya tak mungkin terjadi bila objek idenya, modelnya, tersaji di hadapannya. Seharusnya.
Sayang, imaji Hitoka tetap tak merangkai bentuk apapun. Gatal ingin mengetuk pangkal kayu ke buku sketsa, namun urung ia lakukan. Ia takut membangunkannya.
Sedikit nekat, Hitoka geser arah cahaya lampu nakas mendekati objeknya. Membiarkan bias kuning mengecup kulit terang dan mahoni berantakan yang masih terlelap di samping. Tubuh mungil Hitoka menutupi sebagian akses cahaya, sehingga bayangan sedikit tercipta di sana. Tak apa, sebentar lagi pagi akan datang dan tak lagi perlu ia dengan penerangan artifisial, karena memang tak ada yang dapat mengalahkan matahari yang terang setelah gelap.
Lekat-lekat netra Hitoka mengamati, kepalanya memvisualisasikan bagaimana garis rahang itu terbentuk, lengkung bibir yang selalu membuatnya gemas, perbedaan kilat di matanya bila ia sedang tulus atau tidak. Memori Hitoka memang superior, hal itu bukan perihal sulit untuk ia ingat. Namun jemarinya tetap membeku, membisu—Hitoka pun meletakkan pensilnya.
Pensil dan buku sketsa ditaruh di bawah ranjang, ia segera menekan tombol off di lampu nakas. Gelap kembali menyapa, dan sensasinya seperti sedang mengapung di laut, transisi buram yang tetap menggelitik ganas inderanya. Sekilas, ranjang itu bergerak, lalu tenang. Syukur Hitoka panjatkan, jangan sampai Tooru-kun tahu kalau ia sedang mencoba (dengan gagal) untuk menggambarnya.
Hitoka menenggelamkan diri dalam ombak hangat yang ditawarkan selimut dan Tooru, dan memimpikan ilustrasi miliknya menjadi nyata, memeluknya. Seperti sekarang.
