Hisana-nee bilang semuanya ada di sini.

Walaupun Byakuya-nii dengan mati-matian mencegahku ke sini, toh aku tetap ke sini.

Aku heran dengan Byakuya-nii, dia amat protektif kepadaku, padahal aku hanya adik iparnya, kan?

Seingatku.

Entah kenapa dia begitu gigih melarangku ke sini.

Padahal sebagian besar kenanganku dan ingatanku ada di sini. Itu juga kata Hisana-nee.

Semua ingatanku yang tersisa hanya berasal dari tuturan kedua kakakku itu.

Sejak tragedi yang merenggut kedua orang tuaku dan seluruh ingatanku, tak ada yang tersisa selain sekelebat bayangan di dalam kepalaku dan sebuah mimpi.

Mimpi yang sama berulang kali, bahkan sejak sebelum aku tersadar dari komaku. Itu sungguh membuatku kacau. Sama saja halnya jika kau diperdengarkan dengan nada yang sama berkali-kali tanpa henti. Membuatmu kacau dan merasa hampir gila. Mimpi yang sama berupa adegan di sebatang pohon dan suara-suara.

Aku berkali-kali konsultasi dengan psikolog dan ahli jiwa, aku bahkan mendatangi hipnoterapis. Namun semua usahaku sia-sia. Mimpi itu tetap saja mendatangiku.

Mungkinkah mimpi itu adalah bagian dari masa laluku yang sama sekali tak kuingat? Aku berkesimpulan demikian. Dan karena sebagian hidupku dulu di sini, –lagi-lagi itu kata Hisana-nee – aku merasa aku akan mendapatkan solusinya di sini pula.

Dan akhirnya, dengan bantuan rayuan maut Hisana-nee, Byakuya-nii dengan berat hati mengizinkan aku ke sini. Dengan segala wejangannya dia mau melepaskan aku sendiri. Karena kedua kakakku tidak bisa menemaniku. Hisana-nee kan sedang hamil muda, aku tak mau sesuatu terjadi dengan kandungannya. Mereka berdua sangat mengharapkan seorang bayi dalam hidup mereka. Anggota baru di keluarga Kuchiki mungkin akan menghangatkan hati Byakuya-nii yang dingin. Dan aku juga tidak mau mengganggu pekerjaan Byakuya-nii. Karena itulah, Byakuya-nii hanya memberikan jatah waktu yang sedikit untukku.

Satu minggu.

Dan di sinilah aku sekarang. Di kota perfektur kecil.

Karakura.

.

.

.

.


Disclaimers:

Bleach (& all characters) © Tite Kubo

A Tree, Billion Memories (just story) © Jinsei Megami

.

Rated: T

Genre: Hurt/Comfort

Pairing: Rukia x Ichigo

Warning: AU, OOC, Typo(s), Ide yg sedikit pasaran mungkin (?)

.

Summary:

Kecelakaan dua tahun lalu menghilangkan ingatan Rukia secara total. Sepenggal mimpi samar yang sama tentang sebatang pohon, pahatan, dan sesosok lelaki mengusiknya tiap malam. Membuatnya hampir gila. Dia harus menemukan pohon itu agar mimpi itu tak menghantuinya lagi. Untuk itu, dia kembali ke Karakura.

.

Read first, baru boleh nilai suka apa nggak... ^^

Enjoy read, Minna~

.

Jinsei Megami Proudly Present

A TREE, BILLION MEMORIES


Chapter 1: Back to My ex-Home

.

.

.

.

Aku menutup pintu apartemen di belakangku. Byakuya-nii sudah menyiapkan segalanya untukku di sini. Dia bahkan menyewakan apartemen yang lebih dari lumayan. Huh, padahal kan aku hanya seminggu di sini. Dan dia membayar sewanya untuk sebulan penuh. Apa tidak buang-buang uang saja?

Aku merapatkan mantel unguku. Ugh! Padahal baru masuk musim dingin tapi udaranya sedingin ini.

Nah, sekarang apa ya?

Aku mengambil handphone android dari tas ransel berbentuk Chappy-ku. Dan melihat jurnal pribadiku yang kusimpan di sana. Aku sudah membuat daftar dari segala hal yang pernah di ceritakan Hisana-nee tentang masa laluku. Aku tak ingin terlewat sedikitpun. Aku tak ingin terus-terusan seperti orang bodoh yang tak tahu dirinya sendiri.

Sebuah alamat menjadi yang paling atas di daftarku.

Aku ingat kata-kata Hisana-nee.

"Dulu kita tinggal di sana sejak kau berumur delapan tahun, Rukia-chan. Berarti tujuh tahun kita di Karakura. Rumah kita dulu tidak besar-besar amat. Yah... lumayanlah. Rumah dua lantai dengan cat putih dengan gerbang batu alam. Di belakang rumah kita dulu juga ada pohon. Pohon sakura. Waktu SD kau sering ber-hanami dengan teman-temanmu di sana setiap musim semi Rukia-chan, Mungkin pohon itu adalah pohon yang ada di dalam mimpimu."

Menurut pemilik apartemen, alamat mantan rumahku itu tak jauh dari apartemen yang kakakku sewa. Bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Jadi aku mengikuti arahan yang diberikan paman pemilik apartemen. Baiknya dia. Dia bahkan membuatkanku peta sederhana begitu tahu tempat-tempat mana saja yang akan kukunjungi. Aku menyalin gambarnya di handphone android-ku. Agar peta itu tidak hilang.

Terima kasih, paman.

.

.

.

.

"Rukia?"

Eh?

"Kuchiki Rukia?"

Aku terkejut begitu wanita yang membukakan pintu untukku mengenali aku. Di terlihat begitu terkejut. Dia bahkan sampai menutup mulutnya yang sedikit menganga dengan kedua tangannya.

"Oh, Kami-sama! Rukia!" dia malah menggenggam erat kedua bahuku. Dan dia kemudian memelukku. Dan tudung jaket yang sedari tadi menutup kepalaku meluncur ke bawah. Mengajakku masuk langsung ke dapur dan memberikanku ocha.

Sesaat tadi waktu aku masuk rumah ini aku melihat-lihat sedikit. Inikah rumah yang dulu kutempati bersama ayah, ibu, dan Hisana-nee? Tapi Hisana-nee salah, rumah ini tidak bercat putih, tapi peach. Yah, kami pindah dari sini kira-kira sudah dua tahunan, sih.

Aku menenggak ocha yang disuguhkan padaku, sedikit berhasil membuatku hangat.

"Bagaimana keadaanmu, Rukia?" tanya si wanita dengan lembut.

Aku menengadah melihat wanita berambut hitam panjang yang dikepang dengan wajah ramah dengan mata teduh yang menenangkan.

"Baik, Unohana-sama. Terima kasih ocha-nya," aku hanya tahu marganya dari papan di gerbang. Unohana. Rasanya memang nama itu tidak asing bagiku.

"-sama? Kau memanggilku seperti orang asing saja, Rukia. Ada apa?"

Aku menceritakan maksud kedatanganku padanya. Juga tentang kecelakaan itu. Dan ingatanku yang hilang. Dan juga tentang mimpi yang terus menghantuiku.

Unohana-sensei –well, tidak heran dia mengenalku, dia ternyata guru biologi sekaligus guru UKS SMA Karakura, tempat dulu aku bersekolah –, nyaris tak percaya dengan semua yang kualami. Katanya, pantas saja aku menghilang begitu saja seperti ditelan bumi. Sebagai guru, dia memang diberi kabar bahwa aku mengalami kecelakaan, tapi dia tak tahu bahwa keadaanku jadi seperti ini.

Dengan baik hati dia membawaku berkeliling rumahnya –mantan rumahku –sambil menceritakan kehidupanku dulu yang ia tahu.

Sambil ia bercerita, tangankupun tak berhenti mengetikkan semacam resume dari kata-katanya di handphone android-ku. Agar aku tak lagi lupa dengan hidupku.

Dia bilang dulu aku adalah anak yang ceria yang bisa langsung akrab dengan siapa saja. Dia bilang aku tomboy, tapi aku tetap senang memakai rok. Dia juga bilang aku termasuk siswi yang cerdas. Dia bilang kalau dulu akulah yang mendirikan Klub Pecinta Chappy, waktu aku baru dua bulan jadi siswi SMA Karakura, padahal saat itu anggotanya hanya enam orang.

"Sekarang anggotanya sudah sekitar lima belas-dua puluhan orang lho, Rukia."

"Benarkah?"

Unohana-sensei hanya mengangguk. Lalu dia meneruskan kisahnya.

Bahwa aku dulu hanya satu semester di SMA Karakura. Bahwa dulu aku di kelas I.B. Bahwa aku paling dekat dengan teman-temanku yang bernama Inoue, Tatsuki, Mizuiro, Asano, Uryuu, Chad, Ichigo, dan Renji.

Kenapa rasanya nama itu tiba-tiba membuat kepalaku sakit? Membuat dadaku sesak. Aku sampai harus meremas baju di bagian dadaku.

Unohana-sensei sampai khawatir melihatku. Tapi kuyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. Aku memang baik-baik saja. Hanya saja rasanya sangat... aneh.

Tur kami berakhir di bawah pohon sakura di belakang rumah yang daun dan bunganya meranggas. Aku menatap ke atas ke arah batang-batang pohon sakura ditemani Unohana-sensei di sampingku. Aku menyentuh pohon itu sambil memejamkan mataku. Mengingat-ingat mimpi yang tiap malam menghiasi tidurku.

'Hei, midget! Apa yang kau lakukan di atas sana?'

'Huh! Sana kau jeruk!'

'Bagaimana kau bisa memanjat ke situ padahal kau pendek?'

'Bukan urusanmu, baka!'

'Tulisan apa itu?'

'Bukan apa-apa.'

Selalu seperti itu, hanya ada pohon, tulisan –atau mungkin lebih tepatnya, pahatan –, dan suara-suara –suaraku dan seorang pria. Tanpa ada sesosokpun yang dapat menggambarkan pemilik suara itu. Akupun tak dapat begitu jelas melihat pahatan apa itu, yang kulihat hanyalah tulisan di dalam segitiga terbalik di batang utama pohon itu. Dan panggilan 'midget' yang selalu menjadikannya salah satu faktor penggangu di mimpi itu.

Aku membuka mataku. Menengadah mencari-cari pahatan apapun yang mungkin ada di atas sana. Kemudian melompat-lompat. Mungkin saja akan terlihat.

"Apa yang kau cari?" tanya Unohana-sensei bingung dengan tingkahku.

"Sesuatu... hup," aku melompat lagi, "Yang... hh... mungkin ada di sana... hup."

"Kenapa tidak kau panjat saja?"

"Aku tak bisa memanjat."

"Dulu kau pandai memanjat pohon lho, Rukia."

Perkataan Unohana-sensei mengingatkannya pada sepenggal ucapan pria di mimpiku.

'Bagaimana kau bisa memanjat ke situ padahal kau pendek?

Sepertinya dulu aku memang pandai memanjat pohon. Tapi itu kan dulu. sekarang aku tak tahu bagaimana caranya.

"Kenapa tidak pakai tangga saja? Ada tangga di gudang. Sebentar ya, kuambilkan."

"Biar aku saja, sensei," balasku. Entah kenapa aku mengatakan itu, padahal aku mana ingat gudangnya ada di mana. Aku langsung pergi meninggalkan Unohana-sensei di dekat pohon sakura, membiarkan kakiku melangkah. Dan aku memang menemukan gudangnya dan berhasil membawa tangga stainless steal ke bawah pohon.

"Kami-sama... Rukia! Kau berhasil menemukan gudangnya! Kau sudah ingat?" wajah Unohana-sensei yang lembut terlihat cerah.

Aku menggeleng. Sayangnya belum. Aku hanya membiarkan insting membawaku. Dan tampaknya kakiku lebih ingat dari otakku.

Aku menaiki tangga dan tak kutemukan pahatan atau tulisan apapun di sana. Lagipula tampaknya pohon yang di dalam mimpiku bukan pohon sakura. Batang-batangnya sepertinya sedikit lebih besar. Lagipula aku tak merasa melihat warna pink atau putih khas bunga sakura di mimpiku, melainkan warna jingga kemerahan dan merah. Aku turun lagi. Pohon di dalam mimpiku itu pohon apa, ya?

Aku sedikit melihat bayang-bayang sebuah keluarga di sekelilingku. Transparan seperti hantu. Tapi aku tahu itu bukan hantu. Itu seperti... sebuah ingatan kecil. Yah, ingatan. Karena orang-orang yang berkelebatan itu mirip ayah ibuku, Hisana-nee,... dan aku.

'Nee-san punya pacar... Nee-san punya pacar...'

'Kembalikan surat itu, Rukia-chan! Kaa-san, tolong aku!'

'Jangan menggoda nee-san-mu terus, Rukia-chan!'

'Apa?! Siapa laki-laki itu, Hisana?'

'Eh? T-Tou-san?'

Aku memanggil Hisana-nee dengan Nee-san?

Aku hanya bisa tersenyum melihat sedikit dari yang berhasil kuingat. Ya. Yang sedikit itulah yang berharga. Karena aku begitu sulit mendapatkannya.

Setelah meminta tolong Unohana-sensei mengambil fotoku di pohon sakura dengan handphone android-ku, dia mengajakku duduk-duduk di ruang keluarga yang berhubungan langsung dengan taman belakang tempat pohon sakura itu tumbuh, yang hanya dibatasi teras dan pintu kaca geser. Dia melanjutkan ceritanya lagi tentangku. Kali ini dia menunjukkan padaku buku siswa seangkatanku yang dia ambil dari rak buku di salah satu sisi ruangan itu.

Aku membalik-balik lembaran buku itu yang berisi foto dengan biodata di bawahnya. Aku menemukan foto Arisawa Tatsuki di sana, seorang gadis dengan potongan rambut pendek yang kelihatannya kuat.

"Kalau tak salah, Arisawa itu teman sejak kecil Ichigo. Dia juga sahabat karib Inoue. Dia kelihatan seperti kakak bagi Inoue. Dia kelihatannya selalu membela Inoue. Yah, sepanjang penglihatanku, sih. Dia jago karate. Kau juga jago karate lho, Rukia. Abarai juga tak berkutik denganmu. Oiya, Abarai Renji itu katanya teman sejak kau pindah ke Karakura sejak kau kecil."

Aku? Bisa bela diri? Aku yang lemah ini? Sulit dipercaya.

Dan... Ichigo lagi? Kenapa setiap mendengar nama gadis itu selalu membuat jantungku tercekat?

"Ini Asano Keigo," ya, aku bisa membaca namanya di bawah fotonya dengan raut wajah ceria, "Aku ingat dia selalu berusaha memelukmu dan memanggilmu 'Rukia sayang'. Hihihi..."

Bahkan tawa Unohana-senseipun begitu lembut. Lalu, 'Rukia sayang'? "Apa Asano Keigo pacarku?"

"Pacar? Hihihi... Bukan Rukia, Asano bukan pacarmu. Dia memanggil 'sayang' pada beberapa gadis lain juga. Tatsuki juga dipanggilnya 'sayang'. Dia memang anak aneh. Dan dia sedikit mesum. Entah berapa banyak video hentai yang kami sita darinya. Tapi dia baik. Dia juga tak pernah berhasil memelukmu. Ichigo selalu berhasil menendangnya hingga dia terlempar selalu tepat ketika Asano hendak menerjangmu. Hihihi... Tentu saja Abarai juga begitu. Entahlah, kau dekat dengan kedua bocah berandal itu."

Unohana-sensei kembali tertawa dengan menutup mulutnya dengan tangan mengingat tingkah laku anak-anak muridnya.

Dan lagi-lagi... Ichigo. Dan Renji?

'Memangnya kau menganggap Renji si babon itu apamu, midget?'

Hanya satu kalimat. Hanya suara tanpa visual. Terdengar ditelingaku tak lebih lantang dari bisikan.

Dan Rukia belum menemukan foto ichigo di buku itu, wajah yang selanjutnya dia temukan malah Chad –atau Yasutora Sado, blasteran Jepang-Meksiko dengan kulit coklat dan tubuh yang kelewatan menjulang –, lalu Mizuiro Kojima yang sahabat Keigo, Inoue Orihime yang cantik dan feminin dengan rambut panjang dan –ehm –dada yang besar, Ishida Uryuu yang terlihat jelas sebagai seorang kutu buku. Akhirnya Abarai Renji, dia memang tempak seperti berandalan. Dengan rambut merah yang kelihatan tidak alami –tidak diragukan, dia pasti mewarnai rambutnya dengan warna yang tidak biasa itu, dan lagi rambutnya itu panjang dan diikat –dan tato di dahi.

"Apa Abarai Renji tidak dapat masalah dengan rambut dan tatonya itu?"

"Abarai? Tentu saja ia dapat masalah dengan itu semua, Rukia. Dia dan Ichigo lebih tepatnya. Yah, mereka bersahabat, sih. Mereka juga punya warna rambut yang sama-sama aneh. Tapi bedanya, rambut Ichigo itu alami. Rambut aneh yang alami. Untungnya sikap heroik yang tidak sengaja menyelamatkan Abarai dari ancaman drop out."

"Sikap heroik yang tidak disengaja?"

"Hihihi..., dia melempar anak kepala sekolah, Ulquiorra, dengan sepatu ketsnya. Tapi gara-gara itu Ulquiorra selamat dari terjangan kawanan gajah yang kabur dari kandang di kebun binatang. Tindakan bodoh yang menguntungkan."

Aku hanya bisa tersenyum.

Terjangan kawanan gajah?

Ugh! Lagi-lagi bayang-bayang lagi. Kali ini suara-suara musik, tawa, dan banyak suara binatang memenuhi kepalanya.

'Si jeruk itu nggak jadi ikut, Renji?'

'Habis bagaimana lagi? Adik-adiknya mendadak sakit, sih. Hei, baka dobe! Lihat-lihat dong kalau jalan!'

'Kalu panggil aku apa, heh preman sampah?'

'Ah! Gajah!'

'Sekarang kau panggil aku gajah?'

'Baka! Menyingkir sana!'

BUG!

Senyumku bertambah lebar, satu lagi kenangan kecil yang berhasil kudapatkan. Walau yang inipun tak lebih jelas dibanding kenangan yang tadi. Malah amat sangat buram. Bagaimanapun, apapun itu, aku sangat menghargainya.

Namun aku masih belum menemukan nama Ichigo sampai kubaca nama itu di bagian sudut bawah di sebuah halaman.

Kurosaki Ichigo.

"Laki-laki?" gumamku terkejut.

"Tentu saja Ichigo laki-laki, Rukia," balas Unohana –sensei, kemudian dia tersenyum, "Pasti kau mengira Ichigo perempuan, ya? Yah, arti namanya memang sekilas sama dengan strawberry. Tapi nama itu juga bisa berarti –"

"Pelindung," maaf ya sensei, aku memotong ucapanmu. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku tahu makna nama itu selain strawberry, "Kukira dia perempuan. Habis dari cerita sensei, sepertinya aku dekat dengannya."

"Kau memang akrab dengan Ichigo, Rukia. Kalian bahkan tak bisa melewati hari tanpa bertengkar. Bahkan hal kecilpun bisa menjadi bahan perdebatan panjang di antara kalian."

"Apa kami bermusuhan?"

"Tidak. Tidak, Rukia. Mungkin memang begitu gaya persahabatan kalian. Habis aku melihat pertengkaran kalian seperti pertengkaran pasangan suami istri yang bingung mau makan apa buat makan malam mereka."

"Eh?" aku tak percaya Unohana-sensei sudah menggodaku begitu. Apa dia lupa kalau aku tidak ingat apa-apa? Bahkan tentang cowok dengan nama cewek itu?

Aku melihat fotonya lagi. Kurosaki Ichigo. Dan ya, seperti yang sebelumnya dikatakan Unohana-sensei, ia kelihatan mencolok dengan rambut berwarna orange cerah yang melawan gravitasi, juga dengan kerutan di antara alisnya yang membuatnya terlihat sedang marah. Apalagi tak ada senyuman sedikitpun di bibirnya. Tipe wajah yang pasti langsung berhasil membuat anak TK menangis ketakutan.

Tapi aku tak bisa berbohong kalau Ichigo itu ternyata amat sangat tampan. Walaupun dia terlihat jutek dan menyeramkan, tapi aku merasa nyaman. Dan sekali lagi, ada sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhku begitu melihat fotonya.

"Hatinya tak semenyeramkan wajahnya, Rukia," kata Unohana-sensei seperti tahu apa yang kupikirkan, yang berhasil membuatku menoleh, "Dia sangat baik, lho. Dia pernah beberapa kali menungguimu yang sakit di UKS, begitupun denganmu. Makanya, tak mungkin kan, kalau kalian bermusuhan?"

Aku memilih menunduk lagi. Menatap foto wajah Ichigo lagi. Dan lagi-lagi sakit kepala dan nyeri di dada merayapiku. Berbagai perasaan aneh yang tak bisa dideskripsikan olehnya muncul tiba-tiba begitu saja. Membuatku tambah pusing. Apalagi sekelebatan ingatan samar-samar muncul.

Hanya bayangan.

Dan suara-suara.

Dan Chappy. Chappy?

'Aku sudah lihat apa yang kau lakukan pada pohon itu, midget.'

'Eh?'

'Kau kekanakan kau benar suka padaku?'

'Ugh! Aku cuma iseng, kok. Dan memangnya yang tidak kekanakan itu yang bagaimana, jeruk?'

'Mmm... Yang seperti ini.'

'Chappy?! Dasar baka! Itu juga kekanakan, tahu!'

'Hei! Aku sudah susah-susah membelikanmu ini, cebol! Setidaknya berterimakasihlah padaku.'

'Ah? AWAS!'

"AWAS!" aku tak sadar aku berteriak. Aku mencengkram kepalaku. Kepalaku sakit. Amat sangat sakit. Hingga rasanya aku sulit membuka mataku yang kupejamkan erat kalau saja Unohana-sensei tak memanggilku dengan nada cemas.

"Rukia? Rukia?" aku membuka mataku. Kulihat memang ada bias kecemasan di mata sensei-ku itu, "Ada apa, Rukia? Apanya yang 'awas'?"

"Ti-tidak apa-apa, sensei. Mungkin aku hanya lelah. Aku baru sampai dan aku tadi langsung ke sini. Sepertinya aku butuh istirahat."

"Kalau begitu istirahatlah. Menginaplah di sini."

"Aku kembali saja ke apartemen. Sensei tenang saja. Aku baik-baik saja. Oiya, bolehkah aku meminjam buku siswa ini?"

.

.

.

.

Senja sudah datang ketika aku sampai di apartemen. Aku melihat ke arah sunset lewat balkon apartemenku. Semburat jingga di ufuk barat itu mengingatkanku pada sesuatu. Pada seseorang dengan surai jingga seperti sunset. Pada Ichigo.

Aku tidak tahu kenapa aku malah penasaran dengannya, bukan yang lainnya. Kenapa?

Kurosaki Ichigo?

.

.

.

.

[to be continued]

.

.

.

.


A/N:

Perkenalkan minna..., ini Meg.

Author baru & emang bener2 baru bgt! Tau Fanfiction juga baru 3 bln *SIAPA TANYA?* ya... gitu deh... (-_-)a

Ini fic kedua Meg, & ini bahkan fic pertama Meg di fandom Bleach.

Mohon bantuannya ya...

Cerita ini sebenernya udah dibikin lebih dulu dibanding The Voice (itu fic pertama Meg di fandom Naruto) -yah, walau cuma 2 chapter pertamanya sih, tp ternyata yg ke-publish & selesai duluan ya yg The Voice itu. Mungkin kalo iseng boleh dibaca yg itu juga #hehee... teteeeep, promosi :D

Meg cuma pengen nge-unleash imagination. :)

Semoga berkenan untuk membaca...

Sekali lagi mohon bantuannya ya...

Mind to review, please?