Maaf, tiba-tiba saja saya terpikir untuk membuat prolog untuk cerita ini. Dan alhasil, saya menjadi author yang dengan seenaknya mengacak-acak cerita. Maafkan saya.

Anyway, selamat membaca cerita saya yang berantakan ini ^_^


One night in Summer, year 1

"Huh, permainan macam apa itu?" tanya seorang pria yang memakai topi bertuliskan 'UMA', topi khasnya.

Sekarang, dalam sebuah kamar di suatu penginapan, berkumpullah tiga pria yang tampaknya belum ingin tidur. Untuk menghabiskan waktu, mereka berencana untuk memainkan suatu permainan yang dirancang sendiri oleh salah seorang dari mereka. Namun sepertinya permainan tersebut tidak dapat menarik perhatian pria bertopi itu.

Seorang pria yang lain, yang memakai bandana berwarna ungu tersenyum geli. "Ada apa denganmu? Sepertinya kau tersiksa sekali."

Pria yang ditanya hanya mendengus. "Kau sudah tahu itu, dan mengapa kau masih saja memaksaku untuk bermain— apa tadi?"

"Oh ayolah, Gray. Aku hanya ingin membantumu."

Yang dipanggil Gray itu mengerutkan kening. "Membantuku? Dalam hal apa?"

Pria berbandana ungu itu kembali tersenyum, tapi kini maknanya lain. Misterius dan sedikit mencurigakan. "Kau sungguh ingin tahu sekarang? Kau yakin tidak akan menyesal setelah mendengarnya?"

Gray menyipitkan mata. "Menyesal? Jadi permainan ini akan membuatku menyesal, begitu? Baiklah, aku tidak ikut," sambil berkata begitu, ia membalikkan badan dan bersiap untuk beranjak dari ruangan itu, yang ironisnya adalah kamar tempatnya menginap.

"Kau melintasi pintu itu dan keluar dari sini, kau tidak akan bisa kembali lagi."

Gray berbalik setelah mendengar suara yang sarat akan nada tegas itu. "Kau tidak berhak melakukan hal itu." Ia berpikir sejenak, kemudian berkata pelan, "Baiklah. Baiklah. Aku ikut. Tapi satu syarat."

"Apapun."

"Beritahu aku apa untungnya aku mengikuti permainanmu," Gray berkata sambil menatap tajam ke arah lawan bicaranya.

Lawan bicaranya itu memutar bola mata. "Hanya itu? Kukira apa. Kau tidak akan menyesal?" Ia mengulangi lagi kalimatnya.

Gray memandangnya dengan tidak sabar. "Aku sudah berjanji, Kai. Dan janji harus ditepati."

Yang dipanggil Kai itu tertawa ringan. "Oke. Dengan mengikuti permainan ini, kau akan mendapat suatu keuntungan yang besar. Kau tidak akan menyadarinya dalam jangka waktu yang singkat, itu masalahnya."

"Apa?"

"Kau tidak akan membohongi dirimu sendiri lagi," kini satu pria lain yang sedari tadi diam menjawab.

Gray mengerutkan kening. "Membohongi?"

Dua pria di hadapannya serempak mengangguk. Ia menunggu jawaban, tapi selama beberapa detik tidak ada yang bersedia membuka suara. Gray menjadi sedikit jengkel.

Akhirnya Kai yang menjawab, "Kau tidak bisa membohongi perasaanmu lagi."

"Ayolah, jangan berkata sepenggal-sepenggal begitu. Aku sama sekali tidak mengerti maksud kalian."

Kai tersenyum kecil. "Begini. Kami tahu, selama ini kau menyimpan perasaan pada gadis itu. Jadi—"

Gray membelalakkan mata. "Gadis itu? Maksudmu—? Tentu saja tidak! Aku hanya menganggapnya teman."

"Kau berbohong lagi. Sudah cukup sandiwaramu itu, Gray. Kami sudah tahu," Kai terkikik geli.

"Sandiwara? Kau mengetahuinya?"

Kai mengangguk. Gray menghela napas berat. "Oh astaga. Apa yang bisa kusembunyikan dari kalian, hah?"

"Perasaanmu," pria lain yang pendiam itu menjawab. "Tapi kurasa kali ini kau tidak bisa menyembunyikannya lagi."

Gray mendengus. "Huh, menyebalkan. Giliranku terakhir. Kalian dulu."

"Baiklah. Aku dulu," pria pendiam itu mengajukan dirinya untuk bermain pertama kali.

Kai tiba-tiba teringat sesuatu. "Tunggu sebentar." Ia berjalan menuju meja kecil di dekat tempat tidurnya, membukanya, lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas. Kertas foto.

"Foto siapa itu?" tanya Gray penasaran.

Kai sudah duduk di tempatnya tadi namun tak kunjung menjawab. Sebagai jawabannya, ia menunjukkan foto-foto itu ke hadapan dua temannya.

Ketika mereka mengamati foto-foto itu, mata mereka melebar. Gray menatap Kai dengan tatapan meminta penjelasan.

"Ini sebagai media agar kita tidak perlu menyebutkan nama mereka."

"Dari mana kau mendapat foto-foto ini? Kau memotretnya?" Gray tidak tahan untuk tidak mengutarakan pertanyaan itu.

Kai tersenyum misterius, namun tidak menjawab. Gray memandangnya sebal.

"Cliff, silakan ambil dan jelaskan perasaanmu padanya," perintah Kai.

Cliff mengangguk. "Bolehkah aku mengambil lebih dari satu jika aku merasakan hal yang sama terhadap gadis-gadis yang fotonya kuambil itu?"

Kai berpikir sejenak. "Boleh saja. Memangnya kau mencintai dua gadis sekaligus?"

Kalimat yang diucapkan Kai secara gamblang membuat Cliff terbelalak. "Tentu saja tidak. Aku bukan playboy sepertimu."

Tawa mereka meledak.

Tangan Cliff terulur untuk mengambil salah satu— ah, ternyata ia mengambil empat sekaligus. Mata Kai melebar. "Kau menyukai empat gadis sekaligus? Hebat sekali."

Cliff memutar bola mata. "Sudah kubilang aku bukan playboy sepertimu. Jadi bisa aku mulai sekarang?" Gray dan Kai mengangguk. "Empat gadis ini, aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Yang aku tahu mereka baik dan seru. Ah, kecuali yang ini, " ia berkata sambil menunjuk salah satu foto. "Namun kuakui, mereka memang cantik."

Tawa mereka meledak lagi.

"Ternyata kau pria normal, rupanya."

"Sialan!"

Pria pendiam itu mengembalikan foto itu dan mengambil salah satu dari dua foto yang belum terambil.

"Gadis ini, harus kuakui bahwa ia memiliki daya tarik yang kuat. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah menyukainya. Entah mengapa. Dan mungkin sekarang sudah berkembang menjadi cinta. Tapi aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya," Cliff berkata dengan sedih.

Gray menepuk-nepuk bahu Cliff pelan. "Tenang saja, kami akan membantumu."

"Bagaimana caranya?"

"Serahkan saja padaku!" seru Kai membanggakan dirinya sendiri.

"Huh!" Gray dan Cliff mencibir.

Kemudian Cliff mengembalikan foto itu dan mengambil foto yang sejak tadi belum terambil.

"Gadis ini, ia sahabatku. Ia selalu ada kapanpun aku membutuhkan. Aku tak punya perasaan apapun terhadapnya, karena memang aku hanya bisa menganggapnya sahabat. Atau mungkin seorang kakak yang menasihatiku saat dengan percaya dirinya aku benar, padahal tidak. Dan bisa jadi kebalikannya. Dan ya, hampir setiap sore kami bertemu di pantai untuk mengobrol," Cliff berhenti ketika Gray memandangnya tidak suka.

Sudah kuduga, pikir Kai.

"Maafkan aku Gray. Tapi aku benar-benar jujur tentang aku yang tidak punya perasaan apa-apa padanya," Cliff berkata lirih.

"Sekarang giliranmu, Gray," tegas Kai.

Gray yang namanya tiba-tiba dipanggil sontak membelalakkan matanya. "Aku terakhir saja."

"Huh, baiklah." Kai mengambil empat foto sekaligus, sama seperti yang Cliff lakukan sebelumnya. "Mereka menarik, namun aku hanya menganggap mereka teman saja."

Gray dan Cliff mengangguk. Kai mengembalikannya dan mengambil satu foto lain. "Sejujurnya aku mencintainya. Tapi kurasa aku harus merelakannya. Bukan hanya karena seorang pria yang ternyata sudah jatuh cinta padanya pula, tapi karena—"

Ia mengambil foto yang belum ia ambil sebelumnya dan berkata, "—aku juga ingin mempertimbangkan perasaannya. Karena sepertinya aku mulai— menyukainya."

Dua pria di hadapannya terkejut, namun segera saja tersenyum sambil mengacungkan jempol.

"Bisakah aku tidur sekarang? Aku sudah mengantuk," Gray memasang tampang mengantuk dan pura-pura menguap. Mencoba menghindar, rupanya.

Kai menggeleng tegas. "Kau tidak bisa melarikan diri kali ini. Sekarang giliranmu."

Pria bertopi 'UMA' itu hanya bisa menghela napas dan mengambil lima foto. Langkah yang sangat cepat. "Aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Aku tidak menyukai mereka. Namun mereka baik." Ia lalu menunjuk salah satu foto yang ia ambil dan bergumam, "Aku hanya bisa meminta maaf padanya. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya."

Singkat sekali, batin Cliff dan Kai.

Gray mengembalikan lima foto itu dan mengambil satu-satunya foto yang belum ia ambil. Ia memandang foto itu dengan intens, seolah yang ia pandangi adalah wujud aslinya. Kemudian ia tersenyum tipis seraya berkata, "Kalian benar, aku tak bisa membohongi perasaanku lagi.

"Gadis ini, sangat memesona, cerdas, suka membaca buku, dan tipe pekerja keras. Tanpa ia sadari, ia telah mengajariku berbagai hal. Tetapi yang jelas ia tidak tahu, aku— mencintainya. Dan sepertinya aku sudah jatuh cinta padanya jauh sebelum aku mengenalnya di sini."

Cliff mengerutkan alis, namun Kai mengangguk tanda mengerti. "Nanti kujelaskan," bisik Kai pada temannya yang bingung itu.

"Aku sudah tahu segala hal tentangnya. Namun dengan begitu, aku sama sekali tidak berniat meninggalkannya. Pantang malah. Karena yang aku inginkan saat ini hanyalah menjadi pria yang selalu berada di sisinya dan siap melindunginya."

Ia mulai melantur, tapi biarlah, ini berjalan dengan sempurna, Kai tersenyum.

"Mm... Aku tak tahu mengapa, tapi hari-hari tanpanya adalah hari yang begitu menyebalkan. Segala sesuatu yang kukerjakan tidak pernah beres, dan kau tahu itu sangat berbahaya. Aku membutuhkannya, sepertinya sudah menjadi candu. Tapi itu tak apa. Selama ia ada dalam jarak pandangku, aku selalu dapat bernapas lega dan melanjutkan kehidupan dengan normal."

Ia benar-benar mencintai gadis itu. Ternyata kalah telak itu menyakitkan.

"Ya, aku benar-benar mencintainya."