Rubah Merah dan Rubah Putih selalu menari di bawah sinar rembulan.
Rubah Merah meminta jiwa Rubah Putih, tetapi Rubah Putih hanya memberi perasaannya.
Rubah Putih menyayanginya, tetapi Rubah Merah lebih menyayangi kekuatannya.
Rubah Merah murka seperti warnanya, Rubah Putih terdiam seperti warnanya.
Rubah Merah kini membenci Rubah Putih dan membuatnya tidur untuk selamanya.
Rubah Merah dan Rubah Putih tidak lagi menari di bawah sinar rembulan.
Rubah Merah membuat dunia ini seperti warnanya.
Dan Rubah Putih memipih seperti warnanya.
Keluarga Shion adalah keluarga penjaga kuil para youkai dari dunia lain. Beratus-ratus tahun yang lalu, keluarga Shion berhasil mengunci siluman rubah merah paling jahat bernama Akagitsune no Neishi, atau lebih dikenal sebagai Neishi. Dia sangat cerdik dan licik, banyak korban yang meninggal secara tidak wajar karena ulahnya. Setelah dia ditangkap dan disegel oleh Shion Amagoto, kini Neishi berada dalam sebuah kotak yang bersegel di bawah tanah rumah keluarga besar Shion.
Jaman berganti, kini keluarga Shion masih menjaga kuil tersebut. Jaman sekarang, banyak orang yang jarang mengunjungi kuil. Orang-orang hanya datang ke kuil pada hari tertentu saja. Kepercayaan pun mulai berkurang. Dan hal ini, membuat Kaito—sebagai penerus kepala keluarga Shion—tidak memiliki keyakinan untuk melanjutkan warisannya.
Malam itu, adalah malam dimana besok perayaan Rubah Merah dilaksanakan. Di kuil sangat ramai untuk menyambut hari esok. Banyak orang yang mengunjungi kuil untuk berdoa agar Neishi, si Rubah Merah, untuk terkurung selamanya. Para pendeta dan miko sibuk bekerja untuk hari esok. Sebagai keluarga penjaga kuil ini, keluarga Shion mempersiapkan banyak hal untuk upacara besok. Ayah Kaito, Shion Kongo, membawa beberapa segel baru dan membawa beberapa bawahannya untuk pergi ke ruang bawah tanah. Ketika melewati ruang utama, Kongo melihat anak tunggalnya tersebut sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya. Dengan perasaan kesal, Kongo menghampiri Kaito.
"Apa yang kau lakukan?!" Kongo merebut ponsel Kaito. "Seharusnya kau sudah bersiap untuk pergi ke ruang bawah tanah dan membantu yang lain untuk upacara besok!"
Kaito berkeringat dingin dan membuang muka, "Bukankah ayah yang akan melakukan semua ini? Kenapa kau terus-terusan menyuruhku melakukan hal yang sama sekali tidak aku mengerti?"
Para bawahan Kongo mulai panik dan mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kongo dengan kasar menampar Kaito, "Dasar kau bodoh! Kau adalah keluarga Shion! Kita adalah keturunan yang berhasil mengunci Rubah Merah! Rubah Merah yang dulu telah banyak membunuh orang tidak berdosa!"
Kaito berdiri dengan wajah kesal, "Oh iya?! Lalu apa urusannya denganku?! Aku bukan yang menguncinya! Bukan juga ayah! Kita hanya keturunannya! Bukan berarti harus kita yang selalu melakukan hal ini!" sambil mengepal tangannya, Kaito pun lari dan pergi dari ruangan tersebut.
Bawahan Kongo, Hiyama Kiyoteru, menghampiri Kongo, "Tuan... apa saya harus mengejarnya?"
Kongo menghembuskan nafasnya, "Tidak perlu, percuma. Dia hanya akan memperlambat proses. Kita lanjutkan saja." ucap Kongo.
"Ba—baiklah." ucap Kiyoteru.
Kaito masih berlari menuju hutan di belakang kuil—rumahnya sendiri. Dia berhenti di depan gerbang kuil untuk menuju ke arah gunung. Kaito mulai komat-kamit disana karena kesal. Ketika sedang mengamuk, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak Kaito.
Kaito kaget, "Siapa?!" dia membalik badannya.
Terdengar suara tawa kecil, "Kaito... kau masih saja berkelakuan seperti bocah." itu adalah Meiko, sepupu Kaito. "Kau sudah berumur 25 tahun loh! Berhentilah berkelakukan seperti bocah SD."
Kaito menghela nafasnya, "Kau tidak akan mengerti bagaimana jika kau ada di posisiku, Meiko. Ayahku—tidak, semua anggota keluargaku terobsesi dengan rubah merah."
Meiko tersenyum, "Hei, aku juga keluargamu. Yah... sebenarnya aku tidak murni keluarga Shion. Aku hanya anak dari kakak ibumu."
Kaito dan Meiko sudah akrab sejak mereka masih kecil. Meiko memang bukan keturunan Shion, namun karena sering bersama Kaito, dia juga menerima pelajaran memanah dari Kongo. Ciri khas dari keluarga Shion adalah keahliannya dalam panahan. Kaito yang sudah berbakat sejak kecil dalam panahan, sama sekali tidak pernah menggunakannya dalam urusan keluarga maupun urusan lainnya. Itu karena saat dia berusia 6 tahun, Kaito pernah terkena tembakan panah besi youkai oleh seseorang di tempat pelatihan. Akhirnya, Kaito pun memilih latihan sendiri dan menyimpan keahliannya tersebut untuk sendiri. Bahkan sejak masa sekolah pun, Kaito menolak semua tawaran perlombaan ataupun udangan panahan. Meiko yang awalnya hanya terbawa Kaito, masih mendalami panahan hingga kini di sekolah panahan keluarga Shion.
"Bukannya sekarang harusnya kau membantu paman ke ruang bawah tanah? Padahal tahun kemarin akhirnya kau mau kesana." ucap Meiko.
"Tahun kemarin adalah tahun pertama dan terakhirku melihat ruang bawah tanah. Aku tidak mau kesana lagi. Disana tidak ada apa-apa selain kotak kumuh dan jelek yang dipasangi tulisan aneh di kertas jimat." Kaito membuang muka.
"Kau tahu di dalam sana adalah si Rubah Merah, 'kan?" ucap Meiko sambil mengangkat sebelah alisnya.
Kaito tersenyum sarkastik, "Heh... Jika aku buka kotak itu, yang keluar hanyalah debu dan lalat saja. Aku yakin itu."
Meiko terkekeh, "Sebagai keluarga Shion, kurasa pemikiran logis-mu yang paling sulit ditaklukan. Aku salut dan kasihan padamu dalam waktu yang bersamaan."
"Aku yakin kau juga tidak mempercayai hal semacam ini." Kaito melirik Meiko.
"Hei... aku bukan keluarga Shion. Jadi aku tidak ikut-ikut dalam urusan ini. Ini masalah kepercayaan. Dan sekarang, yang aku percayai adalah hologram yang digunakan sebagai alat konser." Meiko tertawa. "Oh iya..." Meiko melihat jam tangannya, "Aku harus kembali membantu ibumu dan para miko. Lebih baik kau juga membantunya, sebagai ganti kau tidak mendengar apa yang ayahmu katakan." Meiko pun pergi meninggalkan Kaito.
Setelah Meiko pergi, Kaito menyandar di salah satu pilar gerbang. Dia memandang langit malam yang penuh bintang. Dia menutup matanya dan berpikir kenapa dia harus hidup di keluarga yang masih mempercayai hal mistis.
"Tidak bisakah aku hidup normal?" ucap Kaito yang masih menutup matanya.
"Untuk seorang keluarga Shion, kau sangat menarik."
Suara tersebut membuat Kaito membuka matanya dan kaget. Tiba-tiba angin menghembus dengan kencang, langit yang penuh bintang sedikit demi sedikit tertutup oleh gumpalan awan hitam. Kaito menoleh kesana-kemari dengan keringat dinginnya.
"Siapa kau?!" teriak Kaito.
"Aku? Siapa aku? Siapa kau? Siapa yang peduli?"
"Siapa kau?! Tunjukan wajahmu!" Kaito kesal.
"Kenapa harus wajahku? Bagaimana jika aku tidak memiliki wajah?"
"Apa...?" Kaito kini benar-benar merasa jengkel. "Tunjukkan sosokmu atau—"
Dari atas ke hadapan Kaito, muncul seorang laki-laki tinggi dengan rambut putih panjangnya yang diikat, sebuah hiasan rambut yang terbuat dari kaca berbentuk bulat, berwarna merah memantulkan cahayanya ke wajah Kaito. Matanya tajam dan berwarna merah darah. Dia memakai baju tradisional merah yang panjang hampir menutupi semua anggota tubuhnya. Dia menatap Kaito dengan tajam dan senyumannya yang menyeringai membuat Kaito membatu untuk sesaat.
Suaranya berat dan parau, dia menjilat bibirnya sambil tersenyum, "Shion Kaito..." taringnya bisa terlihat jelas di mata Kaito, "Si bocah yang tidak percaya akan hal-hal mistis."
Kaito mundur secara perlahan, "Kau... Kau... Kenapa ber-cosplay di tengah hutan seperti ini?"
Dengan perasaan murka karena ucapan Kaito, sosok serba merah tersebut mendekati Kaito dengan cepat dan dia mencekiknya, "Mungkin aku akan melakukan ini agar kau tahu siapa aku." Tiba-tiba sosok merah tersebut menarik tangan Kaito dengan kasar dan mereka melayang ke langit.
Kaito terbelalak dan bernafas dengan cepat, "A—apa?! Tu—tunggu! Ke—kenapa?!"
Sosok merah itu menyeringai dan melepaskan genggamannya, "Dah..."
Kaito jatuh dari langit, dia berteriak dan panik, "Tunggu—!" dia menutup matanya.
"Kaito!"
Kaito membuka matanya dengan cepat. Dia melihat Meiko di hadapannya. Kaito melirik kesana-kemari.
Meiko menyilangkan tangannya, "Ya ampun... aku tidak percaya kau tertidur disini. Aku kira kau sudah pulang setelah aku pergi tadi. Ternyata kau masih disini. Sekarang sudah jam 1 pagi. Lebih baik kau berbenah diri sebelum ayahmu meledak-ledak."
Kaito masih bernafas dengan cepat dan matanya kosong.
"Kaito...?" Meiko mulai khawair dengan sepupunya. "Kau tidak apa-apa?"
Kaito pun berdiri, "Aku..." dia menatap Meiko dengan wajah pucat, "...harus menemui ayahku!" setelah itu dia lari meninggalkan Meiko.
"Hah?!" Meiko bingung, "Tunggu! Apa maksudmu—Hei, Kaito!"
Kaito berlari menuju kuil, disana Kongo dan para bawahannya sedang mempersiapkan upacara. Semua orang disana terheran-heran melihat Kaito. Kiyoteru yang sempat melirik Kaito, dia melihat sebuah benang merah terang di puncak Kaito.
"Ayah!" teriak Kaito.
Kongo menghela nafasnya, "Kaito, lebih baik bersiap-siap, upacara akan dimulai jam—"
Kaito berwajah kusut, "Ayah! Bagaimana wujud si Rubah Merah?!"
Semua orang yang ada disana kaget dan semua menjadi hening. Mata tertuju pada Kaito yang berbicara hal aneh. Kenapa tiba-tiba Kaito bertanya tentang Rubah Merah yang sama sekali tidak dia pedulikan. Kongo menatap anaknya yang masih terengah-engah.
"Kaito... apa yang kau katakan? Kenapa tiba-tiba?" Kongo mengerutkan alisnya.
Nafas Kaito terputus-putus, "Aku... melihat—"
Kiyoteru menarik benang tipis yang berwarna merah terang dari pundak Kaito, matanya terbelalak kaget dan tangannya gemetaran memegang benang tersebut, "A—Akagitsune no Neishi."
Kepanikan muncul disana, orang-orang mulai berbicara tidak jelas dan suasana tidak terkontrol. Kongo menarik benang yang dipegang Kiyoteru. "Benang api neraka. Ini potongan benang dari Rubah Merah." dia melirik Kaito dengan keringat dingin, "Kaito... kau melihatnya...?"
"Aku..." Kaito memperlihatkan pergelangan tangannya yang dipegang oleh Rubah Merah, "...telah ditarik ke langit olehnya."
Tangan Kaito lebam dan jika dipegang terasa dingin seperti es. Kongo menyuruh para miko untuk mengurus Kaito. Kongo mengarahkan beberapa bawahannya. Ibu Kaito dan Meiko datang ke ruangan tersebut, ibu Kaito berlinangan air mata karena khawatir anak satu-satunnya tersebut hampir mati oleh Rubah Merah.
"Semua! Siapkan senjata kalian! Kita akan menutup daerah kuil dan gunung! Pasangkan mantera di setiap sudut, jangan sampai ada yang hilang! Ingat! Setiap sudut! Kita tidak boleh membiarkan Neishi berkeliaran terlalu jauh atau dia akan memakan korban! Atau mungkin lebih buruk lagi... dia akan membalaskan dendamnya." Kongo tampak serius, "Semuanya! Bergerak sekarang!"
"Baik!" semua menjawab serempak, dan suasana di kuil kini mulai mencekam.
Kongo dan Kiyoteru berada di grup yang sama untuk melindungi gerbang utama, Kiyoteru melirik tuannya, "Maafkan saya, Tuan. Tapi bagaimana Neishi bisa keluar dari kotak segel? Kita sudah menggantinya dan tidak ada tanda-tanda dia melarikan diri."
"Aku belum tahu. Sekarang yang penting adalah menahan Neishi." ucap Kongo tegas.
Kaito kini berada di kamarnya, dia menatap langit-langit kamarnya dan masih terbayang-bayang akan wujud Neishi. Kaito ingin melupakan sosok mengerikan tersebut. Kaito menutup matanya dan mencoba membuang ingatannya akan Neishi. Ketika dia membuka matanya, Neishi muncul di langit-langit sambil menyeringai kearah Kaito.
Kaito kaget dan berdiri dari futon-nya, "Ka—kau! Neishi!"
Neishi turun dari langit-langit dan mendekati Kaito. Dia menaruh jemarinya yang sangat dingin di mulut Kaito, dia tersenyum, "Jangan berteriak terlalu keras. Kenapa kau selalu berteriak jika melihatku?" dia menyeringai, "Apa aku membuatmu takut?"
Kaito berlari menuju lemari kayunya dan mengambil busur dan anak panah. Neishi menatapnya dan sekarang menatap Kaito dengan wajah malas, "Busur dan anak panah. Kau benar-benar keluarga Shion."
Kaito memasang kuda-kuda untuk menerbangkan anak panahnya kearah Neishi, "Neishi, ini adalah anak panah besi yang diberi—"
"Mantera pengunci youkai?" Neishi bermuka malas, "Iya, aku tahu. Kalian keluarga Shion sangat senang membuat benda-benda seperti itu." kini dia menatap Kaito dengan dingin, "Dan berhentilah memanggilku Neishi."
"Oh iya?" Kaito masih memasang kuda-kuda, "Lalu aku harus menyebutmu apa? Akagitsune? Atau aku harus menyebutkan nama lengkapmu? Hah? Akagitsune no Neishi?"
Mata Neishi kini menyalat, taringnya keluar dan dia mulai mengerang dengan keras. Tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi seekor rubah besar berwarna merah. Kaito menelan ludah dan siap-siap memanah kepala rubah raksasa tersebut. Namun, bulu rubah merah itu memipih dan kini dia berwarna putih. Kaito kaget dan agak menurunkan busurnya.
Kaito menganga, "Kau... Shirokitsune no Seiran...?"
Rubah itu mendekati Kaito. Dia mengeluarkan cakarnya dan menghampiri secara perlahan. Kaito yang menurunkan busurnya, kini mengangkatnya lagi dan mengarahkannya ke kepala rubah tersebut.
"Shirokitsune no Seiran sudah punah jauh sebelum Akagitsune no Neishi disegel. Dia punah karena Neishi membunuhnya. Neishi membunuh semua youkai yang berusaha menghentikannya untuk membunuh manusia. Termasuk Seiran." ucap Kaito.
Seiran masih dalam bentuk rubah raksasa, kamar Kaito yang cukup besar tampak sempit karenanya. Dia menatap Kaito dengan matanya yang tajam. Tetapi, perlahan-lahan dia kembali ke wujud biasa. Dia kembali mengenakan pakaiannya yang serba merah, kecuali scarf-nya yang berwarna putih.
Seiran tersenyum, "Kenapa manusia ingin sekali melihatku mati? Letakan busur dan anak panah-mu. Aku tidak akan melukaimu."
Kaito perlahan menurunkan busurnya sambil gemetaran, "Tidak akan melukaiku? Di hutan kau mencekikku dan mengangkatku ke langit. Lebih parah lagi, kau menjatuhkanku."
"Itu karena kau berisik sekali." ucap Seiran sambil menutup mulutnya dengan gaya tidak mau tahu. "Tapi... aku cukup kaget kau tidak takut padaku. Oh tunggu..." Seiran menyeringai, "Kau takut padaku."
Kaito masih berwajah kesal, "Apa maumu? Kau mau membalaskan dendam Neishi? Padahal kau juga tidak suka jika dia membunuh manusia-manusia yang tidak berdosa."
Seiran tersenyum, "Ah... Akagitsune no Neishi. Kalian memanggilnya seperti itu karena dia adalah Rubah Merah (Akagitsune) dan Pijakan Batu (Neishi)." Seiran kini menyeringai, "Tapi sayang sekali, kami memiliki nama kami sendiri di dunia youkai."
Kaito heran, "Bu—bukankah nama kalian tertera di buku youkai?"
"Buku youkai?" Seiran tersenyum, "Itu hanyalah sebuah buku yang ditulis seorang pendeta dan semua mengikuti apa yang dia katakan. Sedangkan para pendeta sama sekali tidak tahu kehidupan kami yang sebenarnya. Neishi (Batu Pijakan)? Oh... dia sangat benci dipanggil dengan nama itu."
"Berarti... kau juga bukan... Seiran." Kaito masih menatap Seiran dengan serius.
"Mereka memanggilku Shirokitsune no Seiran, karena aku selalu membuat suasana menjadi sejuk dan dingin. Manusia-manusia saat itu tinggal di pegunungan, akhirnya aku dipanggil Shirokitsune no Seiran (Rubah Putih si Udara Pegunungan). Mereka selalu memberi nama-nama yang menggelikan." Seiran menyeringai, "Akagitsune no Neishi memiliki nama sendiri... dia bernama Yuuma."
"Yuuma (Kuda Pemberani)? Sedikit aneh karena dia bernama Yuuma, tetapi dia seekor rubah." Kaito heran.
Seiran menyeringai, "Oh... tidak, tidak. Dia adalah Yuuma yang berarti Setan Senja. Warna senja yang merah dan sifatnya yang memang seperti setan. Dia lebih senang dipanggil seperti itu."
Kaito agak mundur, "Dan... nama aslimu?"
Seiran sempat terdiam, lalu dia tersenyum, "Mungkin kau tidak perlu mengetahuinya."
Kaito mengepalkan tangannya, "Kenapa kau memberitahuku semua hal ini?"
"Ini pengetahuan umum bagi anak seorang penjaga kuil youkai. Kau harus mengetahui semua youkai yang ada di dunia kami. 'Harus saling mengenal untuk hubungan yang lebih baik.' seperti yang manusia katakan." Seiran mulai tampak menghilang, "Aku kesini untuk memberimu peringatan, Shion Kaito. Ayahmu, Shion Kongo, adalah orang yang lemah. Dan biar kuberitahu, ayahmu tidak bisa menahan Yuuma. Lihat saja, hari ini akan sangat merepotkan bagi kalian." Seiran tersenyum selagi sosoknya yang menghilang.
Kaito menghela nafasnya, "Apa-apaan itu tadi?" dia melihat lebam bekas genggaman tangan Seiran yang dingin, "Dia ingin aku melakukan sesuatu?"
Waktu menunjukan pukul 8 pagi. Semua orang datang untuk berdoa ke kuil dan merayakan festival Rubah Merah. Kaito yang baru saja bangun hendak pergi ke kamar mandi. Di lorong, dia bertemu dengan Meiko yang sudah memakai pakaian miko dan siap membantu menjalankan perayaan.
"Kaito! Dasar kau ini! Ayahmu sudah siap dari tadi! Cepat mandi! Ingat, jangan cuci muka saja, mandi!" Meiko memberi pakaian Kaito, "Ini. Bibi menyuruhmu memakainya. Ingat, jangan membantah dan pakai saja." Meiko pun pergi.
Kaito membeberkan pakaiannya dan ternyata benar, itu adalah pakaian khusus untuk upacara. "Yang benar saja. Aku tidak tahu harus berbuat apa nanti di altar." ucap Kaito sambil menguap dan pergi ke kamar mandi.
Di kamar mandi, Kaito sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan Meiko, dia hanya menggosok gigi dan mencuci muka saja. Ketika dia selesai mencuci muka dan bercermin, di belakang Kaito, muncullah Seiran dengan senyumannya yang khas. Kaito kaget hingga dia hampir menjerit. Dia langsung membalik badannya ke belakang dan memasang wajah kesal.
"Apa maumu?" ucap Kaito dengan nada ketus.
"Ingat... ayahmu lemah, Shion Kaito." setelah itu Seiran kembali menghilang.
Kaito menunjukkan wajahnya yang kesal. Dia memang kurang menyukai ayahnya, namun mendengar kata-kata Seiran, Kaito merasa terhina.
Setelah itu, Kaito yang sudah memakai pakaian lengkap keluar dari rumah dan berjalan menuju kuil. Disana dia bertemu dengan Kiyoteru yang sedang membantu Meiko.
Meiko tersenyum sambil memegang palu, "Oh lihat, lihat. Tuan Pendeta sudah siap menjalani upacara pertamanya." sambil terkekeh, Meiko kembali memalu paku.
"Selamat pagi, Tuan Kaito." ucap Kiyoteru. "Sepertinya anda sudah siap."
Kaito membuang muka, "Yah... terserah kalian." Kaito mendekati Kiyoteru. "Aku tahu ini mendadak. Bisa kau berikan kunci perpustakaan kuil?"
Kiyoteru agak kaget, "Oh, ada apa?"
"Aku hanya ingin membaca beberapa buku sebelum upacara dimulai. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan nanti di altar. Mungkin aku bisa membaca buku-buku panduan." ucap Kaito.
Kiyoteru tersenyum, "Kalau itu, Tuan Kongo sendiri yang akan mengajarimu langsung—"
"Berikan aku kuncinya. Ini rumahku." ucap Kaito dingin.
"Ba—baiklah." Kiyoteru memberi kunci perpustakaan kuil pada Kaito. "Kenapa tiba-tiba anda jadi tertarik? Apa karena semalam?"
Kaito pergi meninggalkan Meiko dan Kiyoteru tanpa berkata apa-apa.
"Kenapa dia?" tanya Meiko pada Kiyoteru.
Kiyoteru kini agak curiga, "Entahlah, Nona Meiko."
Kaito tiba di perpustakaan dan pergi ke bagian buku macam-macam youkai. Disana ada Hatsune Miku, si miko muda yang mendapat julukan 'Perpustakaan Berjalan'. Kemampuan dan pengetahuannya tentang youkai jauh lebih hebat daripada Kaito yang disahkan sebagai pewaris dari keluarga Shion si Penjaga Kuil Youkai.
"Tuan Kaito?" ucap Miku, "Ini aneh sekali. Kenapa anda kemari?"
Kaito merasa jengkel, "Kenapa semua orang menyangka ini aneh? Bukankah ini normal?" lalu Kaito menyadari sesuatu, "Tunggu... kenapa kau ada disini? Bukankah kunci perpustakaan hanya dimiliki oleh Kiyoteru?"
Wajah Miku agak panik, "Tolong jangan beritahu yang lain aku telah menggandakan kunci perpustakaan. Tuan Kiyoteru tidak mengijinkan aku berada di perpustakaan seharian." Miku tersenyum, "Tidak biasa anda kemari dan mengecek buku-buku tentang youkai. Anda berkata sendiri jika mahluk-mahluk seperti itu tidak ada di dunia ini."
"Diamlah. Dan beritahu aku dimana buku-buku tentang Rubah Merah dan Rubah Putih." ucap Kaito.
"Baiklah. Ada di sebelah sini." ucap Miku sambil memimpin jalannya. "Di rak ini anda bisa menemukan beberapa trik youkai saat mereka melakukan pengalihan jiwa. Dan itu sangat mengagumkan. Apa anda tahu jika youkai bisa memberi jiwanya pada manusia? Itu keren sekali! Aku harap youkai cantik mau memberikan jiwanya padaku." ucap Miku yang tampak senang. "Tunggu, tapi itu akan membuatku menjadi youkai untuk menggatikannya."
"Iya... terserah aku tidak peduli." balas Kaito dengan nada malas.
Miku berhenti, "Hmm... bukunya ada di rak nomor 3. Di atas sana, Tuan Kaito. Mungkin anda bisa mengambilnya sendiri."
Kaito menarik sebuah buku yang tebalnya mengerikan dan berat. "Apa-apaan buku ini? Apa aku bisa melempar maling dengan ini?"
Miku tertawa, "Anda lucu sekali, Tuan. Silahkan baca. Aku akan berada di lorong 2." ucap Miku lalu dia pergi.
Kaito duduk di lantai tatami dan membuka buku tebal tersebut. Isinya bukan hanya tulisan, namun juga terdapat gambar-gambarnya. Kaito kembali melihat sampul bukunya yang berjudul 'Siluman Rubah: Akagitsune no Neishi dan Shirokitsune no Seiran'. Kaito masih heran karena ada orang yang mau menulis buku yang tebal seperti bantal dan hanya membahas siluman rubah. Dia pun membuka halaman pertama tentang Neishi.
"Akagitsune no Neishi adalah siluman rubah yang bisa membakar apapun atau siapapun hanya dengan tatapan matanya." Kaito mengerutkan alisnya, "Menggelikan." Kaito pun kembali membacanya.
"Sebelum tersegelnya Neishi, dia adalah youkai yang paling ditakuti oleh manusia. Selain membunuh para manusia, dia juga membunuh para youkai. Shirokitsune no Seiran, yang terkenal sebagai pendampingnya pun dibunuh olehnya. Tujuan dari Neishi adalah mengumpulkan jiwa-jiwa, dan itu membuat dirinya menjadi youkai terkuat dan paling berkuasa." Kaito menghela nafasnya, "Apa ini? Dia mirip seorang politikus yang memeras rakyat kecil."
"Yuuma memang youkai yang aneh." ucap Seiran yang tiba-tiba muncul di samping Kaito.
Kaito kaget dan mengepalkan tangannya, "Kau... bisakah keluar dengan cara biasa?"
Seiran tersenyum, "Kau sepertinya menjadi tertarik dengan masalah ini. Tapi aku masih penasaran. Kau adalah keluarga Shion yang paling berpikir logis, tapi kau sepertinya biasa saja denganku. Biar kuberitahu, rata-rata orang biasa akan ketakutan hingga mati jika melihat youkai."
Kaito pun terdiam, dia memandangi bukunya, "Aku tidak peduli. Aku memang berpikir logis, tapi bukan berarti aku tidak mempercayai hal ini. Orang yang logis, hanya percaya dengan apa yang dia lihat. Aku sudah melihatmu, jadi... tidak ada masalah."
Seiran mengusap kepala Kaito, "Kau adalah anggota keluarga Shion. Kau adalah penjaga para youkai. Para youkai pasti tahu dengan keluarga Shion. Kita bukanlah musuh, tapi kita bukan teman juga."
Tangan Seiran yang dingin membuat Kaito merinding dan anehnya terasa nyaman, seperti usapan yang penuh dengan kasih sayang. Kaito menunduk dan membuka halaman pertama Shirokitsune no Seiran.
"Shirokitsune no Seiran adalah Rubah Putih yang memiliki hati lembut dan akan melakukan apapun untuk orang yang dia kasihi." Kaito melirik Seiran, "Kau punya orang yang kau kasihi?"
"Aku?" Seiran tersenyum, "Tentu saja. Tapi dia sudah tidak ada disini."
Kaito agak penasaran, "Dia manusia? Jaman apa? Kau mencintainya?"
Seiran tersenyum dengan tatapan lurus ke mata Kaito, "Tentu saja, tapi dia membunuhku."
"Eh?" Kaito sempat bingung, "Yuuma?"
"Dalam lagu Rubah Merah dan Rubah Putih. Aku yakin kau sering mendengarnya." Seiran menyandar ke rak buku, "Rubah Merah dan Rubah Putih selalu menari di bawah sinar rembulan. Rubah Merah meminta jiwa Rubah Putih, tetapi Rubah Putih hanya memberi perasaannya. Rubah Putih menyayanginya, tetapi Rubah Merah lebih menyayangi kekuatannya." kini Seiran menatap Kaito, "Banyak orang pada jaman itu menyangka aku benar-benar menyayanginya."
"Kau... tidak berencana untuk membawa dia hidup kembali, kan?" tanya Kaito dengan wajahnya yang ketus sambil melirik tajam Seiran.
Seiran terdiam sambil menatap tatapan Kaito yang penuh rasa amarah, dia tersenyum, "Untuk apa aku menghidupkan youkai yang hanya mencintai kekuatanku saja. Dan lagi, dia tidak mencintaiku seutuhnya. Kenapa aku harus repot-repot?"
Kaito berdiri sambil membawa buku itu, "Aku tahu. Kau ingin dia hidup kembali." Kaito pergi dari lorong tersebut menuju pintu keluar, "Tapi kuingatkan, selama aku berdiri disini, hal seperti itu tidak akan terjadi. Jika tidak..." Kaito sempat berhenti dan menatap balik Seiran, "Kalian akan kubunuh secara bersamaan." Kaito kembali berjalan dan meninggalkan perpustakaan.
Seiran menyeringai dan sedikit demi sedikit menghilang dari tempat dia berdiri.
Upacara akan segera dimulai, Kaito pergi menuju altar utama sambil membawa buku tersebut. Banyak orang yang sudah duduk di tempat upacara. Ibu Kaito dan Meiko duduk dekat Kongo, dan Kongo menyuruh Kaito duduk di sampingnya. Kaito pun duduk sesuai perintah ayahnya.
"Dari mana saja kau?" tanya Kongo.
Kaito menyimpan bukunya di sampingnya, "Aku hanya meneliti beberapa buku. Mungkin kini saatnya aku harus membuka mataku untuk membunuh Rubah Merah dan—" Kaito menunduk terdiam.
"Dan siapa?" Kongo menghela nafasnya, "Aku senang kau mau meneruskan warisan kita. Tapi membunuhnya? Kurasa itu mustahil. Bahkan Shirokitsune no Seiran pun terbunuh oleh Neishi."
Kaito mengepalkan tangannya, "Seiran dibunuh oleh Neishi... aku tidak yakin akan hal itu."
Hari itu berjalan dengan sangat cepat, kini jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Upacara resmi memang sudah berakhir, namun festival-nya masih berlanjut hingga tengah malam nanti. Kaito dan Meiko mengelilingi beberapa stand dan sepertinya menikmati festival ini. Namun, Kaito sepertinya terganggu, karena Seiran kadang muncul di sembarang tempat dan berbisik ke telinga Kaito jika dia harus hati-hati. Kaito tahu maksud Seiran hanyalah untuk menakut-nakuti saja, maka Kaito mengabaikan Seiran saat dia bersama Meiko menikmati suasana festival.
Ketika Kaito sendirian di pinggiran bangunan kuil, Seiran muncul kembali.
"Shion Kaito. Aku tahu aku hanyalah youkai. Tapi jangan pernah kau mengabaikan apa yang aku katakan." Wajah Seiran berubah menjadi dingin. "Kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi nanti."
Kaito merasa malas dengan ocehan Seiran, "Iya, iya, aku mengerti. Kau juga sebenarnya senang kan jika suatu hari nanti youkai yang kau cintai kembali ke dunia ini." Kaito tersenyum sarkastik, "Biar kutebak... jika nanti Neishi—oh, maksudku Yuuma, karena kau sangat mencintainya, mungkin kau juga tidak suka jika dia dipanggil Batu Pijakan. Oke, kembali ke awal... Jika nanti Yuuma kembali ke dunia manusia, aku yakin kau akan mendekatinya dan berkata, 'Maafkan aku, cintaku. Aku dulu berbuat hina, seharusnya aku bersamamu menghancurkan dunia. Tapi lihat, aku kembali dan kita akan mengulang dari awal lagi dan akhirnya kita bisa hidup bahagia.' lalu... pada akhirnya kalian menguasai dunia, kami para manusia dan youkai di dunia sana, akan benar-benar menjadi pijakan kaki si Pijakan Kaki."
Mata merah Seiran berubah menjadi putih, dia terus menatapi Kaito dengan dingin. Cakarnya mulai keluar dan taringnya juga kini tampak di wajahnya. Seiran benar-benar murka dalam keheningan, dia menggenggam pundak Kaito dengan keras dan membuat Kaito merintih kesakitan.
"A—apa yang kau lakukan?!" Kaito masih merasa kesakitan.
"Kau adalah manusia paling hina yang pernah aku temui, Shion Kaito. Kau telah mempermainkan sumpahku dan kau akan segera menyesalinya." Seiran mengangkat Kaito ke langit perlahan-lahan.
"Tu—tunggu! Kau mau melakukannya lagi?!" Kaito memegang pergelangan tangan Seiran dengan kencang.
"Biar kutunjukan, betapa perihnya diriku saat itu." Seiran menyeringai.
"A—apa?! Tunjukan apa?!" Kaito melihat cahaya putih menghampirinya, sangat menyilaukan, hingga Kaito harus menutup matanya.
Tak lama kemudian, Kaito membuka matanya. Dia berada di depan hamparan sawah yang disinari matahari. Dia melihat kesana-kemari, dan yang dia lihat hanyalah sawah dan gubuk-gubuk seperti rumah lama. Kaito mulai panik. Dia sama sekali tidak tahu dimana dan dia mencari Seiran. Ketika dia panik, ada dua orang petani berjalan melewati Kaito.
"Permisi!" Kaito masih panik, "Bisakah kau beritahu—"
Dua orang petani itu tidak bisa melihat Kaito. Mereka hanya mengobrol tanpa menyadari adanya Kaito.
"Kemarin putra dari Yamanokawa telah dibunuh Neishi." ucap petani yang tampak sudah tua. "Lalu, aku dengar dari pengembara, di desa selatan pun sudah banyak korban Neishi."
Petani kedua yang agak muda menghela nafasnya, "Sampai kapan ini akan berakhir? Apakah hidup kita akan terus dihantui oleh Neishi?"
"Pendeta Shion dan bawahannya sudah banyak berkorban. Mungkin saatnya kita melakukan sesuatu juga." ucap petani tua.
"Kita? Apa daya kita yang hanya seorang petani? Bahkan seorang pendeta tidak bisa membunuh Neishi. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa pada Dewa." balas petani muda.
Dua petani itu pun akhirnya berjalan melewati Kaito. Saat itu, yang Kaito ketahui adalah Seiran membawanya ke masa-masa Neishi sedang berajaya. Kaito mengerti apa maksud dari Seiran, tapi dia tidak mengharapkan untuk dilempar kembali ke masa lalu dan tidak ada yang bisa melihatnya. Setelah itu, Kaito berjalan menelusuri jalan besar. Dia sama sekali tidak tahu dia berada di jaman apa. Tapi peradabannya benar-benar kuno.
Kaito yang tidak bisa dilihat orang lain, duduk di kursi sebuah tempat makan. Dia melihat sekelilingnya, wajah-wajah penduduk disana sama sekali tidak memiliki arti hidup. Mereka suram dan kelam. Kaito tidak tahan melihat ini dan akhirnya kembali berdiri. Dia berjalan mengikuti benteng batu yang menjalar sepanjang jalan. Setelah lama berjalan, Kaito menemukan gerbang dari benteng tersebut. Dia langsung berlari dan menghampiri gerbang itu. Ternyata itu adalah gerbang masuk ke kuil Shion. Dengan cepat, Kaito masuk ke sana dan pergi ke altar utama. Disana ada seorang pendeta—yang pasti adalah keluarga Shion—sedang duduk sambil membaca beberapa mantera. Kaito duduk di sampingnya dan melirik wajah pendeta tersebut. Mata Kaito terbelalak karena pendeta Shion ini sangat mirip sekali dengan ayahnya. Tiba-tiba...
"Ayah...!" datang anak kecil laki-laki yang memakai scarf menghampiri pendeta tersebut.
Pendeta itu tersenyum dan memeluk anaknya, "Oh Amagoto... kau bersemangat seperti biasanya."
Kaito kaget karena anak kecil ini adalah Shion Amagoto, orang yang berhasil mengurung Neishi hingga Kaito bisa hidup sampai hari ini. Dia melihat dengan seksama ke wajah Amagoto, dan kini dia semakin kaget karena Shion Amagoto benar-benar mirip dengannya saat kecil.
"Aku sudah menembak 12 anak panah ke sasaran yang sama." ucap Amagoto.
"Baguslah. Dengan ini, kau bisa menangkap dan membunuh Neishi tanpa ragu-ragu." ucap pendeta tersebut sambil mengelus kepala Amagoto. "Pergilah bermain, ayah sedang berdoa agar Neishi tidak mengganggu keluarga kita."
Amagoto tersenyum, "Baiklah!" dia pun berlari keluar.
Karena penasaran, Kaito pun berdiri dan mengikuti Amagoto. Kaito tidak tahu jika leluhurnya sangat mirip dengannya. Kini dia berpikir, apa sifatnya sama atau berbeda. Amagoto berhenti di depan sebuah pohon sakura yang besar, bunganya berwarna putih dan angin membuat bunga-bunganya berterbangan kesana-kemari. Amagoto melihat ke atas pohon dan tersenyum.
"Kau tidak meminta bantuan orang dewasa untuk naik kesana, kan?" ucap Amagoto sambil tertawa kearah anak kecil laki-laki yang sedang berdiri di atas pohon sakura tersebut.
Kaito penasaran dan akhirnya melihat ke atas juga, disana ada seorang anak laki-laki berambut panjang diikat dan penampilannya cukup sangar. Anak laki-laki berkuncir itu turun dari pohon dan berwajah ketus.
"Dengar ya, aku tidak pernah berbuat curang dalam hidupku." anak laki-laki sangar itu menyilang tangannya.
Amagoto masih tersenyum, "Tenang, tenang. Aku hanya bercanda, Gakupo."
Anak laki-laki sangar itu bernama Gakupo. Dia sepertinya teman Amagoto. Mereka bermain dekat pohon sakura tersebut. Kaito merasa tidak mau berjalan kemana-mana lagi, akhirnya duduk di bawah pohon tersebut dan melihat Amagoto dan Gakupo bermain. Setelah lama bermain, Amagoto dan Gakupo duduk sambil melihat pohon sakura tersebut.
"Hei, Gakupo..." ucap Amagoto, "Menurutmu, apa ayahku bisa menangkap Neishi?"
Gakupo berwajah biasa saja sambil memainkan sebuah ranting patah, "Tidak tahu. Tapi aku yakin dia bisa menangkapnya. Dia adalah pendeta, dan dia sama sepertimu, kalian adalah keluarga Shion."
"Aku takut jika ayahku terus-terusan gagal menangkap Neishi. Akhirnya dia akan memberikan tugasnya padaku." ucap Amagoto dengan wajah sedih.
Gakupo menghela nafas, "Kenapa kau selalu bersikap seperti ini? Kita hanyalah anak-anak, kita tidak perlu mengkhawatirkan masalah ini."
Kaito memperhatikan mereka berdua dan dia kini merasa kasihan melihat leluhurnya cengeng seperti itu. Kaito melirik kearah Gakupo, Kaito agak jengkel karena sepertinya Gakupo hanya disana dan tidak berbuat apa-apa.
Tiba-tiba Gakupo mengelus kepala Amagoto, "Sudahlah... jangan terlalu dipikirkan."
Amagoto tersenyum, "Terima kasih... dan seperti biasa, tanganmu sangat dingin dan rasanya nyaman sekali."
Gakupo langsung melepas elusannya, "Dasar bodoh."
Kaito merasa familiar dengan suasana ini, dia terus menatapi Gakupo. Lalu, ketika Kaito melihat kearah lain, Seiran berdiri dan menatap Kaito dengan tajam. Kaito pun langsung lari menghampiri Seiran.
Kaito tampak murka, "Seiran! Kau rubah bodoh! Kembali—"
Seiran sama sekali tidak menatap Kaito, melainkan menatapi Gakupo. Kaito yakin dia adalah Seiran, namun sepertinya dia benar-benar berpenampilan serba putih, karena Seiran yang dia kenal memiliki unsur kemerahan, seperti bajunya, matanya, dan hiasan rambutnya. Disini dia tampak putih seutuhnya dan rambutnya pun sama sekali tidak sepanjang Seiran yang Kaito tahu. Dan lagi, Seiran disini tampak kusut dan sepertinya mudah marah.
"Gakupo..." ucap Seiran sambil memasang matanya kearah Gakupo, "Kamui Gakupo..."
Kaito tidak pernah mengenal nama Kamui Gakupo, bahkan dalam sejarah keluarganya, nama Kamui Gakupo sama sekali tidak ada. Kaito sekarang keheranan, jika memang Gakupo adalah teman baik Amagoto, seharusnya sekali atau dua kali namanya tersebutkan di buku riwayat Shion Amagoto. Seiran menghampiri mereka. Dan sepertinya yang diketahui, Amagoto dan Gakupo sama sekali tidak bisa melihat Seiran. Kaito yang melihat dari kejauhan masih kebingungan dengan pola ini.
Seiran meniupkan sesuatu kearah Gakupo. Lalu, tiba-tiba Gakupo memegang tangan Amagoto, "Tunggu..." ucap Gakupo.
"Ada apa, Gakupo?" tanya Amagoto.
"Ikuti aku." ucap Gakupo sambil menarik tangan Amagoto.
Kaito pun akhrinya mengikuti mereka hingga ke sungai. Disana ada seorang wanita yang sedang mengambil air. Amagoto sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud Gakupo.
"Ada apa dengan wanita itu?" tanya Amagoto.
Gakupo berwajah kosong, "Dia sangat lemah, namun memiliki tekad yang kuat. Aku yakin Neishi akan membunuh wanita itu."
Kaito kaget dengan ucapan Gakupo, tapi Amagoto hanya menghela nafasnya, sepertinya dia tahu kebiasaan Gakupo ini, "Dengar Gakupo... aku tahu kau senang bercanda. Dan... mungkin beberapa dari ucapanmu benar-benar terjadi. Tapi jika kita lihat dari kejadian-kejadian yang lalu, tidak ada orang dewasa yang mempercayai omongan kita."
"Dia akan menderita, lebih baik kita yang melindunginya." ucap Gakupo. "Kita sudah dewasa. Kita sudah berumur 12 tahun. Saatnya kita perlihatkan jika kita adalah laki-laki sejati."
"Gakupo..." wajah Amagoto tampak khawatir.
"Sepertinya kau menikmati pertunjukannya, Shion Kaito."
Kaito langsung membalik badannya, dan ternyata itu adalah Seiran yang dia kenal. "Seiran... apa maksudnya ini? Aku tidak mengerti apa yang perlihatkan."
"Seperti yang kau lihat, dia adalah leluhurmu yang berhasil menyegel Yuuma, Shion Amagoto." Seiran melirik Kaito, "Apa kau tahu siapa bocah yang bersamanya?"
"Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah dia bernama Kamui Gakupo dan dia adalah teman Shion Amagoto." Kaito masih bingung. "Dan... sepertinya aku melihatmu dengan versi lain."
Seiran tersenyum, "Benar sekali. Itu adalah aku. Dan saat itu... tidak ada satu manusia pun yang bisa melihatku."
"Apa?" Kaito kini menatap Seiran, "Kenapa? Bukankah pendeta atau orang yang memiliki kemampuan khusus bisa melihat youkai?"
"Mereka bisa melihat yang lain, tapi aku sama sekali tidak bisa terlihat oleh siapapun." ucap Seiran. "Tetapi..." Seiran menatap Gakupo. "Hanya ada satu orang di dunia ini yang bisa merasakan kehadiranku dan mendengar suaraku."
Kaito juga menatap Gakupo, "Dia..." Kaito kembali kearah Seiran, "Tapi, aku sama sekali tidak mengerti apa yang ingin kau tunjukan padaku. Aku yakin ini semua ada maksudnya. Karena... Kamui Gakupo, orang yang bisa merasakan kehadiran dan mendengar Shirokitsune no Seiran, sama sekali tidak ada dalam buku sejarah ataupun dibicarakan orang. Dia adalah kunci semua kejadian ini, kan?"
"Benar sekali." Seiran tersenyum, "Kamui Gakupo adalah anak sebatang kara dan dia tidak memiliki apa-apa selain teman baiknya, Shion Amagoto. Tapi... dia memiliki kemampuan khusus yang bahkan seorang youkai pun tidak bisa menandinginya."
Kaito tampak berpikir, "Jadi... Kamui Gakupo sebenarnya yang menyegel Yuuma?"
"Bukan begitu..." Seiran memegang tangan Kaito, "Mungkin kita harus melihat lebih jauh lagi."
Ketika tangan Kaito dipegang, mereka tiba-tiba muncul di depan kuil. Saat itu sudah malam, dan suasana juga agak berantakan. Ayah Amagoto pergi memerintahkan bawahannya agar semua bersiap untuk melawan Yuuma. Kaito kaget dan memegang tangan Seiran dengan erat.
"Semuanya! Bawa panah besi kalian dan bersiaplah menembak Neishi!" ucap sang Pendeta.
Kaito masih memegang tangan Seiran dengan erat. Seiran merapatkan tangannya agar Kaito bisa berlindung dekat dengan tubuhnya, "Tenanglah... ini hanya cerminan masa lalu."
"Ta—tapi... Jika memang Yuuma akan terlepas lagi di jamanku, hal ini akan terjadi padaku, 'kan?" wajah Kaito pucat. "Aku tidak pernah membayangkan ini. Aku tidak bisa menerima warisan seberat ini."
Seiran mengelus kepala Kaito dengan tangannya yang dingin, "Jangan pernah kau pikirkan. Selama aku berada di sampingmu, semua ini bukanlah apa-apa."
Kaito mengangkat wajahnya yang pucat ketakutan, "Se—Seiran..."
Seiran tersenyum dan dia menoleh keatas langit malam, "Lihatlah... Akagitsune no Neishi... Yuuma sedang menyerang mereka dari langit."
Kaito melihat keatas langit, dan dia sangat kaget melihat sosok Yuuma secara langsung—bukan dari gambar yang sering dia lihat dari buku. Matanya benar-benar picik, penampilannya yang serba merah sangat mengintimidasi. Penampilannya tidak jauh berbeda dari Seiran, namun dia lebih praktis tanpa scarf dan rambut panjang. Dia bergerak dengan cepat dan satu per satu membantai orang-orang yang mencoba membunuhnya.
Seiran tersenyum putus asa melihat pemandangan masa lalu ini, lalu dia menoleh kearah pohon di samping kuil, "Kaito... kau lihat disana?"
Kaito menoleh kearah pohon yang ditunjukan oleh Seiran, "Apa...?" Kaito kaget karena disana ada Gakupo yang sedang berdiri dengan wajah pucat sambil melihat kejadian ini.
Kaito panik, "A—apa yang dia lakukan disini?! Dia bisa terbunuh!"
Gakupo terlihat seperti ingin masuk ke garis pasukan, namun dia tampak ragu-ragu sambil memegang pedang yang dia bawa. Kaito menarik tangan Seiran.
"Waktu itu kau menyelamatkannya, 'kan? Seiran!" teriak Kaito.
Seiran hanya tersenyum memandangi Gakupo. Lalu, dia melirik Kaito. "Dia adalah orang yang lemah... tapi memiliki tekad yang kuat."
Kaito kebingungan, "A—apa?"
Di belakang Gakupo, muncul Seiran pada masa itu. Seiran berbisik pada Gakupo, dan akhirnya Gakupo membalik badannya dan ternyata bisa melihat Seiran. Gakupo tampak ingin menangis dalam pelukan Seiran. Sedangkan Seiran tersenyum hangat dan sepertinya membisikkan sesuatu ke telinga Gakupo.
Kaito yang melihatnya semakin bingung, "Se—Seiran... waktu itu, apa yang kau lakukan padanya?"
Seiran hanya terdiam dalam senyumannya.
Seiran pada masa itu, memberi hiasan rambut yang terbuat dari kaca miliknya pada Gakupo. Dia tersenyum kearah Gakupo, Gakupo sendiri mulai menangis melihat Seiran yang setelah melepas hiasan rambutnya, kini mulai memipih seperti jiwanya menghilang. Seiran terbang dan dengan cepat menghampiri Yuuma di langit malam.
Yuuma menyeringai, "Oh... akhirnya kau menampakan diri di hadapanku. Tapi, seperti biasa, tidak ada yang bisa melihatmu." Yuuma menyadari sesuatu, "Tunggu... kemana hiasan rambutmu?"
Seiran tersenyum, "Sepertinya matamu tajam seperti biasa."
"Kemana?!" Yuuma tampak murka, "Kau kemanakan hiasan rambutmu?!"
"Sekalipun suatu hari kau menguasai dunia. Kau tidak akan sempurna." Seiran meraih tangan Yuuma. "Karena kita memang satu, namun berbeda."
Tangan Yuuma mulai memipih bersama Seiran yang juga kehilangan bentuknya. Yuuma berusaha melepaskan genggaman tangan Seiran. "Lepasakan aku! Kau tidak bisa melakukan ini! Kau! Apa kau memberikan hiasan rambutmu pada bocah itu?! Katakan padaku!"
Semua pasukan yang berusaha menyerang Yuuma sempat terhenti karena Yuuma tampak kerepotan sendiri. Tiba-tiba udara saat itu menjadi dingin, kabut mulai bermunculan. Ayah Amagoto melihat sekelilingnya dan mengeluarkan keringat dingin.
"Ini... Shirokitsune no Seiran..." ucap Ayah Amagoto. "Berikan aku busur dan anak panahku!" teriaknya, dan setelah itu dia mengarahkan anak panahnya kearah Yuuma yang sedang mencoba melepaskan dirinya dari Seiran. "Aku akan membidiknya."
Yuuma mulai mengeluarkan tanda-tanda jika dia akan berubah menjadi rubah merah. Taringnya mulai keluar dan amukannya menjadi raungan. Seiran yang sedikit demi sedikit kehilangan bentuknya hanya tersenyum.
"Kau tidak bisa membunuhku! Kau tidak akan pernah bisa membunuhku!" teriak Yuuma. "Jika memang kau memilih bocah itu, aku bersumpah, suatu hari aku akan mendapatkan jiwamu!"
Ayah Amagoto dengan seksama membidik kearah Yuuma, dan saat anak panah ditembakkan, cahaya putih muncul dari pohon dimana Gakupo berdiri tadi. Karena cahaya itu, bidikkan ayah Amagoto agak meleset. Anak panah itu menembus dada Seiran, setelah itu mengenai pipi Yuuma. Seiran tersenyum dan bentuknya mulai menghilang. Sedangkan Yuuma meraung kesakitan.
Kaito terdiam dan berwajah pucat, "Se—Seiran... jangan-jangan..."
Sebagian pasukan menghampiri pohon tersebut dan melihat apa yang terjadi. Yuuma menutup sebagian wajahnya karena terkena panah. Dia tampak murka dan akhirnya dia pergi dengan bentuk rubah sambil mengacak-ngacak kota. Ayah Amagoto berusaha mengejarnya, diikuti sebagian pasukannya. Daerah kuil kini mulai agak tenang.
"Hei! Cepat kemari!" ucap seorang pasukan yang tadi menghampiri pohon dimana Gakupo berdiri. "Ini..." dia mengangkat pedang Gakupo yang tergeletak di tanah, "...pedang milik siapa?"
Setelah keadaan agak mereda, Amagoto keluar dari tempat persembunyiannya di kuil. Dia berlari menghampiri pada pasukan yang sedang berkumpul di dekat pohon.
"Dimana ayah?!" ucap Amagoto. "Apa kalian berhasil menangkap—" tiba-tiba mata Amagoto terbelalak. Dia kaget karena seorang pasukan memegang pedang milik Gakupo, "I—itu... Itu pedang milik Gakupo..."
"Gakupo?" tanya para pasukan. Lalu, seorang pasukan menyadarinya, "Kamui Gakupo? Teman anda yang berambut panjang itu, Tuan Muda?"
Amagoto mulai menangis dan merebut pedang tersebut, "Kemana dia?! Kenapa pedangnya ada pada kalian?! Dimana Gakupo?!"
Semua pasukan merasa enggan dan kasihan melihat tuan muda mereka seperti ini. Kaito yang masih melihat semua ini juga ikut kaget, dia menoleh kearah Seiran yang berdiri di sampingnya.
Kaito berkeringat dingin, "Aku dengar jika youkai bisa memberikan jiwanya pada manusia, dan manusia itu akan menjadi youkai. Siluman rubah menyimpan jiwanya dalam hiasan rambutnya. Kau..." Kaito mengerutkan alisnya, "Kau... Kamui Gakupo?"
"Kau sudah melihat terlalu banyak. Dan aku harap kau tahu maksudku kenapa aku menunjukan ini semua, Shion Kaito." ucap Seiran yang lalu menutup mata Kaito.
"Kau menyayanginya?"
"Aku sangat menyayanginya."
"Kau mau melindunginya?"
"Aku akan melindunginya dengan nyawaku."
Kaito membuka matanya, dia kembali ke samping kuil dimana festival masih berlangsung. Dia terengah-engah dan tampak murung. Lalu, Meiko menghampiri Kaito.
"Ternyata kau disini! Cepat kita ke depan gerbang kuil!" ucap Meiko sambil tersenyum, "Pesta kembang apinya akan segera dimulai!"
Kembang api telah ditembakan ke langit, Meiko manyun, "Ah... kita terlambat. Dasar bodoh! Ayo cepat!" Meiko melihat Kaito. "Ka—Kaito?"
Kaito meneteskan air matanya, "Gakupo..."
To be continued...
