Disclaimer: Naruto punya om Masashi Kishimoto. Tidak ada keuntungan materil yang aku dapatkan dari membuat fanfiksi ini.


Sakura

"Ya, aku mengerti."

Selalu seperti ini jika aku mengajaknya bertemu. Pasti banyak alasan untuk menolak ajakan makan siang dariku. Ini sudah yang kesekian kalinya sejak empat bulan lalu kami memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Namun selama itu juga frekuensi pertemuan kami dapat di hitung dengan jari. Menyedihkan? Ya, cukup menyedihkan karena aku harus beberapa kali menelan kekecewaan menerima penolakan dari dirinya. Tapi aku berusaha menekan rasa kecewa itu agar tidak menguasai diriku untuk membencinya, karena rasa cinta ini sudah terlalu dalam untuk pria itu.

Love at First sight, itu bisa dikatakan mungkin terjadi padaku saat pertama kali tanpa sengaja bertemu dengannya. Pertemuan yang menjadi awal dari kisah hidup kami untuk seterusnya. Aku bertemu dengannya pertama kali di sebuah toko buku, saat aku mencari sebuah buku referensi untuk pekerjaanku. Tanpa sengaja kedua tangan kami bersentuhan saat akan mengambil sebuah buku yang sama. Terdengar seperti adegan drama memang apa yang kami alami. Tapi nyatanya memang itulah yang terjadi, dan sejak itulah aku mengagumi dirinya.

Sasuke. Pria tampan, tinggi, dan kuketahui hidupnya mapan karena dia merupakan seorang CEO Akatsuki Department Store yang mendadak menjadi pusat pikiranku sejak mengenal dia setelah pertemuan kedua kami di sebuah kafe saat jam makan siang. Dengan sedikit keberanian, aku mencoba untuk mengakrabkan diri dengannya agar bisa lebih dekat tentunya. Entah mengapa dengan pria ini aku merasa harus berusaha untuk mendapatkannya padahal selama ini aku tidak terlalu berminat untuk mengejar pria mana pun sebagai kekasihku. Setidaknya secara serius.

Hari berganti hari. Kami pun semakin dekat layaknya sebagai teman. Namun itu tidak bertahan lama karena aku menyatakan perasaanku kepadanya lebih dari rasa sukaku sebagai teman. Tapi perasaan suka wanita terhadap seorang pria. Aku cukup kaget dengan reaksinya yang hanya tersenyum, lalu tanpa ragu dia menerima perasaanku.

Bukankah itu sungguh keberuntungan bagiku karena aku tidak perlu menanggung malu jika perasaanku ditolak?

Aku pikir dengan menjalin hubungan dan memiliki status sebagai kekasih dari seorang Sasuke hidupku akan berbeda dari sebelumnya. Tapi sama sekali tidak ada perubahan. Intensitas pertemuan yang sedikit malah membuatku cukup frustrasi. Apalagi mengingat hubungan kami yang baru seumur jagung. Seharusnya saat ini menjadi masa yang paling membahagiakan, kurasa.

Drrrttt … drrrtttt …

Kurasakan ponselku bergetar menandakan pesan masuk.

Sakura, cepat kembali ke kantor!


Aku segera bangkit dari kursi kafe setelah membaca pesan dari rekan kerjaku, kemudian langsung menuju kasir dan segera berjalan meninggalkan kafe untuk kembali ke kantor.

Siang ini aku berencana untuk menemui Sasuke di kantornya, karena jika aku mengajak bertemu di luar kemungkinan aku akan menerima penolakan lagi. Untungnya pekerjaanku hari ini tidak terlalu banyak sehingga aku bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk menemui dia. Aku sudah berada di depan bangunan yang berdiri kokoh dengan tulisan Akatsuki Department Store di depannya, dan bergegas menuju ruangannya.

Saat aku telah berdiri di depan pintu ruangan Sasuke yang sedikit terbuka, aku dapat melihat Sasuke sedang berbincang dengan seorang pria yang tidak kukenali karena posisinya yang memunggungiku. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya sesuatu hal yang serius. Dengan ragu aku mengetuk pintu. Tanpa menunggu jawaban Sasuke, aku langsung melangkah menuju ke depan meja kerjanya.

"Kau boleh keluar sekarang," perintah Sasuke pada pria tersebut.

Pria itu menganggukkan kepala, kemudian membalikkan tubuhnya. Saat kami berpapasan, pria tersebut menatapku sebentar, dan tersenyum kepadaku. Aku pun membalas senyumannya. Entah kenapa aku merasa melalui senyuman pria itu ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Aku hanya mengendikkan bahu mengabaikan rasa penasaran yang mungkin akan berkelanjutan jika tidak mengingat tujuan awalku datang kemari.

Aku langsung melemparkan senyuman ke arah pria yang sedang menatapku dengan tatapan dingin yang sama sekali tidak kuhiraukan.

"Kenapa kau repot – repot datang kesini?" tanyanya tanpa memandangku dan menyibukkan diri dengan berkas – berkas yang ada di meja kerjanya. Aku menghela napas pelan mengingat pertanyaan darinya yang menyiratkan kalau dia seakan tidak suka jika aku menemuinya atau mungkin ini hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan.

"Kalau aku mengajakmu bertemu di luar, kau pasti akan menolaknya lagi jadi aku memutuskan untuk datang ke kantormu," jawabku dengan kekehan pelan.

"Bukankah kau belum makan siang, bagaimana kalau kita makan siang?" bujukku kepadanya yang masih saja berkutat dengan tumpukan berkas di meja kerjanya.

"Aku tidak lapar," jawabnya singkat.

"Tapi bukankah ini sudah waktunya jam makan siang? Kau juga harus ingat dengan perutmu," ujarku tidak mau kalah.

"Aku bilang aku tidak lapar, dan aku bukan anak kecil yang harus diingatkan tentang jam makan siang," katanya dengan nada membentak, membuat aku terkejut dengan sikapnya karena untuk pertama kali selama aku mengenalnya dia berkata sedikit keras kepadaku.

"Baiklah kalau kau tidak ingin makan siang. Aku akan menemanimu di sini."

"Terserah." Setidaknya dia tak menolak permintaanku.

Dia kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa menghiraukan diriku yang sedang menahan lapar ini. Tapi rasa lapar ini sepertinya terbayarkan dengan objek di depanku. Garis wajahnya yang tegas, kerutan di dahinya yang terkadang sangat dalam, mata kelam yang sangat fokus dengan kertas – kertas di hadapannya menjadi pemandangan tersendiri bagiku. Apalagi sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Anggap saja ini sebagai pelepas rasa rinduku padanya yang sudah tidak teredam lagi. Sembari memerhatikan dirinya yang masih sibuk dengan pekerjaannya, aku teringat dengan pria yang berbincang dengannya tadi. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak terlalu tertarik untuk mengetahui keberadaan pria tadi tapi aku hanya ingin mengeluarkan suara untuk mencairkan suasana hening yang tercipta sejak beberapa saat lalu.

"Sasuke, siapa pria tadi?" tanyaku langsung yang membuat dia mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Bukan siapa – siapa," jawabnya datar.

"Lalu kalian membicarakan apa? Sepertinya sesuatu yang sangat serius?" tanyaku lagi semakin penasaran atas jawabannya barusan.

"Apa kau berniat menginterogasiku sekarang? Sejak kapan kau mulai ikut campur urusan orang lain?" aku pun hanya menggigit bibir bawahku, menutupi rasa gugupku saat melihat wajahnya saat ini yang seakan sedang menahan amarah.

"Maaf, aku tidak bermaksud ikut campur, tidak mengapa kalau kau tidak ingin cerita," kataku masih dengan rasa gugup. Sepertinya keputusanku untuk bertanya perihal pria tersebut salah besar. Seharusnya dari awal aku memang tidak terlalu berani untuk ikut campur urusannya. Aku pun merutuki sikap keingintahuanku yang tidak pernah hilang sehingga membuat moodnya yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Suasana pun hening kembali. Merasa bosan dengan keadaan ini aku mengitari pandanganku menelisik sekeliling ruang kerjanya.

Nuansa putih hampir mendominasi ruangan ini. Sofa coklat bergaya minimalis berada tepat di depan meja kerjanya yang juga bergaya minimalis. Ada banyak buku yang berjejer rapi di rak lemari yang tidak terlalu besar berada di samping meja kerjanya. Jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang ramai di siang hari. Bisa dibayangkan pemandangan kota di malam hari mungkin akan lebih indah dengan kerlap – kerlip lampu hias. Pandanganku terhenti ketika melihat sebuah pigura yang berada di pojok kanan meja kerja Sasuke.

Dari sini aku dapat melihat dengan cukup jelas foto seorang pria yang sudah pasti itu Sasuke, dan seorang wanita yang tidak aku kenal. Aku dapat melihat kedekatan mereka berdua dari cara mereka yang saling tersenyum satu sama lain. ntah apa hubungan antara mereka berdua yang sejujurnya membuat hatiku sedikit tidak menerima melihat keakraban mereka. Aku hanya berprasangka mungkin wanita itu mempunyai hubungan keluarga dengan Sasuke meskipun tidak ada kemiripan dari paras wajah mereka. Ya … hanya sekadar untuk menenangkan hati. Aku takut jika bertanya lagi kemungkinan hal seperti tadi akan terulang lagi. Cukup tadi saja seorang Sasuke tidak ingin urusannya dicampuri sekali pun aku adalah kekasihnya.

Aku melirik arloji yang kukenakan. Sudah hampir satu jam aku menghabiskan waktuku untuk bertemu Sasuke walaupun lebih banyak waktu untuk dia mengacuhkan diriku. Aku pun berniat beranjak dari kursi yang kududuki untuk kembali ke kantor, dan terhenti saat dia mengeluarkan suaranya.

"Akhir pekan nanti, kujemput pukul 7 malam." Perkataannya sukses membuatku bingung. Apa barusan dia mengajakku kencan?

"Aku tidak suka menunggu, dan maaf aku tidak bisa mengantarmu kembali," lanjutnya.

"Ah, tidak apa – apa," jawabku sambil tersenyum senang.

Aku hampir bersorak kegirangan mendengar ajakannya barusan, dan untungnya aku masih bisa mengontrol sikapku yang tidak melompat kegirangan di hadapannya. Sepanjang perjalanan, aku hanya mengulum senyum bahkan sesekali tertawa mengingat kejadian tadi. Aku tidak peduli apa kata orang yang melihat keadaanku sekarang, yang kupedulikan adalah aku tidak sabar menunggu akhir pekan tiba. Semoga ini jadi awal yang baik agar sikapnya kembali lembut seperti saat pertama kali kami mengenal.

TBC


Hai hai, ini ff SasuSaku pertamaku. Mohon kritik dan sarannya ya ^^