After Dark
.
.
.
Malam ini bulan berbentuk bulat sempurna, dan sinarnya terang sekali. Cahayanya yang gemilang langsung mengenyahkan rasa takut akan kegelapan yang biasa hadir saat malam menjelang. Meskipun sinarnya tidak mampu mengusir kegelapan seutuhnya, tapi cahayanya saat ini sudah lebih dari cukup.
Dan pria itu memandang semuanya dengan penuh ketakjuban.
Sebelumnya ia tidak pernah memperhatikan, bahkan tidak tertarik sedikitpun pada hal sepele semacam itu. Ia selalu merasa semua yang ia lihat dan semua hal yang ia temui, sangat membosankan dan tidak berguna. Dan semua yang tidak berguna hanya akan menghalangi langkahnya.
Namun kini, ia mulai berpikir dirinya sudah mulai gila karena merasa hal yang dulu terlihat biasa dan tidak menarik sekarang berubah menjadi sesuatu yang luar biasa menakjubkan.
Hanya dalam satu malam.
Dan semua itu makin aneh saat ia menyadari bahwa dirinya telah sengaja membiarkan ada orang asing yang terlibat.
Sasuke tersenyum saat mengingat bagaimana semua itu berawal. Entah kebetulan atau hanya mencari kesempatan. Tapi ia tidak menyesal sama sekali. Dan seringaiannya makin lebar saat ia merasakan cakra seseorang yang sangat dikenalnya bergerak mendekat.
Tampaknya malam ini akan menjadi semenarik malam sebelumnya.
.
DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO
STORY BY AZALEA RYUZAKI
PAIR: SASUHINA
RATED : M
WARNING: SEMI CANON, OOC, TYPO
.
.
Ia baru saja kembali dari misi dan merasa sangat lelah. Aliran cakra-nya sedikit kacau, tapi Hinata memilih mengabaikannya dan terus memaksakan kakinya untuk tetap meloncat diantara cabang-cabang pohon dengan tergesa.
Malam yang baru saja tiba dan hutan yang kini tampak remang-remang karena cahaya bulan purnama sedikit mengaburkan pandangannya. Tapi hal itu tidak membuatnya mengurungkan niat untuk menemui lelaki itu.
Ia membutuhkan penjelasan…mengapa lelaki itu tega melakukan hal itu padanya?
Setelah semua kecemasan dan upayanya untuk menghindar, lelaki itu dengan seenak jidat membongkar semuanya kepada orang-orang. Dan itu dilakukan tanpa sepengetahuannya. TANPA memikirkan dirinya. Oh Kami…bagaimana jika ayahnya sampai tahu?
'Tentu saja ia akan tahu,' pikir Hinata panik.
Ayahnya mungkin sudah tua, jarang keluar dari kediaman Hyuuga yang nyaman dan sangat malas berbaur dengan warga sekitar. Jikapun keluar, ayahnya hanya akan mengunjungi dua tempat. Tempat pertama adalah kantor Hokage, biasanya untuk membicarakan masalah klan, misi dan hal-hal membosankan seperti itu. Hinata hanya berharap bahwa Hokagenya mau bermurah hati dengan tidak memberitahukan ayahnya tentang berita itu.
Tempat kedua yang biasa ayahnya kunjungi adalah makam ibunya. Berbeda dari kepercayaan orang-orang yang meyakini bahwa ibunya akan dimakamkan di 'tanah' Hyuuga, ayahnya justru lebih memilih menempatkan ibunya di atas bukit kecil. Bukan tempat yang luar biasa memang, tapi Hinata suka berada disana. Apalagi saat musim semi dimana bunga-bunga disekitar bukit akan bermekaran.
Hanya saja gambaran menenangkan dari hamparan bunga itu seketika lenyap saat ia membayangkan kemurkaan ayahnya.
Meskipun ia meyakini bahwa ayahnya jarang keluar dari kediaman Hyuuga dan benci bergosip, tapi tetap saja dinding punya telinga.
Sepandai-pandainya ia menyembunyikan bangkai, akhirnya tercium juga.
Sialan. Hinata tidak tahu apa ia masih bisa berpikir jernih saat berbicara dengan lelaki itu nanti ketika dirinya dipenuhi keinginan tak terbatas untuk mencingcang lelaki itu seperti saat ini.
Kami-sama…ia benar-benar putus asa.
Napasnya sedikit terengah saat akhirnya ia melihat tanah lapang di antara cabang dan ranting pohon yang menghalangi pandangan. Di tanah lapang berumput itu ada sebuah danau kecil yang berair jernih. Hinata sangat suka berada di sana dan mencelupkan kaki telanjangnya ke dalam air yang dingin.
Namun bukan itu yang menjadi tujuannya saat ini, melainkan lelaki yang sekarang berdiri tenang di pinggir danau.
Lelaki itu tampak asyik menatap pantulan bulan purnama yang tercetak jelas di atas permukaan air danau yang gelap tanpa bergeming sedikitpun, meskipun Hinata yakin lelaki itu sudah menyadari kehadirannya.
"Kenapa kau melakukannya?" Tanya Hinata langsung. Tidak ada tegur sapa sopan penuh kecanggungan yang biasa ia lontarkan. Yang ada saat ini hanyalah rasa kesal yang makin lama makin meningkat. Bukannya menjawab, lelaki itu hanya menoleh padanya dengan acuh. Seakan tidak peduli, atau pura-pura tidak tahu, pada kemarahan gadis itu.
"Aku sudah memintamu merahasiakannya…" lanjutnya lagi, mengabaikan sikap acuh lawan bicaranya. "Aku memohon padamu untuk tidak mengatakan apapun. Tapi kenapa kau masih melakukannya? Apa maumu?!" Tanya Hinata lagi dengan sedikit frustasi.
Sepanjang hidupnya, Hinata tidak pernah meneriaki siapapun. Tidak pernah. Ia terlalu sopan untuk melakukan hal itu. Dan hal lain yang juga tidak pernah dilakukan Hinata adalah marah.
Selama ini ia beranggapan bahwa marah sama sekali tidak ada gunanya karena saat kita marah, saat itu juga kita sulit untuk memaafkan.
Tapi sekarang ia tidak peduli jika seumur hidup tidak memiliki maaf untuk lelaki ini. Bahkan Hinata rela tidak akan pernah mau memaafkannya sampai kapanpun.
"Naruto menolakmu?" Tanya lelaki itu dengan acuh. Ia melangkah mendekati Hinata yang masih memasang wajah kesal yang tidak ada artinya bagi lelaki itu.
"Jangan mendekat." Perintah Hinata sambil beringsut menjauh. Ia masih sangat marah dan tidak yakin bisa mengendalikan diri. Bagaimana jika tanpa sengaja ia membunuhnya? meskipun itu pasti menyenangkan, tapi Hinata tidak yakin konsekuensinya sepadan.
Sayangnya, suaranya yang sedikit gemetar terdengar jelas di telinga lelaki itu, menimbulkan seringai meremehkan yang tercetak jelas diwajah tampannya. Dan hal itu pulalah yang kembali memunculkan rasa geram di dalam diri Hinata.
Sambil menguatkan diri agar tidak lagi terpengaruh lelaki itu, Hinata berusaha tetap berdiri diam ketika lelaki itu kini berada terlalu dekat dengannya. Lengan kekarnya ditopangkan pada pohon besar di belakang Hinata. Secara otomatis mengurung tubuh mungil gadis itu diantara kedua lengannya.
"Takut?" Tanyanya dengan lembut sembari menyentuh pipi gadis itu. Menciptakan rona merah samar yang sangat ia sukai. Namun Hinata segera menepis tangannya ketika jemari kasar lelaki itu dengan berani menyentuh bibir bawahnya.
"Jangan menyentuhku!"
Hinata bisa merasakan bibirnya sedikit gemetar akibat sentuhan lelaki itu. Namun ia bersyukur suaranya tidak ikut gemetar. "Aku datang kemari hanya karena ingin tahu mengapa kau tega melakukannya?"
"Aku hanya mempertahankan apa yang menjadi milikku."
"Aku bukan milikmu!" Jerit Hinata dengan frustasi. "Apa yang terjadi…diantara kita…hanyalah sebuah kesalahan."
"Begitu." Gumam Sasuke dan dengan sengaja semakin merapatkan tubuh mereka. "Jadi tidur denganku adalah kesalahan?"
Dengan sedikit panik, Hinata mencoba menjauh saat ia merasa tubuhnya semakin dihimpit lelaki Uchiha itu. Meskipun tahu usahanya akan sia-sia, tapi ia tetap berusaha sekuat tenaga mendorong dada bidang Sasuke dengan kedua lengannya.
Namun lelaki itu dengan mudah menangkap tangannya dan mendorong punggungnya agar menempel pada batang pohon lagi, cukup keras hingga Hinata kehilangan kata-kata.
Ditengah keterkejutannya, Sasuke kemudian mencengkram rahang Hinata, tidak terlalu keras, tapi cukup berhasil memaksa sang sulung Hyuuga tidak bisa mengalihkan tatapan dari wajahnya lagi.
"I-itu memang kesalahan. Aku mabuk. Kita berdua mabuk." Ucap Hinata dengan usah payah. Ia berusaha melepas cengkraman Sasuke dari rahangnya, sementara tubuhnya memberontak dibawah himpitan lelaki itu.
"Kau tidak terlihat mabuk saat menjeritkan namaku," bisik Sasuke didekat bibir Hinata, berat tubuhnya makin menghimpit wanita itu. Membuatnya tidak berkutik. "Aku bisa mengingatkanmu jika kau mau."
"Ti-tidak…lepas"
Dengan panik Hinata kembali memberontak. Ia meletakkan tangannya dibahu Sasuke, bermaksud mendorong lelaki itu. Tapi Sasuke sudah lebih dulu menundukan kepalanya menjangkau bibir Hinata. Lidahnya berhasil menerobos mulut Hinata yang terbuka. Dalam beberapa detik ciuman panas berubah menjadi lumatan kasar.
Ketika ciuman itu berakhir, Hinata memalingkan wajahnya dengan napas terengah. Merasa malu dan kesal disaat yang bersamaan. Sementara Sasuke menempelkan bibirnya di leher jenjang Hinata yang terbuka. Menghirup aromanya.
"Aku tidak pernah menganggapnya sebagai kesalahan." Bisik Sasuke, ia mengecup pangkal leher Hinata Hinata sekilas. Kemudian dengan perlahan dan sedikit enggan menegakkan tubuhnya dan beranjak menjauh. Meninggalkan Hinata yang tampak masih terpaku dalam posisinya.
Ketika wanita itu akhirnya tersadar, ia langsung berlari pergi. Kembali meniti dahan-dahan pohon dengan kecepatan yang menakjubkan. Tanpa sepatah katapun.
Tanpa salam perpisahan.
Sasuke hanya tersenyum sembari mengusap bibirnya, menikmati rasa Hinata yang tertinggal. Matanya terus mengawasi sosok wanita itu yang menghilang dibalik pepohonan dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ia tidak keberatan hubungannya dengan Hinata tersebar dan di ketahui seluruh penduduk desa. Ia benar-benar tidak peduli. Setidaknya hal itu akan memudahkannya mengklaim Hinata sebagai miliknya.
Hnya saja, sepertinya hal itu tidak pernah ada dipikiran gadis Hyuuga ini. Dan itu benar-benar hal yang sangat merepotkan. Ia tidak terbiasa mengejar seorang perempuan. Merekalah yang biasanya mengejar dan bertekuk lutut dihadapannya. Bukan sebaliknya.
Dan ia akan memastikan hal itu tetap berlaku.
Namun, ada satu hal yang menggangu pikirannya. Berita tentang hubungan mereka tersebar dengan sangat cepat. Ia yakin ada seseorang yang tahu pasti mengenai apa yang terjadi antara Sasuke dengan Hinata. Dan orang tersebut tidak segan mengumbarnya ke muka umum. Yang harus dilakukan Sasuke sekarang adalah mencari tahu siapa orang itu sebelum ia kembali berulah.
Masalahnya…darimana ia harus mulai?
.
.
.
tbc.
.
.
terimakasih sudah membaca.
