Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

.

.

Warning:

OOC.

Typo.

Alur gaje.

Dan lain-lain yang gak berkenan.

.

Pokoknya baca aja kalau penasaran.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Maybe tomorrow you'll say that you're mine

You realize, I could change

I'm gonna show you I mean it for life

I'll get you back, some day..."

.

.

.

ooO0Ooo

Sasuke Uchiha menatap frustasi ke arah anak laki-laki berusia 3 tahun yang sedang menangis dengan suara keras di atas lantai ruang kerjanya. Anak laki-laki berambut hitam raven yang sama sepertinya itu, tampak sedang terduduk di lantai kerjanya dengan beberapa barang berserakan di sekelilingnya.

"Sudah aku bilang, berhenti menangis! Kau laki-laki, jangan cengeng!" serunya kesal. Dia mengambil barang-barang yang berjatuhan di lantai dengan geram. Tanpa mempedulikan tangisan anak itu yang semakin keras, dia segera membereskan barang-barangnya yang beberapa saat yang lalu dijadikan mainan anak laki-laki itu dan sekarang berceceran sembarangan di lantai ruang kerjanya.

"Kalau kau tidak berhenti menangis, aku akan memukulmu! Aku tidak bercanda!" gertaknya marah. Tapi bocah itu meraung semakin keras dan dia mulai kembali membanting barang-barang yang ada di dekatnya dengan marah.

Sasuke sudah tidak bisa menahan kesabarannya lebih lama melihat bocah itu menangis semakin keras.

"Aku bilang diam. Atau aku benar-benar akan memukulmu!" teriaknya.

Pintu ruang kerjanya bergeser dan seorang perempuan muda masuk dengan tergopoh. Dia masih mengenakan mantel mandinya dan rambut merah muda sebahunya masih sedikit basah saat dia masuk ke ruang kerja itu. Perempuan itu menatap Sasuke dan anak laki-laki itu dengan bergantian.

"Ada apa ini?" tanyanya. Sakura Uchiha, nama perempuan itu, menghampiri putranya yang masih menangis dan membelai rambutnya dengan halus. Dia menatap sekelilingnya dan menghela napas lelah sekaligus putus asa.

Sasuke tidak menjawab dan masih sibuk membereskan barang-barangnya yang berceceran. Barang-barang yang ada di ruangan itu adalah kunci hidupnya. Dari sinilah dia mendapatkan pekerjaannya sebagai seorang penyanyi dan komposer yang sedang naik daun di Jepang saat ini. Ruang kerja ini adalah segalanya baginya. Dan selama ini belum ada yang berani masuk ke sini, meski hanya untuk berbincang-bincang sebentar, apalagi untuk mengganggunya dan menghancurkan barang-barang yang ada di sini.

"Bawa anak itu menjauh dari sini. Dan jangan pernah membiarkannya berkeliaran lagi di ruang kerjaku," kata Sasuke dingin, tanpa menoleh sedikitpun ke arah istrinya.

"Kau terlalu keras padanya," sahut Sakura. Dia berusaha menghentikkan tangisan putranya, tapi anak itu tidak segera berhenti menangis.

"Aku sudah bilang 'kan? Tidak boleh ada yang kemari kalau tidak benar-benar ada urusan penting," kata Sasuke. Dia membelakangi Sakura dan mulai membereskan kertas-kertas di meja kerjanya. Sakura menghela napas panjang.

"Sageki hanya ingin bermain dengan ayahnya. Apa itu tidak boleh?" katanya. Dia berusaha memeluk dan menenangkan putranya, tapi anak itu memberontak dan menangis semakin keras. Sakura memegangi bahu Sageki dan berusaha menatap matanya secara langsung, tapi anak itu semakin tidak bisa dikendalikan.

"Tapi tidak saat aku sedang bekerja seperti ini," ujar Sasuke. Dia masih tidak menatap ke belakang.

"Kau hampir bekerja setiap waktu. Apa tidak ada sedikit saja waktu untuknya?" Sakura berhasil memegangi tangan Sageki yang sudah hampir memukul wajahnya dan berusaha kembali menenangkan anak itu.

"Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Dan aku tidak bisa diajak bermain-main untuk saat ini," Sasuke menanggapi dengan dingin. Ada sesuatu yang tidak kelihatan menusuk dada Sakura saat mendengar kalimat itu.

"Tapi dia anakmu. Dan kau ayahnya," kata Sakura, tenggorokannya terasa tercekat.

"Lalu? Aku bisa apa? Anak itu tidak seperti anak-anak pada umumnya. Apa aku harus menemaninya bermain dan orang-orang akan melihat ada keanehan pada anak itu? Orang-orang akan tahu kalau aku punya anak yang aneh sepertinya?" Sasuke berbalik dengan kesal dan menatap Sakura dengan tatapan marah.

Sakura tidak segera menjawab. Perempuan muda itu sedang bersusah payah untuk menata perasaannya. Seperti ada yang meremas jantungnya dengan kencang sekali saat ini dan itu rasanya benar-benar menyakitkan.

"Sageki tidak aneh. Dia hanya ... berbeda," ujarnya pendek.

"Berbeda? Berbeda dan aneh itu perbedaannya tipis. Sudah, cepat bawa dia keluar. Aku tidak mau anak itu berkeliaran lagi di ruang kerjaku," kata Sasuke. Dia kembali menghadap ke meja kerjanya, tanpa mau memperdulikan lagi raungan marah Sageki saat Sakura membawanya pergi dengan paksa dari tempat itu.

.

.

.

.

.

"Kita putus," kata Yamanaka Ino pada laki-laki berambut hitam pendeak yang sedang sibuk dengan gitarnya di depannya. Shimura Sai mendongak dari gitarnya dan menatap Ino dengan tatapan penuh tanya. Kedua mata hitam onyx-nya bertemu dengan mata biru laut milik Ino.

"Kau bilang apa tadi?" tanyanya dengan wajah datar.

Ino menatap kekasihnya itu dengan wajah kesal. Dia membuang napas pendek.

"Kita akhiri saja hubungan kita sampai di sini," katanya kemudian.

Sai hanya bereaksi sedikit. Tangannya kembali memetik senar gitarnya dan memainkannya dengan asal sehingga menimbulkan nada sumbang.

"Kenapa kau mau kita putus?" tanyanya tanpa menatap ke arah Ino.

"Kau mau aku menjawabnya dengan jujur?" tanya Ino. Rambut pirang panjangnya yang diikat kuda ke belakang tampak bergoyang tertiup angin yang berhembus di sekitar mereka.

Sai kelihatan masih asik dengan gitarnya dan suara petikannya makin lama makin sumbang.

"Katakan saja," katanya singkat.

Ino menarik napas panjang, menahan segala kekesalan yang sudah menumpuk di dadanya demi melihat laki-laki itu lebih tertarik memperhatikan gitarnya dibanding dirinya yang sedang bicara padanya saat ini. Dia membuang napas panjang.

"Karena aku akan mengikuti latihan minggu depan. Aku tidak punya waktu untuk pergi denganmu," jawab Ino dengan suara bergetar. Sebenarnya perempuan ini sama sekali tidak mau mengucapkan hal ini, karena dalam hatinya dia merasakan perih yang luar biasa. Tapi melihat reaksi Sai yang hanya menatapnya dengan pandangan datar dan tanpa ekspresi, mau tidak mau rasa pedihnya itu tergantikan dengan kejengkelan luar biasa dalam hatinya. Dia benar-benar tidak tahan melihat laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun ini hanya bereaksi datar setiap dia menceritakan sesuatu padanya. Laki-laki di depannya ini bahkan lebih peduli dengan gitar kesayangannya dibanding dengan kekasihnya. Apalagi semenjak dia mulai menjadi guru musik di salah satu SMA swasta terkenal di Tokyo. Dia lebih tertarik dengan bidangnya dibanding mendengarkan cerita dari perempuan yang sudah menjadi kekasihnya selama beberapa tahun ini. Ino tahu, Sai sangat menyukai musik, sama seperti dirinya yang sangat tertarik pada bidang tarik suara. Tapi bukan berarti dia harus melupakan segala hal di sekitarnya dan hanya peduli pada pekerjaan yang disukainya 'kan?

"Kau sudah menentukan karirmu? Kau benar-benar akan jadi penyanyi?" tanya Sai. Ino tahu laki-laki di depannya ini sedang berusaha sekuat tenaga untuk kelihatan tertarik dengan ceritanya, tapi gagal. Wajahnya malah kelihatan aneh saat dia mengatakan hal itu.

"Iya. Tapi aku harus menjalani masa menjadi trainee untuk beberapa waktu bulan. Dan selama itu, aku sama sekali tidak bisa menghubungimu," jawab Ino. Dia menghindari menatap laki-laki di depannya.

"Jadi karena itu kau ingin kita mengakhiri hubungan ini?" tanya Sai. Tangannya sudah berhenti memainkan senar gitarnya.

Ino mengangguk. Matanya sibuk memerhatikan sepatu hak tingginya yang saling bertautan saat ini. Dia gugup, jujur saja. Menunggu jawaban yang keluar dari laki-laki di hadapannya ini.

"Kalau itu yang kau inginkan.. Baiklah. Kita putus," sahut Sai singkat.

Ino sama sekali tidak bereaksi. Dia terhenyak di tempatnya. Jauh di lubuk hatinya, dia tidak menginginkan jawaban yang seperti ini. Dia sedikit berharap Sai akan memberikan jawaban yang berbeda. Sekedar sesuatu yang menyiratkan kalau dia tidak mau hubungan mereka berakhir sampai di sini saja. Tapi ternyata dugaannya salah besar. Dan dia hanya bisa menelan kekecewaannya mentah-mentah.

"Jadi.. Sampai di sini saja?" tanya Ino.

Sai tidak menjawab. Dia kembali memetik gitarnya dan memainkannya dengan asal. Tidak ada yang bicara di antara mereka untuk beberapa saat sampai terdengar bunyi panjang di gedung sekolah di belakang mereka. Ino sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya. Tapi Sai segera bangkit dan merapikan pakainnya.

"Jam istirahatku sudah habis. Aku harus segera kembali," katanya. Dia memasukkan gitarnya ke dalam tas tempat gitar itu diletakkan sebelumnya.

"Sai-kun. Semoga.. Semoga berhasil. Dan terima kasih untuk semuanya," kata Ino akhirnya. Dia berdiri dari duduknya dan membungkuk rendah ke arah Sai.

Sai melemparkan senyum lebar ke arahnya.

"Kau juga.. Semoga kau berhasil dengan karirmu. Aku pergi," katanya.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, laki-laki itu berbalik dan berjalan meninggalkan Ino sendirian di tempat ini. Tempat mereka pertama kali bertemu dan berkenalan satu sama lain beberapa tahun yang lalu sebelum akhirnya laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Ino.

Ada sesuatu yang bercokol di hatinya. Rasanya ada tangan kekar yang saat ini sedang mengaduk-aduk perasaannya. Hatinya perih, jujur saja. Dan mau tidak mau air matanya menetes juga dari matanya. Dia tidak memperdulikan berpasang-pasang mata yang mulai menatapnya dengan tatapan aneh. Yang dia inginkan saat ini hanyalah menangis. Karena itu satu-satunya hal yang bisa mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Menangis.

.

.

.

.

.

.

Sakura sedang bergantian mengaduk sup dan membalik adonan di atas penggorengan saat dia mendengar sesuatu terjatuh di ruang depan. Dia tidak terlalu memperhatikannya dan meneruskan pekerjaannya saat telinganya mendengar sebuah benda lain terjatuh dengan suara lebih keras. Lalu beberapa saat kemudian dia mendengar suara seruan kaget seseorang.

"Apa-apaan ini?" Sakura mendengar suara Sasuke berkata dengan nada keras. Ada sebuah kemarahan tertahan dalam nada suaranya itu.

Tidak ada jawaban. Hanya suara minyak goreng yang beradu dengan adonan di penggorengan yang terdengar oleh Sakura saat ini. Kedua tangannya sedang sibuk berpindah-pindah dari panci berisi sup dan penggorengan berisi adonan ini.

"Sakura!" Sakura mendengar Sasuka memanggilnya dengan tidak sabar.

"Sakura!" panggil Sasuke sekali lagi. Kali ini lebih keras.

"Tunggu!" sahut Sakura. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya saat ini. Kalau dia meninggalkan supnya sebentar saja tanpa diaduk, kuahnya akan naik ke atas dan tumpah dari panci. Dan adonan yang sedang dia goreng ini akan gosong nanti.

"Sakura Haruno!" suara Sasuke mulai meninggi. Sakura menghela napas lelah. Kalau Sasuke sudah memanggilnya dengan nama gadisnya, itu artinya dia sedang benar-benar serius. Dengan berat hati Sakura segera mematikan kompornya dan bergegas menghampiri Sasuke di ruang tengah. Masih dengan apron yang menempel di pakaiannya, Sakura berjalan dengan tergesa ke ruang tengah.

"Ada apa?" tanyanya.

Dia menatap ruang tengah dengan pandangan lelah. Melihat pemandangan seperti ini sudah sangat biasa untuknya. Melihat barang-barang berceceran di mana-mana karena Sageki yang melemparkan semua barang-barang ini. Saat keinginan Sageki tidak dituruti, anak itu pasti akan melakukan hal seperti ini. Bukan karena dia terlalu manja. Anak itu hanya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan apa yang dirasakannya dengan tepat. Saat dia benar-benar merasa putus asa, hanya marah pada sekitarnya yang bisa dilakukannya.

"Coba jangan biarkan anak ini menyentuh apapun. Dia akan menghancurkan seluruh peralatan yang ada di rumah ini," Sasuke berkata sambil duduk di atas sofa dan membuka koran di atas meja. Sakura menghampiri Sageki yang kelihatan sudah akan meledak marah lagi.

"Apa kau tidak bisa berhenti memanggilnya dengan 'anak ini'? Lagipula apa masalahnya kalau dia mengotori rumah ini? Dia juga anggota keluarga ini 'kan?" kata Sakura.

Sageki langsung memberontak begitu Sakura akan memeluknya. Anak itu tidak suka dengan sentuhan orang lain, termasuk orangtuanya. Dia akan memukul orang yang mulai menyentuh atau bahkan memeluknya. Sakura selalu mundur dan menatap anak itu dengan perasaan sakit tiap dia menolak Sakura yang mencoba untuk memeluknya. Seperti sekarang ini. Hal yang bisa Sakura lakukan hanya membereskan kekacauan yang baru saja ditimbulkan Sageki.

"Walaupun dia anggota keluarga, apa dia berhak membuat hancur semua yang ada di rumah ini?" sahut Sasuke, sama sekali tidak melihat ke arah Sakura.

Sakura menghela napas panjang. Ada kelelahan yang tidak bisa dia ungkapkan dalam bola matanya.

"Sasuke.. Mengertilah.. Anak ini.. Sageki itu berbeda. Jangan samakan dia dengan anak-anak yang lain," ujarnya lelah.

"Aku tahu. Karena dia sakit, makanya kau sangat memanjakannya. Jangan terlalu memanjakannya, dia akan jadi laki-laki cengeng dan egois nanti," kata Sasuke, dia mengerling sekilas ke arah Sageki.

"Apa kau sadar kalau kau sedang berbicara tentang anakmu sendiri? Sageki.. tidak.. sakit. Kau harus mengerti itu," kata Sakura tegas. Ada sesuatu yang meletup pelan dalam dadanya saat mendengar Sasuke mengatakan anaknya sakit. Ada sesuatu yang siap meledak kapanpun juga dalam dirinya saat ini.

Hening untuk beberapa saat. Tidak ada yang bicara di antara mereka, dan hanya suara isakan tangis Sageki yang terdengar. Kalau sudah seperti ini tidak ada yang bisa Sakura lakukan lagi selain membuatnya tenang sebisa mungkin tanpa menyentuhnya.

"Tidak ada anak-anak normal yang menghancurkan semua barang yang dipegangnya. Marah di saat-saat yang tidak tepat, dan berteriak-teriak tanpa alasan yang jelas," kata Sasuke.

"Kau hanya tidak mau mengerti bagaimana perasaan anak ini," jawab Sakura dingin.

"Bagaimana aku bisa mengerti apa maunya kalau dia selalu berperilaku agresif seperti itu?" sahut Sasuke dengan suara agak tinggi.

"Karena kau sendiri yang membuat dinding di antara kalian. Kau yang tidak mau dekat-dekat dengannya. Kau yang tidak mau melihatnya sebagai anakmu sendiri. Kau selalu menolak untuk mendekatinya. Sageki hanya ingin dekat denganmu. Apa kau tidak mengerti itu?" ada sesuatu yang menggenang di sudut matanya saat Sakura mengucapkan hal itu. Dan dadanya rasanya mulai sesak sekali. Tapi dia mengabaikannya dan terus membereskan barang-barang yang berceceran di lantai.

"Sekarang kau mulai menyalahkanku lagi. Apa salahku karena anak itu jadi seperti sekarang ini?" Sasuke mulai marah. Sakura tahu itu.

"Aku tidak menyalahkanmu karena itu. Aku hanya berharap kau lebih sedikit perhatian pada anak ini daripada pekerjaanmu," Sakura berujar tanpa melihat ke arahnya.

"Kau tahu pekerjaanku sangat menyita waktuku 'kan? Lagipula anak ini akan menghancurkan semua pekerjaanku kalau aku nekat membawanya di sela-sela pekerjaanku," sahut Sasuke. Sakura menarik napas dalam-dalam dan menghelanya perlahan.

"Jadi, bagimu.. Sageki adalah pengganggu, begitu?" tanyanya dingin.

"Aku tidak bisa bilang 'iya'. Tapi kalau pekerjaanku sedikit terganggu karena perilakunya yang semakin lama semakin tidak bisa dikendalikan, iya," jawab Sasuke.

Sakura tidak menjawab. Hanya merapikan kembali semua barang-barang yang dijatuhkan Sageki ke tempatnya semula. Ada yang mulai meletup-letup dalam dadanya saat mendengar jawaban Sasuke. Dia tahu sejak Sageki didiagnosis menderita sindrom autisme tepat di usianya yang kedua tahun yang lalu, Sasuke seperti tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Dia menolak dengan segala keabnormalan yang ada pada diri Sageki dan terus menerus menganggapnya seperti anak normal pada umumnya.

Sasuke sangat mengidamkan anak laki-laki sejak dulu. Dan saat melihat Sageki lahir dengan selamat ke dunia ini tiga tahun yang lalu, itu bagaikan saat-saat di mana dia merasa menjadi orang paling berbahagia di dunia ini. Tapi kenyataan lain yang terjadi saat Sageki menginjak usia 2 tahun adalah salah satu tamparan terbesar untuknya. Harapan tentang anak laki-laki yang selama ini dibayangkannya akan menjadi anak yang dia banggakan langsung hancur saat Sageki diketahui mengalami gangguan autisme. Sakura pun sangat terpukul saat itu. Awalnya dia juga belum bisa menerimanya begitu saja. Tapi saat aku melihat Sageki yang begitu rapuh itu, dia tahu dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Walaupun Sakura tidak bisa menyentuhnya seperti orangtua yang lain, dia tetap ada untuk menemaninya.

Tapi tidak untuk Sasuke. Dia terlalu sulit untuk menerima kenyataan yang ada. Dan sejak saat itu, setiap hari mereka selalu meributkan hal yang sama. Sakura bisa menahan diri untuk itu. Saat Sasuke mengatakan sesuatu yang buruk tentang Sageki. Tapi tidak untuk saat ini. Kali ini dia sudah keterlaluan dan Sakura tidak tahan lagi.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan memastikan Sageki tidak mengganggumu dan dekat-dekat denganmu lagi. Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu lagi, Sasuke-san," kata Sakura dingin. Dia sudah selesai berbenah.

Sakura melepaskan apron yang masih menggantung di pakaiannya dan menggendong Sageki yang langsung meronta untuk melepaskan diri darinya. Tapi Sakura tetap memeluknya dan berusaha membuatnya merasa nyaman dengan dirinya. Mencoba untuk menyalurkan segala kenyamanannya pada anak itu, tapi Sageki tetap meronta dan terus berkutat melepaskan diri dari Sakura. Sakura tidak melepaskannya dan membawanya masuk ke dalam kamar.

"Kau mau apa?" Sakura tiba-tiba muncul di depan pintu kamar. Bahunya disandarkan pada daun pintu dan dia menatap Sakura dengan penuh ingin tahu.

"Aku akan menjauhkan Sageki darimu. Kau mengerti 'kan? Setelah itu kau bebas melakukan apa saja yang kau mau.. Sasuke-san," Sakura berkata sambil meraih sebuah tas besar di dekat lemari gantungan pakaian.

"Lalu kau mau apa dengan tas itu?" Sasuke ganti mengernyitkan dahi menatap Sakura.

Sakura balas menatapnya dengan lelah.

"Bukankah sudah jelas?" sahutnya dingin.

Tanpa memperdulikan Sasuke, dia mulai berkemas dan memasukkan barang-barangnya ke dalam tas itu.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

A/N: Err... Maap, ye.. nambah fic baru lagi. Multichap lagi. Duhh.. Padahal yang lain blm selesai. Sebenernya yang Don't Forget Me ama yang Trapped itu tinggal satu chap. Tinggal finishing aja. Plotnya masih bolong2 soalnya.

Dan, walaa... Fic baru lagi. Tenang.

Mind to review?