WHEN YOU'RE GONE
Awalnya semua terasa begitu indah bagi kita berdua.
Tetapi, kenapa hari itu harus tiba?
Awal-awal aku hanya menjalani kehidupanku sebagai seorang ibu rumah tangga yang normal. Memasak dan bersih-bersih adalah rutinitasku sehari-hari yang tentu saja tidak bisa kuelakkan, tetapi aku sama sekali tidak mengeluh, malah tak akan kubiarkan diri dan hatiku mengeluh, karena aku melakukan semua ini demi pria yang kucintai. Zack Fair, itulah namanya, berumur 23 tahun, rambutnya panjang berwarna hitam meski tidak sampai pundak(dan jabrik), lebih tinggi berbelas sentimeter dariku, kulitnya sedikit terbakar matahari, matanya berwarna biru laut, tubuhnya berotot, dan ada bekas luka berupa huruf X di wajahnya. Sementara aku, namaku Aerith Gainsborough, umur 22 tahun, memiliki rambut berwarna cokelat panjang yang dikepang dengan pita berwarna pink, hobi menanam bunga, memiliki mata berwarna hijau, dan memiliki kulit putih yang agak pucat, soal sikap ... bisa dibilang aku itu pendiam, aku mulai ceria semenjak Zack mendekatiku.
Menjadi istri Zack adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku, dan semua itu karena dia selalu punya cara untuk menghiburku di saat aku sedih dan senang. Caranya dia bercanda denganku, memelukku, menciumku, rasanya kau tidak akan menemukan lelaki lain yang sama sepertinya, karena dia memang hanya ada satu, dan kini dia pun milikku dan aku pun menjadi miliknya. Aku sungguh bahagia, sangat dan sangat bahagia, rasanya menjalani hidup dengannya setiap hari bagaikan mengisi bensin ke mesin tubuhku tanpa batas, dan aku yakin, aku takkan pernah khawatir akan hari esok selama dia selalu ada di sampingku. Namun, tiba-tiba saja aku merasa kalau aku harus membuang pikiran itu jauh-jauh, semenjak surat itu datang ke kotak pos rumahku dan ketika Zack membaca isinya, aku sama sekali tak bisa menahan diriku untuk menangis di dadanya yang bidang dan tegap. Ya, kini dia harus pergi, pergi untuk waktu yang lama.
Tanggal 9 September tahun sekian, terjadi perang antara Midgar dengan Junon yang saat itu didukung oleh Shinra, semua pria dewasa harus ikut serta menjadi tentara, TANPA kecuali. Perang itu terjadi karena kala itu Junon bersama dengan Shinra berencana untuk menguasai Midgar, tetapi aku sama sekali tidak peduli dengan alasan di balik perang itu, dan lagi air mataku tumpah juga bukan karena itu, yang membuatnya hatiku hancur hanyalah satu alasan, yaitu kepergian Zack. Pagi itu, adalah pagi yang sangat berat baik bagi Zack mau pun bagiku, karena pada saat itu lah Zack harus pergi ke medan perang, mengenakan seragam berwarna hijau nya, kami berdua berjalan menuju ke arah pintu dengan langkah yang dibuat dengan sangat lamban.
"Aerith ... aku," Zack membalikkan tubuhnya, menghadapku.
Aku tahu dia mau berbicara sesuatu tapi aku tidak menjawab.
"Katakanlah sesuatu Aerith."
Aku tetap tak mengatakan apa-apa, tetapi aku tahu kalau mataku mulai berair.
"Aerith."
Zack kembali berjalan ke arahku, kedua tangannya langsung memelukku dengan sangat erat. Aku meletakkan wajahku di pundaknya, dan air mataku rasanya tak bisa kutahan lagi, kenapa dia harus pergi? Padahal belum genap 7 bulan kami menikah, tetapi tiba-tiba saja dia harus dipisahkan dengan paksa dariku. Aku membalas pelukannya, dan kemudian aku mengangkat wajahku untuk bisa melihat wajahnya.
"Bagaimana mungkin ... aku ... bisa berkata apa-apa?" tanyaku sambil menangis.
"Jangan menangis Aerith."
"Tak mungkin aku tidak menangis Zack! Kau tiba-tiba pergi, dan lagi, dan lagi—"
"Aku tahu, aku mengerti perasaanmu."
"Kalau begitu jangan pergi Zack, jangan meninggalkanku."
"Kau tahu kalau itu tidak bisa kulakukan Aerith."
Aku terdiam dan menunduk, tetapi jari telunjuk kanan Zack kembali mengangkat wajahku.
"Aku pasti akan pulang."
"Kapan?"
"Aku tak tahu, tetapi aku pasti akan pulang," tangan Zack kini berpindah ke pipiku, bibirnya menunjukkan senyum yang sangat kusukai dari dulu, "lagipula, aku masih ingin melihat wajahmu."
"Zack."
"Dan lagi," kali ini tangannya berpindah lagi, berhenti di perutku, "aku ingin melihat wajah anak kita nanti."
Aku memalingkan wajahku ke perutku yang membuncit, dan seperti yang Zack bilang tadi, aku memang sedang mengandung lima bulan.
"Karena itu, aku pergi dulu ya."
Aku mengangguk, dan setelah itu aku membukakan pintu untuk Zack. Rasanya aku masih tidak rela kalau dia pergi, tetapi mau bagaimana lagi? Kalau aku terus merengek memintanya tinggal, yang ada malah aku jadi membuatnya khawatir. Aku menoleh ke arah luar halaman rumah, dan mendapati sebuah bus berukuran besar sudah menunggu di luar sana, kutebak itu pasti bus khusus untuk mengangkut para tentara, karena aku bisa melihat bayangan pria-pria bertopi meskipun kacanya gelap.
"Hati-hati Zack," kataku.
"Aku tahu," Zack mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku, aku membalas ciumannya meski tak lama kemudian Zack menarik wajahnya kembali.
"Aku akan sering mengirimimu SMS, kalau bisamungkin aku akan menelponmu."
Zack tersenyum, "aku akan senang menerimanya, tapi maaf kalau aku tidak bisa membalas SMS dan menjawab teleponmu."
"Iya, jangan khawatir, aku mengerti."
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
Zack memakai topinya, dan setelah itu dia membalikkan badannya dan berjalan menuju ke arah bus. Aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan sedih, dan mulai hari ini, aku harus tinggal di rumah sendirian tanpa ditemani sosoknya lagi. Aku harus tidur sendiri, sarapan sendiri, merawat kebun sendiri, mencuci piring sendiri, dan tentu saja, aku harus mengamati perkembangan kehamilanku ini sendirian selama Zack pergi.
"Semoga kau bisa pulang Zack," harapku, dan setelah itu aku melambaikan tanganku padanya, sambil berharap semoga dia bisa memenuhi janjinya tadi padaku.
...
Awalnya aku lumayan bisa beradaptasi dengan situasi kesendirianku ini, tetapi sepertinya lama kelamaan aku tidak bisa. Sudah 3 minggu sejak Zack pergi, dan setiap kali aku menonton berita di TV untuk mengetahui perkembangan mengenai perang, hatiku serasa hancur, apalagi ketika membaca kalimat 'Perang telah memakan korban tentara sebanyak ratusan jiwa'. Hatiku jadi takut-takut, dan sangat takut, sembari cemas apakah Zack selamat atau tidak, apalagi Zack tak pernah membalas SMS dan menjawab teleponku semenjak seminggu yang lalu, dia hanya sempat menjawabnya pada saat minggu-minggu pertama saja. Aku mengambil kembali handphone milikku, dan aku langsung membuka menu inbox, untuk melihat kembali beberapa SMS yang sempat dibalas oleh Zack.
To : Zack
Text :
Zack, kau baik-baik saja disana?
From : Zack
Text :
Aku baik-baik saja, kau sudah makan? Jangan lupa untuk jaga dirimu.
To: Zack
Text :
Aku sudah makan, kau juga jaga dirimu.
Setelah itu aku melihat SMS berikutnya, yang berselang 2 hari dengan SMS yang sebelumnya.
To : Zack
Text :
Kau sedang apa? Kenapa kemarin kau tidak membalas SMS ku?
From : Zack
Text :
Maaf Aerith, tadi ada serangan mendadak, meski sekarang sudah kuatasi.
To : Zack
Text :
Serangan mendadak? Kau tak apa-apa?
From : Zack
Text :
Ha ha ha, tenang saja Aerith, aku tak apa-apa, buktinya aku masih bisa membalas SMS mu kan?
To : Zack
Text :
Tak kusangka kau masih bisa bercanda di saat begini Zack, tapi syukurlah kalau kau tak apa-apa.
Kemudian aku melihat lagi SMS yang berikutnya, kali ini yang terakhir, yang berselang seminggu setelahnya.
To : Zack
Text :
Zack, kenapa kau jadi semakin jarang membalas SMS ku? Aku kangen kamu, Zack.
From : Zack
Text :
Maafkan aku, suasana di sini semakin membahayakan, yang terluka juga makin bertambah, jadinya aku harus turun tangan. Aku juga kangen kamu, Aerith. Lama sekali aku tak melihat wajahmu.
To : Zack
Text :
Zack, aku juga sama. Kuharap aku bisa cepat-cepat bertemu denganmu nanti.
Tak ada lagi SMS darinya selain yang tadi, memasuki minggu kedua dan ketiga, dia sudah tidak membalas SMS ku, entah apa yang terjadi padanya, apakah sangat genting atau gawat, rasanya aku takkan bisa tahu sebelum Zack memberitahunya padaku. Aku mengganti dan melihat semua channel TV, dan semuanya menayangkan mengenai Junon yang mulai menekan Midgar karena kekuatannya didukung oleh Shinra, mengancam Midgar yang bertarung murni dengan kekuatannya sendiri. Berita hari ini sungguh membosankan dan nyaris tidak membantuku sama sekali, karena bukan keadaan Midgar dan Junonlah yang sebenarnya paling ingin kuketahui, yang paling ingin kuketahui adalah ... Zack. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia terluka? Aku benar-benar ingin sekali tahu.
"Zack."
Menjalani hari-hari di rumah ini tanpa Zack bagaikan masakan tanpa bumbu, rasanya tidak lengkap dan jadi terasa hambar, Zack yang biasanya setiap pagi selalu memelukku dan menciumku tidak ada di sini, padahal ciuman dan pelukan darinya itu bagaikan tambahan energi untukku. Meski sudah tiga minggu dia pergi, tetapi entah kenapa aku sering mengira dia masih ada disini, setiap pagi aku sering membuatkannya kopi susu kesukaannya, malamnya pun tanpa sadar aku membuat makan malam untuk jatahnya, meski akhirnya makanan itu kusimpan juga di dalam kulkas untuk dimakan lagi keesokan harinya.
Aku melihat jam dinding yang ada di kanan atas ruangan, dan ternyata jarum pendek sudah menunjuk ke angka 10, tanda kalau aku sudah duduk di depan TV selama belasan jam hanya untuk menonton berita. Sayangnya menonton berita terus juga tidak ada gunanya sama sekali, yang ada malah mataku menjadi sakit karena aku membuatnya selalu terjaga tanpa istirahat, parahnya lagi aku juga hampir lupa makan, kalau saja aku tidak ingat ada anak di dalam rahimku, aku pasti tidak akan makan.
Mulutku tiba-tiba saja menguap selebar tiga jari, secara tidak langsung itu merupakan tanda kalau aku sudah mengantuk. Lagipula seharusnya aku tidak heran, semenjak perang ini di deklarasikan, aku selalu tidur antara jam 10-11 malam dan bangun antara jam 3-5 pagi, bisa dibilang hampir setiap hari aku yah... kurang tidur, kalau Zack tahu aku selalu kurang tidur seperti ini pasti dia akan mengomel dan menggendongku dengan paksa ke kamar, tetapi sayangnya fakta sangat kejam, karena sekarang dia tidak ada disini. Dengan langkah yang berat, aku bangun dari sofa dan berjalan menaiki tangga untuk menuju ke kamar, aku harap aku bisa tidur dengan nyenyak malam ini, aku sudah khawatir setengah mati mengenai kabar Zack, setidaknya kuharap tubuhku bisa memahamiku dan bisa istirahat dengan tenang.
...
"Aerith!"
Pagi ternyata sudah tiba, dan aku sungguh kaget ketika mendengar teriakan itu, aku mengenali suara itu, itu adalah suara Tifa Lockheart, tetangga sebelahku. Aku buru-buru mengepang rambutku kembali sambil berteriak 'sebentar' lewat jendela kamar, dan setelah itu barulah aku turun ke lantai satu dengan berhati-hati, sambil memperhatikan perutku. Aku baru berhasil sampai ke lantai satu 5 menit kemudian, saat pintu depan kubuka, ekspresi Tifa terlihat sangat panik.
"Ada apa Tifa? Kok pagi sekali?" tanyaku.
"Aerith! Tadi baru saja aku menerima telepon dari Cloud!"
"Dari Cloud?"
"Iya! Dan-dan dia bilang-"
"Dia bilang apa?"
"Dia bilang Zack menghilang saat misi!"
Mataku langsung melebar,"apa ! ?"
"Dia bilang, dia bilang Zack menghilang saat mereka ditugaskan menuju ke Nibelheim! Katanya saat mereka pergi ke reaktor di sana, mereka dikepung oleh tentara Junon! Mereka semua langsung lari, tetapi sepertinya Zack terpisah."
Aku tak tahu apalagi yang terjadi setelah itu, karena mendadak semuanya terasa gelap, dan aku tahu-kalau aku pingsan.
