Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: AU, rated T-semi M, OoC, gaje, don't like don't read


1.

.

Shit!

"Mmmph—"

"A—"

Ia menahan napasnya. Tercekat. Tangannya terangkat menuju bibirnya.

Tidak.

Tidak, tidak , tidak.

Ini tidak terjadi, hahaha.

Tapi jari-jari itu semakin naik—memegang kedua pipinya. Mereka semakin 'mendalaminya', kedua mata mereka tertutup. Posisi tubuh mereka yang membelakangi Sakura membuat ia tak bisa melihatnya dengan jelas. Toh, Sakura tidak begitu ingin melihat hal itu. Melihat—melihat dia

Kenapa

Sakura ingin bertanya itu. Tapi apa urusannya? Kenal dekat saja tidak. Ia tidak punya hak untuk melarang mereka, untuk bertanya 'kenapa'.

Ia hanya bisa tersenyum miris dalam hati. Jadi inirasanya patah hati. Mata emeraldnya menatap lagi kedua remaja itu. Tubuhnya terasa kaku. Kakinya masih berada dalam posisi yang sama; seperti sedang berjalan, kaki kanan selangkah ke depan. Memang itu yang tadi ia lakukan, berjalan pulang sesudah mengumpulkan tugas-tugas akhir yang belum ia kerjakan. Sekarang ia sedang bergegas pulang, Tou-san akan mendarat di bandara nanti sore, dan ia ingin menyambutnya di rumah. Tapi, semua hal itu sekarang terlupakan olehnya. Seakan mendadak terhapus dari ingatannya, dan semuanya freeze.

Dalam kata lain, blank.

Untung tangannya tidak menjatuhkan beberapa buku pelajaran miliknya yang sempat terbawa. Ia masih terpana, suaranya tersangkut di tenggorokan. Matanya meredup, menatap nanar kedua sosok itu yang masih tidak menyadari kehadiran orang ketiga.

Suara-suara desahan memenuhi ruangan itu. Sakura yang hanya bisa mengintip dari secelah garis di pintu memilih untuk menutup matanya. Pemandangan tak begitu jelas di hadapannya kini berubah semakin liar. Lebih cepat dari barusan, dibuktikan oleh desah dan erangan keduanya yang kini semakin keras terdengar. Kikik kecil dan geraman bernafsu mereka membuat Sakura ingin menulikan telinga sesaat.

Bodoh.

Ya, dia orang bodoh.

Kenapa ia harus terpaku seperti orang tolol dan mengintip-intip begitu?

Bukankah itu justru membuatnya tambah terluka?

Tambah sakit, tambah sesak.

Darahnya seakan naik menuju ubun-ubun. Tangannya sudah ia kepalkan sedemikian eratnya, kuku-kukunya mencakar bagian dalam telapaknya. Karena dengan itu ia bisa mencegah keluarnya cairan bening yang mengumpul di sudut matanya. Bibirnya ia gigit begitu keras, darah menyapu indra pengecapnya.

Ini, ia berpikir, adalah perasaan paling menyakitkan sedunia.

Begitu jantungnya berdetak sekali, deg! Tubuhnya beranjak kaku, suatu bagian kecil di dadanya serasa diremas, begitu keras, begitu tajam.

Tidak…

Suara tawa kecil keluar dari mulut pemuda itu. Sakura menggigit bibirnya semakin dalam. Bahkan ia saja tak pernah mendengarnya tertawa…

Tidak—

Napasnya kembali tertahan.

Tangan gadis itu melingkar di leher sang pemuda, tersenyum di balik punggungnya.

Pertahanan Sakura hancur.

.

Coba kutanya.

Bagaimana perasaanmu kalau cowok yang kau sukai sejak SMP, cinta pertamamu, berciuman dengan gadis lain?


.

.

.

Waktu itu berjalan begitu cepat.

Setidaknya itu yang Yamanaka Ino pikirkan.

Kalau saja waktu bisa lebih lambat, paling tidak Ino masih bisa memburu gaun yang dijual di Mall kemarin. Sayangnya ia datang telat, dan kehabisan. Padahal ia sudah mengincar gaun itu sejak sebulan yang lalu. Juga, kalau saja waktu bisa lebih lambat, Ino masih bisa pulang lebih awal ke rumah, dan tidak kepergok ayahnya. Dua hari lalu ia ke club, tadinya sih ingin pulang jam 1 saja. Tapi dorongan dari cowok-cowok yang berpikiran tidak beres, ia akhirnya pulang jam 4 pagi. Yang bikin ribet adalah, Inoichi masih begadang di depan tv, menonton sepak bola. Dan Ino yang masih dalam keadaan 'keliyengan', disemprot habis-habisan.

Oh, betapa ia ingin waktu berjalan lebih lambat.

Ia saja masih belum begitu percaya umurnya sudah 17 tahun. Umur segini kan sudah bisa digolongkan 'dewasa', dan sudah cukup umur untuk pergi ke club, dan coba-coba minum wine atau bir*. Ino merasa umur 17 ini adalah umur yang sangat keren, karena di umur seginilah, ia sebagai seorang remaja akan mencoba banyak hal. Apalagi ia sudah SMA, masa-masa yang tak akan terlupakan baginya akan dimulai. Uuu, Ino sudah tidak sabar ingin mengalami berbagai kejadian-kejadian seru di tahun-tahun ini. Rasanya adrenalinnya terpompa, ingin mencoba hal-hal baru.

Tapi sungguh, Ino tidak menyangka perjalanan hidupnya sudah sampai sini, di penghujung masa remajanya. Lagi-lagi, waktu begitu cepat berlalu. Padahal seingatnya baru kemarin ia masuk ke Hidden Leaf Senior School, menjadi anak baru di tengah ratusan siswa kota Konoha. Ia dengan Sakura, sahabatnya sejak kecil, sudah bertekad akan masuk ke SMA ini. SMA paling keren, asik, dan the best di seluruh kota manapun (itu anggapan Ino)! Dan ia bersyukur bisa keterima di sini. Ino masih mengingat masa-masa MOS dengan kakak kelas yang astaga, bawelnya minta ampun. Heh. Siapa ya… kalau tidak salah kakak kelas itu berambut pirang sepertinya… oya. Sabaku no Temari, kelas 11 saat itu, kakak Sabaku no Kankurou dan Sabaku no Gaara. Kalau Ino tidak salah sih, Temari itu lebih tua setahun dari adiknya, Kankurou. Tapi anehnya mereka seangkatan. Hmm, entahlah, mungkin ia telat masuk SD atau bagaimana. Tapi ia akui, kakak kelasnya itu sangat baik. Dan seru. 2 hari lalu ia bertemu dengannya di club, dan mereka berdua sama-sama tak sadar karena pengaruh alkohol. Tapi justru itu yang membuat mereka tambah dekat, semalaman mereka menari-nari gila di tengah dance-floor.

Sebenarnya Ino sendirian sebelum Temari ngobrol dengannya malam itu. Tadinya ia ingin mengajak Sakura, tapi sahabatnya itu menolak dengan alasan tidak niat, tidak ada semangat, malas, bosan, banyak tugas, ingin belajar karena sudah akhir tahun ajaran, ingin memilih universitas. Hah! Padahal mereka kan masih kelas 2 SMA, ngapain mikirin universitas dulu? Mending senang-senang, hura-hura, bersantai selama masa remaja mereka belum berakhir. Oke, mungkin memang sudah harus dipikirkan. Tapiiiii kaaaaan, itu nanti saja kelas 3. Salah satu alasan Ino jika ditanya ingin masuk universitas mana selalu itu.

Terkadang ia mengagumi Sakura juga. Ia sudah belajar giat dari sekarang, sementara dia? Beh, Ino sih ingin dapat universitas yang bagus dan nilai yang memuaskan. Tapi niatnya itu lhoooo. Setiap udah bersemangat dan bertekad baja, begitu disodori setumpuk buku-buku pelajaran, ia langsung malas. Sudah nggak niat.

Tapi ada satu hal janggal yang ia temukan. Saat ia menelepon Sakura, suaranya sengau. Seperti orang yang hidungnya ditutup. Tadinya sih ia kira itu flu, tapi begitu melihat keadaannya hari ini di sekolah, ia merasa dugaannya salah.

Entah apa yang aneh. Ino hendak menanyakannya, tapi alasan Sakura selalu flu. Ketika ia ingin bertanya lebih jauh lagi, Sakura menghindar. Dalam pikirannya, oke, ada sesuatu yang aneh di sini. Tapi Sakura masih belum ingin membuka diri, dan Ino tahu tak ada gunanya memaksa Sakura dalam keadaan seperti ini. Yang ada ia malah tambah menutup, lalu pada akhirnya malah Ino yang bad-mood. Jadi ia akan bertanya nanti saja.

Menurut Ino masalahnya pasti cowok. Selalu cowok. Ino mengenal Sakura sejak TK, dan ia tahu siapa cowok yang bersarang di otak sahabatnya satu itu. Hyuuga Neji, si cowok dingin dengan raut wajah tak berekspresi yang walaupun tampan tapi lumayan mengerikan. Apalagi kalau ia sudah mengeluarkan tatapan tajamnya itu. Hiiii, Ino merinding melihatnya. Sebenarnya Ino lumayan kenal dengan cowok itu, mengingat saat kelas 10 ia sekelas dengannya. Dan menurut pendapat Ino, cowok itu sangat jarang bicara, populer, memiliki banyak fan-girl (tentu saja), dan berasal dari keluarga mapan. Dan baru-baru ini juga ia mengetahui kalau Neji ternyata sepupuan dengan Hyuuga Hinata, seorang gadis pemalu dari kelas sebelah.

Jujur saja, ia tidak terlalu dekat dengan gadis itu. Selain karena ia tidak pernah sekelas, juga karena gadis itu terlihat sangat pemalu. Pernah sih, ia berkenalan dengannya saat kelas 10. Ia ingat sekali saat itu, saat-saat ia masih anak baru.

.

.

.

Kelas 10-B / istirahat pelajaran kedua /flashback/

"Ayooo, cepetan masuk!"

"Ssssst, Ino! Tidak mau ah!" protes Sakura, berusaha berlari dari genggaman tangan Ino.

Gadis berambut pirang itu terus saja mendorong Sakura, pura-pura tuli dengan protesannya. Ia makin giat menyeret sahabatnya itu, menahannya agar tidak kabur. Ini adalah kesempatan yang pas! Karena tahu Hyuuga Neji sedang berada di kelas, ia langsung saja menyeret Sakura dari kelas 10-D (kelas Sakura), dan menggeretnya kemari. Neji itu sangat jarang berada di kelas saat pagi hari. Paling ia datang sedetik sebelum bel berbunyi, atau berkumpul dengan teman-teman se-gengnya di kelas lain. Kalau sudah begitu, Ino malas memburu Neji hanya untuk mengenalkan Sakura padanya. Tapi mumpung ia berada di dalam kelas, ya sekalian saja ia memenuhi permintaan Sakura yang ngebet minta dikenalkan.

Tapi memang Sakura tuh begitu. Sudah ngebet banget, tapi ketika orang yang ia cari sudah di depan mata, malah kabur. Oke, Ino akui ia memang sering begitu juga, tapi ini kan kesempatan yang sangaaaat jarang! Rugi dong.

Jadi, sambil menghiraukan bisikan memprotes sahabatnya, Ino terus saja menariknya ke dalam kelas.

Si Hyuuga itu sedang duduk di pojokan, dikelilingi teman-temannya. Yang Ino tahu hanya Lee, Tenten, dan Naruto. Selebihnya tidak tahu. Lee dan Tenten sering ia temui karena mereka setiap hari ke kelas 10-B, dan mereka ikut berkenalan dengannya. Kalau Naruto… ia sih memang gemar berteriak-teriak, dan berkenalan dengannya saat Ino memprotes kalau suaranya terlalu keras.

Sampai di depan mereka, yang pertama menyadari kehadiran Ino dan Sakura adalah Naruto. Cowok berambut kuning itu melambai sambil nyengir.

"Heyya, Ino!" sapanya.

Ino balas melambai. "Ternyata kau, Uzumaki," ia berkata bercanda.

Naruto tampak merengut. Lalu ia berpaling pada Sakura.

"Hai! Namamu siapa?" ia bertanya dengan gayanya yang biasa, "rasanya aku tidak pernah melihatmu,"

"Itu karena kau hanya menggunakan mulutmu, bukan matamu, Naruto." kata Neji dingin.

"Apaaa kau bilang, he?"

"Eh—namanya Haruno Sakura," potong Ino. Ia menyenggol lengan sahabatnya, mengisyaratkannya untuk melanjutkan.

Ketika pandangan mereka sudah tertuju pada Sakura lagi, ia berkata, "Eeeh… namaku Haruno Sakura," ia cengengesan sendiri, "tadi sudah disebutkan ya… ha ha ha,"

Aduh. Ingin Ino menepuk jidatnya. Gini nih, kalau di depan cowok yang ditaksir, sikapnya langsung salting alias salah tingkah, plus gugup, dan pastinya seperti bukan diri kita sendiri.

"Ooooh, begitu toh! Kalau begitu, salam kenal! Namaku Uzumaki Naruto, dattebayo!" seru Naruto penuh semangat. Cengiran khasnya keluar lagi. Blah, langsung deh atmosfirnya cerah ceria. Tapi memang Ino akui Naruto itu mempunyai aura yang membuat semua orang merasa ceria, menjadi lebih rileks juga.

"Hmmm, salam kenal Naruto!" Sakura balas tersenyum, bahunya yang terlihat tegang langsung mengendur.

"A-a… sa-salam ke-kenal, Sakura-san… Ino-san…" kata seorang gadis berambut indigo malu-malu. Pipinya bersemu merah. "A-aku Hinata…"

"Salam kenal," kata Ino. Mata birunya mengamati gadis itu lagi sejenak.

"Salam kenal, Hinata-san," Sakura tersenyum.

"Aku Tenten," gadis bercepol dua itu berkata, seperti biasa suaranya tegas. Lalu ia tersenyum lebar, "Salam kenal ya, Sakura,"

"Dan AKU!" sela sebuah suara yang terdengar berapi-api. Ino memutar bola mata. "Adalaaaaaah…. ROCK LEE!" cowok berpotongan rambut bob itu melompat dari kursi, lalu menunduk di depan Sakura, "dan kulihat kau adalah gadis yang penuh semangat, Sakura-san,"

"Eeeh," Sakura melotot kaget, "senang berkenalan juga denganmu, Lee-san," ia tertawa ragu-ragu.

Tenten tertawa terbahak-bahak. "Sudahlah, Lee. Kau malah menakutinya tahu!"

Lee masih belum menyerah, "Aku melihat semangat berapi-api dalam dirimu, Sakura-san," katanya penuh keyakinan, "dan aku sangat setuju—semangat masa muda itu sangat bagus!"

Ino lihat dari sudut matanya kalau Neji belum berkata apa-apa. Hanya memutar bola matanya. Mungki pemandangan seperti ini membuatnya bosan.

Naruto, yang menyadari kalau Hyuuga satu itu belum berkata apa-apa, menyenggol lengannya, "Oi, Neji! Kasih salam dong!"

Hyuuga itu terlihat sedikit malas. Tapi, menurut Ino, karena keluarga Hyuuga terkenal dengan kesopanannya dan perilaku mereka yang begitu terjaga, Neji merasa ia paling tidak mengucapkan namanya.

Ketika mata lavender itu menatap mata emerald Sakura, Ino langsung merasa ke-salting-an dan kegugupan sahabatnya itu. Ia terkikik kecil dalam hati.

"Hyuuga Neji." katanya singkat. Matanya tetap memandang lawan bicaranya begitu tajam, serius.

"A-a, Haruno Sakura," gadis berambut pink itu berkata pelan, nyaris berbisik. Aura malu-malu plus love-love yang sangat terasa pun mengelilingi Sakura.

Ino begitu puas, menikmati suasananya sekarang. Ketika ia hendak berjalan ke tempat duduknya untuk membiarkan Sakura dan Neji sendirian, tangannya ditarik pelan. Menoleh, ia balas menatap Sakura yang kini melotot penuh arti.

"Apa?" tanya Ino inosen.

"Jangan kabur!" desis Sakura penuh ancaman.

"He? Harusnya kau berterima kasih padaku tahu!"

Sakura membawa mereka selangkah lebih jauh dari meja Neji. "Apaan! Kau membuatku nyaris mati karena malu tahu!"

"Yang penting kan kau berhasil kenalan! Coba ya, kalau tidak ada sahabat terbaikmu ini, mungkin kau masih terpuruk di kelasmu hanya membayangkan wajah Neji,"

"Sssst, jangan keras-keras, pig!" bisik Sakura panik. Ia melirik sekilas meja Neji.

Ino memutar bola matanya, "Please deh, jidat. Santai sajalah, dia juga tidak dengar! Dengar, tadi aku mau meninggalkanmu di sana agar kau punya kesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengannya. Dan sekarang kau rusak kesempatan itu,"

"Apaaa? Ngobrol? Gila kau, aku mau ngobrol apa sama dia?" Sakura menampilkan raut wajah frustrasi.

"Basa-basi kek, apa kek. Tanya sajalaaah, misalnya, 'kau jalan ke mall kemarin ya? Aku melihatmu di sana' atau 'rasanya wajahmu familiar, kau pernah satu SMP denganku kan? Tapi kita tidak pernah sekelas', atau apa gitu. Biasa saja, jidat, percakapan awal saja," Ino berkata santai.

"Uugh, susah tahu! Bukannya kau tahu sendiri dia orangnya seperti apa. Bingung aku," kata Sakura menghela napas.

"Sudahlah, tidak usah malu-malu begitu. Ngomong saja, cepetan! Keburu kesempatanmu habis lho!" dorong Ino lagi. Tapi Sakura kembali menolak dorongan Ino dan tambah merengut.

"Aku belum siap!" ia berkata sambil mengatupkan bibirnya, kedua tangannya terlipat di bawah dada, kekanakan.

Ino meluruskan rambutnya dengan jari sambil mendengus, "Belum siap apanya sih? Sudah deh. Ada kesempatan, ada orangnya, tinggal kau maju dan ngobrol!"

"Gampang buatmu untuk bicara!" Sakura kembali melotot, "kau kan belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta, jadi tidak tahu rasanya,"

Ino kembali mendengus mendengarnya. Ya, ia akui memang ia selalu mengaku jatuh cinta jika bertemu cowok-cowok tampan. Walau begitu, tetap saja rasa yang ia alami hanyalah 'suka', tidak sampai 'jatuh cinta'. Jadi, yah memang tepat kata-kata Sakura. Tapi bukan berarti begitu juga kan, pikirnya dongkol.

Ia ingin membuka mulutnya ketika Naruto berseru keras, "Teme!". Menghiraukan seruan bocah itu, Ino kembali berkata, "dengar ya jidat, ini kesempatan jarang datang. Kau harusnya bersyukur bisa kukenalkan padanya. Nah, sekarang tinggal kau saja. Kau mau atau tidak bicara dengannya? Sekali lagi kuingatkan, kesempatan ini hanya datang sekali," ia mengakhiri dengan nada rendah sarat ancaman.

"Nngh…" Sakura bergumam, berpikir. Ia tampaknya ragu juga, "..nng… baiklah!"

"Aha! Akhirnya! Ayo cepat, segera—"

"….sudah bel,"

"Aaaaargggghhh, Sakura! Kau menghancurkan kesempatanmu yang sangat amat jarang ini!" pekik Ino kesal. Dasar! Sudah capek-capek juga, tak ada perkembangan!

"He he, udah bel, pig," Sakura cengengesan tidak bersalah. Ia bergegas berlari keluar, setengah berteriak, "byeeee pig!"

/ end flashback /

.

.

.

Dongkol. Begitu mengingat kenangan itu, yang dirasakan Ino adalah dongkol. Lagian, kesal! Sudah repot-repot nyeret Sakura, ditambah sasaran sudah di depan mata, tetap saja cewek pinkie itu tidak mau berbicara dengan Neji. Tapi, heh, Ino kan memang belum merasakan jatuh cinta—sampai sekarang—jadi… mungkin maklumlah ya, kalau bertingkah seperti itu (walaupun Ino menyukai suasana di saat Sakura sedang salting).

Hmmm, karena tak ada kerjaan lain di rumah, Ino memutuskan untuk menelepon Sakura saja. Sekalian menanyakan pr, dan bergosip sebentar, mungkin saja ia bisa mengorek apa yang Sakura sembunyikan—kalau beruntung.


.

.

.

.

.

.

.

.

Penat. Pusing. Capek.

Itu yang ia rasakan sekarang.

Badan pegal, masalah tak kunjung selesai. Tak ada yang beres di kehidupannya.

Ia menghela napas panjang. Pusing di kepalanya tampak belum cukup saja. Seharian ia harus meladeni seluruh relasi kerja ayahnya di meeting barusan. Padahal ia masih belum begitu mengerti apa yang dibicarakan, hanya ayahnya menyuruhnya memerhatikan, bahkan membuatnya merangkum isi percakapan itu. Setengah bosan ia memerhatikan, berkali-kali mengecek jam tangannya yang masih saja menunjukkan waktu yang sama.

Selesai dicekoki dengan percakapan yang sama sekali blank baginya, ayahnya mengenalkannya dengan semua orang yang hadir di sana. Lalu, dengan tingkat kesopanan yang amat tinggi, ayahnya mengajak salah seorang kenalannya untuk makan sore, bersama ia juga tentunya. Ayahnya berkata, kalau ia masih butuh bimbingan lagi untuk mengatur perusahaan, dan kenalan ayahnya itu berkata kalau ia bersedia membantu. Tambah rumit saja.

Di tengah-tengah sajian makan sore yang membuatnya kenyang dan bosan, lagi-lagi ia terjebak dalam obrolan seputar pekerjaan dan politik. Aaargh, kepalanya bisa meledak. Tapi dengan raut wajah stoic-nya, dengan dalam hati ia berpikir kalau ia masih remaja, dan remaja itu bukannya tidak usah memusingkan hal-hal beginian ya? Ya, kalau saja kau tidak terlahir dalam keluarga aristokrat yang mempunyai perusahaan begitu besar yang diwariskan padamu.

Pusing lagi.

Gerah dengan suasana tersebut, satu-satunya langkah untuk menghilangkan kepenatannya adalah dengan 'cara itu'. Mengambil hpnya dan mengetik sebaris kalimat, ia mengaduk makanan penutup di hadapannya dengan asal-asalan. Berpura-pura menyimak dan menjawab semua pertanyaan berdasarkan logikanya, ia menghabiskan waktu sekitar 15 menit di sana.

Begitu sakunya bergetar, ia langsung berdiri. Meminta izin ke toilet sebentar, ia berjalan keluar restoran itu dengan wajah yang jauh lebih lega.

Ia berjalan terus ke arah yang berlawanan dari restoran itu. Begitu masuk ke lorong menuju toilet, ia berjalan kembali ke sebelah kiri, padahal harusnya toilet di sebelah kanan. Di sudut gelap lorong itu, sebuah sosok baru muncul.

"Hei—"

Belum sempat sosok itu berbicara lebih lanjut, ia sudah mendorongnya ke dinding, meneroboskan bibirnya ke sang lawan, menyerbunya dengan penuh nafsu.

Sosok itu mengerang perlahan. Ia meremas rambut hitamnya, bibirnya mengeluarkan desahan-desahan yang membuat cowok itu semakin kasar melumat bibirnya.

Cowok it terus mendesaknya ke dinding, kedua tangan gadis itu ia piting di atas sehingga tak mampu bergerak. Tapi tanpa itu pun, gadis itu sudah tidak bergerak dari awal, membiarkan cowok itu yang memimpin. Semakin cepat lidah mereka beradu, kedua mata onyx itu menatapnya dengan pandangan lapar.

Semakin kasar, semakin buas. Ia menggigit pelan bibir bawah gadis itu, desah napas mereka yang terengah-engah menjadi satu-satunya yang terdengar di lorong itu. Ia melepaskan kedua tangan gadis itu, membiarkannya mengelus pipinya. Ia melumat bibirnya sekali lagi, gadis itu mengeluarkan desahan yang makin memompa nafsunya.

Drett, drett

Getaran di sakunya menginterupsi suasana 'panas' itu. Ia meraih hpnya, melihat sekilas layarnya, kemudian memasukkannya lagi.

Merapikan rambut dan kemejanya, ia berkata pelan.

"Kau bisa pergi sekarang," ia memasukkan kedua tangan di saku sambil berjalan lurus, keluar dari lorong itu, meninggalkannya.

Gadis itu menyisir rambut merahnya dengan jari, membetulkan jaket bulu yang ia pakai. Bibirnya ia poles kembali dengan lip-gloss berkilau, matanya menelusuri jalan yang ditinggalkan pemuda itu.

"Tentu saja, Sasuke-kun," ia mengecap bibirnya, "anytime."

.

.to be continue.


(a/n)

* anggep aja di Jepang, usia dewasanya itu 17 bukan 20. Hehehehe

Hai. Kembali lagi dengan saya /pletak. Saya gak tau lah, fic ini lahir dari stres yang melanda *alah* dan dari kepusingan saya terhadap dunia /apacoba/

Hiraukan aja -_- saya emang lagi pusing banget, nah dari itulah malah muncul cerita beginian. Saya gatau ini semi-M atau bukan, tapi jaga-jaga saya kasih rated T-semi M ya. Kalo menurut saya sih masih T, tapi gatau juga deh T_T

Btw, sekalian promosi *hehehe* yuuuk berkunjung ke fic saya yang NaruHina, judulnya Menggapai Langit hehehe.

Makasih yaa, yang udah mau baca sampai sini ^^ Boleh minta reviewnya?

Oya... keep or delete?