Ketika 3 Hati Datang Padaku
(Re-Publish 'Cinta Yang Lain')
Pairing : SasuNaru, Slight SasuNaruko, ItaNaru, GaaNaru
Genre : Angst, Hurt Comfort
Rating : Teen
WARNING : ALUR CEPAT, OOC, AU, GAJE, Typo(s), BxB, Death Chara
Chibi Menma
Naruto Belong To Masashi Kishimoto 1999
Story By : K. Aiko 2014
.
.
.
.
"Hati ini hanya ada satu..
Cinta ini tak akan mungkin terbagi..
Janji ini tidak untuk diingkari..
Perasaan ini bukan untuk disakiti"
.
.
.
.
.
.
Naruto's POV
'aku lelah, begitu sesak di dalam sini. Ini terlalu besar, aku tak bisa menanggung semuanya dengan tubuh kecilku ini' mungkin itulah yang akan terjadi, jika hatiku bisa bicara.
Namun ternyata ia tidak bisa bicara, tetap diam membisu meskipun ribuan anak panah mencoba untuk menusuknya dan mencabik habis hatiku. Cobalah untuk tabah, hanya itu yang ku bisikan padanya.
Entah apa yang harus ku lakukan, mencoba bertahan namun begitu pilu ku rasakan. Sasu..Sasu..cobalah kau tengok aku disini, sentuh raga ini, dan kuatkan jiwa ini. Aku istrimu, mengikat janji suci nan sacral di hadapanmu, didepan saksi, serta mengatasnamakan Tuhan untukmu. Butir air mata terus ku teteskan untukmu, kuatnya hati ini laksana jenderal di tengah perang melindungi sang pangeran.
4 musim telah terlewati olehku, menunggu dan terus tetap menunggu. Dihadapan semuanya aku kuat, cobalah kau tengok aku di kamar sepi nan dingin ini. tangisan kecil memanggil namamu terdengar pilu. Rumah besar ini bak penjara bagiku, pesta meriah tak mampu menemani hampanya hatiku. Merasa sendiri di tengah kota yang besar dan ramai seperti ini.
Siapa nyana?
Bahwa aku seorang Naruto, istri pertama dari Uchiha Sasuke, harus mengalah pada maduku yang tak lain dan tak bukan adalah adik kembarku, Naruko. Membuat batinku tercabik parah dan merasa gila, begitu amat menyakitkan. Aku tak pernah membayangkan, bahwa lagi-lagi aku harus mengalah pada anak kesayangan ayahku. Atas permintaannya, aku rela menjalaninya.
Rasa perih nan pedih ini begitu ganas menggerogoti relung jiwaku. Sudah tidak paham lagi, apa yang masih ku miliki hingga saat ini. demi tuhan, aku bukan seorang yang tangguh untuk menghadapi semua ini.
Ada deraian hujan pada mataku yang sempit ini, membuatku merasa lemah dengan keadaan seperti ini. Apa mau dikata? Keadaanku memaksa diriku untuk menjadi kuat.
Belum lagi...
"mama"
Seorang bocah kecil penyelamat hidupku menjadi alasan diriku untuk bertahan hingga saat ini. Begitulah, Menma malaikat kecilku membuatku menjadi kuat seperti ini. tubuhku memang tidak sekekar Thor, tetapi aku sangat yakin, hatiku bisa lebih kuat dari tokoh fiksi kesukaan putra tercintaku ini.
.
.
.
Normal POV
Rasa bahagia memancar ketika Naruto memeluk si kecil Menma yang tertawa lucu dengan seekor kelinci putih di pelukannya. Rumput yang hijau menjukut aroma segar, bagai terapi menusuk penciumannya. Angin musim panas memasuki sejuk rongga hatinya, bukan..bukan itu yang menjadi sebab Naruto begitu bahagia hari ini.
Kebahagiannya adalah bocah kecil berusia 6 tahun itu. Bocah yang kini mencium lembut kening pemuda bersurai blonde itu.
"lihat..hihihihi..dia lucu sekali" bocah kecil itu tertawa lucu, dan membuat Naruto yang tengah memeluknya juga ikut tertawa. Menma sudah menjadi obatnya selama ini, seolah menggantikan kepergian ibu mertuanya yang telah pergi 7 tahun silam. Seolah Tuhan berbaik hati menggantikan posisi sang ibu dengan bocah kecil yang terlahir tepat 6 tahun yang lalu.
Laki-laki berusia 25 tahun itu bahkan tidak keberatan kala anak kecil itu memanggilnya dengan sebutan mama. Mungkin saja rasa bangga telah menghapus rasa malu dan jijik di dalam hatinya. Dia seorang Naruto, dia seorang yang pemaaf, dan penuh dengan welas asih. Bocah itu lebih dari sekedar berhak memanggilnya mama, namun juga berhak memiliki kasih sayang yang lebih dari cukup dari pemuda berkulit tan itu.
Siang hari, terasa begitu cepat ketika terdengar suara klakson mobil dan langkah sepatu pentofel yang berjalan angkuh menuju taman belakang. "ihihihihi geli" Menma mengaduh geli, saat moncong kelinci itu mengendus pelan tangannya. "mama, ini..ini.." Ia mengangkat kelinci manis itu dan mengarahkannya pada pipi sang Mama.
"Menma-chan..hey..hentikan, nak!" Naruto berusaha menjauhkan wajahnya dari hewan bertelinga panjang itu.
Tawa ibu dan anak itu terhenti, ketika sosok bertubuh tinggi dan tegap berjalan angkuh mendekati mereka. Laki-laki dengan raut wajah tegas itu menatap datar ke arah Naruto yang sedang duduk di atas rumput hijau dengan Menma kecil dipangkuannya. Tanpa tendeng alih-alih, pria tampan itu segera menggendong Menma dan membawanya pergi meninggalkan Naruto beserta kelinci putih itu di taman. Sangat tak peduli dengan keadaan Naruto yang mungkin saja terasa sesak, dan membuat jantungnya berdenyut pilu.
"papa sudah pulang kelja? Kenapa Menma digendong, Menma kan mau main belsama Mama Nalu" Naruto masih mendengar kata-demi-kata yang diucapkan bibir kecil Menma kepada sang papa.
'Tidak Menma! Papamu, tidak akan pernah membiarkan dirimu bermain denganku'
.
.
.
.
"Menma, ayo dong dimakan!" pinta seorang wanita bersurai blonde dengan bando biru begitu indah di atas kepalanya. Wanita itu sedikit membujuk putranya untuk memakan makan malamnya, yang sedari tadi tidak tersentuh. Berkali-kali ia memaksa, berkali-kali juga anak laki-laki itu menolak.
Menma bahkan masih tidak mengerti, kenapa 'Mama Naru' tidak boleh makan bersama mereka. Si kecil pun juga sering melihat Mama tertuanya itu menangis seorang diri, di depan makanan yang masih belum disentuh sama sekali olehnya. Menma merasa khawatir, bagaimana jika mama tercintanya itu sakit? Menma pasti akan kesepian bila hal itu terjadi.
Untuk menyuapi putra kecilnya itu memang butuh kesabaran yang extra bagi Naruko. Jika tidak mau makan karena asyik bermain, pasti karena anak itu tidak suka dengan makanan yang sedang ia makan. Menma bukan tipikal anak yang mudah makan ini makan itu. Namun juga bukan termasuk anak yang royal, begitu sulit membujuknya untuk makan.
Menma mengambil miniature mobil kecilnya dan beranjak pergi meninggalkan meja makan. Lagi-lagi Naruko menghela nafas pelan menghadapi malaikat tercintanya itu. Laki-laki tampan bermarga Uchiha itu menghentikan aksi makannya, ketika tak ada niat untuk menghabiskan makan malamnya. Ia mengikuti langkah kecil putra tunggalnya itu ke arah dapur.
Uchiha Menma, anak lelaki tunggal Uchiha Sasuke itu membulatkan matanya ketika tak melihat seseorang disana. Yakin, Menma melangkah menaiki anak tangga menuju dimana letak kamar ibu tertuanya itu. Sasuke menatap datar melihat putranya mengetuk pelan kamar istri pertamanya, dengan mobil-mobilan kecil di tangan kanan Menma.
"Menma-chan" sosok pirang dibalut yukata tidur muncul membukakan pintu. Sang blonde tersenyum simpul—menyipitkan matanya.
"Mama, Menma ngantuk" kata Menma—bocah itu seenaknya saja masuk ke dalam kamar sang ibu, dan membuat Naruto terkejut bukan main. Dengan kelakuan sang buah hati yang seenaknya saja, Menma kini sudah merebahkan tubuh kecilnya dengan kaki kanan menyangga kaki kirinya yang berada di atas. Kedua tangannya menjadi bantal kepala ravennya itu, sembari menatap langit-langit kamar sang ibu dengan gaya 'sok' dewasa.
Naruto lantas saja menggelengkan kepalanya, dan menyusul putra kecilnya untuk merebahkan tubuhnya di ranjang. "mama, boleh Menma Tanya sesuatu?" Tanya Menma. Sang ibu menoleh ke arah putra tunggalnya dan menganggukan kepalanya, pertanda membolehkan buah hatinya untuk bertanya padanya.
"Menma ini anaknya siapa?" Tanya Menma.
"Menma itu anaknya mama Naru dan mama Ruko" jawab Naruto, berharap bahwa Menma sudah puas dengan jawabannya itu.
"tidak.. maksud Menma, siapa yang melahilkan Menma?" Menma memperbaiki pertanyaannya.
Naruto terdiam sejenak, kemudian berkata; " tentu saja mama Ruko, sayang" ia tersenyum tulus dan mengecup pucuk raven putra pertamanya.
.
.
.
Berbeda di kamar Naruko, wanita itu tampak sedih mengingat kejadian saat makan malam tadi. Bulir air mata membasahi wajah cantiknya. Menerima penolakan dari putranya, Menma. Terasa begitu menohok dalam hati nuraninya sebagai seorang ibu. Dengan sebuah figura seorang bayi yang sedang tertidur, Naruko memeluk erat figura itu seolah ia sedang memeluk erat putra tunggalnya.
Tangisan tiada henti, membuat suaminya bingung hendak berbuat apa. Menma memang tidak begitu dekat dengan Naruko. Bocah itu seolah hanya mengakui istri pertamanya dibandingkan Naruko, wanita yang ia cintai. Namun apa boleh buat? Mungkin saat Menma kecil, Sasuke bisa dengan mudahnya menjauhkan Menma dari Naruto.
Tapi kini Menma sudah besar, usianya sudah 6 tahunan. Ditambah lagi darah seorang Uchiha mengalir dalam nadinya. Gaya pemikirannya pun jauh lebih kritis dibandingkan anak-anak lainnya. Melarang Menma untuk berdekatan dengan Naruto, pasti akan mengundang rasa ingin tahu padanya. Bahkan kemarin, Menma bertanya; 'mengapa ia harus memiliki dua orang ibu'
Sasuke tidak tahu harus menjawab apa, mungkin suatu saat nanti Menma akan tahu suatu kenyataan yang akan membuat dirinya mengerti dengan keadaannya yang seperti ini.
"Sasuke kun, tolong..aku..aku tidak mau Menma menjauhiku" ucap Naruko, Sasuke membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Memeluk erat wanita tersebut, seolah menguatkan belahan jiwanya itu. Dia tidak berkomentar, karena ia yakin itu tidak akan membantu menyelesaikan permasalahannya dengan sang istri.
Dia telah banyak membawa luka pada wanita ini. Tak banyak yang mau menerima kehadiran Naruko untuk menjadi istri keduanya. Dulu ia ingat, kalau mendiang ibunya bahkan bersikap begitu dingin pada Naruko. Wanita yang biasanya ramah itu, selalu menunjukan raut wajah dingin ketika berhadapan dengan Naruko.
.
.
.
Pagi ini, Naruto sudah bangun seperti biasa dengan Menma yang menemaninya di pagi hari. Anak itu sudah masuk sekolah tahun ini, jadi Naruto harus membantu putranya untuk bersiap-siap pergi ke sekolah di taman kanak-kanak. Sebelum memasuki tahun sekolah, Menma juga selalu menemani Naruto menyiapkan makan pagi untuk kedua orangtuanya (Sasuke dan Naruko).
Mendung pun akan terasa cerah ketika melihat senyum lima jari Menma bagi Naruto. gigi putih yang rapih, adalah bentuk kepedulian Naruto yang sangat rajin merawat Menma bahkan sampai hal sekecil apapun.
Menma memperhatikan serius sang ibu yang sedang meletakan waffle ke dalam piring untuk dirinya. Sirup maple yang dituang menjadi hiasan supaya mood makan Menma naik melihatnya. Ibu tertuanya ini sangat kreatif, dan Menma amat bangga padanya.
"selamat pagi"
Naruto melihat ke arah dimana seorang wanita berambut blonde tersenyum ramah padanya. Dia adalah Naruko, wanita itu sudah sangat cantik dengan dandanan khas seorang fashionista. Sepertinya dia akan pergi hari ini. "eh, Naruko-chan.. ayo duduk, aku sudah membuatkan sarapan untukmu"kata Naruto—menyambut ramah saudari kembarnya itu.
"wahhh, pasti enak" Naruko berjalan menuju meja makan dan mencicipi shepherd Pie buatan Naruto untuknya. "waahh, enak seperti biasa" puji Naruko. Saudara kembarnya ini memang sangat handal mengerjakan pekerjaan rumah dibanding dirinya, bahkan Naruko tidak tahu darimana Naruto belajar memasak. Semua pekerjaan rumah akan selesai jika Naruto yang mengerjakannya.
"ahh, kau ini.. bisa saja" sahut Naruto. Wanita blonde itu melirik ke sampingnya, dimana sepiring Shepherd pie masih belum tersentuh sama sekali. "apa itu untuk Sasuke kun?" Tanya Naruko—mengingat-ingat makanan kesukaan suami tercintanya itu. Menma ikut menoleh ke arah pie isi daging itu. "hu'um" Naruto mengangguk pelan.
"darimana kau tahu Sasuke suka pie mustard tomat seperti ini?" Tanya Naruko.
Naruto tertawa pelan, "aku tidak tahu.. tapi aku sudah menyiapkan ini. kalau tidak dimakan, juga tidak apa-apa" jawab Naruto. Naruko menjadi tidak enak hati melihat kakak kembarnya itu menundukan kepalanya, menahan kesedihan.
"kalau papa tidak mau, nanti Menma yang makan" sahut Menma, dia menatap tajam pada Naruko yang telah membuat sang ibu murung.
.
.
.
Di sudut cafe bergaya klasik, tampak dua orang laki-laki duduk berhadapan dengan beberapa hidangan di depan mereka. Keduanya saling diam, tanpa bersuara. Si pirang yang lebih asyik dengan lamunannya, dan si raven yang menatap datar ke arah sang blonde hanya untuk meneliti cermat gerak-gerik lelaki yang lebih muda darinya itu.
"aku memintamu kemari bukan untuk melihatmu diam begitu, Naru" kata demi kata mulai keluar dari bibir pria tampan berambut raven itu. Naruto mendongakan kepalanya, kemudian tersenyum simpul dan membuat si raven ikat kuda itu tak kuasa untuk membalas senyuman manis lelaki manis di depannya. "lalu aku harus apa, kak?" Tanya Naruto, menaikan satu alisnya.
"setidaknya sentuhlah makanan di hadapanmu ini! demi Tuhan, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika kau sakit hanya karena belum makan siang" kata laki-laki bernama lengkap Uchiha Itachi itu. Naruto mengangguk cepat, ia pun menarik pelan piring berisi cheese cake untuk lebih dekat dengannya. Sesuai permintaan sang kakak, Naruto pun mulai mencicipi kue ber-tekstur lembut itu.
Itachi memang sengaja mengajak Naruto pergi ke cafe ini lantaran ketika ia pergi mengunjungi rumah adiknya, ia melihat Naruto tengah duduk melamun di taman seorang diri. Tidak tega, akhirnya Itachi memutuskan untuk mengajak pemuda manis itu untuk ikut dengannya makan siang di luar rumah. Perintah atau pun ajakan Itachi adalah mutlak (dengan memaksa). Naruto pun tak kuasa untuk menolak.
"kakak itu terkadang berlebihan" sahut Naruto, Itachi memang posesif padanya. Padahal bukan itu maksud Itachi, ada kala dimana Itachi bersikap begini sebab melihat Naruto yang selalu merasa kesepian di rumah besar itu. Menghadapi kekerasan hati seorang Uchiha Sasuke, menuruti keinginan Naruko, serta bertahan untuk putranya Menma, membawa luka untuk pemuda berkulit tan ini. entah terbuat dari apa atau berasal darimana pemuda itu, mengingat betapa tabahnya Naruto menghadapi semuanya dengan senyum hangat terpancar di wajah cantiknya.
Betapa banyak kata 'seandainya' di kepala Itachi. Jika seandainya Naruto adalah istrinya, mungkin saja ini tidak akan pernah terjadi. Sulung Uchiha itu yakin, pasti Naruto akan bahagia bersamanya. Tersenyum manis dengan hati yang bahagia, menyambut dirinya yang baru pulang bekerja, atau bahkan memasakan makanan yang enak untuk dirinya. Meski masih bisa tersenyum hangat, Itachi tahu jika itu hanya kedok Naruto menutupi kesedihan hatinya itu.
Sikap acuh sang adiklah sebab musabab Naruto mengalami luka seperti sekarang ini.
Merasa sendiri meskipun dikelilingi oleh tiga orang di rumah itu, betapa nelangsanya hidup Naruto.
Naruro lantas terbelalak lebar ketika merasakan Itachi menggenggam erat kepalan tangannya di atas meja. Malu-malu ia menatap Itachi, tidak mengerti mengapa kakak iparnya ini memperlakukan hal ini padanya. "kak, kalau kakak seperti ini aku tidak bisa makan dengan nyaman" dusta Naruto—ia hanya merasa canggung jika kakaknya memperlakukan dirinya sebagai seorang kekasih. Itachi segera melepaskan tangannya dari Naruto dan membiarkan sang blonde menikmati makan siangnya. Sementara Itachi menatap kosong ke arah jendela yang mempertontonkan jalanan ramai di kota Konoha. "bagaimana keadaan Menma?" Tanya Itachi—menanyakan keadaan keponakan semata wayangnya itu.
"dia baik-baik saja. ku yakin dia bahagia, karena memiliki dua orang ibu yang amat sayang padanya. Menma ku sayang tumbuh besar dan pintar" jawab Naruto—sedikit memuji putranya yang pintar itu.
"Menma kan? bukan kau" sahut Itachi.
Ucapan Itachi begitu menohok jantungnya, apalagi melihat iris malam itu menatap tajam padanya. "bercanda" Itachi cepat-cepat merubah suasana dengan tertawa kecil. Naruto menggaruk pelan tengkuknya yang tidak terasa gatal. "hahahaha" seolah tertawa canggung, Naruto kembali menikmati makan siangnya.
.
.
.
.
Di sekolah, Menma kecil berjalan seorang diri menuju gerbang sekolah. Bel pulang baru saja berdering membuat para anak-anak seusianya berlarian keluar kelas. Akhirnya sekolah usai, mereka tidak sabar untuk segera menemui orang tua mereka. Pulang adalah tujuan mereka tentunya. Diantara tawa kebahagian anak-anak itu, tampak seorang bocah raven bermaniks sapphire menatap sendu ke arah mereka.
Hanya dirinya lah yang tidak tertawa merasakan kebahagian masa kecilnya. Uchiha Menma bocah kecil yang harus menghadapi dunia yang tampak tak adil padanya. Bahkan Menma rela menukar seluruh mainan mahalnya untuk mendapatkan kebahagian untuknya. Menma duduk di atas trotoar sambil memangku dagunya dengan kedua tangan kecilnya.
Kebiasaan menunggu mungkin sudah menjadi aktivitasnya sepulang sekolah.
Hanya dia satu-satunya yang masih berada di sekolah, menanti orang-orang dewasa di rumahnya menjemput dirinya. Meski sang ibu tertuanya lah yang lebih sering menjemput ia disekolah.
"kau sudah lama menunggu?"
Menma menoleh ke asal suara, dimana seorang pria tampan berambut raven berdiri tegap tak jauh dari posisinya saat ini. ternyata ayahnya lah yang menjemput dirinya hari ini. Menma berdiri seraya menepuk pelan belakang celana berwarna biru navy nya itu. "balu 30 menit" jawab Menma—melirik arloji berbentuk panda pemberian ibu tertuanya (Naruto).
Menma adalah anak yang pintar, dan Sasuke akui itu. Sebagai ayah, tentu ia merasa bangga memiliki seorang anak seperti Menma. Meski tidak pernah menunjukan hal tersebut di depan putranya, namun dengan perhatian yang lebih menunjukan bahwa ia berusaha keras menjadi seorang ayah yang baik untuk putra kecilnya itu.
"dimana mama?" Tanya Menma—mencari sosok yang ia tunggu-tunggu tak Nampak batang hidungnya.
"mama sedang bertemu dengan teman-temannya semasa di asrama putri dulu" jawab Sasuke. Menma menggelengkan kepalanya, tahu siapa yang dimaksud oleh Sasuke. "bukan dia, tapi mama Naluto" sanggah Menma, dan membuat Sasuke memasang tampang stoic-nya.
"papa—"
"kenapa kau selalu mencarinya?" Tanya Sasuke—tegas,dingin, dan langsung ke intinya. Menma terdiam tidak mengerti mengapa papanya bertanya seperti itu. "dia kan mamanya Menma, memangnya salah kalau Menma mencalinya?" Menma balik bertanya. Sasuke menghentikan langkahnya. Ia membungkuk menyamai tinggi sang buah hati, meremas pelan kedua bahu kecil putranya itu.
"Naruko adalah ibumu! Kau harus lebih menyayangi wanita yang telah melahirkanmu itu" seru Sasuke, dan membuat Menma meringis pelan.
"Kenapa? kenapa Menma halus menyayangi mama Luko? Apa kalena mama luko adalah olang yang sudah melahilkan Menma? Kenapa Menma tidak boleh menyayangi Mama Nalu yang selalu melawat Menma? Sakit pun Menma belsama mama Nalu bukan Mama Luko. Sampai saat ini Menma gak ngelti kenapa Menma halus punya dua mama..Menma benci papa" setelah mengatakan hal itu Menma segera berlari meninggalkan papanya.
Sasuke segera mengejar Menma yang mulai berlari meninggalkan dirinya menuju jalan raya yang sedang ramai saat ini. hatinya masih terasa tertohok mendengar putranya mengatakan hal itu padanya. "Menma" seru Sasuke. Ia tak menyangka, buah hatinya begitu membenci dirinya hanya karena ia mengatakan hal tersebut. Sasuke hanya tidak mau melihat Naruko yang terus-menerus menangis setiap malam. Meskipun tahu kebenaran, namun Sasuke tidak mau kebenaran itulah yang membunuh hati Naruko perlahan-lahan. Apapun itu, dianggap berengsek pun tidak masalah untuknya.
"Menma benci papa, Menma benci Mama luko!" teriak Menma, tanpa memperhatikan langkahnya Menma terus berlari. Hingga ke tengah jalan raya, sebuah mobil melaju cepat ke arahnya. Melihat itu, Sasuke membulatkan matanya dan berteriak..
"MENMA!"
Bruk..
Seseorang telah menyelamatkan nyawanya. Menma merasakan seseorang mendekap erat tubuh mungilnya. "Men..Menma" bocah kecil itu membuka matanya ketika mendengar suara yang begitu familiar di telinganya.
"Mama Nalu" Menma menjerit ketakutan ketika melihat darah membasahi kening sang ibu. "mama..mama..hiks.." tangisan bocah itu terdengar begitu memilukan. Ia memeluk erat tangan sang ibu. Tuhan, dia tidak mau kehilangan ibunya secepat itu.
"NARUTO!" Teriak Itachi, ia begitu terkejut ketika Naruto mulai tak sadarkan diri dengan Menma di pelukannya. Tadinya, keduanya hendak menjemput Menma di sekolah. Saat sampai di jalan raya tak jauh dari sekolah Menma, Naruto yang tengah berbincang-bincang disamping Itachi segera berlari ketika melihat tubuh kecil Menma berlari ketakutan tanpa melihat mobil melajung kencang ke arahnya. Tak sempat mengejar Naruto, Itachi begitu terkejut ketika melihat Naruto yang terjatuh dengan Menma di pelukannya. Dia sudah menyelematkan buah hatinya tanpa mempedulikan nyawanya.
"MAMA"
.
.
.
.
"bagaimana ini bisa terjadi?" seorang wanita bersurai merah bata menunjukan wajah paniknya ketika mendengar putra tirinya mengalami kecelakaan dan harus dibawa ke rumah sakit.
"ibu, tenanglah!" Itachi yang sedang duduk memeluk Menma pun akhirnya memutuskan untuk mendudukan Menma di atas bangku dan segera berdiri menghibur wanita itu. Namikaze Sara, wanita 48 tahun itu sangat takut jika terjadi apa-apa pada putra tiri tercintanya itu. "sudahlah Sara! Anak itu akan baik-baik saja" sahut sang suami yang baru saja tiba di depan ruang operasi. Tak Nampak raut gelisah di wajah tampannya itu. Ia malah terkejut ketika melihat putri kesayangannya kelihatan frustasi seperti orang gila di samping suaminya.
"ayah!" Naruko berlari memeluk sang ayah dan menangis di pelukan sang ayah.
Sara berjalan mendekati Minato (sang suami) dan menatap tajam padanya. "kau bisa mengatakan hal seperti itu saat putramu sedang menghadapi maut, Minato?" Tanya Sara—menatap sinis sang suami.
"tutup mulutmu! Aku tahu anak itu bisa menghadapi semuanya—tenang Naruko, saudaramu pasti akan baik-baik saja" Minato mengusap lembut surai blonde putri kesayangannya itu.
"kau yang harusnya tutup mulut! Tak bisakah kau pikirkan Naruto walau itu hanya sekali? Dia terluka Minato, apa yang akan kau lakukan jika ajal menjemput Naruto?" Sara berteriak keras. Entah apa yang dipikirkan Minato, mengingat pria itu bahkan tak pernah peduli pada putranya itu.
"Kau wanita yang tidak tahu diri!" Minato hendak menampar wajah Sara. Namun Naruko segera mencegahnya, "Sudah ayah, ibu, ku mohon" pinta Naruko—menangis.
"Ya, Naruko mu lebih berharga dari Naruto. satu titik luka di tangan Naruko bahkan lebih penting dibandingkan nyawa Naruto. aku tidak akan pernah memaafkanmu jika sesuatu terjadi padanya" Sara menahan air mata yang hendak mengalir dari mata indahnya itu.
"SEMUA DIAM!" teriak suara cempreng yang sedari tadi memperhatikan orang-orang dewasa yang memberikan contoh tak baik di hadapannya. Semua perhatian tertuju pada bocah kecil yang sedang duduk menundukan kepalanya—mengepalkan kedua tangannya. ia menangis, mengingat kejadian yang telah menimpa sang ibu.
"Kalena Menma.. semua ini kalena Menma" Tangisannya pun pecah. Sara tak tega melihat cucunya menangis, dan segera bersimpuh untuk menghibur cucu kesayangannya. "gala-gala Menma, nek" Menma mendongakan kepalanya, memperlihatkan wajahnya yang sembab. "Mama selamatkan Menma.. sehalusnya Menma yang ada di dalam bukan Mama" kata Menma.
Sara menggelengkan kepalanya pelan, "tidak, sayang! Menma tidak boleh berbicara seperti itu. Mama akan sedih jika mendengar anak yang ia selamatkan menyesali perbuatannya" Imbuh Sara. Akan lebih buruk lagi jika Menma yang berada di dalam, apalagi ada Naruto di tempat kejadian. Itu akan sangat buruk untuk nasib putra tercintanya, Sasuke akan semakin membenci Naruto dan menyalahkan semuanya pada pemuda manis itu. Sara akan gila jika hal itu terjadi, mungkin mati lebih baik daripada melihat penderitaan putranya.
"sayang" Naruko ikut bersimpuh seraya hendak menyentuh tangan mungil putranya yang sedang duduk di atas bangku panjang. Menma menolak dan menatap benci sang ibu, "aku benci mama Luko. Meskipun mama Luko yang melahilkan Menma, namun Mama Nalu yang selalu mengasuh Menma. Bagi Menma, Mama Nalu lah yang pantas menjadi ibu untuk Menma" ucap Menma, dan membuat semua mata terkejut mendengarnya.
Itachi yang sedari tadi diam kini menoleh ke arah sang adik yang berdiri di samping kanannya. Menatap tajam ke arah adik bungsunya itu, dengan tatapan penuh kekecewaan. "apa yang telah kau katakan pada Menma, Sasuke?" Tanya Itachi. Sasuke terdiam, Itachi menarik kerah kemeja Sasuke dan memukul wajah tampan itu tanpa ampun. Naruko berteriak ketakutan, ia pun segera berlari menghalangi sang kakak untuk menghantam wajah suaminya.
"kakak jangan pukuli Sasuke-kun lagi, ini bukan salahnya.. ku mohon, ku mohon maafkan suamiku" pinta Naruko. Ia berlutut di hadapan Itachi, "kau memintaku untuk mati pun aku akan mati, tapi ku mohon jangan hajar suamiku lagi"
Itachi menghentikan aksi pukulnya, berdecih pelan sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan lorong rumah sakit itu. Derita apa lagi yang telah Sasuke rancang untuk kehancuran Naruto? Tidak tahukah Sasuke betapa pemuda manis itu mencintai dirinya? Hingga rela berbagai perasaan untuk kebahagian sang bungsu Uchiha itu? Mungkin benar, Sasuke adalah seorang brengsek yang pernah ada dalam hidup Itachi. tak pernah menyangka, jika adik yang selalu ia cintai dan sayangi lebih dari dirinya sendiri, kini malah menyakiti hati seseorang hanya untuk keegoisannya semata.
.
.
Sara memeluk Menma yang menangis, anak itu masih memakai seragam sekolahnya meski tak sepatutnya tengah malam begini seorang anak kecil berada di luar rumah dengan masih berbalut seragam Taman Kanak-Kanak. Ia seorang ibu, seorang istri, juga seorang nenek, ia wanita, dia tidak pernah mengharapkan hal ini terjadi. Melihat putranya terluka lahir batin, membuat hatinya bagai tertikam belati lalu disiram perasan air jeruk nipis tepat di lubang yang menggangga itu.
Beberapa kali Sara membujuk cucu semata wayangnya itu untuk ikut dengannya pulang, namun bocah Uchiha itu menolak dengan alasan ingin menunggu sang ibu. 4 jam lamanya dokter di dalam sana menangani Naruto, tetapi belum juga satu pun dari mereka yang keluar. Menma memeluk erat sang nenek, seolah menyiratkan ketakutan yang mendalam pada dirinya akan sang ibu. Jejak air mata terlihat jelas di wajah kecil itu. Naruko menunduk dalam, sedang Sasuke entahlah apa yang dipikirkan oleh pria berusia 28 tahun itu. Tatapannya kosong, entah melihat kemana.
.
.
.
.
4 hari Kemudian
Paska mengalami kecelakaan 4 hari yang lalu, Naruto masih berada di rumah sakit dan menjalani perawatan untuk kesembuhannya. Dia pulih dengan cepat, dan membuat para medis takjub melihatnya. Meski begitu, ia belum dibolehkan untuk pulang. Membuat keluarganya merasa sedih terutama Menma (putranya) yang tak sabar menanti kepulangan sang ibu.
Siang ini, Itachi menemani Naruto di ruang rawat menggantikan Sara yang hendak pulang untuk menyiapkan makanan untuk makan siang. Cuti beberapa hari untuk menemani Naruto mungkin lebih baik daripada bergelut dengan computer di ruang kerjanya. Itachi tampaknya sedang memotong sebuah apel untuk Naruto, membantu lelaki itu untuk memakan cemilan sehatnya. Mengingat tangan Naruto yang masih terpasang selang infuse, sangat sulit untuknya menikmati sebuah apel yang diberikan 'si penabrak' Naruto beberapa hari yang lalu.
Ya, suami-istri muda itu tampak bersalah telah membuat Naruto harus masuk rumah sakit. Keluarga Akasuna itu benar-benar merasa bersalah atas tindakannya. Untunglah Naruto mau memaafkannya dan tidak mengusut kasus ini ke pihak berwajib. Naruto juga mengakui jika ini adalah kesalahannya, sedikit menghibur Tuan dan Nyonya Akasuna itu untuk tidak larut dalam kesalahpahaman ini.
"tadi keluarga Akasuna datang mengunjungimu, kau sedang tidur tadi. Jadi, Nyonya Deidara tidak tega untuk membangunkanmu. Dia akan datang kemari dengan suaminya nanti malam." Itachi berkata—seraya menyodorkan sepiring berisi potongan apel ke arah Naruto. "dia tidak enak hati padamu. Malahan, dia dan suaminya berencana menanggung semua biaya" lanjut Itachi.
Naruto mengambil sepotong apel dari piring kecil yang ia letakan di pangkuannya. Dia menyipitkan matanya, begitu mendengar ucapan Itachi mengenai pasangan Akasuna itu. "lalu kakak bilang apa?" Tanya Naruto—memasukan potongan buah apel itu ke dalam mulutnya. "aku menolaknya, dan mengatakan kalau kami sudah memaafkan kesalahannya. Lagipula itu murni bukan kesalahan mereka" jawab Itachi. Memperhatikan Naruto mengunyah cemilannya. Lelaki berbalut kemeja merah maroon itu tersenyum ketika Naruto begitu menikmati apel-apel segar itu. Perasaan lega dan rasa syukur terus ia ucapkan mengingat Naruto pernah tidak sadar selama 24 jam lamanya.
"Nyonya Deidara sangat terkejut melihat Menma yang menyeberang tanpa melihat mobil yang ia kendarai melaju ke arah Menma. Wanita itu panic, tanpa ia tahu kau juga ikut menyebrang dengan tiba-tiba untuk menyelamatkan putramu. Ia tidak menyangka jika kaulah yang ia tabrak"Jelas Itachi—menceritakan kejadian yang Deidara ceritakan padanya.
"kemudian, Nyonya Deidara pergi dengan perasaan takut dan menceritakan hal tersebut pada suaminya. Tuan Akasuna marah dan memintanya kembali ke tempat kejadian, tahu jika disini ada rumah sakit terdekat, Tuan Akasuna pun menyusul kemari. Aku hampir saja salah paham dan memukul laki-laki itu, namun melihatnya meminta maaf dengan tulus aku pun jadi luluh dan membawanya ke ruang operasi. Saat itu, para medis sudah selesai dan mengatakan kau baik-baik saja. kami lega, begitupun dengan suami istri Akasuna itu"Itachi melanjutkan ceritanya.
"aku jadi tidak enak hati telah membuat kalian khawatir" ujar Naruto, ia menunduk merasa bersalah. Pria bermarga Uchiha itu menggelengkan kepalanya pelan, sungguh tidak mengerti dengan apa yang ada dipikiran adik iparnya ini. "jangan bilang begitu! Semua ini terjadi begitu saja, dan tak ada yang mengharapkannya. Aku bersyukur sangat bersyukur karena kau selamat dan bertahan untuk kami semua" sahut Itachi—menghibur Naruto.
Itachi tidak suka kalau melihat Naruto yang sering menyalahkan dirinya, hanya karena orang lain mengkhawatirkannya. Padahal, sangat wajar bukan kalau semua orang meng-khawatirkan orang yang mereka sayangi sedang berhadapan dengan maut?
Pintu ruang rawat Naruto terbuka, dan menyembulah sosok kecil berambut raven yang berlari pelan memasuki ruangan bernuansa putih dengan aroma obat menyengat. Bocah itu tak peduli, ia tetap berlari mendekati ranjang dimana lelaki pirang menyandarkan tubuhnya pada headbed dengan selang infuse terpasang di tangannya. maniks birunya itu memandang penuh bahagia melihat orang yang ia rindukan tersenyum padanya. Menma ingin sekali memeluk mamanya, namun kejadian sehari yang lalu membuatnya trauma. Dimana saat itu Menma dengan agresifnya memeluk sang ibu dan membuat selang infuse di tangan ibunya terlepas dan mengeluarkan banyak darah. Ibunya tidak marah, Cuma saja Menma takut melukai mamanya.
Menma menarik salah satu kursi ke dekat ranjang untuk duduk lebih dekat dengan sang ibu. "sama siapa kesini?" Tanya Itachi—mengusap lembut surai raven Menma. Bocah kecil itu memakai baju santai—kaus berwarna hitam dan celana pendek selutut berwarna abu-abu, sepertinya Menma sudah pulang ke rumah dan berganti baju sebelum tiba di rumah sakit.
"Sama papa, tapi papanya sudah pelgi" jawab Menma—ia melihat ke arah sang ibu yang tengah memakan buah apelnya. "kau sudah makan? Ini makanlah! Kau kan suka apel" Ibunya menyodorkan piring kecil itu pada Menma. "waahh, telimakasih mama" Ucap Menma. Naruto tertawa senang melihat kelucuan buah hatinya itu. Ingin rasanya ia cepat sembuh dan menikmati harinya bersama putranya kembali
Itachi menangkap sirat kasih sayang ketika Naruto memandang Menma, betapa sangat Naruto menyayangi buah hatinya itu. Bahkan nyawa pun berani ia korbankan untuk putra ravennya. Mengingat hal ini, entah kenapa Itachi merasa tertohok kala mendengar ucapan Menma di depan ruang operasi. Mata biru sapphire itu begitu indah menawan, hingga tak ada satupun yang bisa lolos dari jeratannya. Kilat kasihnya seolah membawa semua orang dalam hidupnya, begitulah cara Naruto mendapatkan kasih sayang orang-orang terdekatnya. Orang yang tabah menjalani berbagai macam kesedihan yang ganas, ternyata mampu dilalui oleh tubuh mungilnya itu. Menanggung rasa malu, sudah ia hilangkan bukan karena urat malunya terputus. Karena Naruto tahu, tidak ada tempat untuk seorang pemalu di dunia ini.
Melihat tawa keduanya, Itachi jadi rindu kasih sayang seorang ibu padanya. Ibunya yang meninggal 7 tahun yang lalu disebabkan penyakit kanker rahim yang di deritanya sejak melahirkan adik bungsunya, Sasuke. Ia rindu ketika ibunya mencium keningnya dan membaca cerita ketika ia masih kecil. Ia rindu akan ocehan, guyonan, bahkan saat ibunya marah-marah. Seolah Itachi menginginkan ibunya bangkit dari kematiannya dan memarahinya walau hanya 5 menit saja.
"terkadang aku ingat ibu jika melihat ada anak dan ibunya bercanda seperti kalian" secara gamblang Itachi mengungkapkan perasaannya. Naruto tersenyum dan menyentuh genggaman Itachi di tepi ranjang pasien. "kakak jangan bersedih lagi! Ada aku dan Menma disini" ucap Naruto, tulus. Itachi mengangguk pelan, mana mungkin ia bisa bersedih dihadapan Naruto yang jelas-jelas seseorang yang begitu dicintai oleh mendiang kedua orang tuanya itu.
Bahkan Itachi masih ingat terakhir kali Mikoto yang sedang di rawat di rumah sakit, dan menginginkan Naruto bersamanya di ruang ICU. Dan saat kematian menjemputnya pun, hanya Naruto lah yang menemaninya, menangis mengikhlaskan kepergian mertua kesayangannya itu. "cepat sembuh, ma! Menma kangen mama" Menma berkata, dengan nada riang dan kekanakan.
.
.
.
Jam menunjukan pukul 7 malam, di ruangan Naruto di rawat tampak begitu ramai dengan kehadiran para kerabat yang membesuknya. Bahkan keluarga Akasuna pun hadir dan memberikan semangat pada pemuda itu untuk segera sembuh. Tampaknya keluarga kedua belah pihak sudah sangat akrab sekali. Sara dan juga suaminya turut hadir menjenguk putra mereka. Meski hanya Sara yang tampak bahagia dibandingkan suaminya, yang malah lebih berminat dan bahagia ketika keluarga Akasuna akan menjalin kerja sama dengan keluarga mereka. Ada rezeki di balik musibah, sungguh ironis..
"cepat sembuh ya, Naruto-san" ucap Deidara, yang tengah duduk disamping ranjang Naruto. Si pirang tertawa renyah, baru kali ini ada orang lain yang begitu peduli padanya. "ahh, terimakasih Deidara-san" sahut Naruto, dia tidak enak hati ketika Deidara begitu baik padanya. Dalam waktu yang begitu singkat, keluarga Akasuna ini pun mengerti keadaan keluarga Naruto. Awalnya tampak terkejut, namun pernikahan sesama jenis pun juga sudah lumrah terjadi di kota mereka.
"Hoi, Sara aku lapar!" seru seorang pemuda bersurai jingga kemerahan, mengaduh kesakitan ketika wanita itu menjitak keras kepalanya. "sopanlah, Kyuu! Aku ini ibumu" sahut Sara, dan mengundang tawa mereka semua. Namikaze Kyuubi baru saja tiba di Konoha setelah memutuskan pergi dari rumah 8 tahun silam. Entah apa yang ia lakukan, Kyuubi Cuma tidak suka berada di rumah mereka dan tinggal bersama ayahnya.
"huwaahhh, apel" Kyuubi berteriak keras, dan mengambil 4 buah apel di keranjang yang dibawa oleh Deidara. "nyonya ini boleh untuk aku kan? Kau tahu aku kan? Aku Kyuubi teman Sasori dan kakak dari pemuda cute itu" Kyuubi dengan lancangnya menunjuk Naruto yang manyun melihat sikap sok akrab kakak kandungnya itu. Sementara Sasori malah berbincang-bincang dengan Minato di luar ruangan.
"hey, Kyuu!" sahut Sara dan Itachi bersamaan. Kekehan geli terdengar lagi, hingga suara seorang wanita mengintrupsi kegiatan mereka semua. Naruko dan Sasuke baru saja tiba di rumah sakit, Kyuubi menghentikan tawanya dan berdecih pelan melihat keduanya. Tanpa peduli keadaan, Kyuubi segera keluar ruangan membuat Deidara salah tingkah. Naruko tampak kecewa melihat kakaknya enggan bertatap muka dengannya.
Itachi menghela napas pelan, dan menuruti perintah Naruto untuk menyusul kakak sulungnya itu. "ahh, sepertinya hari sudah semakin malam.. aku pamit dulu ya, Nyonya Sara, Naruto san, dan Nyonya Uchiha" Ucap Deidara, akhirnya memutuskan untuk pulang lebih awal dari yang ia rencanakan dengan suaminya, Sasori.
Selepas kepergian Deidara, ruangan itu menjadi hening tanpa ada satu pun dari mereka yang berbicara. Menma benci hal ini, dia seorang anak kecil yang tidak suka terjebak dalam kecanggungan yang diciptakan oleh orang-orang dewasa ini. Wajar saja jika anak kecil benci kecanggungan, meskipun anak pendiam sekalipun mereka tetaplah anak-anak yang notabene masih suka dengan candaan dan guyonan yang sering mereka ciptakan.
"mama cepat pulang dong, Menma kan mau bobo sama mama lagi" kata Menma—memecah kehening. Bocah itu merebahkan kepalanya berbantalkan tangan sang ibu. Naruto tertawa pelan menanggapinya, Sara mengusap lembut surai raven itu. "memangnya selama ini Menma tidur sama siapa?" Tanya Naruto, mengingat Menma yang selalu mencari keberadaannya sehabis bangun tidur. Anak itu memang selalu meraung manja padanya.
"dia tidur bersama ibu, Naru" jawab Sara—masih setia mengusap lembut rambut cucu tercintanya itu. "kenapa masih merasa kesepian? Kan sudah ada nenek" Naruto berkata, mencoba menghibur buah hatinya. "karena Menma mau selalu sama mama" ucap Menma. Miris hati Naruko mendengarnya, ungkapan Menma yang seakan tidak membutuhkan dirinya terasa begitu sesak mengenai inti kehidupannya. "errr—permisi" Naruko bergegas pergi meninggalkan ruangan putih itu. Naruko tak sengaja menabrak sang ayah yang hendak masuk ke kamar Naruto, melihat wajah putri kesayangannya sembab air mata membuat Minato kesal dan menahan pergelangan tangan Naruko.
"ada apa lagi ini?" Tanya sang kepala rumah tangga keluarga Namikaze itu. Naruto terkejut melihatnya, iris biru Minato menatap nyalang putranya tanpa tahu kesalahan apa yanh telah diperbuat oleh Naruto. "kenapa kau selalu membuat masalah, Naruto?" Tanya Minato—terdengar sinis, dan membuat Menma ketakutan. Sara berjalan mendekati suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"APA YANG KAU KATAKAN? ATAS DASAR APA KAU MENYALAHKAN NARUTO SEPERTI ITU?" Sara kelihatan marah sekali, wajahnya memerah padam.
"ayah, ibu, ku mohon hentikan!" pinta Naruto.
Ketakutan itu semakin menjadi, Naruto tidak suka jika melihat kedua orang tuanya bertengkar hanya karena dirinya. Menma meringkuk di pojok ruangan sambil memeluk kedua lututnya.
"TUTUP MULUT BUSUKMU!" seru Minato.
Pria bersurai blonde itu melayangkan tamparannya ke wajah sang istri, bunyi khas tangan yang menampar pipi terdengar keras. Semuanya menatap kaget melihat siapa seseorang yang ditampar oleh kepala keluarga itu, begitupun dengan Minato.
"AYAH!" teriak seorang pemuda dari arah pintu.
.
.
"ku mohon kembali lah ke ruangan itu" pinta seorang lelaki berambut raven ikat kuda, pada seorang pemuda berambut jingga kemerahan yang tengah duduk di bawah pohon. Kilat kekecewaan tampak jelas di mata ruby itu. Kecewa berat seakan menghapus kasih sayang dalam jiwanya, membuat pemuda itu seperti patung dengan ekpresi marah yang luar biasa.
Lelaki raven itu ikut duduk menyandarkan tubuhnya ke pohon, menoleh kepada pemuda yang tengah duduk disamping nya. "aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi ku mohon jangan tunjukan hal itu, karena akan semakin membuatnya terluka" lagi, lelaki bernama lengkap Uchiha Itachi itu kembali berkata.
"sejak kecil aku selalu melihatnya tersakiti. Dia selalu mengalah hanya untuk wanita itu" Kyuubi menyahut, ingatan seorang anak kecil menangis selalu membuat hati kecil Kyuubi terasa pilu. Lidahnya kelu, membuatnya tidak bisa membela adik kecilnya saat itu. Hukuman apa lagi yang Tuhan berikan untuk adiknya? Apa kesalahan Naruto? hingga hidupnya selalu merana begini.
Apakah itu suatu kesalahan terbesar jika Naruto terlahir ke dunia ini? Kyuubi menyeka air mata di pelupuk matanya, dia benar-benar terlihat cengeng.
"kembalilah, kasihan Naruto. apa kata ayahmu nanti" Itachi meminta Kyuubi untuk menuruti ucapannya sekali ini saja.
Keduanya pun berjalan bersebelahan hendak kembali ke kamar Naruto. samar-samar mereka mendengar suara Sara yang berteriak, kedua lelaki itu segera mempercepat langkah mereka menembus lorong. Hingga kedua mata mereka seakan harus terlepas ketika melihat Minato yang sedang menampar keras wajah seseorang dan membuat Kyuubi berteriak keras.
"AYAH!" teriak Kyuubi.
Itachi lantas berlari hendak menahan tubuh linglung itu mendahului adik bungsunya. Sasuke hanya memperhatikan saja dengan tatapan bingung. Dia tidak mengerti harus berbuat apa, tampak sekali dia seorang pengecut dimata dunia.
"NARUTO/MAMA" Sara dan Menma melangkah mendekati pemuda manis itu. Sementara Minato menatap kedua tangannya tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, Naruto yang berlari hendak menyelamatkan sang ibu dari tamparan keras Minato. Denyutan kesakitan terasa di wajah Naruto. darah mengalir di sudut bibirnya dan juga hidung Naruto. maniks sapphire itu memandang seseorang yang kini menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Samar-samar sekali, ruangan itu terlihat panic. Naruto bahkan sempat mendengar Kyuubi yang memaki Sasuke sebelum ia menutup kedua matanya.
.
.
.
Pagi Hari
Sinar mentari menembus celah-celah jendela dan menerpa wajah berkulit tan pucat itu. Membuat sang empunya wajah secara perlahan membuka kedua matanya. Naruto merasakan satu lengan kokoh menindih perutnya hingga ia kesulitan menggerakan tubuhnya. Raven? Mungkinkah Itachi? Pikir Naruto. tidak biasanya kakak iparnya itu menemaninya hingga pagi menjelang, mengingat kesibukan laki-laki itu.
Dan lagi? Untuk apa si sulung Uchiha ini berada di kamarnya, sementara ibunya bisa menjaga dirinya hari ini. mencoba mengingat apa yang terjadi, malam terasa panjang ketika ayahnya menampar keras wajahnya dan membuat dirinya kehilangan kesadaran. Naruto melirik kembali sosok raven yang tengah tertidur itu, melihat rambut yang tak diikat dan naik melawan gravitasi. Nafasnya seolah tercekat, ia diam membeku setelah tahu siapa laki-laki ini.
Sasuke menemaninya dari tadi malam, dan membuat Naruto menangis haru dalam diam. Namun itu tidak terjadi lama, setelah Naruto berusaha melawan kenyataan bahwa Sasuke melakukan ini mungkin saja ia dipaksa oleh Kyuubi, mengingat kakak sulungnya itu keras kepala dan gila jika sedang mengancam orang lain.
Cklek..
Seorang bocah kecil berdiri tepat di depan pintu dan tersenyum polos pada Naruto. "Menma, selamat pagi" ucap Naruto—menyipitkan kedua matanya. Merasakan pergerakan, pria berambut raven itu membuka matanya perlahan-lahan dan mendapati anak dan istrinya berada satu ruangan dengannya. "mama, Menma mau belangkat sekolah. Kata paman Kyuubi, Menma halus pamit sama mama" Menma berkata dengan gaya polos anak-anaknya.
Sasuke merasa getir kala Menma tidak menatapnya sama sekali, mungkin saja bocah imut itu masih marah padanya. "Menma pelgi dulu, ma.. Jaa" Menma bergegas keluar meninggalkan kedua orang tuanya hanya berdua di ruangan itu. Ruangan kembali canggung, Sasuke beranjak dari kursi dan hendak merebahkan tubuhnya di atas sofa yang ada di sudut ruangan.
"dimana kak Itachi?" Tanya Naruto, berhati-hati sekali dengan pertanyaannya. Sasuke tidak menjawab, ia malah merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk di ujung ruangan. Naruto merutuki kebodohannya, ia memang harus sadar diri. Sasuke mau menemaninya semalam saja itu sudah cukup, kini berharap Sasuke mau menjawab pertanyaannya? Heh, sungguh tak tahu diri sekali.
"Sa..Sasuke, boleh aku pinjam ponsel mu? A..aku kehilangan ponsel ku, m..mungkin saja—"
Naruto memandang tidak percaya begitu Sasuke beranjak dari posisinya dan berjalan ke arahnya, sambil memberikan ponsel qwerty miliknya ke arah Naruto. Si pirang pun mengambil ponsel itu dan segera menekan tombol no. Itachi yang sangat ia hafal di luar kepalanya.
"hallo, kak Itachi" Naruto mulai bersuara.
'Naruto? Kau sudah sadar? Syukurlah'
"kakak, bisakah kakak datang ke sini? Aku..aku ingin—Naruto melirik Sasuke yang menatap datar ke arahnya—aku mau kakak di sini" Pinta Naruto.
'tapi Naru-chan, aku sedang sibuk'
"POKOKNYA AKU MAU KAKAK SEKARANG, hiks.. aku mau kakak sekarang"
Tutt..tuutttt...tuuuttt..
Naruto memberikan ponsel Sasuke seraya menundukan kepalanya dalam-dalam. "t..terimakasih" ucap Naruto. Sasuke tidak menyambutnya, ia hanya memperhatikan Naruto tanpa ada niat mengambil ponselnya. Tidak merasakan gerakan Sasuke untuk mengambil ponselnya, Naruto pun mengerti. Dengan cepat ia mengambil tissue dan mengelap bersih ponsel pintar qwerty milik suaminya itu. "ma..maaf" ucap Naruto. "kau memang sangat merepotkan" ujar Sasuke. Naruto tetap menundukan kepalanya, tidak berani melihat ke arah Sasuke.
"aku muak dengan mu!" seru Sasuke.
Sontak saja Naruto mendongakan kepalanya dengan mata yang sembab. Air mata jatuh menuruni pipi tembamnya itu. "maaf telah menyusahkan mu. Maka dari itu aku meminta kak Itachi untuk datang ke sini" ucap Naruto. Wajah datar Sasuke sedikit terkejut mendengar ucapan Naruto. "kau bisa pergi sekarang. Ini ponsel mu, jangan lupa tutup pintunya!" seru Naruto—meletakan ponsel Sasuke di samping tempat tidur dan kembali merebahkan tubuhnya.
Ia menutup matanya, setetes air mata terjatuh. Ia menangis, menangis entah untuk yang keberapa kalinya. Tapi ini kali pertama ia menangis di hadapan Sasuke, orang yang menjadi alasan kenapa ia menangis. ia terlalu malu, maka dari itu ia menutup matanya dan berpura-pura tertidur. Naruto menahan teriakannya ketika mendengar suara pintu tertutup.
"AKU MENCINTAI MU,SASUKE!" teriak Naruto.
.
.
.
TBC
Kyaaaa, apa ini?
Mohon maaf minna, kalau ceritanya agak menyimpang dari judulnya dan fic terdahulunya.
Ini re-publish-nya, udah AI ubah alurnya, disini juga ada tambahan Chara. Tolong di beri saran ya Minna..huft, soal permintaan Fic nya dibuat mellow,AI udah berusaha, tapi entah udah semakin mellow atau bagaimana AI juga gak tau.. Pokoknya harap Reviewnya yaa, biar AI dapet masukann :D
.
.
.
Review?
