Ini lanjutan dari ff author yang pertama "Lost". Kali aja masih ada yang tertarik XD bagi yang belum baca silahkan baca dulu ff sebelumnya biar tahu jalan ceritanya. Makasih.

Beberapa bulan berlalu setelah kejadian penembakan itu, keadaan Jinyoung sudah membaik. Hubungan Jaebum dan Youngjae jauh lebih dekat walaupun mereka masih menolak bila dikatakan saling suka. Hubungannya dengan Markpun semakin membaik. Mereka sama-sama mengibarkan bendera putih disaat pertama Jinyoung mulai siuman dan kembali menjadi pasangan kekasih.

Usaha Jinyoung untuk merebut kembali hati Mark akhirnya berhasil meskipun sebenarnya dari awal Mark tidak pernah melepaskan Jinyoungnya. Mark juga memaafkan Jinyoung dengan tulus setelah melihat sendiri perjuangan Jinyoung.

Usai kasus penembakan itu besoknya Mark dipanggil ke kantor pusat, dia mendapatkan hukuman pemotongan gaji selama setahun karena mengabaikan prosedur dalam peperangan dimana dia harus melapor setiap kasus dan tindakan yang akan dilakukan, tapi karena saat itu ia terlalu panik dia mengabaikan satu aturan tersebut. Namun gara gara keberaniannya dalam mengambil keputusan Mark dihadiahi dengan kenaikan pangkat, well seperti apa kata pepatah ada hikmah dibalik setiap musibah.

Mark juga dibolehkan mengambil cuti selama sebulan karena kasus yang ia tangani dimana para pemberontak yang ingin memisahkan diri itu berhasil ditangkap dan wilayah yang semenjak setahun yang lalu tidak pernah aman bahkan penduduknya harus mengungsi itupun kini dapat bernafas lega karena rumah serta lahan mereka telah kembali. Dan tentu saja Mark akan menghabiskan waktu cutinya untuk menemani sang kekasih, Park Jinyoung.

Beberapa relawan dan tentara bawahan Mark sendiri masih ada yang tinggal di wilayah bekas evakuasi , termasuk Yugyeom. Yugyeom sebenarnya sangat ingin pulang tapi Jinyoung memintanya tinggal dan mengajar anak anak disana karena Jinyoung tidak bisa melakukannya dengan keadaan yang belum pulih. Jika Jinyoung yang sudah bicara Kim Yugyeom bisa apa?

Yugyeom memang sudah merelakan perasaanya terhadap Jinyoung, tapi tetap saja pesona Park Jiyoung susah untuk dikalahkan.

Selama Jinyoung sakit hanya ibu, nenek dan kakeknya yang sewaktu waktu datang menjenguk. Enam tahun menjalin hubungan jujur saja Mark belum pernah sekalipun mendegar apapun tentang kedua orang tua Jinyoung. Dan ini adalah kali pertamanya bertemu dengan ibu Jinyoung serta kakek neneknya. Masalahnya bukan ada pada Mark sebenarnya, karena Mark sudah beberapa kali menawarkan diri untuk berkunjung ke rumah Jinyoung di Busan (selama ini Jinyoung hidup di Seoul satu dorm dengan Jaebum) tapi Jinyoung selalu menolak dengan berbagai alasan. Bahkan Jinyoung sendiri sebenarnya memang jarang pulang, entah apa alasannya. Mark sempat mengira kalau Jinyoung memiliki hubungan yang buruk dengan keluarganya tapi Jinyoung enggan berkomentar.

Dari hasil observasinya kemarin bertemu dengan calon ibu mertua sebenarnya Mark menilai kalau ibu Jinyoung adalah sosok wanita yang baik dan hangat. Beliau mempunyai senyum yang sama dengan Jinyoung juga sangat cantik. Begitu pula nenek dan kakeknya, mereka sangat ramah dan memperlakukan Mark dengan sangat baik. Ayah Jinyoung tidak bisa datang karena katanya ada urusan entahlah Mark tidak mau ambil pusing mungkin ayah Jinyoung seorang pebisnis yang super sibuk.

Sekarang semua sudah kembali seperti semula. Jinyoung sudah pulang dari rumah sakit, dia kembali mengerjakan aktivitas seperti biasa. Mark melarangnya ikut kembali sebagai relawan tapi Jinyoung memaksa, dan akhirnya jadilah Jinyoung masih sebagai relawan di bidang pendidikan hanya saja dia tidak diijinkan menginjak daerah peperangan, katakanlah Mark trauma. Mark masih dengan senang hati menjalani profesinya atau lebih senang ia katakan tugasnya sebagai prajurit negara dengan satu pangkat yang lebih tinggi dengan Youngjae yang masih setia sebagai wakilnya. Jaebum kembali ke Seoul sibuk dengan proyek pembangunan Mall dan masih belum ada kabar dari Bambam dan Jackson.

Mark kembali melihat penampilannya di cermin, membetulkan topi baretnya membolak balikan badan mencari tahu apakah penampilannya sudah baik atau belum. Seminggu yang lalu dia mendapat kabar kalau pimpinan dari pusat akan berkunjung ke batalyon tempatnya bertugas. Mark masih bertugas di Gwangju ngomong ngomong, karena kejadian penembakan itu pula Mark di angkat sebagai pemimpin kompi C Batlyon 433 Gwangju.

Kalau dilihat dari usia serta pengalaman Mark termasuk yang paling muda diantara yang lainnya, Mark baru bergabung sebagai prajurit sekitar 4,5 tahun yang lalu tapi dia sudah berhasil menduduki posisi pemimpin kompi di batalyon, sebuah prestasi besar.

Tidak diketahui tujuan pimpinan berkunjung untuk apa, yang mereka pahami pimpinan atau sebutlah Jendral Park ingin mengontrol pasca pembebasan wilayah di sebagian wilayah Gwangju, wilayah yang beberapa bulan yang lalu Mark selamatkan.

Tepat pukul sepuluh pagi, Mark beserta prajurit lain sudah berbaris rapi di lapang udara batalyon menantikan helli kopter yang membawa Jendral Park tiba. Perasaa tegang dan was was tidak dapat dihindari oleh para prajurit termasuk Mark. Tujuan kedatangan Jendral Park yang masih simpang siur yang membuat mereka tidka nyaman, terlebih lagi pembebasan wilayah serta pemberontak itu termasuk aksi yang sangat drama dengan melibatkan seorang sandera.

Lima belas menit menanti helli kopterpun tiba. Semua prajurit menampilkan posisi siap. Mark berdiri di barisan paling depan dengan pemimpin kompi yang lain. Beberapa saat kemudian Jendral Park akhirnya muncul dihadapan mereka, langkahya sangat berwibawa. Perawakannya tinggi dan cukup berisi, dengan wajah yang sangat tegas terlihat sekali aura pemimpinnya.

Mereka melaksanakan upacara penyambutan yang dipimpin sendiri oleh komandan batalyon dan selanjutnya barisan dibubarkan, semua prajurit kembali ke tugas masing masing, sedangkan Jendral Park serta beberapa petinggi akan berkeliling dan mengontrol situasi.

Mark ikut dengan rombongan Jendral Park, dia sendiri tidak tahu kenapa ia diikutsertakan karena dia adalah satu satunya junior disana, mungkin Jendral Park ingin menanyakan tentang insiden pembebasan sandera pikirnya.

Beberapa jam berlalu, sekarang Mark beserta rombongan Jendral Park ada dalam mobil patroli. Ketika sampai diperbatasan beberapa petinggi turun untuk memeriksa keadaan, Mark juga hendak turun tapi tangan Jendral Park menahannya.

"tetap disini." Titah Jendral Park kemudian menatap salah satu prajurit didepannya. "Kopral Lee bisakah kau tinggalkan kami dulu sebentar, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan pada sersan Tuan namun cukup rahasia."

"Siap." Respon Kopral Lee cepat.

"Sersan Mayor Mark Tuan." Ucap Jendral Park, cukup pelan namun masih terdengar tegas.

"Siap." Jawab Mark. Sungguh dia sangat gugup, bagaimana kalau Jendral Park akan memberinya hukuman tambahan, jujur hukuman pemotongan gaji selama setahun saja cukup menyiksanya karena Mark dengan terpaksa harus mengurangi jatah makannya agar uang yang ia kirim untuk ibunya serta sebagian uang yang ia biasa ia tabung untk biaya pernikannya kelak bersama Jinyoung masih sesuai.

"aku tahu sangat tidak etis membicarakan hal ini disini. Tapi kau yang menangani kasus perebutan wilayah di Gwangju beberapa bulan yang lalu?"

"Siap. Betul komandan."

"hentikan dengan respon seperti itu, sekarang kita bicara secara normal. Kau juga yang membebaskan sandera?"

"si.. ah maksud saya iya benar komandan."

"membebaskan sandera tanpa melapor dulu pada markas, bertindak semaunya sehingga membuat anak buahmu kalang kabut, kau juga membahayakan dirimu sendiri. Apakah kau sadar itu?"

"iya komandan, hanya saja saat itu saya panik dan.."

"kau membiarkan dirimu dikuasai oleh rasa panik? Apakah itu yang kau dapatkan selama pelatihan menjadi prajurit?"

"maafkan saya komandan."

"untung saja kau selamat dan kau mempunyai anak buah yang cukup hebat sehingga semua bisa teratasi karena sungguh tindakanmu yang melangar aturan itu keterlaluan." Mark tertunduk, merasa bersalah pada rekan rekannya. Mark enggan menyebut mereka anak buahnya meskipun mereka memang benar bawahan Mark tapi tetap saja mereka itu rekan bagi Mark.

"saya minta maaf komandan."

"jangan lakukan itu lagi kau dengar?!" Mark mengangguk.

"baik komandan."

"bisa kau jelaskan padaku kenapa kau bisa berbuat seperti itu?"

Mark menghela nafas berat, memikirkan kata kata yang pas takut kalau ia salah bicara dihadapan atasannya.

"korban yang menjadi sandera itu sebenarnya adalah pacar saya komandan." Pernyataan Mark barusan sontak membuat Jendral Park menatap Mark tajam.

"oh jadi karena urusan pribadi kau melanggar peraturan? Kau bertindak sangat tidak profesional apa kau masih layak menjadi pemimpin dengan bertindak seperti itu?"

"saya tahu saya salah. Saat itu saya tidak bisa berpikir jernih, pikiran saya terhalang oleh kepanikan. Walau bagaimanapun korban adalah orang yang sangat berarti bagi saya, dia orang kedua setelah ibu saya yang mengisi hati saya setelah ayah saya meninggal. Ketika mengetahui kalau dia telah diculik satu satunya hal yang saya pikirkan adalah membebaskan dia secepat mungkin. Memikirkan dia dalam bahaya, berteriak dan memanggil nama saya membuat saya ingin cepat cepat sampai ketempatnya. Saya tahu saya sangat tidak profesional untuk itu saya rela menanggung apapun resikonya asalkan saya tidak kehilangan dia." Mark masih menundukan kepalanya sedikit canggung karena dia baru saja menceritakan kehidupan pribadinya pada sang atasan.

Terdengar Jendral Park menghela nafas dalam. "seharusnya aku berterima kasih padamu. Tapi mendengar penuturanmu barusan justru membuatku kaget." Mark mengangkat kepalanya dan menatap Jendral Park tidak mengerti. "Kau tahu siapa yang kau selamatkan itu?" Mark diam. "pacarmu, Park Jinyoung, dia anakku."

Bagaikan oksigen seketika hilang dari sekeliling Mark, dia merasa panik, kaget, dan entahlah. Dadanya bergemuruh, antara takut dan tegang. Jinyoung tidak pernah mengatakan kalau ayahnya adalah seorang prajurit juga, Jinyoung bahkan tidak pernah mau menceritakan tentang ayahnya dan dia hanya mengatakan ayahnya bukan seseorang yang penting. Satu satunya hal yang Mark tahu ayahnya Jinyoung adalah seorang yang sibuk. Entah apa alasan Jinyoung menyembunyikan semua ini, dia mengatakan ayahnya bukan seorang yang penting?! Hell dia berbohong.

Mark masih membeku ditempatnya, menatap Jendral Park tidak percaya. "aku mengerti kenapa kau begitu kaget sersan Tuan, aku juga sama kagetnya mendengar kalau kau adalah pacar anakku. Mungkin Jinyoung tidak pernah memberitahumu siapa ayahnya." Jendral Park sedikit tertawa hambar dibelakang kalimatnya. "aku dan Jinyoung memang tidak memiliki hubungan yang baik tapi walau bagaimanpun dia tetap anakku." Mark hanya menatap Jendral Park memncerna semua kalimat yang dilontarkannya.

"Jujur saja aku sangat tidak menyangka kalau Jinyoung akan memiliki pacar seorang tentara. Dulu dia sangat membenciku dan pekerjaanku sebagai tentara, karena dari dulu aku jarang pulang kerumah sehingga membuat Jinyoung kecilku kesepian." Mungkin ini juga yang membuat Jinyoung sempat melarangku menjadi prajurit. Pikir Mark.

"aku tidak tahu apa aku harus memberikan restuku padamu atau tidak. Jinyoung anak yang baik dan manis. Dia sangat penurut dan pintar. Aku sangat bangga padanya. Seumur hidup hanya dua kali aku kecewa padanya. Yang pertama ketika aku tahu kalau dia menyukai sesama jenis. Itu pula yang membuat hubunganku dan Jinyoung menjadi sangat renggang. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah dan bersekolah di Seoul."

Mark masih dalma posisinya enggan berkomentar, pikirannya melayang kemana mana, setelah penyataan Jendral Park barusan perasaan Mark semakin tidak tenang. Bagaimana kalau Jendral Park memaksaku putus dengan Jinyoung?

"Setelah kejadian itu lambat laun aku bisa menerima kenyataan bahwa anakku adalah seorang gay dan aku sudah tidak keberatan akan itu." Ada secercah cahaya menghampiri Mark dia bisa sedikit merasa lega mendengarnya. "Dan kekecewaanku yang kedua adalah, ketika aku tahu bahwa anaku berpacaran dengan prajurit." Kata kata Jendral Park barusan begitu menohok hati Mark. Belum sampai satu menit dia bernafas lega, omongan Jendral Park kembali menyerang jantungnya.

"ta..tapi kenapa komandan?" Mark bertanya gugup. Tidak, apapun yang terjadi hubungannya dengan jinyoung harus tetap bertahan.

"seperti kubilang tadi, jinyoung membenciku dan pekerjaanku sebagai prajurit karena aku jarang ada dirumah dan membuatnya kesepian. Memang ada ibu, kakek dan neneknya. Tapi dengan absennya diriku itu tetap membuat jinyoung kekuarangan kasih sayang seorang ayah, dia kehilangan sosok ayah disampinya. Itu cukup membuatku membenci diriku juga. Aku tidak mau jinyoung terus meraskan hal seperti itu. Aku tidak mau jinyoung terus ditinggalkan dan merasa kesepian. Kau sendiri paham akan tugas seorang prajurit kan Mark? Kau tidak akan bisa menolak akan tugas apapun alasannya. Dan kau harus mau tidak mau meninggalkan Jinyoung di saat saat tertentu."

Mark terdiam sebentar. "saya mengerti komandan, hanya saja saya harus meminta maaf sekali lagi karena saya tidak akan melepaskan Jinyoung begitu saja. Saya berjanji pada Jinyoung untuk terus bersama. Jinyoung sudah menjadi bagian dari diri saya sejak enam tahun yang lalu, membayangkannya saja saya tidak sanggup. Apapun resikonya saya akan tetap memperjuangkan hubungan ini."

"aku tidak mengatakan kalau kau harus mengakhiri hubunganmu dengan Jinyoung Mark. Mungkin iya, kalau saja aku tidak baru saja mendengar kalau kau adalah orang yang menyelamatkan putraku. Tapi kau belum mengantongi restuku Mark, dan selama itu pula tak akan kuijinkan kau menikahi putraku." Mark menatap horor atasan didepannya, padahal Mark sudah berencana melamar Jinyoung bulan depan dan dia sudah menabung untuk pernikahannya sejak dia menerima gaji pertama. "mungkin pembicaraan kita cukup sampai disini sersan Tuan, tolong kau periksa yang lainnya untuk melanjutkan perjalanan. Oh! Dan kau boleh katakan pada Jinyoung kalau kita bertemu dan tapi jangan katakan kalau kita membicarakan semua ini."

Halooo! Akhirnya saya balik lagi.. maaf ga bisa nepatin janji tepat waktu T.T