DISCLAIMER: Ojamajo Doremi © Toei Animation, 1999-2004. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.

Yup, saya kembali!

Well, buat yang pernah baca satu-satunya fanfic saya yang dipublish di Infantrum (yang judulnya 'Terima Kasih! Sampai Kita Jumpa Lagi') pasti ngerasa familiar sama fanfic saya yang satu ini. Itu karena pada dasarnya dua-duanya adalah fanfic yang sama, hanya saja saya merasa kalau lebih baik saya publish versi komplitnya di FFn. (saya udah lama nggak update fanfic yang di Infan, tapi untuk yang di FFn ini saya mau sertakan juga chapter terakhirnya)

Mengenai judulnya, entah kenapa saya pikir lebih baik diganti (walaupun ceritanya sama sih), karena saya udah nemu judul yang lebih cocok buat fanfic ini.

Alright then, happy reading!


Accident and Confession

.

Chapter 1 – The Accident and the New Brother


Seorang gadis berambut odango berlari menyusuri jalan menuju sekolahnya, SD Misora. Hari ini, dia beserta para murid kelas 6 lainnya akan mengikuti upacara kelulusan.

Ia berlari, walaupun ia tahu bahwa ia tidak akan mungkin terlambat di pagi yang cerah itu. Pikirannya terus dibayangi oleh sesuatu yang ia rasakan sejak kemarin, saat ia memandangi foto-foto dirinya bersama para sahabatnya…

'Setelah hari ini, mereka akan meninggalkanku sendiri…' pikirnya.

Ia lalu memperlambat laju larinya, kemudian berhenti di tengah jalan.

Tiba-tiba ia memutuskan untuk berbalik, berlari menjauhi sekolahnya menuju ke tempat yang setiap hari ia kunjungi selama empat tahun ini… Maho-dou.

Tapi sebelum ia sampai di sana, sebuah mobil menabraknya!

Si pengemudi tidak sengaja menabraknya, hanya saja mobil itu ingin menyusul truk yang berada di depannya, namun si pengemudi tidak sempat melihat Doremi yang berjalan ke sana dari arah berlawanan.

Si pengemudi, seorang pemuda, keluar dari mobil dan menghampiri gadis yang ditabraknya.

"Daijoubu?" tanya pemuda itu, "Kamu nggak apa-apa?"

"Akh, aku… aku…" Doremi tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kesadarannya hilang. Ia pingsan.

Dengan sigap, pemuda itu lalu menggendong Doremi dan membawanya ke dalam mobilnya. Ia lalu mengemudikan mobilnya menuju ke Rumah Sakit terdekat.

.O.

Setengah jam kemudian, Majorika berjalan melewati jalan itu bersama Lala, yang menyamar menjadi seekor kucing. Secara, Majorika sudah kembali ke wujud aslinya, sekarang ia harus ke sekolah, menyamar menjadi Makihatayama Rika, nenek dari Makihatayama Hana (Hana-chan).

Saat Majorika melihat ada bercak darah di jalan itu, tiba-tiba perasaanya menjadi tidak enak. Langkahnya sempat terhenti di sana selama beberapa menit sampai akhirnya Lala memanggilnya, "Majorika, doushita no?"

"Ah, tidak apa-apa, Lala." Majorika menggeleng perlahan lalu mulai berjalan lagi, "Ayo, aku harus menjadi wali Hana di upacara kelulusannya."

.O.

Sementara itu, di kelas 6-1…

Hana-chan memandangi kursi kosong yang berada disebelah kirinya.

'Doremi-mama belum datang,' pikirnya, 'Di mana dia sekarang?'

Momoko menepuk bahu Hana-chan dan berkata, "Doremi-chan pasti akan datang. Jangan khawatir."

"Tapi…"

"Dia pasti terlambat bangun lagi." Momoko tersenyum, "Daijoubu yo, Hana-chan. Aku yakin Doremi-chan akan datang sebentar lagi."

Tapi kemudian, Momoko sadar kalau ia salah. Doremi belum datang juga, padahal upacara kelulusan sudah mau dimulai.

.O.

Semua murid kelas enam (kecuali Doremi) sekarang sudah berkumpul di aula sekolah. Kebetulan, tempat duduk para ojamajo di aula tersebut berdekatan, jadi mereka bisa berbicara sebentar tentang ketidakhadiran Doremi.

"Momo-chan, Hana-chan, mana Doremi-chan?" tanya Hazuki, "Harusnya dia sudah ada di sini sekarang."

"Kita juga nggak tahu." Momoko menggelengkan kepalanya, "Biasanya dia nggak pernah setelat ini."

"Aku mau nanya Poppu-chan dulu." Onpu lalu bergegas ke kursi keluarga murid, lalu bertanya kepada Pop yang sudah ada di sana bersama orangtuanya.

"Eh? Doremi belum datang?" tanya Harukaze Haruka, tidak mengerti, "Nggak mungkin. Tadi dia berangkat pagi-pagi sekali."

"Okasan, jangan-jangan… sesuatu yang buruk terjadi sama onee-chan!" seru Pop panik, "Okasan, otosan, panggil polisi… SEKARANG!"

Onpu memegang bahu Pop dan berusaha menenangkannya, "Poppu-chan, tenang dulu ya? Pasti ada alasan kenapa Doremi-chan belum datang juga."

Ia lalu berpikir, 'Doremi-chan, dimana kau sekarang? Semuanya sekarang mencemaskanmu. Kau dimana? Apa kamu nggak rela berpisah dengan kami, sampai kamu memutuskan untuk nggak datang? Apa kamu… ah, jangan-jangan… kamu ke…'

Onpu lalu berjalan kembali ke kursinya lalu berkata ke yang lain, "Minna, okasannya Doremi-chan bilang kalau Doremi-chan tadi berangkat pagi-pagi."

"Terus, kenapa sampe sekarang dia masih belum tiba juga?" tanya Aiko.

"Soal itu, mereka juga nggak tahu," kata Onpu, "Tapi aku yakin, kalau sekarang dia lagi ada di suatu tempat."

"Dimana?" tanya Momoko.

"Maho-dou," kata Onpu yakin, "Coba kita tanya sama Majorika dan Lala nanti, kalau mereka sudah datang."

Yang lain mengangguk tanda setuju, setelah itu, mereka kelihatan agak lebih tenang.

Namun saat mereka menanyakan hal itu kepada Majorika, dan menemukan bahwa dugaan Onpu salah, mereka lalu menjadi sangat panik.

"Eh, Doremi tidak datang kemari hari ini?" seru Majorika, "Ah, ojamajo yang satu itu… kemana dia perginya?"

"Ah, jangan-jangan Doremi-chan… diculik!" teriak Hazuki.

"Nggak mungkin, Hazuki-chan." Aiko mendesah, "Dia nggak berasal dari keluarga kaya. Buat apa coba, ada orang yang menculiknya? Nggak ada untungnya."

"Tapi, tapi… bisa aja kan, dia diculik sama orang yang suka menculik anak-anak dan mempekerjakan mereka sebagai pengemis atau pengamen, atau yang terburuk, dipaksa jadi pencopet!" (sebentar. Emang ada ya, pengemis, pengamen, dan pencopet di Jepang?)

"Hazuki-chan, nggak usah terlalu berlebihan gitu," kata Aiko, berusaha menenangkan Hazuki, "Aku nggak percaya kalau Doremi-chan diculik, tapi… mungkin sekarang… sesuatu yang buruk terjadi padanya, makanya… dia nggak datang kesini hari ini."

"Hmm… sesuatu yang buruk… jangan-jangan…"

"Jangan-jangan apa, Majorika?" tanya Momoko, ingin tahu apa maksud perkataan Majorika tadi.

Kemudian, Majorika menjelaskan tentang bercak darah yang ia lihat di jalan tadi…

"Eh, jangan-jangan… itu…"

"Kyaaa… ada yang melukai Doremi-chan, terus bawa kabur dia ke suatu tempat yang menyeramkan!" Hazuki memotong perkataan Aiko.

"HAZUKI-CHAN!" Aiko berteriak, "Sampe kapan sih, kamu mau berlebai-lebaian? Jangan ngebayangin yang macam-macam!"

"Ah, gomen, Ai-chan." Hazuki memelankan suaranya, "Aku khawatir banget sama Doremi-chan. Perasaanku bener-bener nggak enak."

"Iya sih, tapi… jangan berpikir yang kayak gitu dulu dong. Bisa aja kan, Doremi-chan kecelakaan di tengah jalan, terus…"

"Si pelaku buang dia di luar kota?"

"Bukan itu maksudku! Sudah kubilang, jangan lebai!"

"Iya iya." Hazuki menunduk, "Tapi sekarang, Doremi-chan di mana?"

"Majorika, bisa kita lihat bercak darah itu sekarang?" tanya Onpu, "Siapa tahu itu bener-bener… darahnya Doremi-chan."

"Boleh, tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus kita lakukan." Majorika menjentikkan jarinya, kemudian seketika waktu berhenti, dan hanya Majorika, Lala, dan para ojamajo (terkecuali Pop) yang bisa bergerak sekarang.

Majorika mengajak para ojamajo itu ke jalan tempat ia melihat bercak darah itu.

Hazuki menutup matanya, tidak tahan melihat bercak darah itu, "Ah, aku nggak tega melihatnya."

"Kita harus cari petunjuk lain, supaya kita tahu… ini darah siapa," kata Aiko. Ia mencari-cari siapa tahu ada sesuatu yang lain yang tertinggal di sana, yang ditinggalkan oleh si pemilik darah…

Kemudian ia menemukannya. Itu adalah sepotong kecil kain, dan kain itu berasal dari sebuah rompi… berwarna ungu!

Aiko ingat bahwa ia pernah mencari tahu tentang bahan rompi milik Doremi, dan ia yakin kalau itu adalah bahan yang sama.

"Minna, mite mite. Coba lihat apa yang kutemukan," katanya.

"Nani nani?" tanya Hana-chan.

"Kain ini… bahan ini…"

"Ah, itu…" kata Hazuki.

"Jenis bahan dan warna yang sama dengan…" kata Onpu.

"Rompi Doremi-chan!" seru Momoko.

"A-artinya… Doremi-mama…" kata Hana-chan.

Kemudian, mereka berteriak, "INI DARAHNYA!"

"Kyaaa… tidak tidak TIDAK!" Hazuki berteriak semakin keras, "Doremi-chan dalam bahaya!"

"Nggak mungkin…" Aiko berlutut di depan bercak darah itu, "Doremi-chan…"

"Minna, lebih baik kita ke rumah sakit sekarang," saran Onpu, "Mungkin aja ada yang bawa Doremi-chan ke sana."

"Biar aku coba cek dari bercak darah dan sobekan kain ini, siapa tahu aku bisa menemukannya dari sini." Majorika mengeluarkan bola kristalnya, "Wahai bola kristal, perlihatkanlah dimana Doremi sekarang…"

Sebelum mereka melihat apa-apa, tiba-tiba Pop datang dan berkata, "Majorika, jangan gunakan sihir disini! Sebentar lagi okasan, otosan, dan yang lainnya akan datang kemari!"

Ternyata waktu sudah berjalan lagi.

"Akh, baiklah. Mungkin ini yang terbaik." Majorika menyimpan bola kristalnya lagi, "Nanti kita cari tahu lagi sebelum kami pulang ke Majokai. Untuk sementara, jangan katakan pada mereka tentang bercak darah ini, karena kita belum sempat menelusurinya."

"Bercak darah?" tanya Pop, "Apa maksudnya?"

"Kita bicarakan nanti saja, Poppu-chan," kata Aiko, "Lebih baik kita kembali ke sekolah sekarang. Jangan sampai semua orang melihat bercak darah itu."

Yang lain mengangguk, kemudian mereka kembali ke sekolah dengan kepala yang tertunduk. Mereka sangat sedih membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Doremi di jalan itu…

.O.

Kembali ke Doremi, yang sekarang berada di rumah sakit. Sesampainya di sana, pemuda yang menabraknya langsung membawanya ke unit gawat darurat. Seorang dokter dengan sigap memeriksa Doremi disana, lalu berkata kepada pemuda itu, "Gadis ini harus dioperasi. Dia ini… adik anda, bukan?"

Pemuda itu menggelengkan kepalanya, "Bukan. Dia bukan adik ataupun saudara saya."

"Kalau begitu… anda kenal orangtuanya?"

"Tidak."

"Ini buruk," kata sang dokter, "Kami butuh tandatangan dari keluarga gadis ini."

"Apa yang harus ditandatangani?"

"Surat persetujuan operasi," dokter itu menjelaskan, "Apa anda tahu, siapa gadis ini?"

"Saya tidak tahu. Tadi saya tidak sengaja menabraknya, dan saya tidak menemukan identitas apapun, hanya…" pemuda itu lalu mengambil tas ransel merah milik Doremi, "Dia hanya membawa tas ini."

"Hmm… artinya, dia siswi SD Misora…" kata dokter saat memperhatikan tas itu. Ia membukanya, mencoba mencari apapun yang mungkin bisa membuat mereka tahu tentang keluarga si pemilik tas, tapi hasilnya nihil. Tas itu hanya berisi tempat pensil merah muda yang tak bernama, juga isinya (yang juga tidak diberi nama).

Dan memang, karena ini hari kelulusan, Doremi malas untuk membawa buku pelajarannya, hal sepele yang bisa dibilang dibutuhkan sekarang ini.

Untuk apa lagi, kalau bukan untuk mengetahui namanya…

Dokter itu menghela nafas, "Kelihatannya tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang."

"Operasi dia, dokter," kata pemuda itu, "Biar saya yang menandatangani surat persetujuannya."

"Tidak bisa, anak muda," dokter itu melangkahkan kakinya keluar ruangan, "Silakan anda membawanya ke rumah sakit lain."

"Tapi dia butuh penanganan segera!"

"Ini sudah peraturan rumah sakit. Tidak ada persetujuan keluarga, tidak ada operasi."

"Baik! Aku bisa menanganinya sendiri!" pemuda itu lalu menggendong gadis yang dibawanya tadi dan membawanya kembali ke mobilnya, membaringkannya tepat disebelah tempatnya mengemudi mobil tersebut. Ia mengendarai mobilnya menuju ke rumahnya yang berada di pinggir kota Misora, "Rumah sakit macam apa ini? Keselamatan pasien lebih penting! Kenapa mereka? Apa mereka meremehkan aku, hanya karena aku ini masih mengenakan seragam SMA? Umurku sudah 17 tahun!"

Ia lalu mengalihkan pandangan ke Doremi, yang masih belum sadarkan diri disebelahnya, "Tapi kamu tenang saja, ya? Kelihatannya memang tidak ada cara lain untuk menyelamatkanmu selain… membawamu ke rumahku. Untung keluargaku punya rumah sakit yang berada tepat di belakang rumah. Tadi memang salahku. Kupikir… akan lebih baik kalau aku membawamu ke rumah sakit terdekat, tapi ternyata…"

Ia menghela nafas, "Maaf ya, karena sudah menabrakmu. Apalagi… rumahku sangat jauh dari sekolahmu…"

Tiba-tiba, saat mereka hampir sampai di rumah pemuda itu, Doremi lalu mengigau, "Ujian… teman-teman… ujian selesai… teman-teman pergi… tidak… jangan… aku nggak mau… aku nggak mau ditinggal sendiri… minna… jangan pergi… aku… aku…"

'Ujian?' pikir sang pemuda, 'Berarti gadis ini… anak kelas 6 yang lulus tahun ini, artinya umurnya… sekitar 12 tahun… seperti mendiang adikku… kalau kecelakaan itu tidak terjadi… dan merenggut nyawanya…'

Sesampainya di rumah, pemuda itu langsung membawa Doremi ke rumah sakit milik keluarganya di belakang rumah. Ia memanggil dokter keluarganya dan memerintahkannya untuk menolong Doremi.

"Kenapa tuan muda baru membawanya kesini sekarang?" tanya dokter keluarga yang sudah tua itu, "Ini sudah gawat! Kalau tidak cepat dioperasi, gadis ini bisa meninggal."

"Kalau begitu, cepat operasi dia, dokter!" kata pemuda itu, "Jangan sampai ia meninggal seperti… dokter tahu kan, seperti adikku… Akari…"

"Ah, baik tuan muda," dokter itu lalu bergegas memanggil tim operasinya, lalu mereka membawa Doremi ke ruang operasi.

Si pemuda menunggu di depan ruang operasi. Ia duduk di salah satu kursi disana, dan pikirannya melayang ke kejadian tiga tahun lalu, saat adiknya yang sangat ia sayangi itu pergi…


Seorang gadis berumur 9 tahun bernama Toushirou Akari sedang berlari riang ke rumahnya sambil membawa rapor yang baru saja diterimanya dari sekolah. Tidak, ia tidak bersekolah di SD Misora seperti Doremi dan teman-temannya. Akari bersekolah di SD Aozora (sebuah SD swasta yang kebanyakan muridnya orang kaya). Biasanya, Akari berangkat ke sekolah naik mobil, diantar-jemput supir, tapi kali ini, gadis berambut merah panjang itu ingin pulang dari sekolah itu jalan kaki, ditemani kakaknya yang menjemputnya. Ibu mereka khawatir kalau membiarkan putrinya pulang dari sekolah dengan jalan kaki sendirian, jadi ia meminta putra sulungnya untuk menjemput adiknya di sekolah.

Awalnya, sang kakak menjemput adiknya bersama dengan seorang supir mereka yang berkepala botak, yang biasa mengantar-jemput sang adik ke sekolah. Tapi karena Akari sudah bersikeras untuk berjalan kaki dan malah mengancam sang kakak bahwa ia akan menginap di sekolah kalau supir mereka tidak meninggalkan mereka berdua disana, akhirnya sang kakak, Toushirou Hasamaru, menyuruh supir itu untuk pulang duluan.

"Asyik! Aku dapet nilai bagus!" kata gadis itu riang, "Aku bisa minta ke mama, supaya kita sekeluarga bisa pergi ke Disneyland! Tapi… kita perginya ke Disneyland yang dimana ya? Amerika? Hongkong? Atau… dimana ya? Semuanya aja deh."

"Oi, Akari, jangan ninggalin kakak gitu dong," kata sang kakak sambil terengah-engah mengejar adiknya, "Kamu ini cepet banget sih larinya. Kakak capek nih."

"Makanya, onii-chan mendingan tadi pulang aja sama si supir botak. Aku kan udah bilang, aku bisa pulang sendiri."

"Eh, aku nggak enak sama mama. Kamu tahu sendiri kalau mama yang nyuruh aku buat jemput kamu." Hasamaru mengeluh, "Ini juga aku masih takut kalau mama marah sama aku gara-gara si supir botak kamu usir dari sekolah."

"Emangnya onii-chan nggak bilang ke mama, kalau keputusanku udah bulat mau pulang jalan kaki sendiri hari ini? Tadi kan aku udah bilang: aku nggak mau dijemput."

"Huh, dasar anak keras kepala. Aku kan juga khawatir kalau kamu kenapa-napa."

"Onii-chan…" gadis itu berbalik dan memberikan senyuman manis pada kakaknya, "Aku janji kok, aku nggak akan kenapa-napa."

Tapi kemudian… pemuda itu tahu kalau apa yang baru saja dikatakan adiknya tadi salah. Sesuatu yang buruk akan terjadi dengannya.

Dan itu terjadi.

Di tengah jalan, mereka melihat seekor anak kucing yang hampir terlindas truk, sampai akhirnya Akari melempar rapornya ke kakaknya, lalu menyelamatkan anak kucing itu…

Tapi imbasnya, justru ia yang mengalami kecelakaan disana. Akari tewas di tempat. Ia meninggal secara tragis.

Hasamaru hanya bisa pasrah. Sejak kecelakaan itu, ia merasa sangat bersalah. Padahal ia berada disana, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan adiknya itu. Apalagi, sejak ayahnya meninggal karena sakit jantung saat ia masih kecil, hanya dialah satu-satunya laki-laki dalam anggota keluarga itu.

Sejak kecelakaan itu, ia hanya tinggal bersama ibu dan para pembantu mereka. Tahun berikutnya, ibunya meninggal karena depresi anak bungsunya meninggal dengan cara yang tragis…

Dan sekarang, ia hanya tinggal dengan para pelayan setianya. Para pelayan setia dari keluarganya yang kaya.


'Jangan sampai gadis ini bernasib sama dengan adikku: tak bisa diselamatkan,' pikirnya, kembali ke masa kini dimana ia sedang menunggu operasi dari gadis yang tak dikenalnya, 'Tapi sebenarnya… siapa dia? Kenapa tadi ia berjalan menjauhi sekolahnya?'

Ia tahu betul, walaupun adiknya dan ia sendiri tidak bersekolah disana, kalau SD Misora masih berjarak beberapa meter dari tempat kecelakaan tadi pagi, tapi ia memperhatikan kalau Doremi justru berjalan berlawanan arah, menjauhi SD Misora.

Ia lalu teringat saat Doremi mengigau di mobilnya tadi.

"Ujian… teman-teman… ujian selesai… teman-teman pergi… tidak… jangan… aku nggak mau… aku nggak mau ditinggal sendiri… minna… jangan pergi… aku… aku…"

'Dia nggak mau ditinggal teman-temannya… kasihan gadis ini…' pikirnya, 'Baiklah, aku akan mengantarnya pulang jika keadaanya sudah memungkinkan. Aku akan bertanya padanya tentang keluarganya, jika ia sudah sadar.'

Lalu terdengar suara pintu ruang operasi dibuka. Sang dokter lalu keluar dari sana, dan seketika itu juga, Doremi yang sudah dioperasi dan tidak sadarkan diri dikeluarkan dari ruang operasi.

Hasamaru mendatangi perawat yang keluar bersama sang pasien yang baru dioperasi, memerintahkannya untuk membawa pasien itu ke belakang, ke rumahnya. Lebih tepatnya, kedalam sebuah kamar besar yang ada disana.

"Dokter, operasinya lancar kan?" tanya Hasamaru.

"Iya. Operasinya lancar, tuan muda, hanya… kemungkinan gadis itu harus tinggal bersamamu selama beberapa hari."

"Aku tahu soal itu, dokter."

"Tuan muda, maksud saya… saat ia sadar pun, mungkin ia harus berada di rumah anda sampai…"

"Sampai?" pemuda itu mengerutkan keningnya, "Apa yang terjadi padanya?"

"Tadi, sebelum kami keluar dari ruang operasi, gadis itu sempat bangun."

"Apa? Tapi… kenapa ia pingsan lagi?"

"Tadi ia bertanya, ini dimana, lalu saya menjawab yang sejujurnya."

"Lalu?"

"Saat saya menanyakan nama gadis itu, ia… ia bilang ia tidak tahu. Kelihatannya, gadis itu terkena amnesia."

"Oke, tapi dokter belum jawab pertanyaan saya tadi, kenapa dia pingsan lagi?"

"Soal itu, kelihatannya dia belum sepenuhnya sadar, dan masih berada di bawah pengaruh obat bius yang saya pakai saat operasi."

"Baiklah. Kalau begitu, mulai sekarang ia akan tinggal di rumah saya. Terima kasih, dokter."

Pemuda itu lalu berjalan ke rumahnya yang berada di belakang rumah sakit itu. Ia lalu memasuki sebuah kamar besar tempat Doremi berada sekarang. Ia belum bangun.

Hasamaru terus memandangi sebuah tempat tidur besar, tempat gadis itu terbaring disana. Ia teringat akan pemilik lama kamar itu, yaitu adiknya, Akari…

Beberapa menit kemudian, gadis itu membuka matanya. Ia bangun.

"Kau sudah sadar?" tanya pemuda itu.

Doremi tidak menjawab. Ia malah balik bertanya, "Sekarang aku dimana? Anda siapa?"

"Ini di rumahku, dan namaku…" pemuda itu ingin menjawab, tapi ia memutuskan untuk menjawabnya nanti. Ia lalu berkata, "Kata dokter… kau tidak tahu siapa namamu. Apa itu benar?"

Gadis berambut merah itu mengangguk, "Aku tak tahu, tapi… rasanya aku dibuang oleh orang-orang disekitarku."

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Aku tidak tahu, tapi aku merasa kalau mereka menganggapku sebagai gadis pembawa sial, karena itu… mereka meninggalkanku sendiri."

'Kasihan gadis ini. Jangan-jangan… ia disia-siakan oleh keluarga dan teman-temannya, padahal… kelihatannya dia gadis yang baik. Kalau begitu, lebih baik…'

"Kau salah, Akari. Papa dan mama memang sudah meninggal, tapi bukan berarti mereka menganggapmu seperti itu."

"Ah, Akari?" tanya Doremi, "Kau tahu… siapa namaku?"

"Tentu saja, aku kan kakakmu. Masa aku nggak kenal sama adikku sendiri?"

"Tapi, kenapa aku nggak ingat soal kakak?"

"Kamu baru aja kecelakaan tadi, dan dokter bilang, kamu kena amnesia, hilang ingatan." Hasamaru tersenyum, "Tapi syukurlah, diluar itu, kamu nggak apa-apa."

"Oh begitu. Jadi… aku bukan pembawa sial?"

"Bukan, Akari." Hasamaru memeluk Doremi dengan lembut, "Kamu malaikat penyelamat kakak."

'Siapapun kamu, terima kasih telah datang kesini, ke kehidupanku,' pikirnya, 'Aku akan menjagamu dengan baik, dan benar-benar akan menganggapmu sebagai adikku, Akari…'


Catatan Author: Fyuh, akhirnya selesai juga saya mengedit chapter pertama ini… (well, sekarang saya baru ngeh kalau ada sedikit kekurangan di versi pertama, terutama dalam pemilihan katanya, jadi kali ini saya sedikit merombak fanfic ini supaya hasilnya jauh lebih memuaskan daripada versi sebelumnya)

Soal Majorika nggak jadi lihat bola kristal, mungkin kelihatannya agak maksa ya, tapi memang lebih baik Majorika dan yang lain nggak tahu dulu soal keberadaan Doremi.

Untuk KotaDore lovers, aku tahu dan aku masih ingat kalau aku janji akan bikin pairing KotaDore disini, tapi tentu saja, bukan berarti aku nggak lihat waktu yang tepat (aku rasa, belum waktunya Kotake menampakkan 'batang hidungnya' di chapter ini). Kotake akan muncul di chapter berikutnya.

Dan yang terakhir, Hasamaru memang berbohong pada Doremi tentang jati dirinya, tapi sebenarnya, ia tidak bermaksud jahat untuk melakukannya (coba baca bagian terakhirnya sekali lagi). Hasamaru bukan tokoh antagonis. Pada akhirnya, ia menolong Doremi kembali ke keluarga dan teman-temannya.

Oke, kali ini kita sudahi sampai disini. Kalau sempat baca, sempatin review juga ya.