Title: The Golden Box of Memories

Chapter Amount: 3 Chapter

Fandom: Bleach. YEAH!!!

Pairing: Hitsugaya Toushiro x Hinamori Momo. Inilah pairing paling jaya di fandom Bleach (maaf HitsuKarin fans, but that's the fact).

Genre: Romance/Hurt/Comfort. Dijamin! Romans banget… walopun rating rendah, tapi pasti romans banget.

Rating: K

Disclaimer: "Pantun: Ke Pasar Baru beli pita, dapetnya malah kue bapia. Bleach kepunyaan Kubo-sensei semata, saya hanya pengemarnya yang setia."

Summary: Di bawah renta malam, bertabur bintang dan berkibar cahaya bulan, Toushiro merenungi masa kelam dirinya. Masa-masa indah yang ia lewati bersama gadis yang dicintainya. Kenangan-kenangan pun mengalir satu persatu… .HitsuHina.


The Golden Box of Memories

Chapter One:
Blessness

Aku adalah 'apa' untuknya?

Toushiro mengheningkan dirinya dalam kesuraman malam. Hatinya bertanya akan kekuatan sihir keheningan yang mampu membuatnya selalu berpikir tentang masa lalu yang kelam, maupun yang menyenangkan.

Ia duduk meratapi angin dibawah terangnya bulan bercampur indahnya bintang. Desir-desir dingin atap genting rumah meresapi ke dalam kulit-kulit tangannya yang putih pucat. Meskipun makin lama, resapan dingin itu tak terasa lagi oleh hatinya.

Ia merebahkan dirinya di atas genting rumah yang saat itu sangatlah kotor akan debu-debu yang dihasilkan siang. Tapi pikirannya tak sedikitpun mengecap kekurangan itu. Ia hanya lurus pandang pada jalan pikirannya.

Ia memejamkan matanya untuk dapat mengarungi lebih jauh kesuraman malam ini yang dapat membawa dirinya dalam angan lalu. Inilah kekuatan sihir rahasia kesuraman malam yang aku bicarakan tadi. Meski memejamkan mata, kau takkan bisa tidur, malah merinding merasakan tegang yang menghujam tubuhmu hingga tak kuasa menahan kendali, untuk…

menitikkan air mata.

Toushiro membuka matanya karena sadar air tak berguna keluar dari matanya. Tapi sesungguhnya, ia tak sadar bahwa air itu mengalir dari nuraninya yang saat ini sedang penuh dengan rasa duka, bimbang, dan sakit.

Toushiro mengarungi laut dalam nurani hatinya, dan mendapati 'kenangan' adalah kata yang membuatnya tak kendali diri. Ia pun larut dalam pikirannya…

Aku tak tahu harus seperti apa. Tapi rasanya aku tahu mengapa. Aku ingin mengulang masa itu.


[First flashback of memories]

"Emm, bed-wetter-momo…" panggil Toushiro tersendat-sendat.

"Apa?"

"Aku rasa… kita sudah bersahabat lama, dan…" katanya dengan agak ragu. Pipinya merah, semerah buah apel matang, "…aku rasa."

"Kau ini lucu Shirou-chan… Kau sudah membubuhkan kata 'aku rasa' diawal kalimat. Kenapa kau bubuhkan kata-kata itu lagi di akhir kalimat?"

Toushiro tersenyum gugup. "A… ku… belum menyelesaikan kalimatnya. Jadi itu bukan akhir kalimat…"

"Lantas kenapa kedengaran seperti akhir kalimat?" tanyanya heran. Tak lama ia menyadari warna merah yang menyelimuti pipi Toushiro, "Kau sakit?" tanyanya khawatir. Gadis yang diketahui bernama lengkap Hinamori Momo itu merebahkan punggung tangannya di atas dahi putih Toushiro.

Toushiro menggelengkan kepalanya. Pipinya makin memerah. Bahkan merah yang pada awalnya hanya ada pada pipi, kini berubah menyeluruhi wajahnya.

"Shirou-chan? Aku rasa kau sedang sakit. Lebih baik kau pulang dan istirahat saja. Biar aku yang minta izin pada guru piket." Tawarnya panjang lebar. Toushiro tak sempat memotong bicaranya yang super panjang itu. Hinamori menggandeng tangan Toushiro dan menyeretnya ke UKS.

"Momo! Aku tidak sakit!!" serunya kemudian setelah mereka berada di depan UKS.

Momo berkeluh. Wajahnya mencerminkan rasa tak senang. "Shirou-chan tak bilang dari tadi!"

'Hinamori… kau ini polos sekali…' batinnya dalam hati. "Aku hendak bilang! Tapi kau menarikku kuat sekali! Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan!"

Hinamori memiringkan kepalanya. Tanda tanya muncul di kepalanya, "Apa itu?"

"Nanti saja… pulang sekolah," ia merubah arah bicaranya setelah mendengar suara bel berbunyi dari ruang piket. "Kau masuklah ke kelas, nanti terlambat." Toushiro berlari menjauhi Hinamori yang berdiri mematung menahan rasa luapnya penasaran.

Pulang sekolah…

Seperti biasa, Hinamori menghampiri kelas Toushiro yang berada lima ruangan setelah ruangan kelas miliknya. Rumah mereka berada pada satu komplek perumahan, sehingga mereka sering pulang bersama. Entah itu berjalan kaki atau menaiki kendaraan umum. Mereka dua sahabat yang selalu terlihat bersama.

Toushiro membereskan tasnya.

"Hey Toushiro! Kau kemarin tidak piket! Kau harus memilih, membayar denda atau piketmu digantikan menjadi hari ini!" seru seorang kawannya yang memiliki rambut oranye mencolok. Matanya yang berwarna coklat itu tampak kesal memandangi sosok kecil yang ada di depannya.

"Ah… baik… Kurosaki," katanya menurut setelah Ichigo melemparkan kain pel ke arahnya.

"Kau yang mengepel. Aku akan mengambilkan air di ember ini untukmu." Katanya seraya melenggang jauh ke luar kelas. Sementara kawannya itu melaksanakan yang ia bicarakan tadi, Toushiro juga menapakkan kakinya keluar kelas. Seperti yang ia duga, ia mendapati Hinamori menunggunya sambil menyandarkan diri pada tembok. Matanya sibuk membaca tiap baris buku novel yang sedang ia pegang itu.

"Kalau sudah kau baca, buku novel Agatha Christie itu harus kau kembalikan padaku lagi. Aku baru membaca separuhnya." Katanya menghampiri Hinamori.

"Shirou-chan! Kenapa kau lama sekali?" protesnya kemudian.

"Maukah kau menungguku lebih lama lagi? Aku harus piket saat ini. Ichigo sedang sensitif, hari ini dia marah-marah terus," gerutu Toushiro.

"Baik, akan kutunggu. Dengan syarat, kau mau memperpanjang masa peminjaman buku novel Agatha Christie-mu ini!"

"Baik, tapi jangan hilang. Buku terakhir Agatha Christie itu ceritanya seru, Hercule Poirot's last cases!"

"Beres! Shirou-chan sungguh baik!" seru Hinamori.

Toushiro menggelengkan kepalanya beberapa kali seiring dirinya melengos kembali memasuki kelas, karena dari jauh sudah terlihat Ichigo membawa ember yang sudah terisi dengan air.

Sekitar 20 menit kemudian…

"Shirou-chan sudah?" Hinamori menengokkan kepalanya ke dalam kelas. Matanya tertuju pada sosok kecil berkepala putih yang sedang mengepel lantai dengan semangat. "Teman-temanmu sudah pulang tuh…"

"Biarkan saja… aku kemarin kan tidak masuk sekolah, jadi aku harus membayar piketku hari ini." Katanya dengan tenang menyelesaikan beberapa ubin lantai terakhir. Sampai di ambang pintu, ia melepas sepatunya kemudian membawa ember dan kain pel ke dalam kelas dan menguncinya di lemari penyimpanan peralatan. Setelah itu, ia pun mengambil tas ransel hitamnya dan keluar. Ia kenakan kembali sepatunya, barulah setelah itu ia mengunci pintu kelasnya.

"Kalau tidak salah, tadi istirahat kau ingin menyampaikan sesuatu pulang sekolah?" tanya Hinamori tiba-tiba setelah baru beberapa langkah dari kelas Toushiro.

DEG!

Merah merona yang tadinya sudah pergi, kini datang menyeluruhi wajah pucat Toushiro kembali. "Oh… iya… i-itu…" katanya sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal itu.

"Itu apa?" tanya Hinamori riang.

"Aku… emm… maksudku… kita. Kita sudah lama bersahabat. Aku rasa…" sahut Toushiro dengan ragu. Ia bingung kemana arah jalannya kalimat yang akan ia lontarkan. Ia juga bingung bagaimana akan menyusun kata-kata. Ia paling tak pandai menyusun kata-kata, apalagi kata-kata romantis.

"Kau rasa…?"

"Ya… aku rasa… kau tahu mengenai rumor yang beredar bahwa aku… su-suka… pa-padamu… dan… emm…" Toushiro tak berani menatap balik mata Hinamori, ia berpaling. Untunglah ia tak melihat wajah Hinamori saat itu, karena warna merah merona kini juga menyeluruhi pipi Hinamori, hingga wajahnya terlihat bodoh. Pada dasarnya, Hinamori memang mengetahui adanya rumor yang beredar mengatakan bahwa sahabat dari kecilnya itu menaruh rasa padanya. Sejak mengetahui rumor itu, Hinamori juga diam-diam mengunci rapat benih rasa sukanya pada Toushiro yang mulai makin tumbuh besar sejak rumor itu beredar.

Toushiro melanjutkan kalimatnya, "…ja-ja-jadi… kalau kau berkenan… m-m-mau… k-kah… kau… menjadi… emm… emm…"

"pa-pacarmu??" tanya Hinamori (gugup) kemudian.

Jantung Toushiro berdegup bukan main. Alunan detak jantung yang tenang seperti sosok Toushiro yang biasanya, kini berubah menjadi alunan tak beraturan. Tempo detak jantungnya makin cepat dan cepat.

"Yaa… be-begitulah…" katanya sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal itu sekali lagi. "Tapi… aku tak yakin kau mau menerimaku… ha… hahahaha…" tawanya kemudian dengan gugup. Sangat terlihat sekali tingkah lakunya sangat tidak seperti Toushiro yang biasa. Toushiro salah tingkah.

"Shirou…" panggil Hinamori kemudian.

"Apa?" matanya kembali berpaling pada wajah Hinamori. Seketika itu juga, Hinamori memeluknya dengan erat.

"Ya… Shirou-chan… aku mau…" bisiknya dibalik telinga, di atas pundak hangat Toushiro. "Perasaanku juga sama denganmu, aku sayang Shirou-chan…" lanjutnya dengan hangat.

Toushiro memeluk erat balik Hinamori. "Aku juga sayang kau, bed-wetter-momo…" Toushiro memejamkan matanya, terbenam dalam kehangatan.

[End of Flashback]


Begitulah pikirannya melayang. Pandangan hampa yang ia lontarkan pada bintang, adalah sebuah pernyataan bahwa dirinya saat ini sedang menjauhi masa kini dan merenungi masa lalu. Masa lalu yang ia tawarkan pada cahaya bulan ini membawa rasa manis tak terduga untuk sekedar menghibur hatinya yang dalam duka lara itu.

Toushirou tersenyum lemah. Dengan senyumnya yang seperti itu, siapapun yang melihatnya akan turut menangisi dan menyalahi takdir. Toushirou tahu bahwa takdir menguasai singgasana kehidupan siapapun yang hidup di alam sementara ini. Dan ia tahu, ia hanya bisa merenungi takdir, untuk membawa masalah baru bagi jalan hidupnya. Tapi, setidaknya itu berhasil membuatnya,

…ingin mati.

Sihir kesuraman malam lagi-lagi menghipnotis korbannya yang satu ini. Toushiro melahap dan menelan mentah-mentah semua pahit yang saat ini berkutat di dalam tubuhnya. Karena Toushiro tetap berusaha gigih untuk kembali mengarungi laut nuraninya untuk dapat menemukan 'kenangan' yang lain.

Dan ia pun menemukannya satu lagi.


[Second flashback of memories]

"Hiyaa! Aku tak menyangka pantai ini sangat indah!" seru Hinamori selepas-lepasnya di hadapan hamparan ombak.

Toushiro mengangkat dan mendaratkan tangannya di atas kepala Hinamori, "Tak kusangka kau ini berisik juga…"

"Aww, Shirou-chan… Aku kan hanya berkata yang sesungguhnya!" protes Hinamori.

Toushiro tersenyum manis, "kau terlalu polos, bed-wetter-momo…"

"Ahh… Shirou-chan! Sudah kukatakan jangan panggil aku begitu… aku tak suka nama itu!"

Toushiro berjalan pelan meninggalkannya sambil berkata dengan tenang dan santai, "Kalau begitu jangan panggil aku Shirou-chan," ia berpaling pada Hinamori, "bagaimana?"

Momo berkeluh seperti biasanya bila mulai menghadapi hal yang mengalahinya. Tak lama pipinya pasti menggembung.

"Menolak kan?" Toushirou berpaling lagi darinya dan meneruskan perjalanannya menuju vila. Ia tersenyum menyeringai. 'Hinamori kau lucu kalau kugodai begitu…'

Hinamori mengejarnya dan mengikutinya menuju vila sambil mengomel.

Di pantai saat acara api unggun malam hari…

Acara api unggun sangat riuh ramai nyanyian anak-anak kelas tiga SMP yang merayakan kemenangan mereka akan kelulusan. Ada yang bernyanyi dan berdendang, ada yang saling bertukar nomor telepon, dan ada pula yang hanya saling bertukar pikiran atau sekedar mengobrol.

Toushiro menghentikan percakapannya dengan teman-teman gengnya. Diketahui di sana ada Ichigo, Renji, Ikakku, dan Yumichika yang sedang ramai membicarakan peralatan komputer seperti biasanya. Entah kenapa, malam ini Toushiro sedang tak bersemangat untuk bercakap-cakap. Meski malam ini dapat dikatakan adalah malam yang sangat luar biasa menghitung hari ini hari terkahir satu-satunya malam pengukir kenangan bersama kawan-kawan satu angkatan.

Tapi Toushiro tak menggubris hal itu malam ini. Ia menepi dari riuh pesta api unggun. Hinamori meliriknya, Toushiro menghilang di balik batu karang malam.

"Girls, ada yang punya lampu cempor?" tanya Hinamori pada kawan-kawannya.

Seorang kawannya yang berambut blondy menyahut, "Ehm… cempor gak ada sih… yang ada hanya lilin, mau?"

"Tak apa, Rangiku-chan. Aku minta," katanya kemudian. Rangiku mengambil sesuatu di belakang punggungnya.

"Kau mau berapa?" tanyanya kemudian. Hinamori mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. "Dua? Baiklah…"

"Ngomong-ngomong untuk apa sih?" nyaring Rukia.

"Aku baru ingat tadi siang sapu tanganku jatuh di balik karang yang di sana. Karena terburu-buru, aku lupa untuk mengambilnya kembali." Jelasnya seiring lawan bicaranya membentukkan bibir menjadi huruf 'o'.

"Ah, kalau untuk mencari benda, aku rasa gunakan senter ini…" saran Nanao padanya. Nanao mengeluarkan sebuah senter bercahaya putih yang biasa digunakan untuk perkemahan (A/N: maaf, author yang aneh dan dekil ini gak tahu apa nama senternya. Kalau ada yang tahu, boleh kasih tahu author lewat review).

"Oh, ya… makasih Nanao-chan…" sahutnya senang. Ia mengambil senter itu dan berjalan menuju dibalik karang.

Rangiku melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, "Salam 'tuk Shirou ya!"

'Bagaimana mereka tahu?' pikir Hinamori. Ia pun hanya tersenyum ke arah mereka dan mulai menghilang dibalik gelapnya malam dan batu karang yang menutupinya.

Toushiro duduk di atas pasir yang menghadap ombak. Sungguh melodi ombak yang luar biasa pada malam hari. Derai-derai air ombak berlomba untuk saling menciptakan alunan indah pengisi malam yang sunyi. Toushiro menikmatinya.

"Aku pikir kau harus ke UKS," sapa Hinamori tiba-tiba. Toushiro terkejut, ia merasa jantungnya hampir bergeser dari tempatnya.

"Kaget tau! Ngagetin aja!" protesnya. "Lagian sapa yang mau ke UKS? Aku kan tidak sakit!"

"Kalau kau menepi dari kerumunan anak-anak yang sedang berpesta ria di sebelah sana, itu artinya kau harus ke UKS!"

Toushiro memiringkan kepalanya, tanda bingung. "Apa hubungannya dengan UKS, Hinamori?"

Hinamori menghampirinya, dan duduk di sampingnya. "UKS itu… Unit Kesehatan Sosial…"

"Kau pikir aku punya masalah dengan sosial? Begitu?"

"Habis… menyendiri seperti ini… pasti Shirou-chan punya masalah dengan SO-SI-AL!"

"Ahh… kamu suka sok tahu gitu…" keluh Toushiro kemudian.

Selang setelah tawa kecil Hinamori, keadaan pun hening. Sunyi malam mengambil alih keadaan, karena mereka sedang asyik dengan pikiran mereka sendiri. Mereka saling menatap derai ombak yang terus mengalunkan lagu dan bernyanyi mendampingi sunyi. Pasir-pasir berwajah gelap turut menghiasi malam bertabur bintang bermandikan cahaya bulan.

"Pantai ini ternyata lebih indah pada malam hari…" gumam Hinamori memecah sunyi.

Meski mendengarnya, Toushiro tak menyahutinya. Toushiro saat ini memang tak sedang memandang pemandangan laut yang ada di hadapannya. Ia hanya menatap lemah, seseorang yang sedang menemaninya saat ini.

"Hinamori…" bisiknya. Ia tak bermaksud untuk memanggil nama itu. Ia hanya bermaksud menyebutkan nama itu sebagai penggugah pikirannya.

Hinamori menatapnya dengan bingung. "Apa?" sahutnya dengan lembut. Suara riangnya yang biasa, nyaris tak terdengar.

Lagi-lagi Toushiro tak berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum dan mengelus kepala Hinamori beberapa kali. Jari-jemari dinginnya turun dan kini mengusap pipi Hinamori. Meski jari-jemarinya dingin, tapi mampu membuat pipi Hinamori menghangat dan memerah. Tangan Hinamori pun menyapa lembut jari-jemari Toushiro dan menikmati usapan tangan Toushiro yang makin terasa hangat di pipinya.

Jari-jemari Toushiro turun lagi dan kini menahan lembut dagu kecil Hinamori. Perlahan Toushiro mendekat, dan mengecup dahi Hinamori dengan lembut. Hinamori tersenyum.

Toushiro merangkul Hinamori yang kini sedang bersandar di bahunya. Toushiro juga merebahkan kepalanya di kepala Hinamori.

"Kau tahu, Hinamori?" tanyanya. Terdengar suara 'hm' lembut dari lawan bicaranya. "Aku tak pernah sedih lagi sejak aku mengenalmu, meski ibuku sudah tiada."

Hinamori mendangah. "Kenapa?"

"Kau mengisi duniaku yang kosong dan tanpa jendela," jawabnya, "Kau adalah untukku, dan aku adalah untukmu."

Hinamori menundukkan kepalanya dan tak menjawab.

"Ada apa, Hinamori?"

Hinamori mendangah kembali. Mata hijau Toushiro membesar melihat air mengalir dari mata Hinamori dan membasahi pipinya. Toushiro kemudian menghapusnya dengan ibu jari dan mengusap kembali pipi Hinamori.

"Meski aku akan tiada?" tanyanya tiba-tiba kemudian.


...BERSAMBUNG...

Mata hijau bekunya membahana ombak malam
Keadaan yang dihadapinya adalah kenyataan hitam
Yang mampu mencairkan hati putih berapi luka dendam…
pada takdir kejam
yang membunyikan terompet kemenangan dalam…
derita yang tak kunjung redam


A/N: Saa minna! Dou?? Kanashii ka, kaotsuku ka, soretomo henna ka? Maa ii ya… makaseru na… boku wa tada rinen o dasu. Dakara hyoken wa anata tachi desu. Kedo, boku wa mada anata no hyouka suru matsu desu. Anata no RIBIIU wa onegaishimasu!. Hai' sore de wa, matta ne!

A/N translate: Nah semuanya! Bagaimana? Sedih, romans, atau aneh? Well, terserah situ deh, gw cuman mengeluarkan ide. Maka dari itu, penilainya adalah kalian semua. Tapi tetep… gw nunggu penilaian kalian semua. REVIEW kalian ditunggu lho!. Baiklah, bye… bye…

(A/N (tambahan): well, gak nyangka ceritanya jadi panjang, so, gw bagi ceritanya menjadi tiga chappie. Sebenernya ada beberapa yang pengalaman pribadi, but… it's ok! Ehem, mari kita buka pertanyaan sekedar refreshing. Pertanyaannya adalah: Ada yang bisa mengartikan puisi di atas secara singkat, padat, dan bilas, eh… jelas?)

PANTUN:
Di pantai cewek pake bikini
Ke pasar antri beli ambon bika
Author dekil nan ganteng ini
Mau permisi dulu dari pembaca!!