Mimpi Aria adalah bertemu platypus.
A Vocaloid Fanfiction
"Platypus"
Disclaimer :
IA (c) 1st Place Co. Ltd.
YohioLOID (c) PowerFX
untuk #AnimaliaChallenge
Happy Reading~
.
"Astaga, Aria. Berhenti mengoceh soal mimpimu terbang ke Australia."
Pemuda pirang itu menggaruk kepalanya frustrasi. Setelah sebulan dijadikan Aria sebagai sarana mengoceh soal mimpinya pergi ke Australia, Yohio sudah tak tahan dan memilih untuk protes.
Halo, proyek karya ilmiah mereka tidak akan rampung kalau Aria terus membahas tentang Australia sementara fokus utama tulisan mereka adalah tentang pencemaran. Lagipula, apa sih yang spesial dari Australia?!
Seolah menjawab pertanyaan di benak Yohio, Aria lantang menjawab,
"Aku harus ketemu sama platypus!"
Makhluk apa pula itu?
"Makhluk unyu memiliki paruh dan kaki berselaput seperti bebek, ekor berang-berang, mata sayu minta dicium, dan cakar beracun!"
Hah, sejak kapan Aria jadi seorang cenayang pembaca pikiran?! Oke, mungkin cuma kebetulan.
"Aria," Yohio menarik napas dalam-dalam. "Ayo selesaikan proyek kita. Setelah itu kau boleh mengoceh lagi soal platypus dan mimpimu ke Australia."
Aria menurut. Ia duduk di depan Yohio dan kembali mengetik dengan netbooknya sambil senyam-senyum sendiri.
"Platypus imut," ucapnya berseri-seri. "Seperti monster tapi unyu."
Sepasang netra sewarna buah delima Yohio berotasi kala Aria mulai lagi mengoceh tentang makhluk bernama platypus. Memilih untuk menghiraukan sang rekan kerja, Yohio menempelkan earphone dan menyetel musik keras-keras.
Ocehan Aria tidak mendapatkan respon apa-apa. Aria mengangkat wajahnya dari layar netbook dan mengalihkan pandangannya pada sosok pemuda pirang yang sedang menikmati musik lewat earphonenya sambil mengetik di atas keyboard laptopnya. Dentum musik elektrik yang didengar Yohio terdengar sampai ke telinga Aria meski pelan.
Pantas saja dicueki. Orang Yohio sedang larut dengan musik favoritnya, huh!
Aria mengerucutkan bibirnya. Apa sih salahnya membicarakan platypus? Platypus kan unyu!
Aria mendengus dan kembali menekuni materi karya ilmiahnya. Dalam hati ia bertekad, dia akan membuat Yohio menyukai platypus sama seperti yang ia lakukan.
Senja sudah tiba, mewarnai kaki langit dengan semburat oranye yang indah.
Aria meregangkan jari juga lehernya, merasa puas atas hasil ketikannya hari ini. Satu atau dua hari lagi tugas mereka akan selesai dan Aria akan bebas berselancar di internet untuk menambah pengetahuannya akan makhluk unyu bernama platypus.
"Aku nggak nyangka kamu bisa berhenti mengoceh soal siluman yang kau panggil platypus."
"Eh?! Apa kau bilang?! Siluman?!" Aria menaikkan suaranya, tidak terima makhluk unyunya disebut-sebut sebagai siluman.
"Yep. Siluman," tegas Yohio, memancing wajah tak senang di muka cantik Aria. "Apalagi kalau bukan siluman? Binatang mamalia tapi bertelur, berekor berang-berang, kaki berselaput dan berparuh seperti bebek, dan punya cakar beracun! Itu namanya siluman!"
"Enak saja! Meski aneh platypus itu masih satu kingdom dengan kita! Animalia!"
"Kau menyamakan kita, manusia, dengan siluman?"
Aria menjitak kepala Yohio tanpa peringatan.
"Platypus bukan siluman!"
"Kalau begitu apa?" balas Yohio sengit. "Monster?"
Tanpa sadar, Aria menggebrak meja saat ia menjawab, "Iya! Platypus itu monster! Monster unyu yang patut dilindungi!"
Yohio tersenyum dan menepuk kepala gadis di hadapannya. "Kau yang monster, Aria."—Monster unyu itu kau, Aria.
Aria menepis tangan Yohio dan mendengus tak senang. "Ah, berisik! Ayo pulang!"
Aria memberesi kekacauan di mejanya dan segera berjalan keluar dari kelas dengan langkah menghentak, masih tidak senang dengan kata-kata Yohio.
Setelah kejadian itu, Aria jarang berbicara dengan Yohio. Tiada maksud untuk menjauhi pemuda itu, Aria hanya berusaha fokus mengumpulkan data untuk pidatonya di pusat kota seminggu lagi. Dia akan mengangkat topik hewan-hewan yang terancam punah dan sebagian topik bahasannya akan membahas platypus.
"Hei, Aria." sapa Yohio sembari duduk menghadap Aria di ruang baca perpustakaan sekolah.
"Oh, hai, Hio." sahut Aria tanpa mengalihkan pandangannya dari layar netbook.
"Platypus lagi?"
"Yup."
"Nih," Yohio mengeluarkan setumpuk printout dari tasnya. "Tentang platypus. Sudah kuterjemahkan secara halus dengan bahasa yang mudah kau mengerti. Kau nggak bisa bahasa Inggris, bukan?"
Aria menggeser netbooknya kasar, tidak terima dibilang tidak berbahasa Inggris, dan sepasang netra birunya segera membulat tak percaya saat ia melihat tebal printout yang diberikan Yohio.
"Platypus semua?" tanya Aria dengan nada tak percaya.
"Lima puluh persen. Sisanya ada tentang hewan langka yang lain: wombat, misalnya."
"Kenapa tiba-tiba?"
"Nggak ada alasan khusus,"
"Bohong."
Aria menatap lekat-lekat mata Yohio, membuat pemuda itu salah tingkah.
"Oke, oke, karena platypus. Platypus unyu seperti yang kau bilang," sergah Yohio, tidak kuat dipelototi lama-lama oleh Aria. "Siluman itu unyu. Titik."—dan kamu juga unyu.
Dalam hati, Yohio tidak pernah mengerti kenapa ia tak pernah bisa menyuarakan isi hatinya tentang Aria. Yohio payah, huft.
"Terdengar memaksa di telingaku,"
"Memang,"—karena yang unyu hanya kau seorang.
Dan Yohio segera menampar mulutnya sendiri. Rona merah menyergap wajah tampannya. Aria mengela napas dan tangannya mendorong printout di hadapannya kembali kepada sang empunya.
"Aku nggak mau nerima. Kamu ngejek aku, kan?"
"Nggak!"
Desis penjaga perpustakaan membuat Yohio menundukkan kepalanya malu setengah mampus.
"Bukan. Aku nggak ngejek kamu."
"Terus."
"Mimpimu. Aku nggak tega ngebiarin kamu mengejar mimpi kamu sendirian," Yohio mengusap wajahnya dan menghindari tatapan Aria. "Aku sudah tahu. Ibumu. Ibumu ada di sana, jadi salah satu pengurus platypus di Austarlia, benar, kan? Dan daripada alasan ingin bertemu platypus, kamu sebenarnya ingin ketemu ibumu, bukan?"
Aria terdiam. Tangannya menggenggam erat kertas-kertas printout yang batal dikembalikannya.
"Hei," Yohio tiba-tiba menggenggam tangan Aria erat. "Jangan galau begitu, ah. Lihat ini."
Yohio mengeluarkan selembar kertas dari saku blazernya dan membentangkannya di hadapan Aria. "Bulan depan ada lomba menyanyi, hadiahnya bisa kaukumpulkan untuk menyumbang ke yayasan yang melindungi platypus. Tawarannya cuma sekali dan hadiahnya juga lebih besar dari lomba pidato itu. Kau mau ikut? Suaramu, kan, super."
"Aku bukan mau ketemu ibu," Aria menyangkal sambil menyembunyikan wajahnya. "Aku beneran pengen bertemu platypus. Aku mau mengumpulkan uang dari sekarang."
"Menurutku, sebaiknya kau membantu platypus-platypus itu dengan menyumbangkan dana. Seperti yang pernah sekolah kita lakukan untuk menyelamatkan panda,"
"Tapi, aku pengen ketemu!"
"Apa bedanya, sih, dengan cuma melihatnya di internet? Jumlah mereka juga sudah terbatas! Semakin banyak pengunjung maniak seperti kau, platypus-platypus itu justru akan stress,"
Aria menggebrak meja, tidak mempedulikan lagi teguran penjaga perpustakaan.
"Ha, aku bukan maniak, ya! Aku cuma suka!"
"Maniak."
"Bukan!"
"Kau mau menyumbang atau tidak! Kalau tidak, formulirnya kubakar!"
Aria menggeram kesal dan Yohio menyeringai penuh kemenangan. Aria sebenarnya tidak tahan dengan jumlah hadiah yang tertulis besar-besar dengan huruf berwarna merah dan ditebalkan di pojok bawah formulir.
Aria menimang-nimang pilihannya dalam hati.
Jumlah hadiah kontes itu adalah setengah biaya pesawat ke Australia. Jika Aria menang lomba itu, ia akan semakin cepat bisa bertemu platypus-platypus itu juga ibunya.
Tapi, bagaimana jika disumbangkan? Aria sudah dengar dari ibunya kalau biaya konservasi platypus masihlah terhitung minim dan sebentar lagi akan ada bayi-bayi platypus baru yang sangat membutuhkan dana untuk dibesarkan.
"Jadi, kau menyumbang?"
Aria berpikir lebih keras lagi.
'Jika aku menunggu lima atau enam tahun lagi, platypus-platypus itu sudah besar, bukan?' pikirnya.
"Jadi tidak?" tanya Yohio tak sabaran.
"Iya! Iya!" Aria segera menjawab. "Akan kudonasikan. Puas?"
Yohio tersenyum dan menyerahkan formulir itu ke tangan Aria.
"Semangat buat lomba-lombanya!" Yohio menarik tasnya. "Dan kalau menang, uang itu harus benar-benar kausumbangkan!"
"Iya, bawel!"
Aria berlari heboh menuju kelas Yohio saat jam istirahat. Ia tersenyum sumringah, ponsel di tangan digenggam erat.
"Hio!"
Yohio mengangkat wajahnya dari buku pelajaran saat gadis berambut strawberry blonde yang dikenalnya sejak bangku menengah pertama itu muncul di depan kelasnya.
Tanpa seizin teman sebangku Yohio, Aria menduduki bangku di sebelah Yohio dan mendekatkannya pada pemuda itu.
"Lihat ini!" Aria menunjukkan layar ponselnya ke depan muka pemuda itu.
"Ha, itik?"
"Bukan! Ini bayi platypus yang baru menetas! Unyu, kan?"
"Iya, deh, iya," Yohio memutar matanya dan kembali dengan bukunya.
"Ih, dengar dulu!" Aria menutup buku yang dibaca Yohio dan merampasnya. "Aku mau berterima kasih."
"Untuk?"
"Karena sudah menyuruhku untuk menyumbang."
"Tapi kau pasti akan tetap pergi kesana, bukan?"
"Nggak," Aria menggeleng. "Ibu pulang bulan depan. Ibu sudah punya pengganti untuk mengurus makhluk-makhluk unyu itu. Ada sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang bersedia mengasuh platypus-platyus itu. Hebat, bukan?"
"Jadi, kau nggak akan kesana?"
"Nggak. Aku akan berusaha jadi donatur yang baik saja, haha!"
Yohio tersenyum dan menepuk kepala Aria.
"Dasar maniak platypus!"
Owari~
Yagi's Note :
Pecut saya, plis. Lagi ujian malah publish fic /dibuang/
