Notes: Maybe I shouldn't write this. Well, whatever :'')
.
Osomatsu-san © Akatsuka Fujio
For Campanella (song) © SasakureP
.
for you
© Moon Waltz
.
.
.
"From the start, I knew that
It was impossible to reach you with a spaceship."
.
.
[paper plane]
Kerabat-kerabat berkunjung mengenakan setelan monokrom, berkumpul di satu ruangan terluas di rumahnya sembari membaca doa-doa di hadapan foto salah satu kakaknya yang dikelilingi bebungaan.
Yang Ichimatsu pikirkan saat itu hanya betapa mengganggunya acara hari itu.
Panas, sempit, bau dupa, dan terlalu banyak pasang mata yang diam-diam mengawasi mereka berlima.
Ia ingin segera keluar dan menjauhi ruangan itu, tapi sang ibu melarangnya (larangan yang sangat mudah untuk ia langgar jika saja ibunya tidak mengatakannya sambil menangis sesegukan).
Jadi, sambil mencoret-coret secarik kertas, Ichimatsu memaksakan diri untuk tetap duduk manis di ruangan itu.
"Kau menulis apa?" Choromatsu yang selalu ingin tahu, memerhatikan gerak-geriknya dan berbisik.
"Surat," jawabnya singkat, sambil sesekali membenarkan posisi duduknya yang semakin terasa tak nyaman. Kalau ada kakaknya yang satu itu, pasti ia sudah mengajaknya keluar untuk bermain sekarang.
"Untuk siapa?"
Merasa menjawab dengan suara terlalu merepotkan, Ichimatsu hanya menunjuk sekilas pada foto kakaknya yang dipajang di depan orang-orang.
Choromatsu tertegun sejenak.
"Memangnya kau tahu dia berada di mana?"
"Aku tahu. Makanya aku mau buat surat ini menjadi pesawat dan menerbangkannya ke angkasa," senyumm lebar ia kembangkan, "kau mau ikut?"
"Ta –tapi," lidah Choromatsu kelu. Ditelan kembali kata-kata yang nyaris terucap dari bibirnya.
Choromatsu menggigit bibir bawahnya keras-keras kemudian menganggukkan kepala.
"Aku mau."
.
.
.
[balloon]
Sepuluh? Dua puluh? Rasanya Ichimatsu sudah melipat pesawat kertas lebih banyak dari itu, tetapi tak ada satu pun pesawat kertas buatannya yang sanggup melayang jauh ke atas langit. Pesawat-pesawat itu selalu turun kembali, mendarat di tanah yang ia pijak.
Berarti pesan-pesan di dalamnya pun tak bisa tersampaikan pada orang yang ia tuju.
Menyebalkan.
Lebih parahnya, Choromatsu sudah tak ingin membantunya untuk menerbangkan pesawat itu.
Percuma, katanya.
(Dasar sok dewasa.)
"Ichimatsu-niisan, sedang apa?"
Todomatsu menghampirinya yang masih berusaha membuat pesawat kertas (sedangkan Choromatsu malah mengelap keringat di wajahnya padahal ia belum membuat pesawat sebanyak yang ia buat!)
"Menulis surat," jawabnya lagi-lagi singkat.
"Untuk siapa?"
"Kau bisa baca sendiri, kan?" ia mulai letih menjawab pertanyaan repetitif itu.
Todomatsu membatu saat membaca isi suratnya.
Oh, ayolah, sekarang Ichimatsu mulai merasa déjà vu melihat reaksinya yang sama repetitifnya dengan Choromatsu tadi pagi.
"Ta –tapi niisan kan..." ucapannya terinterupsi saat Choromatsu menarik lengannya dilanjutkan dengan gelengan pelan.
"Tapi kenapa, Totty?" tak diberi penjelasan, Ichimatsu menatap Todomatsu dalam-dalam.
"Tapi... tapi pesawatnya tidak bisa terbang terus-terusan sampai atas, kan? Coba pakai balon saja."
Ichimatsu berhenti melipat kertasnya mendengar perkataan dari adik bungsunya barusan.
"Ah, ide bagus, Totty! Baiklah, kau mau ikut membantu?"
Todomatsu mengangguk kuat-kuat sambil menunduk.
"Bagus, kalau begitu ayo kita—hei, kau menangis, ya?"
.
[message in a bottle]
Balonnya terbang tinggi dan jauh sekali.
Tapi Ichimatsu masih merasa tidak puas, masih merasa was-was.
Ia takut pesan yang ia tulis tak bisa sampai ke tempat orang itu. Bagaimana kalau balon itu keburu meletus saat akan menembus awan?
"Ichimatsu."
Ia menoleh, mendapati wajah khawatir si sulung Matsuno yang menyambutnya kemudian.
"Kau tak apa-apa?"
Dalam hati ia bersyukur, Osomatsu memiliki pertanyaan lain untuk disampaikan padanya.
"Aku tak apa-apa," tentu saja ia tak apa-apa. Memangnya apa yang bisa membuatnya kenapa-napa?
"Kudengar kau ingin mengirim surat padanya?"
Ichimatsu beringsut mendekati kakaknya sambil mengangguk, "ya, aku sudah mencoba menerbangkannya dengan pesawat kertas dan balon. Tapi aku masih ragu surat itu akan sampai padanya."
Osomatsu tersenyum sendu.
"Kau kan yang paling dekat dengannya. Seharusnya kau yang paling mengerti kalau dia itu sedikit aneh, tidak normal."
Ichimatsu memberikan gestur kebingungan, "maksud niisan?"
"Tau darimana ia sedang berada di langit?" Osomatsu melipat lengannya di atas dada agar suaranya tidak bergetar, "dia itu anti-mainstream. Daripada langit, siapa tahu ia justru berada di tengah lautan sekarang?"
Ichimatsu menatapnya dengan iris berbinar-binar.
"Bisa jadi kau benar, Osomatsu-niisan," Ichimatsu menggenggam erat sisa surat yang belum sempat ia terbangkan, "lagipula laut memang lebih cocok untuknya."
Osomatsu memaksakan seulas tawa.
"Kalau begitu, ayo, kuajarkan kau caranya mengirimkan pesan ke lautan."
.
[rooftop]
Seminggu penuh setelah surat terakhir di dalam botol yang ia lemparkan ke tengah lautan, Ichimatsu selalu duduk di atap, menunggu.
Menunggu balasan datang, bahkan lebih baik lagi jika orang itu yang datang.
Sambil memeluk lututnya, ia pandangi konstelasi bintang yang tak pernah ia hapal satupun namanya. Biasanya ada kucing yang akan menghampirinya, tapi malam ini agaknya berbeda.
Ia harus menunggu sendirian.
Belum sempat ia luruskan kedua tungkainya yang kesemutan, Ichimatsu mendengar suara derit tangga kayu yang diinjak di belakangnya.
Segera saja ia menoleh—
"Ah, kupikir siapa."
Ichimatsu kembali ke posisinya semula.
"Sedang apa?" saudaranya itu bertanya tanpa rasa bersalah telah mengganggu kesendiriannya.
"Menunggu."
"Menunggu siapa?"
Duh.
"Ichimatsu-niisan?"
Serius, ia sebenarnya terlalu gengsi untuk menjawab pertanyaan ini.
"Norak-matsu."
"Norak-matsu? Siapa itu?"
Ichimatsu menolak untuk memperjelas jawabannya.
"Niisan, siapa Norak-matsu itu?" dia malah mengguncang keras bahunya dari belakang.
"Tsk, Karamatsu! Aku sedang menunggu Karamatsu-niisan kembali!"
Guncangan di bahunya berhenti.
Ada jeda yang mengisi kesunyian di detik selanjutnya sebelum akhirnya Jyuushimatsu menyuarakan kalimatnya.
"Tapi kan Karamatsu-niisan sudah lama mati."
Dalam keheningan, dua pasang mata itu saling menatap lekat-lekat.
"Kau bicara apa?!"
"Karamatsu-niisan... sudah lama mati. Ia takkan kembali."
"Lalu kenapa? Aku sudah mengirim banyak surat padanya!"
"Tapi selama tujuh tahun ini kau tak pernah mendapat balasannya, kan, Niisan?"
Ichimatsu membisu.
Kalau begitu, artinya pesannya tak pernah sampai? Puluhan suratnya tak pernah dibaca? Penantiannya sia-sia?
Kalau begitu, ia takkan pernah berjumpa lagi dengannya?
Malam itu, air mata pertama mengalir turun dari pelupuknya (–juga hatinya).***
.
[Untuk Norak—Karamatsu-niisan,
Aku—kami, merindukanmu. Segeralah kembali, bodoh.
Dari Ichimatsu.
.
p.s: kumohon, cepatlah kembali.]
.
.
.
"It just means that
You went that far away."
.
.
FIN
.
A/N:
Tribute for my precious—best—mentee who left us too soon.
It was a short time, yet you give us so much wonderful memories. Thank you, really.
:')
S.N [26/04/1996 – 16/05/2016]
