D-Gray-Man (c) Katsura Hoshino. contains Fem!Lavi

Bisa dibaca sebagai kelanjutan fic interlude atau sebagai fic yang berdiri sendiri.

a/n: apakah ini bisa disebut western?


frequent

a D-Gray-Man fanfiction by nabmiles. No profit taken.


Sebagai seorang masinis, adalah monoton stasiun, tuas-tuas pengendali, bentang rel tiada habis, deret gerbong penumpang, dan derak ribut roda menggesek lajur sebagai kawan akrab Lavi.

Dia mengawal pagi dengan secangkir teh dan sebungkus roti, berkemas lalu berangkat menuju stasiun kecil nan tua tempatnya bermarkas. Tas selempang menggantungi lurus bahu kiri, kaki-kaki berbalut pantofel hak rendah warna hitamnya memasuki gerbong penarik—gerbong utama, kepala kereta, apapun namanya—setelah mendapat sepiring sarapan dari kantor kecil stasiun ini.

Mungkin, dia adalah satu-satunya masinis wanita di daerah hingga kota-kota luas sekitar. Bagi Lavi, mengendalikan kereta uap sungguh menarik. Impian sejak kecil semenjak satu kali ia melihat masinis dari muka kereta; tampak amat gagah.

Perjalanan dimulai kala peluit ditiup dan tanda dari petugas diangkat. Jemari menarik tuas-tuas, roda berdecit, mesin berderak dalam operasi, jarak terambil perlahan. Hanya sekian sekon untuk laju cepat menjajah rel, menuju destinasi yang terdiri atas stasiun-stasiun pemberhentian.

Walau ada spasi antara dia (dan konsentrasinya) dengan penumpang di belakang sana, Lavi seolah dapat mendengar interaksi-interaksi menusia penempuh jarak panjang perjalanan ini di telinga, mendengar tujuan serta harap untuk sampai, mendengar segudang rencana dibuat, mereguk semua dalam setangkup tanggung jawab. Dan Lavi tersenyum.

Ia menikmati. Bagaimana tuas-tuas ditarik berganti, ribut gesek rel dan roda, bentang pemandangan dilalui—seluruh pekerjaannya. Termasuk memasuki stasiun demi stasiun; menjumpa orang-orang turun maupun naik, bertemu petugas-petugas lain, mengamati detil konstruksi stasiun (tanpa sadar mengingat hingga hal terkecil seperti pola noda membercak dinding—memang kemampuan alami); segala rentang cakup perjalanan.

Ketika kereta memasuki pemberhentian akhir bersama tuntasnya tugas, Lavi merasa puas. Serta lega. Ia dapat mengambil rehat dari beban tanggung jawab tersebut sebelum kembali menggendong esok hari.

Lavi memilih menunggu seluruh penumpang turun (sedang dia memperhatikan lewat jendela) baru beranjak, menyerahkan rangkai gerbong pada petugas pemarkir.

Lalu, dia sendiri turun, menapak lantai di sisi lajur. Seseorang menunggu. Seorang yang selalu duduk di salah satu bangku panjang berpunggung peron. Lelaki bersurai biru gelap panjang terikat satu berkawan jubah luar panjang warna gelap pula. Saat Lavi melihatnya, dia memacu langkah cepat-cepat, menyambangi, berseru. "Yuu-chan!" Delik tajam adalah balasan.

"Kau lama, Kelinci Bodoh." Bukan selamat datang, bukan sambut hangat, namun Lavi sudah terbiasa—dan tak masalah. Setiap orang punya cara mengekspresi rasa, demikian pula Kanda. Pijar sepasang netra lelaki dingin itu cukup membuat Lavi lupa sejenak akan lelah membayang. Ditambah sigap tarikan tangan menyeretnya, Lavi tertawa, menjajari langkah sang adam—Yuu Kanda.

Seperti orang-orang yang dia arah menuju rumah, sang masinis pun memiliki tempat untuk pulang.