Title : Daijobou (I'm fine)

Pairing : NaruHina slight NaruSaku, SasuSaku and find the others

Rating : T

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Romance, Angst, Family


Masa muda. Setiap orang pasti mengalaminya. Masa muda dimana saat kau menghabiskan waktumu untuk bermain bersama teman – temanmu, mencari jati diri, melakukan hal – hal gila yang membekas sampai tua kelak. Masa muda, juga sebagai penentu dari masa depanmu kelak. Tak ada orang yang tak ingin menikmati masa mudanya. Masa muda adalah masa masa emas, masa – masa paling berkesan dan menjadi tolak ukur atas pencapaian di masa mendatang. Semua dapat dilakukan saat masa muda.

Di masa muda pula, orang mengenal apa itu cinta. Cinta pertama, pahit manisnya perjalanan cinta, mengalami penyesuaian, pengenalan pada orang – orang yang mengisi hatimu pada masa itu. Cinta di masa muda tak seindah cinta lainnya. Cinta di masa muda membawa keabadian cinta untuk masa selanjutnya.

Apakah cinta tersebut akan abadi?

Tergantung orang yang membawanya. Yakinkah ia akan keabadian cinta yang ia bawa?

Cinta..

Hal yang sangat sensitif. Menyenangkan, juga menyakitkan.

Cinta..

Hal yang butuh banyak pengorbanan..

Cinta..

Menuntut ketulusan hati seseorang..

Cinta..

Bisakah kau bedakan antara jatuh cinta dan mencintai? Haruskah seseorang jatuh cinta dan mencintai?

Hanya orang tersebut yang dapat merasakan.

Cinta...adalah anugrah yang diberikan oleh Tuhan. Kita tahu bagaimana menjaganya, namun kita kadang tak sadar bagaimana menjaganya.

Cinta di hati..hal yang sangat sensitif..bisa kau bayangkan bahwa hati yang memiliki perasaan cinta adalah sebuah kaca. Sekali jatuh, maka akan menjadi serpihan serpihan. Dapatkah diperbaiki? Ya..walau akhirnya tak akan semulus awalnya, tak akan seutuh awalnya.

Setelahnya kaca itu akan disimpan, agar tak lagi jatuh. Bahkan dijauhkan dari orang – orang, agar tak lagi rusak.

Namun apakah begitu pula penjagaan untuk hati dengan sebuah cinta? sekali tersakiti, baikkah jika kita menjauhkannya dari orang – orang agar tersimpan dengan aman?

Aman bukanlah kata yang tepat. Mati. Ya...saat kau jauhkan hatimu dan tak menggunakannya untuk mencintai, maka ia akan mati.

.

.

.

.

Menjelang musim dingin, orang – orang mulai berpakaian lebih tebal dari biasanya. Salju memang belum turun. Namun perlengkapan sudah disiapkan agar tak kedinginan saat kapas – kapas putih itu menyelimuti daerah mereka.

Setiap tahun, natal selalu mereka sambut dengan penuh suka cita. Berbagi dengan sesama dan menyebarkan cinta serta kasih sayang untuk orang – orang sekitar.

Di dalam mansion, seorang gadis anggun tengah duduk di sofa dengan bahan rajutan di tangannya. Jika kita lihat, hanya da 2 kata untuk menggambarkannya. Nyaris sempurna. Jika kita ingin melihat bagaimana seorang wanita, bukan dalam artian yang ambigu, wanita dalam arti jenis kelamin. Kita bisa melihat wanita ini, wanita yang masih gadis. Duduk dengan anggun sambil merajut dengan tangan – tangan mungil nan lentiknya. Mata indahnya melihat ke arah bahan yang ia rajut dengan wajah penuh senyuman. Mungkin kita harus percaya bahwa melakukan sesuatu dengan senyuman akan membawa hasil yang baik. Rambut panjangnya tergerai indah. Sekali – kali ia meletakkan jarumnya dan meminum Shoga Yu nya yang masih saja terasa hangat karena sensasi jahe nya.

"Kau harus sering – sering main keluar, Onee-chan." Gadis anggun itu hanya tersenyum menanggapi ucapan adiknya. Adik yang 5 tahun lebih muda darinya. Dari segi penampilan, adiknya ini lebih fashionable dan up to date. Gadis ini bukan tipe gadis yang terlalu memperhatikan fashion. Ia memakai pakaian yang nyaman ia pakai saja.

"Kalau mau keluar, pastikan pakai – pakaian tebal, Hanabi. Diluar sangat dingin." Ucapnya dengan suara selembut sutra. Gadis ini, merupakan gambaran wanita muda yang seharusnya. Sosoknya yang anggun dengan tingkat kesopanan tinggi, penampilan yang selalu menunjukkan sisi feminimnya. Juga melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sebagai seorang anak, kakak, ibu, adik, tentu saja wanita.

Gadis yang lebih muda, Hanabi berjalan malas menuju sofa kakaknya. Gadis dengan wajah datar itu duduk di samping sang kakak dan mengamati pekerjaan kakaknya yang menurutnya membosankan.

"Kau bisa mati bosan, Hinata-nee. Ayo kita keluar. Musim dingin harusnya kita mengunjungi Hokkaido. Aku ingin sekali melihat patung salju di Asahikawa." Rengek Hanabi. Ia melipat tangannya di depan dada dan mulai sebal dengan kakaknya yang masih saja fokus pada rajutannya. Dress panjang yang dikenakan kakaknya masih saja tampak rapi walau gadis itu sudah duduk sekitar 2 jam di sana. Hanabi menyipitkan matanya melihat rajutan itu.

"He..ini untuk siapa, Nee-chan?" tanyanya penasaran.

"Untuk yang mau memakainya saja. Nah, tinggal sedikit lagi." Hanabi memutar bola matanya bosan. Kakaknya ini terlalu feminim. Namun ia tak habis pikir juga bahwa kakaknya ini juga merupakan atlet Karate. Tapi sangat tak nampak. Ya..seorang karateka memang tidak boleh menunjukkan bahwa dirinya seorang Karateka.

"Ayo pergi keluar Nee-chan." Ajak Hanabi. Ia tak menyerah untuk mengajak kakaknya berlibur. Ia tahu kakaknya ini juga ingin sekali bermain. Ia masih muda dan berjiwa muda. Tak mungkin ia betah hanya di rumah saja.

"Ini sudah jam 3 sore. Sebentar lagi Neji-nii pulang. Sebaiknya kau mandi, Hanabi. Kalau terlalu larut kau bisa kedinginan." Tutur halus keluar dari bibir mungil Hinata. Ia membereskan alat – alat rajutnya. Untuk terakhir kali, ia meminum Shoga Yu nya sampai habis dan mengelap bibirnya dengan tissue.

"Nee-chan! Kau terlalu terikat pada peraturan. Ayolah kita keluar, belanja, nonton film, atau apapun yang menyenangkan." Hanabi bersikeras mengajak kakaknya ini. mungkin Jiwa muda tidak berlaku untuknya lagi. Hinata terlihat seperti ibu – ibu jika sudah seperti ini.

Mendengar ucapan adiknya, Hinata tertawa pelan. Khas seorang putri bangsawan.

"Hanabi, bagaimana Nee-chan bisa keluar kalau Neji-nii belum pulang? Lagipula tidak terlalu baik untuk keluar saat hampir larut." Hanabi meniup- niup poninya. Ia sebal sekarang. Berkali – kali ia mencoba untuk membangkitkan jiwa muda sang kakak, agar dia bisa bebas melakukan apa yang ia suka. Bukan hanya di rumah seperti permaisuri jaman kerajaan seperti ini.

"Nee-chan, kau itu terlalu kolot. Neji-nii sudah menikah. Kau tidak perlu urusi dia karena dia sudah punya istri. Kadang kau perlu mengurus dirimu sendiri, Nee-chan sayang." Hinata terdiam mendengar perkataan sang adik. Mungkin ia ada benarnya. Namun sisi lain hati Hinata masih berontak. Ia hanya ingin melakukan apa yang seharusnya dilakukan para wanita.

"Tadaima!" suara baritone mengejutkan Hinata. Ia berjalan ke sumber suara lalu tersenyum melihat dua orang masuk ke kediaman mereka.

"Okaeri Neji-nii, Tenten." Sambut Hinata hangat. Hinata membawa mereka ke sofa. Dengan segera Hinata meletakkan alat rajutnya ke tempat semula lalu membuat Shoga Yu untuk kakak dan kakak iparnya itu.

"Huh.. di luar dingin sekali. Maaf Hinata, kau jadi kerepotan." Ujar Tenten. Ia langsung menyeruput minuman jahenya tersebut dan mendesah lega.

"Tak apa. Lagipula aku tidak repot. Hanabi, cepat sana mandi." Tutur Hinata lembut. Hanabi masih cemberut.

"Kau darimana? Berpakaian seperti itu." komentar Neji yang agak risih melihat adiknya sedikit nyentrik. Menggunakan stocking hitam sampai ke paha, celana setengah paha dan jaket tebal serta beannie.

"Dari toko buku. Berhenti menatapku seperti itu, Nii-chan." Protes Hanabi. Neji hanya menggeleng dan menyeruput shoga yu nya. Ia melonggarkan dasinya dibantu Tenten.

"Anak muda jaman sekarang. Kau harusnya contoh Hinata, dia bersikap sangat baik." Ujar Neji dengan nada ketus.

"Aku tidak mau menjadi kolot seperti kalian. Ini jaman modern tau!" Tenten tertawa mendengar penuturan Hanabi yang menurutnya lucu. Hinata menggeleng - gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Sudah sana mandi, nanti kalau kau mau keluar, Nee-chan akan temani." Hanabi tersenyum sumringah mendengar penuturan sang kakak. Ia berdiri dan meregangkan otot – ototnya.

"Oke kalau begitu!" Hanabi mengacungkan jempolnya dan pergi ke kamarnya dengan perasaan bahagia. Hinata pun ikut tersenyum melihat adiknya senang.

"Aku akan temani Hanabi jalan – jalan. Mungkin agak malam baru pulang." Pamit Hinata pada Neji. Neji tak mempermasalahkannya. Ia menatap Hinata serius.

"Sebenarnya ada sesuatu yang harus dibicarakan denganmu, Hinata." Wajah Hinata berubah serius. ia tak mengerti apa yang akan dibicarakan dengannya. Apa dia akan diberi kekuasaan di perusahaan? Sepertinya tidak, mengingat Hinata baru saja lulus S1. Ia mengambil desain. Namun sejak kecil, ia sudah diajari tentang bisnis dan membuatnya cukup paham dengan seluk beluk dunia bisnis.

Hinata bekerja sebagai desainer muda. Ia juga memegang bisnis keluarganya, walau masih didominasi oleh Neji namun sedikit banyak, Hinata membantu.

"Ya? Ada apa?" tanyanya berusaha tenang. Walau sebenarnya hatinya gugup, karena ia rasa ini sangat penting.

Neji terdiam sejenak. Ia memandang istrinya yang juga memandangnya lalu beralih ke Hinata.

"Aku sepertinya tidak berhak menyampaikannya. Minggu depan, ayahmu akan pulang. Mungkin ia akan membicarakannya denganmu." Hinata berusaha tenang. Ia mengangguk. Kalau sudah menyangkut sang ayah, ia yakin bahwa ini hal yang sangat penting. Tapi apapun itu, Hinata harus siap karena ia yakin akhirnya juga ia akan tunduk oleh ayahnya.

"Kalau begitu, aku akan siapkan makan malam saja." ujar Hinata.

"Kau bilang mau pergi dengan Hanabi? Sudah kau pergi saja, biar aku yang siapkan makan malam, Neji tidak makan banyak kok." Tenten mencubit pipi sang suami. Itu hal horror sebenarnya mengingat Neji orang yang sulit disentuh. Ia biasanya akan marah besar saat seseorang berani menyentuhnya dengan tidak sopan. Tapi lain dengan Tenten. Mencubit pipi, bahkan mengelus kepala neji merupakan kebiasaan baginya dan Neji tak akan protes. Mungkin karena itu Neji jatuh hati pada Tenten.

Hinata mengangguk mendengar Tenten lalu pergi ke kamarnya.

.

.

.

.

"Tadaima." Ucap seorang pria jangkung. Ia menghela nafas dan masuk ke dalam rumahnya. Melonggarkan dasi dan duduk di sofa rumahnya.

"Okaeri Naruto-kun. Kau pulang cepat, Nak." Sambut sang ibu. naruto hanya tersenyum dengan wajah lelahnya.

"Tou-chan belum pulang?" tanya Naruto. Sang ibu membawakannya segelas coklat panas, mengingat cuaca sangat dingin di luar. Ia menyerahkannya pada Naruto dan Naruto meminumnya sedikit demi sedikit.

"Tou-chanmu tidak akan pulang hari ini. mungkin 3 hari lagi. Hah.. sepinya rumah kalau tidak ada kalian." Ujar Kushina kecewa. Semenjak lulus kuliah, Naruto menjadi super sibuk seperti ayahnya. Mereka seperti gila kerja. Dan Kushina hanya di rumah dan tak melakukan apapun. Kadang ia membayangkan kedua pria yang ia cintai itu berkumpul di rumah. Tapi mungkin sebentar lagi itu akan terwujud.

Naruto merasa bersalah pada ibunya. Ia sangat mencintai wanita yang telah melahirkannya itu dan manamungkin ia ingin melihatnya sedih. Naruto meletakkan gelas berisi coklat panasnya dan menggenggam tangan sang ibu.

"Cuaca tidak terlalu buruk. Bagiamana kalau kita keluar? Sudah lama kan Kaa-chan tidak jalan – jalan denganku?" Kushina tersenyum lembut pada putra tunggalnya ini.

"Kau lelah Naruto-kun."

"Justru itu..aku butuh refreshing. Ayolah Kaa-chan..ya? kalau Ada Tou-chan kan nanti aku hanya jadi obat nyamuk." Naruto tersenyum lebar. Kushina terkekeh. Ia mengusap kepala Naruto dan mengangguk.

.

.

.

.

"Sebenarnya kau mau kemana, Hana?" tanya Hinata sambil mengemudikan mobilnya. Hanabi memadandang jalanan yang dipenuhi orang – orang. ia mencari ide, tempat apa yang cocok. Ia menoleh ke arah kakaknya.

"Aku ingin ke ..Citizen Plaza Ice Skating Rink... yayayaya?" Hanabi memerkan puppy eyesnya. Hinata pun terkekeh dan mengangguk. Ia tak bisa menolak permintaan sang adik yang amat ia sayangi ini.

Hinata merasakan handphonenya berbunyi. Ia mengaktifkan headset di telinganya dan mulai bicara.

"Moshi – moshi." Hinata tampak serius bicara. Hanabi jadi khawatir ia tak akan jadi ke Shinjuku.

"Ha'i." Hinata mematikan sambungannya. Hanabi mengerjapkan matanya lucu.

"Kita ke butik sebentar ya?" pinta Hinata. Hanabi mengangguk setuju. Hinata memiliki satu butik dan ia sendiri sebagai desainernya. Tak lama, mereka sampai di butik milik Hinata. Para pegawai memberi hormat pada Hinata dan Hinata tersenyum manis pada mereka. Hinata masuk ke ruang kerjanya, mengecek beberapa berkas lalu keluar melihat barang – barang koleksinya. Butiknya cukup ramai. Ia senang bisnisnya berjalan baik. Hinata melihat salah satu gaun rancangannya dan tersenyum. sedangkan Hanabi berkeliling melihat koleksi yang lain.

"Aw!" Hinata merintih kesakitan begitu sesuatu yang panas menyiram tangannya. Wajahnya memerah menahan sakit.

"G-gomenasai!" wanita itu meminta maaf pada Hinata sambil mencoba mengobati. Sebenarnya ia panik sekali. Hinata mengatur nafas dan melihat tangannya yang melepuh itu.

"Gomen..saya tidak sengaja." Ujarnya. Hinata tersenyum lembut.

"Daijobou. Ini tidak apa – apa. Ah, minuman Anda jatuh, saya akan ganti. Gomenasai." Ujar Hinata balik. Ibu itu mengernyit. Ia tak habis pikir dengan gadis di depannya ini. yang benar saja, yang salah siapa yang meminta maaf siapa.

"Tapi..tapi Nak..tangan Anda.."

"Nyonya..ini tidak apa – apa. Zui..tolong bersihkan ini ya, dan buatkan kopi yang baru untuk nyonya ini." ujar Hinata lembut.

"Ha'i Hyuuga-sama." Sang pengunjung menjadi tambah panik. Ia baru saja menyakiti seorang Hyuuga, pemilik butik ini.

"Nyonya bisa menunggu di kursi itu. mari saya antar." Ajak Hinata ramah.

"Kaa-chan? Kaa-chan kemana saja?" kedua wanita itu menoleh. Naruto membelalak.

"Eh? Hinata-san?" wajah Hinata memerah melihat pemuda di depannya.

"N-Naruto-s-senpai.."

"Naruto. Kaa-chan tidak sengaja menumpahkan kopi ke tangan nona ini..lihat, tangannya melepuh..aduh Naruto.." ujar Kushina panik. Naruto memperhatikan tangan Hinata yang melepuh.

"Tidak apa – apa...Nyonya, Naruto-senpai." Hanabi yang melihat Naruto langsung tersenyum jahil. Ia tahu kakaknya sudah lama menyukai pria itu. Ia pun berjalan pincang ke arah sang kakak.

"Nee-chan...sepertinya kita tidak jadi main ski..aduh. kakiku sakit." aktingnya. Wajah Hinata semakin memerah karenanya.

.

.

.

.

"Wah..jadi Hinata-san ini adik kelasnya Naruto-kun?" Kushina menyantap sup kentang di restaurant rekomendasi Hinata. Mereka berempat sedang makan bersama di sana.

"Iya nyonya. Naruto-senpai satu tingkat di atas saya." Jawab Hinata. Naruto hanya tersenyum saja. ia sudah selesai makan dan hanya memperhatikan ke 3 perempuan di depannya ini.

"Apa tanganmu baik – baik saja?" tanya Naruto pada Hinata. Hinata tersenyum kikuk dan mengangguk. Sebenarnya agak kesusahan juga karena ia memesan steak. Dari tadi Hinata hanya memakan kentangnya tanpa menyentuh dagingnya. Tangannya perih untuk memotong – motong. Naruto memperhatikannya dengan intens.

"Kalau boleh.." Naruto meminta garpu dan pisau Hinata. Hinata menyerahkannya tanpa berkata sepatah katapun. Naruto memotong – motong daging itu. melihat situasi seperti ini, Hanabi berdiri. Ia melirik Kushina sebentar.

"Aku mau pipis. Udaranya dingin sekali.."

"Hana! Bicara yang sopan!" tegur Hinata. Hanabi hanya tertawa kecil lalu berjalan ke toilet. Kushina nampaknya paham dengan yang dilakukan Hanabi.

"Naruto-kun, Kaa-chan mau menelpon Tou-chanmu sebentar." Kushina pergi dari sana. Hinata merasa mereka berdua merencanakan ini semua. Ia diam dengan muka merah padam. Semenjak SMA, ia selalu begitu saat bertemu Naruto.

"Maafkan Kaa-chan ku ya? gara – gara dia tanganmu jadi sakit begitu." Hinata terlonjak kaget. Ia tersadar dari lamunannya dan menatap Naruto yang masih memotong daging menjadi ukuran – ukuran yang pas dengan mulut kecil Hinata. Hinata menatap daging – daging yang sedang Naruto potong. Hatinya berdegup kencang karenanya. Ia tersenyum dan membayangkan mereka bisa lebih dari ini. ya..Hinata menaruh hati pada Naruto sejak SMA. Namun setelah Naruto lulus SMA,mereka jarang bertemu dan Hinata pikir perasaannya akan terkikis pelan – pelan. Namun ia salah, perasaan itu masih kuat tertanam di hatinya.

"Kan aku sudah bilang, tanganku tidak apa – apa." Ujar Hinata halus. Naruto selesai memotong daging dan menyerahkannya pada Hinata.

"Arigatou." Naruto tesenyum melihat Hinata.

"Kau masih lemah lembut, seperti dulu." Hinata mengunyah dagingnya pelan. Daging ayam halus ini terasa alot saat melihat Naruto tersenyum begitu padanya.

"Uhuk uhuk.." Naruto jadi panik. Ia memberikan minumnya pada Hinata dan Hinata minum sedikit demi sedikit.

"Senpai..ini minummu.." Hinata sedikit panik begitu tahu kalau yang ia minum adalah milik Naruto.

"Tak apa..minumu kan sudah habis." Wajah Hinata tambah memerah. Secara tak langsung, bibirnya bersentuhan dengan milik Naruto.

"Dan kebiasaanmu yang lain, selalu melamun kalau bertemu aku. Apa aku melakukan kesalahan?" Hinata terlonjak kaget. Ia menggeleng.

"Iie..Gomenasai.."

"Coba lihat tanganmu, sepertinya aku punya obatnya." Hinata mengulurkan tangannya. Naruto menyentuhnya dan melihatnya. Ia mengeluarkan sebuah salep dari tasnya dan mengoleskannya pada tangan halus Hinata.

"Aw.." rintih Hinata.

"Sakit ya?" Hinata mengangguk sedikit. Ia melihat ke arah jendela. Butiran – butiran salju turun sedikit demi sedikit.

"Yuki.." bisik Hinata. Naruto melihat arah pandang Hinata. Mereka melihat salju turun perlahan, itu sangat indah.

"Cantik ya?" tanya Naruto meminta persetujuan. Hinata mengangguk.

"Wah – wah..Naruto, ingat ya kau mengajak ibumu kemari." Kushina menginterupsi. Naruo melepas pegangan tangannya dengan Hinata.

"Apa – apaan." Kushina tersenyum saja melihat putra tunggalnya ini.

.

.

.

.

"Naruto..kaa-chan setuju lho kalau kau dengan Hinata-chan. Dia sudah cantik, baik, sukses..apa lagi yang kurang? Attitudenya juga baik.." Naruto menutupi wajahnya dengan bantal mendengar ocehan sang ibu. sejak bertemu Hinata, ibunya jadi sangat cerewet dan bersikeras ingin menjadikan Hinata sebagai menantunya. Yang benar saja. naruto bahkan hanya menganggap Hinata sebagai adik kelasnya saja.

"Kejar dia..ya Naruto ya?" pinta sang ibu. naruto menghela nafas berat. Ia mematikan penghangat ruangan dan beranjak dari ruang tengah.

"Aku tidak ada rasa padanya, Kaa-chan." Ujar Naruto. Kushina berkacak pinggang.

"Lalu kapan kau akan menikah?" sungguh itu pertanyaan paling mematikan untuk Naruto. Ia bahkan belum memiliki kekasih, ibunya sudah memintanya untuk menikah? Yang benar saja. ia tidak merasa Hinata akan cocok untuknya.

"Kalau sudah waktunya, Kaa-chan. Jangan tanya seperti itu lagi atau aku akan jadi bujangan seumur hidup." Naruto meninggalkan ruang tengah, meninggalkan ibunya yang asyik melihat televisi.

.

.

Naruto merebahkan tubuhnya di kasur. Sejujurnya ia memikirkan pertemuannya dengan Hinata. Kenapa ibunya bersikeras ingin ia dengan Hinata? Padahal sang ibu tahu kalau ia dekat dengan gadis lain. naruto menolehkan kepalanya ke kiri. Terdapat foto besar terpampang berisikan 3 anak kecil yang tersenyum bersama. 2 laki – laki dan 1 perempuan. Mereka tampak sangat bahagia. Mereka berangkulan dan tersenyum khas anak kecil. Di sebelahnya terdapat foto ketiga anak tadi yang sudah beranjak remaja. Si perempuan tersenyum manis dan 2 anak laki laki di kanan dan kirinya. Yang satu memamerkan wajah konyolnya, yang satu tersenyum cool. Satu lagi foto menampakkan 3 anak tadi sudah semakin dewasa. Mereka dengan seragam SMA berfoto bersama. Si gadis merangkul kedua pria itu penuh kasih sayang.

Naruto mengurutkan foto – foto tersebut dengan senyuman diwajahnya. Namun semakin ke kanan, semakin berpindah dinding, senyumnya kian memudar. Tak ada lagi ketiga anak itu. hanya 2. 2 orang dengan gender yang berbeda, berfoto dengan senyum yang dipaksakan. Dapat dilihat wajah si wanita sangat tak bersemangat. Tak ada aura hangat dari foto itu. dingin dan sepi yang menguar. Naruto menatapnya nanar. Foto terakhir tak secerah foto – foto sebelumnya.

"Sasuke.." bisik Naruto. Ia memejamkan matanya. Mengingat masa kecilnya bersama kedua sahabatnya. Sahabat yang amat ia cintai. Dan gadis yang amat ia cintai.

"Sakura.." bisiknya. Naruto tahu ia tak bisa melakukan apapun. Sebesar apapun ia mencintai Sakura, nyatanya Sakura hanya melihat Sasuke. Namun Naruto tak pernah mengeluh. Ia terus berdiri, selalu ada untuk dokter muda itu. baru saja dipikirkan, handphone Naruto berbunyi. Naruto melihat siapa sang pemanggil. Ternyata gadis pujaan hatinya.

"Moshi – moshi.." ujar Naruto.

"Baka! Kau ini lama sekali sih!" naruto langsung menjauhkan handphone itu dari telinganya.

"Ya! tak usah berteriak!" balas Naruto.

"Heh..besok jangan lupa jemput aku.. kau tidak lupa kan?" Naruto memeluk guling.

"Salju sudah turun, besok mungkin tidak kerja. Kau libur saja."

"Kau pikir pekerjaanku ini apa?!" untuk ke sekian kali Naruto menjauhkan handphone dari telinganya.

"Ish..Sakura-chan, aku rasa kau cocok bekerja di kepolisian, bagian pengepungan penjahat."

"Jangan main – main baka!" Naruto tertawa karena berhasil mengerjai sahabat karibnya ini.

"Iya...aku tidak lupa. Besok mampirlah ke rumah. Bawakan ramen sekalian."

"Ish ish.. iya iya.. jangan lupa..jam 2 siang. Kau tidak ada kencan kan?" Naruto mengernyit.

"Kenapa? Kau cemburu?" tanya Naruto. 0.5% dari dirinya yakin kalau Sakura berkata iya.

"Tentu saja tidak baka. Kalau kau kencan berarti kau ajak teman kencanmu menjemputku..hahahaha.." Naruto memutar bola matanya.

"hahah..yang benar saja." Naruto mendesah kecewa. Ia sebenarnya tahu bahwa Sakura tidak mungkin cemburu.

"Ya sudah, tidurlah yang nyenyak. Hidupkan penghangat ruanganmu kalau salju sudah turun. Jaa ne.." Naruto hanya tersenyum. Ia menutup sambungan dan melempar handphonenya ke sebelah.

"Jaa ne Sakura-chan. Oyasuminasai.." setelahnya Naruto memejamkan matanya. Bersiap untuk kerja esok hari. Dan juga menjemput Sakura di bandara.

Ya..gadis cantik itu sedang ada urusan di daratan Eropa, dan akan pulang besok. Maka dari itu ia meminta Naruto untuk menjemputnya.

TBC..


The end of Chapter 1..

Konnichiwa..! ini ff pertama saya yang saya publish, harap maklum ya kalau bahasanya masih amburegul dan sangat amatir, juga jalan cerita yang masih absurd ^_^

last word, i hope you don't mind to review, seikhlasnya aja :D thanks for reading