Apakah benar bahwa semua orang memiliki talenta?
Ataukah teori itu hanya diciptakan semata-mata untuk membuat mereka yang tidak memiliki talenta merasa lebih baik?
Menciptakan sendiri sebuah 'talenta' dari kerja keras sendiri… dan pada akhirnya, 'talenta' mereka masih tidak bisa menandingi mereka yang benar-benar memiliki talenta.
Apakah talenta itu berasal dari hobi?
Apakah talenta kita juga bisa ditemukan pada hal yang kita benci sekalipun?
Talenta… Talenta…
Apa itu sebuah talenta?
Bila seorang pekerja keras melatih kemampuannya sedemikian rupa sehingga ia menjadi ahli di bidang tersebut, apakah dia bisa dibilang memiliki talenta di bidang itu?
Kalau begitu, bukankah tidak adil bila seseorang yang tidak berusaha sama sekali dan seseorang lain yang berusaha keras memiliki level kemampuan yang sama di bidang itu?
Aku tidak tahu lagi…
…
"AAAAAaarrghh!" seruku layaknya seorang petarung yang bersiap untuk mengeluarkan jurus overpowered-nya. Tidak lama setelah itu, dinding kamarku bergetar.
"BERISIK, DASAR ANAK SIALAN!"
Mendengar suara itu, aku terdiam. Ingin sekali kubalas kembali bentakkan tersebut, namun apa yang dia katakan memang benar… seorang anak yang baik tidak seharusnya teriak-teriak di kos.
Aku menghela nafas panjang, lalu memutuskan untuk kembali menutup mataku sambil dengan kasar merangkul gulingku tercinta.
Namaku Kaito Shion, seorang pesimis kelas mungkin-di-atas-rata-rata-dikit-tapi-gak-yakin-juga. Umur 18 tahun. Anak kuliah semester 1. Jurusan : IT.
Beberapa menit yang lalu, aku baru saja memposting sebuah gambar gaya anime-manga yang menurutku agak lebih lumayan dibandingkan dengan gambar-gambar sampahku yang sebelumnya di sosial mediaku. Sekitar tiga menit sebelum aku sampai pada kondisi ini, aku membaca satu komentar yang temanku tulis di gambar tersebut.
Tulisannya :
"Matanya kegedean."
Setelah itu, aku langsung mengurung diri di bawah tumpukan selimut sambil mempertanyakan kemampuanku sendiri dan arti hidup.
Ya, aku tidak memiliki bakat menggambar. Gambarku sampah, tapi aku suka menggambar, jadi aku terus melakukannya. Walaupun aku sudah terus menerus mencoba mengasah kemampuanku ini, gambarku tetap saja sampah… yang meningkat hanyalah kualitas sampahnya. Untuk gambar tadi, aku rasa aku akan menilainya sebagai sampah bintang 2,5.
Teman-temanku yang lain memiliki gambar yang sangat bagus, dan kolom komentar mereka selalu dipenuhi oleh pujian-pujian dan squealing dari para fans mereka.
Dan tentu saja, kolom komentarku tidak pernah berisi hal-hal seperti itu.
Ah, tapi aku sadar, 'kok! Kalau aku tidak pantas!
...Namun dengan seluruh keegoisanku, aku ingin ada satu orang saja yang setidaknya sudi menyemangatiku untuk terus belajar.
Heh, tapi rasanya aku juga tidak ditakdirkan untuk terus menggambar.
Lagipula kemampuanku tidak akan pernah… mencapai level yang sama dengan mereka yang memiliki bakat menggambar.
Karena aku tidak berbakat.
…Aku tidak berbakat… Tapi aku masih mau menggambar, dan aku masih mau mempublikasikan karyaku ke dunia maya.
Yah, walaupun postingan itu akan lebih cocok masuk dalam kategori shitposting sih… Toh gambarku pada akhirnya hanya akan mengotori laman web mereka yang melihatnya.
Aah… Rasanya jadi malas menggambar lagi.
Semua gambar yang dulunya kubanggakan sekarang hanya menjadi sampah belaka karena semua orang dengan rajin mengkritik kesalahan-kesalahan yang ada di gambar itu, dan mataku pun telah terbuka atas semua keburukannya. Tentu saja, kritik-kritik itu kugunakan sebagai referensi untuk gambarku selanjutnya, tapi kesalahan-kesalahan baru terus muncul.
Rasanya semua usaha yang telah kukeluarkan sia-sia.
Tidak ada perubahan yang signifikan antara gambarku pada tahun 2013 dan tahun 2016.
Semuanya masih sampah.
Sampah!
Seraya mengutuk diriku sendiri, kupeluk gulingku dengan lebih erat.
Gambarku adalah yang terburuk – terburuk di antara semuanya.
…
Setelah membuang-buang waktu membenci diri sendiri, aku memutuskan untuk kembali menggunakan komputerku.
Aku kembali menelusuri sosial mediaku, dan kutemukan gambar-gambar orang lain.
Oh? Ada gambar seorang pemula.
Jujur saja, menurutku gambar tersebut sekilas terlihat seperti gambar seorang anak SD, tapi pada saat yang sama, aku bisa melihat adanya unsur estetika di dalamnya.
Mari kita lihat… Gambar diposting 5 jam yang lalu, tidak ada favorit, tidak ada komentar.
Tanpa pikir dua kali, aku langsung menekan tombol favorit dan menuliskan sebuah komentar untuknya :
"Menurutku gambarnya sudah tergolong bagus untuk seorang pemula, tapi masih bisa ditingkatkan lagi. Masih banyak potensi untuk berkembang dan aku rasa kamu memiliki bakat. Kerja yang bagus! Keep it up!"
…Seperti yang mereka bilang, perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain memperlakukanmu.
Eh, tapi orang itu memang pantas mendapatkan pujian itu. 'Harga' dari gambarnya masih jauh lebih tinggi daripada gambarku, karena aku bisa melihat kalau usahanya cukup besar untuk membuat gambar tersebut… sedangkan aku? Usahaku kurang. Tentunya artist-artist lain mengeluarkan usaha yang jauh lebih besar dibandingkan denganku, karena aku bisa melihat usaha mereka yang tercurah dalam bidang gambar itu.
Gambarku tidak mencerminkan usaha apapun. Gambarku terlihat seperti sebuah gambar yang dibuat oleh seorang pengangguran yang sedang bosan lalu mulai mencorat-coret di atas kertas. Dengan kata lain – sebuah gambar yang tidak memiliki harga. Sampah.
Aku tidak heran kenapa semua temanku mendapatkan setidaknya satu komentar penyemangat tapi aku tidak pernah mendapatkan satupun. Tentu saja, karena usahaku masih kurang.
…Mungkin lain kali aku harus menggunakan referensi lebih banyak? Warna yang lebih bervariasi? Teknik yang lebih rumit?
Sebaiknya aku tidak memposting karyaku dulu sebelum aku benar-benar yakin bahwa kualitas gambar itu setidaknya telah mencapai sampah bintang 3,5.
Ah, sial. Aku harus berhenti memikirkan semua ini. Lebih baik aku mulai mengerjakan tugas kuliahku.
Setelah mengosongkan pikiranku, aku membuka vcexpress* dan mulai coding… selayaknya seorang mahasiswa IT yang baik. (*vcexpress = Visual C++ 2010 Express, program buat coding)
Ada banyak orang yang bertanya: kalau aku suka menggambar, kenapa aku masuk jurusan IT?
Jawabannya simpel.
Karena walaupun aku suka menggambar, aku tidak memiliki bakat dalam bidang tersebut, sehingga akan susah bagiku untuk mendapatkan penghasilan dari menggambar. Lalu karena perusahaan saat ini banyak yang membutuhkan orang di bidang IT, maka aku berpikir bahwa mengambil jurusan IT adalah pilihan yang bijak untuk orang sepertiku. Well, setidaknya codingan-ku tidak akan dikritik kalau programnya bisa berjalan lancar tanpa error… iya, 'kan?
"Kaitong sampah! Warmindo* yuk!" (*Warung makan Ind*mie)
Mendadak ada ketokan di pintuku diiringi oleh sahutan seorang Gakupo.
"Males! Tugas belum kelar!" sahutku kembali.
Mengikuti akhir dari jawabanku, Gakupo langsung masuk ke kamarku tanpa diundang.
"Udaaah! Coding bisa nanti! Lagian gampang juga soalnya!" hasut lelaki surai ungu itu, "Sekarang makan warmindo dulu, refresh otak!"
"Refresh dari mana? Yang ada otak ke-shut down! Ind*mie bikin bego, oi!" balasku.
"Ah, itu hoax, gan! Hoax! Ind*mie gak bikin bego, cuma makannya dikasih jarak minimum tiga hari sekali biar zat lilinnya bisa kecerna tubuh! Dia ada kandungan vitamin sama zat-zat yang bisa menuhin asupan gizi sehari-harinya! Produsennya aja ngasih dia slogan 'Makanan Indonesia Penuh Gizi'! …Walau ada MSG-nya," terang Gakupo.
"…Udah riset, ya?" tanyaku.
"Aku emang suka nyari informasi random di internet, kau lupa?" jawabnya.
Ah, ya. Gakupo Kamui, seorang teman sejurusan yang juga se-kos. Sejauh ini, aku bisa melihat bahwa ia adalah orang yang berbakat di bidang IT karena logikanya bagus. Ia juga memiliki pengetahuan yang cukup luas karena ia suka penasaran dan akhirnya mempelajari berbagai hal; baik itu dari internet, buku, jurnal, koran, sampai acara televisi. Satu kata yang bisa digunakan untuk mendeskripsikannya adalah "pintar". Penampilannya juga tidak terlalu buruk. Sepertinya sudah ada beberapa mahasiswi yang tertarik untuk mendekatinya. Sangat tolak belakang dariku yang dibawah rata-rata dalam hal pengetahuan dan penampilan. Oh, dan baru-baru ini sepertinya dia diterima masuk pelatihan tahap dua menjadi asisten lab.
"Ayo warmindoooo!" lanjutnya sambil memposisikan dirinya di belakangku. Lalu dengan satu tangan tertopang di bahu kananku dan satu tangan menunjuk ke layar, ia dengan santainya berkata, "Kodenya gak efektif. Kalau pakai metode itu, memorinya bakal kepake terlalu banyak. Ganti sana."
…Hah.
…Dia… mengkritik… kodeku….
"…AAAAAaaRrrggHHHhhh!" seruku.
"BERISIIIIK!" sahut orang sebelah, tak lupa memukul dinding. Setelah itu, aku memerosotkan kepalaku dan menidurkannya di atas keyboard. Tenang saja, aku hanya melayangkannya di atas keyboard. Aku tidak mau laptopku rusak karena aku menidurinya secara literal.
"Kenapa?" tanya Gakupo tidak mengerti.
"…Tidak apa-apa. Ayo warmindo," jawabku lesu.
"Oke," jawabnya singkat, lalu ia melangkahkan dirinya keluar kamar dan menungguku. Aku pun memakai jaket putih-biruku dan bergabung kembali dengan Gakupo di luar. Usai mengunci kamar kosku, aku mengekor temanku menuju warmindo terdekat.
…
Lokasi : Warmindo
Waktu : Jam 11 malam
"Kau mau pesan apa?" tanya Gakupo padaku.
"Ah? Aku tidak makan. Aku hanya malas di kos, jadi aku ikut saja," jawabku. Ya, kritik tadi membuatku malas coding lagi, sama seperti halnya kritik sebelum ini membuatku malas menggambar lagi. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk memiliki kemampuan apapun.
Ia terdiam sebentar, lalu menoleh ke mas-mas penjual Ind*mie dan berkata, "Ind*mie goreng pedes dua bungkus gabung jadi satu, sama Ind*mie goreng biasanya sebungkus satu. Oh, terus teh tawarnya dua gelas."
Karena aku juga jadi agak pusing sendiri mendengar pesanan itu, aku tidak mendengarkannya sampai akhir dan juga tidak menanyakan apapun, sampai akhirnya pesanan datang dalam wujud dua piring. Piring yang satu berisi dua kali lipat piring satunya dan terdapat dua gelas teh tawar. Merasa bahwa salah satu piring dan salah satu gelas ditunjukkan untukku, aku bertanya singkat, "Hah?"
"Ind*mie gorengnya yang porsi sebungkus sama teh tawar segelas untukmu. Kutraktir," jawabnya.
"Hah? Kok bisa? Kenapa?" tanyaku lagi.
"IDK, man. You just looked so friggin' miserable that I wanted to help or somethin'," jawabnya dengan Bahasa Inggris. Ah, ya. Dia juga suka memakai Bahasa Inggris ketika berbicara… Ia terlalu banyak bergaul dengan manusia-manusia negara asing, sepertinya. Terjemahannya kurang lebih seperti ini: 'Aku tidak tahu. Kau terlihat sangat menyedihkan sehingga aku ingin membantu.'
…Oke, apakah aku harus menjawabnya dengan Bahasa Inggris juga? …Uhh, OK then. English it is, I guess.
"I'm not. I'm fine. F*ck you," jawabku. (Terjemahan: "Tidak. Aku baik-baik saja. Tai kucing kau.")
Yah, kemampuan Inggrisku dan aksenku juga tidak sebagus Gakupo, jadi aku akan cari aman saja dan menjawabnya dengan simpel. Aku tidak mau orang-orang di sekitarku merasa jijik mendengarku berbicara dengan Bahasa Inggris.
"Look, I don't know what happened and I can't force you to tell me. So just relax and have some Ind*mie," balasnya. (Terjemahan: "Lihat, aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku tidak bisa memaksamu untuk memberitahukannya kepadaku. Jadi santai saja dan makanlah Ind*mie.")
"…'Kay, if you insist," balasku*, menerima traktirannya. (Terjemahan: "…Oke, kalau kau bersikeras.") (*Bagi yang ngerti Inggris, ini juga termasuk pun~ *winkwink)
...Lalu aku merasakan ada banyak mata yang tertuju kesini.
Ah, ya… Tidak setiap hari kamu bisa melihat dua anak kos yang nongkrong di warmindo terus ngobrol pakai Bahasa Inggris. Kesannya mungkin seperti dua bocah kampungan yang mau kelihatan sok jago Bahasa Inggris jadi pamernya di warmindo setempat.
Menyedihkan sekali… Terutama diriku.
Aku yakin orang-orang yang mendengarkan perbincangan tadi berpikir bahwa Gakupo adalah seorang professional dan aku hanyalah seorang bocah ingusan yang hanya ikut-ikutan saja.
Haha… Ya, pasti mereka berpikir begitu. Mungkin aku harus berusaha lebih lagi untuk melatih kemampuan berbahasa Inggrisku, agar setidaknya aku tidak… terlihat memalukan ketika melakukannya.
Aku memakan Ind*mie-ku dengan lesu… pada awalnya. Tapi karena enak, ujung-ujungnya aku menghabiskannya dengan lahap. The magic of Ind*mie is real.
"Gimana? Udah ke-refresh?" tanyanya. Sepertinya memakan Ind*mie telah mengkonversi dirinya kembali menjadi orang Indonesia.
"Hah? Ya, tentu saja," jawabku, "Energiku telah terisi penuh, jadi kurasa ini adalah waktu yang tepat untuk nge-game lagi."
"Benar sekali! Waktunya nge-game! …Tidak, tidak. Sebaiknya kamu selesaikan dulu tugasmu itu," balas Gakupo layaknya teman yang baik, "Setelah itu chat aku saja. Nanti kita multi."
'Sial, kenapa dia baik sekali?!' umpat benakku, 'Ah, tapi mungkin itu adalah hal yang semua orang lakukan… Karena aku adalah anak paling malas dan buruk sepanjang sejarah! Sampah sejati!'
"Baik, ibu," jawabku sambil menyengir, "Bagaimana kalau kamu ajari aku tentang metode yang lebih efektif itu?"
"Haha, baiklah. Bu Gakupo ada disini untuk membantu mereka yang sesat!" guraunya.
Dengan itu, kami pun kembali ke kamarku.
.
Disana, ia mengajariku tentang berbagai macam hal yang tidak kuketahui sebelumnya… Eh, tunggu. Kenapa kalimat itu terdengar sangat ambigu? Ini tentang coding! Coding!
"Oke… Sepertinya aku paham sekarang," kataku, "Terima kasih sudah mau mengajariku."
"Ya, kuharapkan kapan-kapan kau akan mentraktirku juga," balasnya, "Jasaku tidak gratis, kau tahu itu, 'kan?"
"Hahaha! Ya, tentu saja. Aku akan mentraktirmu sebungkus Ind*mie tiga hari lagi!" balasku setengah tertawa.
"Heh, baiklah. Akan kutagih kata-katamu itu tiga hari lagi!" balasnya kembali.
Setelah tawa kami mereda, dengan seirama kami melihat jam meja yang berada di sebelahku.
Waktu : Jam 12.55 subuh.
"…Oi, Kaito. Kelasmu mulai jam berapa besok?" tanya Gakupo.
"Err… Jam 7 pagi…" jawabku.
"Kalau begitu kita sama. Lebih baik kita tidur sekarang," usulnya, "Aku akan menggedor-gedor pintu kamarmu besok jam setengah tujuh… jaga-jaga kalau kau kebablasan tidur lagi."
Oh, ya. Aku pernah bangun pada jam 7.45, mematikan semua alarm yang ada, tidur lagi sampai jam 10, lalu bangun dan panik.
"Oke, oke. Aku akan mengandalkanmu besok," jawabku.
"Sip. Ya sudah, aku pergi dulu. Cao!" pamitnya. Tanpa menyisakan waktu sedikitpun untuk mendengar balasanku, ia pergi. Yah, aku sudah terbiasa dengan hal itu, sih. Gakupo memang jagonya dalam membuat perpisahan-perpisahan yang anti-klimaks. Bahkan pada waktu itu, ada kejadian seperti ini…
Lokasi: Kampus
Kaito: "Hmm, kayaknya aku pulang dulu deh."
Gakupo: "OK."
Lalu dia langsung pergi.
Dia.
Langsung.
Pergi.
Entahlah, menurutku perpisahan seperti itu sangat anti-klimaks dan cukup awkward. Tapi ya, mungkin dari sana aku bisa membuat sebuah fic comedy dan memasukkan bahan lelucon itu kedalamnya. Sepertinya akan lucu. Tidak tahu juga, sih. Toh, sense of humor-ku tergolong buruk dan receh.
Setelah itu aku langsung menguap, seakan-akan tubuhku sedang mengingatkanku untuk tidur.
"Baiklah, selamat tidur," kataku – tidak ditunjukkan kepada siapapun melainkan diriku sendiri.
…
Today's Report
Hari yang cukup biasa-biasa saja. Aku mungkin agak beruntung hari ini karena aku tidak terlibat dalam kecelakaan apapun. Tapi seperti biasanya, aku masih sampah pada hari ini juga.
