Disclaimer : Naruto - Masashi Kishimoto
ANSWER OF THE WIND
Chapter 1
Amethyst and Deja vu
.
.
"Serbuk bunga itu selalu mengikuti kemana pun angin membawanya. Dia tidak peduli akan jatuh dimana, ke tanah liat, ke pasir, ke kolam bahkan tumpukan sampah, dia tetap mengangguk. Sama seperti perasaanku padamu. Bagaimanapun masa depan nantinya, aku akan tulus mencintaimu," bisiknya disamping telingaku.
"Angin yang mengelilingi kita menyiratkan dukungannya pada cinta kita. Namaku dan namamu sudah diikatnya hingga ke pelosok bumi." Dia menggenggam tanganku dibawah ayunan angin pantai.
"Apakah kau bersedia menerima tanganku?" Tanyanya lembut. Senyuman tersungging di bibirnya.
"Kali ini, jangan panggil aku dengan nama keluargaku. Katakan nama depanku," pintanya dalam pelukan.
"Namamu... S-"
.
.
Sakura POV
"Akh!"
Ruanganku gelap. Aku terjaga dari tidurku. Keringat dingin mengalir disisi kulitku. Rambut, dahi, leher, lengan dan punggungku basah. Kepalaku terasa berat. Hujaman jarum menusuk otakku. Mimpi itu membuat kepalaku sakit. Dia sering kali menghantuiku.
Sial!
Aku meraba-raba lampu tidurku. Tombol On dan off. Clek! Cahaya kuning merengkuh ruanganku. Masih jam dua dini hari. Kedua kakiku turun. Tanganku meremas kepalaku. Aku berjalan lunglai menuju meja riasku. Membuka salah satu laci kayu itu. Bungkus obat berwarna putih itu berada di genggamanku.
Aku membuka bungkus obat pereda rasa sakit itu. Satu buah tablet bertengger ditengah lidahku. Kuteguk air sedikit demi sedikit agar dia terhanyut dalam kerongkonganku.
Pagi ini aku akan pindah ke kota Suna.
.
.
Tumpukkan koper menyatu dalam dorongan troli. Ada tiga buah koper besar. Hitam, hitam dan hitam. Aku mendorong troli itu dengan pelan. Didepanku banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang, sama sepertiku mereka juga membawa kopernya. Aku menuju pintu keluar. Suara wanita dewasa menyampaikan informasi kedatangan pesawat. Formal dan lembut.
Roda-roda troliku berhenti. Aku yang memaksanya. Aku mengikuti barisan orang-orang yang mengantri taksi. Aku melirik jam tanganku. Jarumnya menunjukkan angka 10:24 AM. Aku menutup mulutku yang menguap. Aku kurang tidur.
Taksi hitam sudah menyapaku. Memintaku untuk segera duduk dibangku belakangnya. Koper-koper volume besarku sudah masuk kedalam bagasinya. Si pengemudi mengucapkan salam padaku.
Ini kota Suna.
Dibalik kaca mobil, aku mengamati seksama gedung-gedung pencakar langit. Bangunan mondern itu berbalut warna silver. Sinar matahari terpantul disetiap sudut kaca-kacanya. Sepertinya diluar panas sekali.
Banyak pasir-pasir yang menyelimuti kota ini. Hanya sedikit pohon dan juga tanaman hias, tidak seperti kota Konoha. Apakah aku bisa beradaptasi disini dengan baik. Semoga saja.
Di kota ini, aku akan bekerja di sebuah perusahaan minyak. Tepatnya besok. Divisiku dibawah nama Supply Chain Management. Aku akan ditempatkan pada sebuah warehouse. Seorang leader warehouse membutuhkanku sebagai bawahannya.
Taksi yang kutumpangi mengerem pelan. Aku berada disebuah lobby apartemen. Ini akan menjadi tempat tinggal baruku. Supir taksi itu membantu menurunkan satu persatu koperku. Beberapa lembar uang aku berikan padanya sebelum dia pergi. Tak lupa, ucapan terima kasih aku lontarkan.
Kunci dan kartu apartemenku sudah berada dibalik tas sandangku. Ayahku yang mencarikan apartemen terdekat dengan lokasi kerjaku. Katanya, ini hanya tersisa satu.
Disampingku ada seorang pria. Dia juga membawa barangnya. Tidak banyak. Hanya satu ransel dan satu kardus tidak terlalu besar. Beberapa penggaris yang menjulur itu menyapaku. Pintu lift terbuka. Aku dan dia sama-sama masuk. Hanya berdua. Kami sama-sama mengulurkan tangan dipilihan tombol lantai. Tangannya terlebih dahulu menekan lantai nomor 31. Aku batal menekan tombol itu. Lantaiku juga ada di nomor yang itu.
Aku mencuri pandang. Ku perhatikan setiap rincinya disudut lensaku. Dia rupawan, itu yang terlintas dibenakku. Aku menggeserkan bola mataku. Aku berhenti. Menyipitkan mataku pada jari telunjuk ditangan kanannya. Ada sebuah cincin dengan batu amethyst kecil melingkar disana, tebakku. Berwarna ungu gelap.
Aku menyangkutkan rambutku pada telingaku.
Deja vu.
Dia memergokiku. Bentuk mata yang tajam. Dingin atau hangat. aku tidak tahu. Bibirnya naik sedikit. Senyum atau bukan. Sulit dibaca.
Otot bibirku melipat kedalam. Chelsea boots kuamati. Aku malu.
Kanan kiri papan besi itu bergeser. Mereka memberikan ruang bagi kami untuk keluar. Kami sudah sampai di lantar 31. Dia yang aku tidak tahu namanya berjalan mendahuluiku. Aku dibelakangnya, seperti ekornya.
Angka per angka tertera. Aku dan dia melewati angka itu. Bukan tujuanku. Dan bukan tujuan dia, mungkin. Aku ingat milikku di angka berapa.
Dia menoleh kebelakang. Melirikku. Aku tidak menguntitnya.
319.
Dia berhenti didepan pintu itu. Tangannya merogoh sesuatu.
"Maaf, sepertinya Anda salah pintu apartemen," ucapku sopan saat dia mengeluarkan kuncinya.
Dia mengabaikan ucapanku.
"Maaf, Tuan. Sepertinya Anda salah pintu apartemen," kataku kembali mengingatkannya.
Dia mengalihkan pandangannya padaku. Kunci yang hendak berputar itu berhenti. "Tidak," ucapnya dingin.
"Nomor apartemenku 319," protesku. Aku menahan pergelangan tangan.
Dia mengamati wajahku seksama. "Aku tinggal disini," ujarnya meremehkanku.
Dia menunjukkan nomor yang tertera di kuncinya itu. 319. Itu angka yang sama dengan nomorku. Bagaimana bisa? Ayahku menyewa apartemen ini, kan?
"Aku juga disini! Lihat!" Aku menunjukkan nomorku padanya.
Dia melihat angka yang aku tunjukkan. "Kebetulan sekali," ucapnya. Dia berseringai. Tangannya dengan sigap mencengkeram pergelangan tanganku. Kunciku diambil paksa olehnya. Dia memasukkan kunciku pada saku celananya.
"Kembalikan kunciku!" Teriakku kesal.
Sial! Dia mengacuhkanku!
"Kau memancing emosiku!" Kesalku padanya. Ubun-ubunku memanas. Dia mencari masalah padaku.
Aku menahan kenop pintu dan tangannya. Aku memelototinya. Kudorong tubuhnya kesamping. Dia tidak bergeming. Kami saling berebutan. Sial! Pintunya terbuka. Dia masuk. Aku menarik kuat lengan kemejanya.
Bruk!
Kardus yang dibawanya terjatuh. Alat-alat tulisnya berantakan dilantai. Dia mendorong tubuhku hingga terhentak ke dinding. Satu tangannya mencengkram tanganku. Hidungnya hampir menempel dihidungku.
"Aku sampai disini duluan! Itu artinya aku raja! Kalau kau keberatan, Kau bisa tidur diluar!" Dia menggertakku. Sorot matanya begitu tajam.
"Kau pikir kau siapa? Ayahku sudah membayar sewa apartemen ini," Aku tidak takut padanya.
Dia terkekeh. Seperti meremehkanku. "Kau tanya aku siapa?" Dia berseringai, "kau akan tahu nanti."
"Sombong sekali." Aku berusaha melepaskan cengkramannya.
Dia tertawa mengejek.
"Kau tidak punya pilihan. Ini satu-satunya apartemen yang tersisa. Tinggal disini atau pergi, itu urusanmu." Dia menggertakku, lagi.
"Aku punya hak tinggal disini!" Aku membalas tatapan liciknya.
"Jadi kau memilih untuk tinggal bersama?" Dia berseringai. Dia menyentuh daguku. Menaikkan wajahku.
"Jangan harap kau bisa menyentuhku." Aku menepis tangannya. Aku berusaha galak padanya.
"Aku tidak suka persepsi negatifmu. Dan lagi, Aku tidak tertarik pada wanita," bisiknya tepat disamping telingaku. Nafasnya menghembus wajah sampingku.
"Oh, kau gay," Cibirku. Aku berseringai licik.
"Entahlah." Dia membalas seringaiku. Tangannya mengacak kepalaku.
Dia menjauh dariku. Berjongkok dan menyusun kembali alat-alat tulisnya. Memasukkan kedalam kardusnya.
"Kesan pertamaku, aku tidak menyukaimu!" Aku melipat kedua tanganku.
Dia menoleh kearahku, "terima kasih." Kembali dia berseringai. Dia berjalan meninggalkanku. Masuk kedalam salah satu bilik ruangan dan menutup pintunya keras.
"Siapa dia?!" Kesalku. Tanganku mengepal keras.
Aku berjalan keluar. Mengambil koper-koperku yang tergeletak didepan. Kembali kedalam dan menutup pintu itu keras.
.
"Ayah, kenapa ada orang lain yang juga satu apartemen denganku? Itu kesalahan pihak apartemen atau bagaimana?" Tanyaku pada ayah. Aku sedang menelpon ayahku.
"Itu bukan kesalahan pihak apartemen. Itu murni pilihan ayah," kata ayahku.
"Hah? Jadi ayah membiarkanku tinggal dengan lelaki yang tidak aku kenal? Apakah ayah tidak berpikir jika dia bisa saja melakukan tindakan pelecehan padaku?"
Aku benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir ayahku. Dia membiarkanku tinggal dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal. Apa yang sudah dipikirkan ayah.
"Sakura, dengarkan ayah. Pria itu Sasuke. Dia adalah anak dari teman ayah. Sekarang kau berada di negeri orang. Ayah masih khawatir dengan kondisimu. Ayah tidak punya pilihan lain. Harus ada orang lain yang menjagamu. Kebetulan dia juga sedang ditugaskan di Suna," jelas ayah melalui sambungan telepon.
"Kenapa ayah tidak mengatakannya padaku sebelumnya? Ayah bisa berdiskusi denganku sebelumnya." Aku tidak terima.
"Kau pasti tidak terima jika ayah mengatakan sebelum kau pergi. Ayah ingin ada orang lain yang mengawasi kondisimu," ujar lembut ayah.
"Aku paham kondisiku. Aku baik-baik saja. Jika ada keganjalan, aku akan langsung kerumah sakit." Aku membela diriku sendiri.
"Sakura, mengertilah. Ayah benar-benar mengkhawatirkanmu. Ayah yakin, dia orang yang baik. Dia akan menjagamu. Percayalah." Ayah memohon padaku.
"Tapi-"
"Ayah sudah mengeluarkan banyak uang untuk membayar sewa apartemenmu. Jangan menyia-nyiakan uang ayah. Bersikaplah dewasa."
Aku menghelakan nafasku. "Baiklah, aku mengerti."
Aku memutuskan sambungan teleponku. Sejujurnya, aku tidak suka dengan pemikiran ayah. Aku sudah dewasa. Aku tahu mana yang sakit mana yang tidak. Aku bisa mendeteksi kesalahan tubuhku dengan cepat. Aku tidak butuh orang lain untuk menjagaku.
Sudahlah. Aku tidak mungkin mengeluh terus-terusan. Mood-ku harus kuperbaiki.
Koper-koperku sudah kosong. Isinya sudah aku pindahan kedalam kotak persegi besar itu. Meja yang masih kosong disudut itu belum aku tata. Aku lelah. Aku meningkatkan suhu pendingin udara. Suhu di Suna cukup panas.
Aku mengambil sebuah peti kecil. Terbuat dari kayu dan warnanya juga sudah terlihat kusam. Aku membawanya dalam pangkuanku. Penutupnya mulai terbuka. Isinya bukanlah barang-barang mahal, itu hanya koleksi kalungku.
Liontin bermata gelap tua menarik perhatianku. Aku mengambil kalung itu. Rantainya melingkar disela-sela jariku. Kuarahkan tepat dibawah pantulan sinar matahari yang masuk melalui jendela kamarku. Warna ungunya menjadi lebih cerah. Tembus pandang. Aku tersenyum. Kata ayahku, itu salah satu benda berhargaku.
Lama mengamati indahnya sisi permata itu, aku teringat akan cincin yang dipakai pria-satu-apartemenku. Miliknya sangat mirip denganku. Bentuk, warna dan batu yang sama.
"Amethyst..." Gumamku pelan.
Dadaku berdesir kencang. Aku menyentuhnya. Menenangkan hatiku. Aku memejamkan mataku. Rasanya aku seperti mengingat sesuatu, tapi sama sekali tidak tergambarkan.
Aku mulai berpikir. Mencoba membuka kotak-kotak memoriku. Memeriksanya satu per satu. Aku tidak bisa menemukan yang aku cari. Aku tidak bisa memaksakan otakku untuk terus mengingat. Kepalaku akan sakit.
Aku berjalan menuju cermin. Berdiri dihadapannya. Dia memantulkan diriku. Kedua tanganku bergerak kebelakang, memasang pengait kalung itu. Rantai dengan satu liontin amethyst sudah melingkar dileherku. Sangat cocok denganku. Aku tersenyum kecil. Wajahku bersemu.
Aku tidak beranjak dari cermin itu. Rasanya belum puas memandang wajah dan leherku. Tapi, satu yang tidak aku sukai. Kantung mataku menganggu pandanganku. Malam ini, aku akan tidur pulas. Janjiku.
Suara perutku bergemuruh. Aku lapar.
Liontinku sudah bersembunyi dibalik kerah kemejaku. Kakiku melangkah. Tujuanku hanya dapur. Satu bungkus mie instan digenggamanku. Hanya ini yang aku punya. Tak apa, untuk sementara. Perutku tidak akan protes jika diberi ini. Setelah matahari terbenam, aku akan belanja.
Dia ada didapur. Duduk membelakangiku. Aku berjalan melewatinya. Mengacuhkan keberadaannya. Anggap saja dia seperti hantu.
Aku meliriknya yang tidak mengeluarkan suara. Sama. Dia juga tidak peduli denganku. Buku, pena, dan sekaleng minuman soda ada bersamanya. Dia sibuk menulis sesuatu.
Suara api gas dan air mendidih menengahi keheningan kami berdua. Mie instanku sudah matang. Siap untuk dinikmati.
Aku menggeser kursi yang berada didepannya. Dia terusik dengan suara kursiku. Biarkan saja. Aku duduk dan menikmati sajian mie instan. Aku sadar dia melirikku. Bola mata hitamnya mengikuti gerakan tanganku.
Aku melihat tangannya yang terus bergerak menulis. Cincinya kembali menarik perhatianku. Seksama aku melihatnya hingga mataku menyipit. Tanganku yang tidak memegang sumpit berada dibawah leherku. Aku meraba liontinku dibalik kerah kemeja.
Benar, itu sama denganku. Aku bisa merasakannya.
Sebuah buku memo dengan kertas kuning yang terbuka menggeser. Tidak jauh dari mangkuk mie instanku. Dia yang melakukannya. Aku melirik isi buku itu. Tidak ada penggalan kalimat disana. Hanya rumus fisika dan perhitungannya. Tulisan tangan yang rapi. Aku menyelipkan rambutku pada telinga kiriku.
Deja vu.
Aku menoleh kearahnya. Mengulum bibirku sedikit. Dia sedang meneguk air sodanya. Aku mengamati wajahnya. Bentuk bibirnya yang tertutup kaleng soda, juga tak luput dariku.
"Apa yang kau lihat?" Ucapnya dingin.
"Tidak ada," bantahku.
"Kau tertarik denganku? Lupakan itu," ucapnya tanpa ekspresi.
Aku terkekeh kecil. Mengejek pendapatnya. "Ah, benar. Siapa juga yang tertarik dengan gay," cibirku.
Dia terdiam mendengar ucapanku. Wajahnya seakan menyiratkan kekesalan. Aku merasakan auranya. Aku berseringai padanya.
"Aku tidak peduli," ucapnya ketus. Dia mengambil buku memonya. Pergi meninggalkanku dan minuman sodanya dengan wajah kesalnya.
Aku menutup mulutku. "Dia kesal. Pppfft..." Aku puas. Aku berhasil membalas perlakuannya tadi. Aku tersenyum geli.
.
.
Matahari sudah menghilang. Aku keluar dari gedung yang tinggi itu. Aku berjalan sendirian. Jaket jeans melindungiku dari angin malam kota Suna.
Ada banyak orang yang berlalu lalang. Ada yang tertawa, sedang menelpon, dan diam. Kepalaku menunduk ke bawah, aku melihat peta di ponselku. Aku sedang melacak lokasi supermarket terdekat.
Aku berhenti, bukan karena sampai di supermarket tujuanku. Firasatku mengatakan ada orang sedang mengikutiku. Aku menoleh kebelakang. Matanya membesar dan menyipit. Aku tidak menemukan seseorang yang aku kenal. Ah, hanya perasaanku. Aku kembali melanjutkan perjalananku hingga sampai didepan bangunan besar.
Sunabay Supermarket. Itu nama yang menempel didinding atas gedung itu. Banyak orang yang masuk dan keluar. Aku tersenyum kecil. Aku sampai.
Tanganku mendorong troli yang cukup besar. Didalamnya berisi persediaan panganku. Berbagai snack, minuman soda, buah dan sayur berkumpul menjadi satu. Aku melewati rak per rak. Aku merasakan seseorang sedang mengikutiku sejak tadi.
Benar. Dia ada dibelakangku. Membawa satu keranjang kecil. Aku meliriknya malas.
"Kau menguntitku," ujarku padanya.
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tangannya mengambil sebuah kaleng minuman ion.
"Aku tidak tahu apa yang dikatakan ayahku padamu. Tapi, aku tidak butuh pengawasanmu," ujarku.
Aku melemparkan satu botol minuman ion kedalam troliku.
"Aku tidak mengawasimu," bantahnya.
Aku mengacuhkan ucapannya. Aku berjalan kedepan, berbelok ke kiri, dan masuk kedalam himpitan rak-rak. Kudorong troliku menuju rak berisi deretan bungkus roti. Tanganku mengapai satu bungkus roti tawar.
Aku melihat tangannya bergerak bersamaan dengan tanganku. Dia mengambil roti disebelahku. Aku menatap malas kearahnya, dia membalas dengan tatapan dingin.
Aku menghelakan nafasku. "Berhenti mengikutiku. Ada banyak rak disana." Tunjukku pada rak-rak lain.
"Percaya diri sekali," remehnya.
Ck! Aku mendorong troliku dengan cepat. Meninggalkan dia dibelakangku. Aku risih dia mengikutiku. Aku memilih antrian kasir yang sepi. Ada satu orang yang sedang melakukan tranksaksi didepanku. Akhirnya giliranku tiba. Sial, dia ada dibelakangku.
Selesai pembayaran, aku langsung menyikat dua kantung belanjaanku. Aku berlari kecil keluar dari supermarket itu. Melewati kerumunan orang-orang yang lalu lalang. Aku menoleh kebelakang. Aku tidak melihatnya. Akhirnya.
Kaki-kakiku melangkah lebih santai. Hidungku bergerak menghirup udara malam kota Suna. Lumayan, tapi udara Konoha lebih aku sukai. Aku bernyanyi-nyanyi kecil dalam benakku. Lagu-lagu pop terkini berputar-putar.
"Leganya... Tidak ada yang menguntitku lagi." Senyum mengembang diwajahku.
"Kau bicara tentangku."
Ya Tuhan! Aku melonjak. Suara dinginnya mengagetkanku. Dia berada disampingku.
"Kau ini. Jangan menguntitku," ujarku ketus. Telunjukku mengarah padanya.
"Satu arah apa itu artinya aku menguntitmu?" Timpalnya tidak mau kalah.
"Kalau kau tidak tertarik dengan wanita. Jangan menguntitku. Ada banyak pria dijalanan."
"Apa maksudmu?" Dia menaikkan satu alisnya.
"Kau sendiri yang mengatakan itu, gay," sindirku padanya.
Wajahnya sekejap berubah kesal. Dia menarik tanganku dengan paksa. Berjalan mendahuluiku.
"Hei! lepaskan!" Teriakku.
Aku berusaha melepaskan tanganku yang dicengkeramnya. Dia tidak peduli, bahkan menolehku juga tidak. Sial! Tangannya terlalu kuat. Aku terus memintanya untuk melepaskan tanganku. Dia sama sekali tidak berbicara. Apa dia tuli. Sialan.
Dia membawaku menuju gedung apartemen. Bahkan saat di lift dia juga tidak melepaskannya, malah semakin kuat cengkeramannya. Dia membuka pintu apartemen. Membawaku masuk kedalamnya.
"Hei, tanganku sakit!" Protesku padanya.
Dia menutup pintu itu dengan keras. Mendorong tubuhku ke pintu itu. Dia mengurungku diantara kedua tangannya dan tubuhnya. Dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku menatap tajam bola matanya. Dia juga sama.
Dia mendekatkan wajahnya padaku. Bibirnya menempel pada pipiku, sangat dekat dengan bibirku. Kantung belanjaanku terjatuh akibat ulahnya. Aku mematung.
Deja vu, lagi.
Dia menarik bibirnya dariku. "Aku muak dengan ejekanmu. Sudah tiga kali aku mendengar kau mengataiku gay. Tarik ucapanku tadi siang," ujarnya dingin. Dia menjauhkan wajahnya dariku.
Aku menepis kasar tangannya, "apa yang kau lakukan?!" Aku menatapnya tajam. Aku benar-benar kesal. Dia seenaknya saja menciumku.
Aku mengambil kantung belanjaanku yang terjatuh. Berjalan mendahuluinya dalam amarah.
Brak! Pintu itu seperti dipukul. Aku tidak menoleh kebelakang. Biarkan saja dia.
"Sial!" Umpatnya.
Aku dengar dia mengatakan itu. Sial katanya. Apa yang dia pikirkan. Justru aku yang sial karenanya.
.
.
"Sakura... Apakah kau menyukai amethyst ini?" Tanyanya padaku. Aku menaikkan wajahku padanya. Aku melihat senyum dibibirnya tapi wajahnya tidak terlihat jelas.
"Aaa..."
Lagi, aku terbangun tepat jam dua dini hari. Aku mengusap keringatku. Jantungnya berdegup lebih kencang. Aku memegang liontinku.
Kenapa akhir-akhir ini aku sering bermimpi itu?
Apakah liontin ini pemberian seseorang?
Aku tidak tahu.
.
.
To be continued
.
.
A/N:
Ini sebenernya versi remake dari fic lama yang judulnya He is Gay? dari story fanfic bleach yang pernah saya buat dulu. Tapi berhubung saya tidak ingat lagi alurnya seperti apa karena sudah lama banget. Dulu hanya satu chapter yang saya publish, dan chapter selanjutnya tidak bisa saya update karena data2 laptop saya hilang.
Dan kebetulan sekarang, saya lagi seneng banget sama chara SasuSaku, jadi saya buat versi ini untuk melanjutkan ide lama saya.
Terima kasih bagi yang sudah menyempatkan untuk membaca story ini.
:)
