Title: Minna no Katana
Author: Hatsune Miki
Chara: Eren Y., Mikasa A
Genre: Romance, Action, Adventure
Rate: T
Warning: AU, OOC, bukan OTP kalian, alur cerita masih samar, mengandung asupan fujodanshi, silahkan salahkan author di review, jangan main flame ^_^
A Shingeki no Kyoujin fanfic
Disclaimer: Shingeki no Kyoujin belongs to Hajime Isayama
Summary:
Eren sebagai 'uke' dari Levi, juga menjadi 'partner' bagi Mikasa. Dalam romansa 'cinta segiempat' inilah kisah mereka berjalan. Selain itu, tugas mereka untuk membasmi mayou tetap berjalan. Aksi mereka akan dibumbui konflik cinta yang manis dengan sedikit bumbu bagi fujoshi. Kisah mereka sebagai anggota Klub Pembasmi Mayou!
.
.
.
Ding … dong … ding …
"Pelajaran kita berakhir di sini. Silahkan menikmati waktu istirahat!"
Setelah guru seni budaya keluar dari kelas, aku beranjak dari tempat duduk dan mengambil tasku yang tergantung di belakang kelas. Ku keluarkan sekotak bento yang Ibu buat pagi ini. Semoga hari ini bukan bento aneh seperti kemarin. Kalian tahu, kemarin Ibu mencoba menggambar wajahku di atas nasi bento, tapi yang mucul malah wajahku dengan senyum mengerikan. Itu membuat teman-temanku takut dan pergi menjauh.
Yah, setidaknya mencari tempat makan siang yang agak sepi cukup bagus untuk hari ini. Beberapa temanku tadi menawarkan makan siang di taman belakang sekolah. Namun aku yakin bahwa di sana ada banyak kakak kelas yang doyan membully adik kelas. Apa lagi aku ini baru kelas 1 loh di SMA Maria ini. Meski aku yakin kalian tidak kepo soal itu.
"Tapi di mana …"
Aku bergumam sendiri karena melihat semua tempat yang biasanya sepi, kini sudah ditempati beberapa orang yang sedang mengerjakan tugas kelompok. Ada juga sih yang pacaran (dan itu membuat satu tempat sensitive di hatiku serasa perih). Andai aku bisa memegang microphone saat itu, aku akan berteriak, 'Buanglah pacarmu sebelum jomblomu!' begitu.
"Eh?"
Aku menoleh ke arah tangga di dekat mesin minuman. Kalau tidak salah, itu tangga menuju atap sekolah. Ada pintu setengah badan untuk mencegah seseorang melewatinya. Tapi saat ini, mengapa pintunya tidak terkunci? Apa penjaga sekolah lupa dengan kejadian beberapa tahun lalu? Mungkin aku terlalu banyak bicara, karena pada akhirnya, aku nekat melewatinya saat tidak banyak perhatian tercurah kemari. Toh, di atap sekolah biasanya sepi 'kan? Aku ingin mencari ketenangan setelah menahan malu seharian karena bento kemarin.
Selangkah demi selangkah ku pijakkan pada anak tangga. Cahaya mulai terlihat dari atas sana dan angin dingin berhembus dengan keras. Hampir saja aku limbung kalau bukan karena tangan yang membantuku itu. Ya, tangan lembut seorang gadis dengan sarung tangan merah.
"Eh? Kau … siapa?" tanya ku.
Setelah aku berdiri di atap sekolah, gadis itu menyingkap poni panjangnya ke kanan. Mata hitamnya melirik tajam padaku. Ku pikir dia ini tsundere atau kuudere.
Dia lebih terlihat seperti yandere!
"Hiiy!" Aku merasakan aura aneh darinya.
"Namaku Mikasa Ackerman, siswi kelas 1-A. Sedang apa kau di sini?"
"A-Aku Eren Jaeger, siswa kelas 1-C! Aku sebenarnya … hanya ingin makan siang … maaf kalau keberadaanku mengganggumu, Ackerman-san!" ujarku.
"Tak apa. Aku juga mau makan siang."
"Eeh ... jadi, boleh aku makan siang bersamamu?"
"Tentu."
"Mn … itadakimasu~"
Setelah membuka kotak bento milikku, aku terkejut melihat isinya. Cheese-burger steak buatan Ibu?! Sejak kapan Ibu bisa membuat makanan yang tampak lezat ini?
Ku lihat gadis itu sedang memakan bolu gulung dari kantin. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan ekspresi. Entah dia sedang sedih atau menikmati makanan, itu masih samar. Dia tidak tersenyum atau mengeluarkan suara nan manis saat berkenalan denganku tadi. Matanya yang tajam dengan manik hitam yang menunjukkan bahwa dia bukan sembarang orang. Mungkin dia seorang ketua kelas atau mungkin anak dari salah satu guru sekolah ini.
"Mm … Ackerman-san—"
"Mikasa saja."
"Eeh~ Mikasa, kalau boleh tahu, apa kau tidak takut dimarahi penjaga sekolah karena naik ke atap sekolah tanpa izin?"
"Siapa bilang? Aku mendapat izin dari penjaga sekolah."
Hening. Aku tidak bisa menyangkalnya karena tatapannya semakin tajam.
'Jangan-jangan, dia ini assassin lagi,' pikirku, out of topic.
Aku menyambung pembicaraan lagi setelah menghabiskan bento hari ini. Rasa masakan buatan Ibu lama-lama semakin enak, setidaknya tidak seperti awal kami tinggal serumah.
"Apa kau selalu makan siang di sini sendirian, Mikasa?"
Cewek berkulit kuning langsat itu menggeleng lalu melipat bungkusan bolu gulung. Dari caranya membersihkan tempat yang ia pakai sehabis makan, jelas sekali cewek ini perfeksionis tingkat dewa. Dia berkata, "Aku biasa bersama 2 temanku yang lain. Tapi tampaknya, hari ini mereka sedang mendapat 'tugas'."
"Tugas?"
Mikasa menengok padaku dengan cepat. Tatapannya menajam seiring dengan alisku yang naik sebelah karena bingung. Apakah pertanyaanku terdengar aneh? Maksudku … aku hanya mengatakan 'Tugas?' pada seorang gadis 15 tahun yang sama sepertiku. Baru masuk SMA ini beberapa minggu yang lalu. Jangan-jangan, cewek ini benar-benar assassin lagi. Atau pembunuh bayaran? Dan dia punya dua teman?! Nyawaku sedang terancam, bung!
BRUGH!
Mikasa menubrukku dan memelukku dalam keadaan tengkurap. A-apa-apaan ini? Apakah ini yang disebut dengan 'tiba-tiba cinta datang kepadaku'?! Pipi Mikasa memerah sesaat sebelum menubrukku.
SYUUUT! CLAP! CLAP!
Demi Tuhan! Apa yang barusan terjadi?! Celah dari lengan Mikasa membuat pemandangan 2 pisau menancap di pembatas atap lolos tertangkap penglihatanku. Dengan tubuh bergetar aku membalas pelukan Mikasa. Tapi sesaat setelah aku memeluknya, Mikasa malah menjauh sambil mendorongku dengan kasar dan berteriak, "Mesum!"
"A-apa?!"
"Ka-kau … kau menyentuh dadaku! Mengaku saja, hentai!"
Tu-tunggu, apa dia bilang? Seorang gadis yang memeluk erat seorang cowok perjaka malah mengatai cowok itu sebagai hentai?! Aku benar-benar tidak paham seberapa parah kerusakan di otak Mikasa.
"Hahahahaha!"
Aku dan Mikasa terkesiap. Mikasa langsung menarikku ke belakang tubuhnya. Di saat yang bersamaan, Mikasa mengeluarkan pistol dari tasnya dan menekan pelatuknya. Peluru keluar dari moncong pistol itu. Dentingan antara peluru dan sisi bidang pisau membuat kedua benda itu terpental. Tembakan kedua terdengar bersamaan dengan desingan pisau yang membelah angin. Entah itu sihir atau apa, peluru Mikasa terbelah menjadi dua. Pisau yang membelah peluru Mikasa pun melayang ke arah kami. Mikasa pun memutar tubuhnya dan menendang pisau itu. Tak elak, aku yang didekatnya malah kena sabet tangan Mikasa. Aku merintih dan menutup mata untuk menahan sakit yang tak terkira karena sabetan ajaib tadi.
"Eren! Kau tak apa?!" tanya Mikasa, selagi masih sibuk menendangi pisau-pisau yang mulai berdatangan semakin banyak.
"Apakah ini bisa disebut 'tak apa'?!" Aku menunjukkan bola mataku yang memerah dan masih terasa perih.
"Setidaknya katakan kau tidak apa-apa agar aku merasa senang. Hyat!"
Aku benar-benar ingin menampar cewek ini.
Kesampingkan rasa dongkolku, aku benar-benar terpukau dengan kemampuan Mikasa dalam bela diri. Dari penglihatanku yang perlahan mulai pulih, dua pisau dapur melesat melewati kedua sisi Mikasa, yang berarti mengancam nyawaku. Aku berjongkok dan memeluk tubuhku sendiri seperti bayi karena takut. Dua pisau itu menancap di pembatas atap. Datang lagi 1 pisau yang mengarah ke mata kanan Mikasa. Mikasa berkerlit ke kiri dan menangkap gagang dari pisau yang mengancam mata kanannya tadi. Ia memutar arah pisau yang diangkapnya sehingga mata pisau menunjuk ke arah di mana hujan pisau itu datang. Selagi tangan kanannya yang bersenjatakan pisau sedang menangkis pisau yang mengarah padaku, tangan kirinya yang memegang pistol langsung bergerak mencari pelaku pelemparan pisau. Mata kanan Mikasa tertutup agar mata kirinya saja yang fokus ke depan.
"Eren, tengkurap!"
"Bagaimana kalau telentang?!"
Belasan pisau dapur melesat ke arah kami. Mikasa menambah kekuatan di kaki dan melompat ke atas. Dari gerakannya, dia sedang mencoba melenting ke belakang. Detik-detik di mana belasan pisau itu melewati bagian bawah kaki Mikasa, aku ternganga melihat Mikasa menarik pelatuk pistol. Tepat saat belasan pisau itu menuju ke arahku, aku menarik tubuh ke belakang. Sampai-sampai, aku terlihat seperti bermain limbo dengan rintangan berupa belasan pisau tajam yang mengerikan.
CRASH! DAR!
"Aaah!"
"Aau!"
Dua jeritan bertipe suara perempuan menelusup masuk ke dalam telinga. Mikasa mengaduh karena lengan atas tangan kirinya terkena pisau. Darah mengalir dengan deras dari sana. Aku langsung bertindak layaknya MC dari anime-anime harem kebanyakan. Ku lepas blazer seragam SMA Maria dan menyelimuti punggung Mikasa.
"Aku bukan kedinginan, Eren! Aku terluka!" teriak Mikasa. Dia menyobek bagian bawah blazerku dan mengikatkannya ke lengan kiri.
"Blazerkuuuu!" Sementara itu aku menangisi blazer yang baru beberapa hari ini kupesan dari koperasi.
Di seberang gedung ini, tepatnya gedung teater, seorang gadis berambut pirang tersenyum mengerikan pada kami. Lengan kanannya berdarah juga seperti Mikasa. Ternyata peluru Mikasa tadi kini telah bersarang di lengan kanan seorang gadis berwajah bule.
"Aku meleset …," gumam Mikasa.
Aku yang sedang melipat blazer malah terkejut, "He?! Meleset?"
"Targetku adalah paru-parunya agar dia berhenti melemparkan pisau."
"Bukan hanya menghentikan lemparan pisaunya, kau juga akan menghentikan hidupnya, nona psiko!"
"Kau tidak suka kalau aku seorang psiko? Terserahlah."
"Ha?"
Sebilah golok panjang melayang ke arah Mikasa. Mikasa menyelesaikan ikatannya lalu menangkap gagang dari golok itu. Aku berujar, "Golok macam apa itu?"
"Ini kodachi, Eren! Terlalu pendek sebagai pedang, tapi terlalu panjang sebagai pisau. Senjata yang bilahnya lurus dan nyaman untuk pertarungan jarak dekat."
"Heee … kau tahu banyak soal pedang, ya?"
"Karena aku assassin."
Apa dia bilang?!
Dari arah yang berlawanan, gadis tadi telah selesai menutup lukanya. Ia berjalan ke belakang dan mengambil ancang-ancang. Dia pun berlari dengan cepat ke arah kami. 2 pembatas atap langsung ia lompati dengan langkah ringan seakan keseimbangan hanya perkara gampang. Di kedua tangannya terdapat kodachi juga, mungkin.
"Hyaaaat!" teriak cewek dengan 2 pedang itu.
Mikasa memasukkan pistol ke dalam saku rok dan menggenggam kodachi dengan kedua tangannya. Ia menggeser kaki sambil memutar senjatanya, sehingga bilah kodachi menjadi horizontal. Kedua tangannya berada di sisi kanan tubuh. Kodachi Mikasa menahan 2 golok yang dibawa si gadis pirang. Gadis itu menyilangkan goloknya sehingga kekuatan bertahannya jauh lebih besar daripada kodachi Mikasa.
"Dia juga memakai kodachi, ya ...," gumamku.
Mikasa tampak menghela napas dan berujar dengan jengkel, "Dia memakai ninjato, baka. Apakah kau segitu awamnya dengan pedang?"
Dahiku memuncul 3 siku-siku berwarna merah karena tersinggung. "Aku kan bukan psiko sepertimu!"
"Haha … bahkan partnermu bilang begitu, Mikasa … kau lebih pantas menjadi hitman!" ejek si gadis pirang.
"Eu … siapa kau?" tanyaku.
"Annie Leonhart … apa kau masih belum puas dengan jabatanmu?" gertak Mikasa dalam geram.
"Tentu. Jabatanmu lah incaranku … Mikasa!"
Annie mendorong kedua ninjatonya kemudian melompat ke belakang. Kekuatan yang Mikasa kumpulkan pada kodachi membuatnya terdorong ke depan setelah tumpuannya (ninjato Annie), menghilang. Annie memutar tubuhnya dan menendang Mikasa dengan keras. Tak ayal Mikasa langsung terlempar dan menabrak pembatas atap. Ia mengerang sakit saat punggungnya bertatapan dengan pagar besi. Annie langsung menatapku tajam. Ia berkata dengan nada intimidasi, "Jangan pernah mau menjadi partner Mikasa … atau kau akan mendapat tinju gratis."
Apa-apaan mereka ini? Apakah sesuatu yang disebut 'partner' itu terdengar sangat berharga? Aku saja tidak tahu sejak kapan aku menjadi partner Mikasa. Lagipula aku tidak mau menjadi partner in crime (baca: partner dalam tindak kriminal :3)
"Asal kau tahu, Annie … Eren bukan partnerku … karena …"
"Karena?"
"Ka-karena?" tanyaku. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak.
"Karena dia belum memiliki seme!" teriak Mikasa lalu menyerang Annie kembali.
"Sudah kuduga!"
Dari cerita beberapa kakak kelasku yang masuk SMA ini, terdapat sebuah klub yang mana kegiatan mereka adalah membasmi 'mayou', manusia yang terinveksi virus, sehingga mereka berubah menjadi zombie bernama mayou. Kalau kalian tanya apa hubungannya klub ini dengan istilah seme-uke, maka jawabannya adalah sistem yang diterapkan. Seme-uke yang dimaksud adalah istilah dalam karate yang mana seme sebagai penyerang dan uke sebagai penerima. Seme dalam klub ini adalah kakak kelas yang telah terlatih dan menjadi anggota elite. Mereka mengajar anak baru yang hendak menjadi partner salah satu assassin (seperti Mikasa dan Annie, mereka bertugas membasmi mayou langsung di lapangan). Anak-anak yang diajar itu akan dipilih oleh seme tertentu. Sehingga mereka disebut uke. Mereka akan dilatih sebagai benteng pertahanan assassin.
"Tapi aku nggak mau jadi ukeee!"
Mikasa pun langsung menangkis serangan Annie dengan keras sehingga ninjato di tangan kiri Annie terpental. Mikasa melenting beberapa kali ke belakang, hingga akhirnya berdiri di atas pagar pembatas. Mikasa melemparkan kodachinya ke sembarang arah dan mengeluarkan pistolnya lagi.
"Glock-17 … he?! Memangnya kau ini militer Austria?! Aku benar-benar gagal paham dengan sekolah yang memperbolehkan siswanya membawa kodachi, ninjato, dan Glock-17 dengan bebas!" ujarku, histeris melihat mereka mengeluarkan aura permusuhan.
"Tak kusangka, kau justru mengetahui soal pistol, ya?" balas Mikasa.
Annie hanya menatap tajam moncong pistol para penegak hukum AS itu. Ia tidak mengeluarkan pistol seperti milik Mikasa. Hal itu membuatku bertanya-tanya.
"Kau tidak memiliki pistol, Annie?" tanyaku.
"Tentu. Jabatannya hanyalah assassin kelas B. Sedangkan orang yang boleh membawa pistol hanyalah assassin kelas A dan S (yang tak lain adalah seme). Untuk bisa naik kelas, seorang assassin harus bisa mengalahkan assassin lain yang lebih tinggi darinya. Atau dengan jalan lain, mengumpulkan nilai dari jumlah mayou yang dibasmi," kata Mikasa, menjelaskan padaku.
Annie membuang wajah dan berkata sinis, "Itu juga karena kakakmu adalah seme di sini 'kan?"
Mikasa terhenyak dan menatap tajam pada Annie, "Seorang pengkhianat tidak boleh berkata seperti itu di hadapan assassin yang lebih tinggi!"
"Seorang Mikasa Ackerman yang terkenal karena muka aspalnya pun bisa marah juga?"
"Diam kau—"
"Hentikan, bocah," ucap seorang kakak kelas laki-laki yang tiba-tiba muncul dari pintu masuk.
"Levi-senpai?!"
Kami bertiga terkesiap melihat sekretaris OSIS itu berdiri bersilang tangan sambil menggenggam Beretta 92. Pistol buatan Italia itu ada pada genggaman tangan kiri Levi. Mikasa dan Annie pun langsung menyembunyikan senjata masing-masing. Dari raut mukanya (entah itu bawaan lahir atau bagaimana), Levi terlihat sangat marah. Benar saja, dia mengangkat pistolnya dan mengarahkannya pada Mikasa. Mikasa langsung menajamkan penglihatan dan menggeser kaki pada pose siap bertarung.
DAR! DAR!
Aku terpatung melihat sisi samping rok Mikasa dan Annie (sisi pinggir yang mengembang) berlubang karena ditembus peluru Levi. Mikasa dan Annie pun hanya bisa terduduk lemas setelah paha mereka 'hampir' saja berlubang.
Tapi, bukan itu yang kuperhatikan. Melainkan trik yang Levi gunakan. Dari sudut pandangku (dan sudut pandang 2 cewek itu), Levi mengarahkan pistolnya pada dahi tengah Mikasa. Lalu, bagaimana bisa pelurunya melesat menembus sisi pinggir rok mereka? 2 tembakan beruntun tanpa mengubah posisi pistol itu, benar-benar membuatku terkesan. Apakah dia mengendalikan peluru dengan pikirannya?
Setelah puas memberi hukuman Mikasa dan Annie, Levi pun berbalik untuk kembali ke tempatnya. Tapi, tiba-tiba dorongan dari hatiku membuatku melakukan hal nekat. Aku menggenggam tangan Levi.
Levi berhenti dan menoleh padaku. Ia berujar dengan tenang, "Apa maumu, bocah?"
"Se-senpai! Aku ingin bergabung dengan klub Levi-senpai!"
Mikasa dan Annie pun langsung terperangah dengan mata berkilauan.
"Apa maksudmu? OSIS tidak membuka lowongan pengurus lagi."
"Bu-bukan OSIS sih … melainkan klub pembasmi mayou!"
Levi berbalik tanpa melepas genggaman tanganku. Kini kami saling berhadapan dengan wajah serius. Aku menatap manik matanya yang berwarna hitam dan sekilas warna biru tua-kelabu. Manik mata yang kini menatap tajam padaku. Manik mata yang kini makin mendekat ke arahku.
Eh?! Makin mendekat?! Yang benar saja!
Tangan Levi yang bebas pun bergerak menyingkap poni di dahiku ke atas. Maniknya yang tajam itu tertutup kelopak mata. Dari ekspresinya, Levi terlihat serius dan sedang menghayati sesuatu. Entah bagaimana, kepalaku bergerak mundur secara otomatis setelah melihat bibir tipis merah muda milik Levi.
Oh, Eren … tahan dirimu … lakukan apapun yang kau bisa semampumu demi Levi-senpai! Demi menjadi anggota klub itu!
"Heeeeuuuu …," gumam Mikasa dan Annie, geregetan melihat apa yang Levi lakukan.
Apa yang Levi lakukan?
Dia menempelkan dahinya ke dahiku, kemudian membuka kedua matanya. Dari jarak sedekat itu, aku bisa melihat dengan jelas warna lautan pada manik mata Levi. Tanpa kusadari, wajahku mulai memanas seiring tatapan tajam Levi yang membuatku seperti tenggelam dalam lautan dalam. Yang mana lautan itu hanya beratap langit mendung dan awan hitam. Benar-benar suasana yang mengerikan!
"GWAAH!" teriakku sambil melompat ke belakang. Aku benar-benar malu saat menyadari Levi mulai mengelus pipiku yang memerah!
"Kau sedang sakit, bocah? Tapi dengan begini aku tahu …."
"Ha?"
"Kau pantas menjadi anggota Klub Pembasmi Mayou. Mulai besok kau adalah uke ku."
Setelah mengatakan entah hal absurd atau hal yang kuharapkan itu, Levi berbalik dan benar-benar kembali ke tempatnya. Aku masih termenung mencerna kata-katanya. Maksudku, apakah begini cara semua seme memilih uke? Dan … ayolah, cara dia mengatakan 'uke ku' terdengar sedikit absurd! Sekilas kulihat Mikasa dan Annie sedang menggigit kuku kelingking masing-masing. Mereka tampak seperti serigala yang kelaparan!
Daripada berurusan dengan cewek-cewek yang juga absurd ini, aku lebih baik meninggalkan mereka. Selain itu, aku juga ingin bertanya sesuatu pada Levi. Akhirnya aku berlari menuruni anak tangga untuk mengejarnya.
Mikasa bergumam pada Annie, "Barusan kau lihat? Barusan kau lihat? Seme yang tertidur cukup lama akhirnya bangun kembali!"
Annie menjawab dengan bisikan, "Aku tidak buta dan aku juga melihatnya! Eren … Eren akan ada di klub kita …"
"Asupan nutrisi bagi fujoshi yang kelaparan."
"Siapa yang jadi seme?"
"Tentu Levi 'kan?" jawab Mikasa.
"Entahlah …"
"…"
"Aku melihat Eren sebagai seme-nya."
"HWAAAA!" teriakku di bawah sana.
GUBRAAAK! BRAAK! BRUUGH!
"EREN?!"
Mikasa dan Annie langsung berlari menuruni anak tangga. Dan betapa malunya aku setelah mereka melihat posisi absurdku dengan Levi. Aku tersandung dari anak tangga tepat ketika Levi berbalik. Dan hebat, aku jatuh menindihnya tepat di mana senjata kebanggaan seorang seme (dalam artian BL) berada.
Semua orang yang melihatku pun langsung berteriak, "EREN UKEEE!"
Awalku menjadi seorang partner terasa seperti neraka.
.
Bersambung ….
.
.
.
