A Valentine To Remember

.

.

Resident Evil © CAPCOM

.

Warning: Probably OOC, Gore, Character Death, Setting after RE: Degeneration.

.

.

.

.

DOR!

Timah panas terakhir meluncur dari senjata Beretta 93R*, menembus sesuatu yang tadinya berfungsi sebagai pengontrol akal sehat serta gerak motorik mahluk buruk di hadapan gadis itu. Gugusan tata surya merah nampak di langit-langit bersamaan peluru yang menancap di sana.

Tangan langsing sang pemilik segera meraih kantung kecil tersemat di ikat pinggang yang melilit jeans coklat, untuk mengisi kembali senjata api favoritnya.

"Sector 5H, clear!"

Suara berat laki-laki dengan model rambut undercut menggema di ruangan sarat peralatan canggih. Helaian sewarna logam mulia yang membingkai kepalanya berayun mengikuti gerakan lentur, memastikan sektor ini aman dari serbuan mahluk-mahluk menjijikkan.

"Sector 8F, clear! Leon, bawa Claire menuju jembatan level 9A. Kami akan menunggu kalian di sana," perintah Chris melalui gadget di rompi anti peluru Leon. "Hei Claire, hati-hati ya. Jangan gegabah, jangan ceroboh. Aku tak mau kau terluka."

Mendengar itu, Claire dan Leon mendengus berbarengan. Helaian auburn Claire yang terkumpul jadi satu dalam ikatan kuncir kuda bergoyang ke kiri dan ke kanan, menyapu udara di atas bahu mengiringi gelengan kesal.

"Berhentilah memperlakukan adikmu seperti anak kecil, Chris. Usianya sudah 28 tahun." balas Leon sembari menyisipkan senapan semi otomatik di punggung dan menggantinya dengan Handcannon* yang lebih ringan, namun berdaya ledak tinggi.

Senyum mengembang di wajah cantik Claire sebagai tanda terimakasih telah membelanya. Sementara lelaki yang ia kenal pertama kali saat terjebak di Racoon City hanya menggangguk kecil. Manik abu-abu Claire menatap jam digital di pergelangan tangannya.

14 Februari. Valentine's day.

Pasangan-pasangan di luar sana pasti sedang asyik bermesraan. Alih-alih mendapat mawar atau red wine di restoran bergengsi, gadis itu malah disuguhi cairan kental berbau anyir tersebar dimana-mana serta manusia terinfeksi virus sebagai hadiah Valentine's day-nya kali ini. Mengalahkan aroma melati dari bodyspray yang ia semprotkan tadi pagi.

Jika bukan karena Chris yang menyeretnya kemari demi menyelamatkan seorang rekan penting, saat ini pastinya gadis tangguh itu sedang menikmati terpaan udara segar di atas motor besarnya.

Pupil Claire bergerak ke sudut mata. Yah, setidaknya di fasilitas raksasa ini ia ditemani laki-laki tampan, berpostur sempurna yang digilai banyak wanita dan disegani para lelaki di luar sana. Belum lagi sifat dinginnya mengundang rasa penasaran pada mereka yang mencoba mendekatinya.

Leon menghampiri sebuah panel di sisi kanan pintu baja di hadapan mereka. Jemari besarnya lihai menekan tombol-tombol untuk menginput kata sandi. "Bersiaplah, bisa dipastikan jembatan ini dipenuhi zombie. Berjalanlah di belakangku."

Claire mengernyitkan alis, menatap Leon tajam. "Kenapa aku harus berjalan di belakang?"

"Supaya aku bisa melindungimu."

Kali ini gadis itu mendengus lebih keras. "Tidak mau. Kita bisa tiba lebih cepat di lift jika berlari bersama," sahut Claire. Kedua tangan rampingnya melipat di depan dada. Bibir mungil mengerucut. "Lagipula, dengan cara itu kita bisa menghemat peluru."

"Tapi ini berbahaya, Claire."

"Ti-dak ma-u," tukas si pencinta cheeseburger dengan intonasi sebal.

"Chris bilang—"

"Dengar, Leon. Aku tidak keberatan berdebat denganmu di sini seharian. Tapi kita punya misi yang harus diselesaikan. Suka atau tidak suka, aku akan tetap berlari."

Leon hanya bisa menggeleng gemas. Lelaki berbibir tipis itu sering kali dibuat kewalahan oleh sifat keras kepala Claire. Beradu mulut dengan gadis penggila motor itu hanya akan membuat tenggorokannya kering.

"Baiklah. Terserah kau saja."

Sesaat setelah Leon menekan tombol proceed, pintu pun terbuka. Bunyi hidrolik berdesis, mengundang perhatian puluhan pasang mata pucat—beberapa bahkan hanya berupa cekungan tanpa isinya. Tubuh-tubuh tidak lagi sempurna, langsung menyeret kaki mendekati Leon dan Claire. Raungan-raungan serak dari tenggorokan tak utuh—bergema memenuhi ruang kosong di sisi jembatan.

Orang biasa tentunya akan berbalik dan lari tunggang-langgang ke arah berlawanan untuk menghindari pemandangan horor serta menjijikkan itu. Tetapi sebagai anggota pemberantas bioterrorism yang telah terlatih serta banyak 'memakan garam', situasi seperti ini sama sekali tidak membuat kedua muda-mudi itu gentar. Dengan sinyal Leon, keduanya mengayunkan kaki menembus kerumunan zombie sambil sesekali menembakkan senjata.

Gerak lincah Leon dan Claire bukan tandingan pergerakan zombie yang lambat. Tembakan-tembakan jitu menghujani kepala mahluk-mahluk yang menghalangi tanpa ampun. Satu per satu ambruk di atas jembatan besi sepanjang 30 meter.

Memasukki lift, senjata api Leon memuntahkan peluru sekali lagi untuk menyingkirkan zombie di depan pintu yang mulai menutup. Lift pun meluncur turun.

Masih terengah-engah, Leon menelusuri Claire—ujung rambut ke ujung kaki. "Hei pervert. Sedang lihat apa kau?!" ucap gadis berambut auburn dengan nada risih.

Tanpa berkata apa-apa, Leon menarik pinggang Claire dan menyibak jaket anti peluru berwarna krem milik gadis itu. Tangannya kemudian menyusuri kaos merah yang melekat pada tubuh semampai Claire.

"Hei, HEI! Apa yang kau lakukan?!" pekik Claire panik. Wajahnya yang tanpa polesan make-up, memerah.

Kau bercanda kan? Bisa-bisanya dia merayuku dalam situasi seperti ini dan di ruangan apek ini? La-lagipula kenapa tiba-tiba?

Leon mengangkat telapak tangannya di hadapan Claire. Tampak darah kental menempel di situ. "Aku hanya ingin memastikan darah ini bukan milikmu," jawab Leon datar.

"Eh?"

"Chris bisa membunuhku jika kau terluka."

Claire terkikik menyesali pemikirannya tadi. Seharusnya ia tahu Leon tidak akan bersikap kurang ajar padanya. Pria yang tengah menggenggam pergelangan tangannya ini selalu memperlakukan Claire layaknya seorang adik.

Adik... ya, hanya sebagai adik—tak lebih. Sejak pertemuan tak terduga yang kedua kalinya di bandara Harvardville, mereka mulai menjalin pertemanan intens. Sebagai sahabat Chris, Leon sering menghabiskan waktu bersama kedua kakak beradik itu. Terlalu sering, sampai-sampai ketiganya dijuluki 'Three Musketeers' oleh rekan-rekan kerja.

Di satu sisi Claire menikmati perhatian khusus yang Leon berikan. Namun tak dapat dipungkiri, ia sebenarnya menginginkan sesuatu yang lebih dari hubungan adik-kakak ini. Jauh dalam lubuk hati, Claire mengutuk dirinya karena telah membiarkan perasaan itu berkembang. Padahal, jumlah laki-laki lain yang berebut mencoba mencuri perhatiannya tergolong banyak. Tapi ia justru jatuh cinta pada pria yang sulit ditaklukkan.

BRAAKK!

Sesuatu menghantam atap lift, menyebabkan ruang itu bergoyang dengan keras. Leon berusaha menarik Claire yang kehilangan keseimbangan, tetapi guncangan berikutnya membuat pemilik iris jade green itu menabrak tubuh Claire. Tak ayal keduanya terjatuh. Bersamaan dengan itu...

TIIIING!

Lift telah sampai pada level yang dituju. Nampak Chris, Jill dan lima orang anggota Bio-terrorism Security Assessment Alliance lainnya tengah mengacungkan senjata-senjata mereka ke arah lift yang terbuka.

Mengetahui Claire dan Leon yang berada di dalam, mereka bernapas lega dan segera menurunkan pistol—kecuali Chris. Mata elangnya berkedut melihat posisi ganjil yang tersaji di depannya itu. Leon berada di atas tubuh Claire dengan bibir nyaris bersatu. Bagian bawah kaos Claire tersingkap hingga menampilkan sekilas penopang kedua bukit kembarnya.

Sebagai seorang kakak, wajar saja jika pikiran-pikiran kotor kemudian berkelebat di benak lelaki berambut pendek itu. "Lepaskan adikku, atau aku bersumpah timah panas ini akan menembus otakmu," ucap Chris geram sambil menarik pelatuk senjata apinya.

Leon buru-buru bangkit seraya membantu Claire keluar lift, sementara Jill berusaha menenangkan Chris.

"Aku bisa jelaskan."

"Kau punya lima detik, Leon!"

"Berhenti, Chris!" lengkingan Claire mengalahkan gemuruh mesin-mesin di sekitar jembatan. "Leon hanya mencoba menolongku. Kau benar-benar menyebalkan!" seru Claire gemas.

Gadis tomboy yang memiliki tinggi tubuh 169 sentimeter itu sering kali membenci sifat over-protective kakaknya. Kadang Claire berpikir sifat itulah satu di antara sepuluh alasan yang membuat Leon menjaga jarak darinya.

"Tapi aku mengira—"

"Ya, itu yang selalu kau lakukan bukan? Membuat asumsi sebelum mendengar penjelasan. Sudahlah, aku tak mau berdebat. Tidak di tempat terkutuk ini," gerutu Claire sembari menyenggol pundak Chris dengan sengaja.

CRAAASH!

Sebuah tangan—tepatnya lima kali ukuran tangan orang dewasa dengan lima cakar tak kalah besarnya, menyayat dan merobek atap lift yang terbuat dari besi layaknya memotong mentega. Mahluk tanpa tempurung kepala itu merayap turun, meninggalkan jejak lendir bercampur noda-noda merah di sisi dinding lift. Lidah panjangnya bergerak liar dari balik deretan gigi-gigi tajam, siap menyantap siapapun yang berada di depannya.

Desingan peluru segera membahana, menghancurkan monster yang dikenal sebagai 'licker' hingga tercerai-berai. Tak sempat menarik napas lega, lima licker lainnya berlomba masuk berdesakan menjejali lubang pada atap lift.

"Leon, Claire, pergi selamatkan Ada! Kalian bisa menemukannya di 10B. Gunakan tangga darurat di belakang fasilitas utama. Kami akan menghadang monster-monster ini!" perintah Chris tanpa mengalihkan pandangan. AK-47* kesayangannya tak berhenti melukai licker yang berusaha menyerang.

Poni panjang Leon melambai mengiringi anggukannya. Bersama Claire, keduanya berlari memasuki fasilitas utama. Sesampainya di dalam, Permata jade green yang menghiasi mata jernih Leon langsung menyapu isi ruangan temaram tanpa lampu itu. Pemandangan ganjil, tak ada satu pun tanda keberadaan zombie ataupun monster di sana. Hanya komputer-komputer yang dibiarkan menyala serta beberapa kabel yang terputus, memercikkan listrik aktif.

"Ayo Claire. Ada pasti tak jauh dari sini."

Ada Wong, double agent keturunan China. Wanita sempurna. Wanita yang mencuri hati Leon. Mereka memang belum pernah secara resmi mengumbar status. Tetapi air muka serta gerak tubuh yang mereka tampilkan tiap kali bertemu, menjelaskan semuanya. Setidaknya itu yang ada dalam benak Claire, terlebih setelah ia menyaksikan dua pasang bibir bertaut di balik tangan besar Leon malam itu.

Claire tak bergeming. Kali ini giliran bandul abu-abu kembarnya yang menyusuri detail ruangan luas itu. Tabung-tabung besar bekas eksperimen berjejer memenuhi dinding. Kaca pelindung yang pecahannya berhamburan di sekeliling, membuat Claire mengambil kesimpulan—sesuatu dengan kekuatan luar biasa—mendobraknya dari dalam. Firasat buruk merayapi pikiran Claire.

Gadis manis itu menggerutu melihat betapa cerobohnya Leon berjalan melintasi lorong terapit jendela-jendela kaca anti peluru yang sudah pecah, bagai seorang ksatria berkuda putih tak sabar menyelamatkan sang puteri.

"Leon!" seru Claire tertahan tatkala bola matanya menangkap sekelebat bayangan bergerak di antara tabung eksperimen. Sisik kehijauan yang terlihat sekilas, meyakinkan Claire untuk mencabut Samurai edge* dari gesper besar di boots hitam yang membalut kaki jenjangnya.

"Leon! Menunduk!"

PRAAAANG!

Sesosok mahluk besar menembus kaca pemisah, menerjang dan memaku Leon di sisi lorong. Semua terjadi hanya dalam waktu dua detik. Pistol terpelanting, berputar menyusuri lantai dingin. Dengan kecepatan mengerikan, monster reptil itu mengayunkan cakar setajam belati menuju wajah Leon.

Jika bukan karena enam butir peluru menembus sisik keras mahluk buruk rupa itu, sudah bisa dipastikan kepala Leon tidak akan lagi berada di tempatnya. Lengkingannya memekakkan indera pendengaran, menggetarkan kaca. Sekejap, monster hasil eksperimen perpaduan embrio manusia serta reptil itu melompat dan menghilang di langit-langit.

"Kau berhutang padaku, Leon," ucap Claire ketus di balik senjata apinya yang masih mengepul.

"Ya, dan aku akan membayarnya sekarang!" Leon menarik pistol serupa dengan milik Claire dari balik rompi. Tiga peluru berwarna emas melejit tanpa segan, melintas satu sentimeter dari kepala Claire hingga menyibak sisi poni gadis itu dengan riak udaranya.

Claire merotasikan tubuh bersamaan bunyi dentuman keras menghantam lantai. Matanya melebar, menyaksikan monster bersisik yang disebut-sebut sebagai 'Hunter' itu menggelepar seperti ikan kehabisan udara sebelum akhirnya terdiam. Cairan kental berwarna hijau serta merta menggenang. Sesuai namanya, monster ini dapat berkamuflase menyesuaikan lingkungan. Menyergap manusia dari arah tak terduga. Kegelapan adalah daerah kekuasaannya.

"Umm... thanks?" ujar Claire sambil menghentakkan sebelah kakinya demi menghilangkan noda hijau pada boots favoritnya.

Laki-laki jangkung itu baru akan membuka mulut, ketika Claire menarik rompi yang Leon kenakan.

"NOT!" teriak Claire di wajahnya. "Aku kecewa padamu, Leon Scott Kennedy! Aku tidak percaya orang yang kukagumi dan kuhormati—melebihi kakakku sendiri—bisa begitu gegabah!"

Leon tersentak. Selama ia mengenal Claire, belum pernah gadis itu berani membentaknya seperti itu. Biasanya si cantik berkuncir kuda memilih melengos, sambil menggumamkan kata-kata yang tak mampu ditangkap telinga.

"Dengar, aku tahu kau mengkhawatirkan Ada. Kau tidak sendiri, kami semua juga mencemaskannya," ucap Claire berbohong. Jika ada satu orang yang tidak mencemaskan wanita berambut hitam pekat itu, Claire lah orangnya. Tidak bermaksud kejam, namun ia tahu betul kemampuan super Ada.

"Pull yourself together, ok? Kekasihmu itu pasti baik-baik saja," lanjut Claire meninju dada Leon seraya melenggok menuju pintu tangga darurat di ujung ruangan.

"Ada... bukan kekasihku."

Claire yang sudah siap membuka pintu, terdiam mendengar pernyataan Leon.

"Hubungan kami bukan seperti itu." Telinga Claire menangkap bunyi langkah tegap Leon yang semakin mendekat, kemudian berhenti tepat di belakangnya.

"Oh, jadi ciuman penuh gairah malam itu hanya sebatas ciuman pertemanan?" tanya Claire sinis tanpa menoleh.

Ciuman yang memaksanya mengayunkan kaki menuruni ratusan anak tangga. Ciuman yang membuatnya berlari berkilo-kilo meter tanpa menghiraukan lelehan keringat di sekujur kulit putih. Ciuman yang membuatnya melemparkan tubuh ke pelukan Chris hingga keduanya terjatuh di atas karpet, dan menumpahkan derai airmata di dada bidang itu.

Usai melontarkan kalimat itu, rasa bersalah menjamahi hatinya. Ia tidak seharusnya mencampuri urusan orang lain. Sebuah tarikan napas berat dari belakang menggelitik pendengaran Claire. Terbersit keinginan untuk meminta maaf atas kata-katanya tadi, namun tidak ia lakukan.

"Kau... melihatnya? Aku tidak bermaksud—"

"Lain kali kalau mau bermesraan dengan teman-teman wanitamu, ikuti saranku. Carilah tempat bergengsi sedikit—seperti kamar hotel. Aku tak menyangka kau ini ternyata laki-laki pelit."

Kesinisan Claire sampai pada level yang sejujurnya tak dapat lagi Leon toleransi. Namun lelaki berhidung mancung itu hanya menengadah seraya menghela napas kencang, mencoba menetralisir gejolak yang mulai mengusik kesabarannya.

"Leon ... aire ... dapatka ... kal ... mendenga ... ku?" Kalimat terputus-putus Chris dari gadget Leon membuyarkan rentetan kata-kata pedas yang siap Claire lemparkan berikutnya.

"Chris, kami tidak dapat mendengarmu dengan jelas. Dimana kalian?"

"Kami ada di 10B. ... ngarkan aku, ... jang ...kesini. Semua ... in ... bakan. Ad ... yang ... aturnya. Leon, segera baw ... Claire kelu"

Kalimat itu terpotong, berganti dengan sebuah erangan keras yang menyayat hati Claire.

"Chris! Kau tidak apa-apa? Chris, jawab aku!"

Tak ada balasan. Namun keduanya dapat mendengar suara napas berat memburu, diselingi erangan-erangan kecil. Tanpa berpikir panjang, Claire menghambur ke luar pintu darurat dan segera menuruni anak tangga.

"Claire! Sial!" umpat Leon yang tak sempat mencegah Claire.

Meskipun sering dibuat kesal oleh sikap dan sifat laki-laki bermata biru itu, Chris tetaplah kakaknya. Laki-laki yang rela membanting tulang serta menempuh bahaya, demi menghidupi Claire semenjak kematian tragis kedua orangtuanya. Pria yang tak pernah mengeluh dalam mengurus Claire.

Dengan butiran bening mengambang membasahi tirai matanya, Claire memasuki ruangan di balik pintu. Jendela jiwanya seketika terbelalak menyadari apa yang sudah menantinya di situ.

.

.

.

To Be Continued...

XxXxXxXxX

.

A/N: Authornya kenal RE (Resident Evil) semenjak kemunculan RE2, dan langsung kepincut oleh si manis Claire dan si ganteng Leon. Jadi untuk fanfic pertama di fandom ini, author putuskan untuk buat pair ini. Semoga karakter-karakternya tidak terlalu OOC, hehehe.

Di fanfic ini author-nya sengaja buat Leon, Claire, Chris dan Jill kerja dalam organisasi yang sama untuk alasan pribadi, hihi.

Last warning: Character death will occur on the next chapter, beware!

.

XxXxXxXxX

Beretta 93R: Pistol mesin (otomatis). Di desain dan di buat di Italy pertama kali tahun 1970, untuk kepentingan militer.

Handcannon: Modifikasi Magnum, dilengkapi laser (featured in Resident Evil 4)

AK-47: Senapan laras panjang buatan Uni Soviet.

Samurai Edge: Modifikasi dari 9mm Beretta 92F (semi otomatis) yang dibuat khusus untuk anggota S.T.A.R.S (Resident Evil)