Light Pennerial the Pearl Black
Disclaimer:
Kuroko no Basket by Tadatoshi Fujimaki
Naruto by Masashi Kishimoto
Rated: T+/ R-18
Warn: Typos, OOC, Nista, etc
Crossover
[Akashi Seijuro / Tenten] [Kise Ryouta / Aida Riko]
TwoShoot
Don't like Don't read
RnR
No Flame
Dia bukanlah yang buruk dari yang terburuk. Dia bukanlah yang hina dari yang terhina. Hanya dunianya yang hitam, namun tidak untuk dirinya. Dia adalah sebuah mutiara hitam yang berlumur dosa. Lumuran dosa berkepanjangan yang di sematkan pada dirinya? Tidak. Kau salah. Bukan dirinya, tapi manusia di sekitarnya. Kalian tidak akan pernah bisa melihat kilauannya jika tak menyentuh di bagian terdalam di lubuk hatinya. Sentuhlah dia dan dapatkan kilauan cintanya. Dan satu hal yang paling penting di antara semuanya, Dia.. adalah mutiara terpendam yang di takdirkan untuk kumiliki selamanya.
Light Pennerial the Pearl Black
Rintik hujan malam terasa menusuk bagai sayatan pisau ketika mengenai permukaan kulitnya. Ia masih berusaha berdiri meski salah satu kakinya memar dan wajahnya yang babak belur dengan cairan berwarna merah darah terlihat terus keluar dari sudut bibirnya. Sesekali ia meringis saat liquid hujan mengenai luka itu.
Dengan sorot mata dingin pada aspal trotoar, ia berusaha menapak menggunakan kedua kakinya yang tak terbalut apapun itu di tengah guyuran hujan tengah malam, meninggalkan kawasan elit yang terkenal di seantero Jepang itu. Beberapa helai rambutnya terlihat menutupi bagian mata, pipi, dan dahinya. Baju berwarna ungu gelap yang lebih pantas di sebut gaun malam untuk pelacuran terlihat sangat kusut di bagian dadanya akibat ulah seseorang yang menginginkan sesuatu yang tak dapat ia berikan.
Tentu saja, pria berbadan tambun dengan kumis di atas bibirnya memaksa untuk melakukan hal yang tak dia inginkan sebagai seorang wanita. Ia tau dan sangat sadar tempat itu bukanlah tempat yang tepat untuknya menolak transaksi seperti itu. Tak banyak yang tau kalau tempat semacam itu bukanlah tempat yang ia inginkan. Tapi para iblis itu memaksanya dengan alasan yang sama. Alasan klasik yang tak dapat ia tolak bagaimanapun keadaanya.
Di tengah usahanya untuk berdiri, beberapa asumsi yang akan ia terima berputar bagai memori memuakkan di otaknya.
'Dasar kau wanita jalang bodoh! Kau sama sekali tidak berguna!'
'Hidupmu adalah sampah. Tidak peduli seberapa keras kau berusaha, kau tidak akan menemukan apapun yang kau inginkan di dunia ini!'
'Berhentilah bersikap cengeng! Ingat pria tak berguna yang tergeletak di dalam sana. Dia tidak akan hidup jika kau masih terus-terusan bersikap seolah kau mempunyai pilihan!'
Begitulah kata-kata yang selalu ia terima ketika sampai di rumah. Ia sudah bosan. Tidak, bahkan ia sudah muak mendapat cercaan tak bermoral seperti itu. Andai keadaanya memungkinkan, sungguh ia ingin mengerus halus bibir tak berpendidikan itu. Namun apa mau di kata, ia tidak bisa melakukan itu semua. Ada satu nyawa yang harus ia pikirkan sebelum ia bertindak.
.
.
Suara decit rem mobil yang memekakan perlahan teredam akibat suara air yang menyerbu jalanan. Mobil tersebut berhenti di tengah jalanan sepi dengan keadaan mesin menyala tepat di belakang zebra cross. Tak ada satupun kendaraan lewat di sekitar sana karena memang sudah lewat tengah malam. Hanya gesekan antara karet wipper dan kaca mobil yang sedikit memecah keheningan di dalam mobil tersebut. Sesaat matanya melihat lampu lalu lintas yang bersinar merah. Meski tak ada siapapun, pria itu tetap berhenti.
'Dasar pria tidak berguna! Hanya karena wanita dia menghancurkan dirinya sendiri.' Omel sang pengemudi menoleh pada seseorang yang duduk di bangu belakang dengan keadaan mata terpejam.
Helaian merahnya menutupi mata yang tertutup itu. Dengan tubuh di atas dan kedua kaki menggantung kebawah, ia masih terlelap. Dasi hitam yang ia kenakan sudah tak beraturan, kemeja biru tosca yang membalutnya juga sudah kusut tak berbentuk. Sedangkan jas nya, benda berwarna silver itu sengaja di letakkan oleh sang pengemudi pasa sandaran jok depan berharap tak menghalangi pergerakan pria itu yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri.
Ia kembali melempar fokusnya ke jalan raya ketika ia sadar lampu merah sudah berganti menjadi lampu hijau. Langsung saja ia tancap gas untuk pergi dari sana. Namun baru saja berjalan, pria itu kembali menghentikan paksa mobilnya dengan menginjak rem secara tiba-tiba dan otomatis membuat pria tak sadarkan diri di belakang jatuh begitu saja ke bawah.
"Sialan! Apa dia tidak menggunakan matanya?!" Katanya kesal segera melepas seat belt nya dan segera turun dari mobil tanpa menghiraukan guyuran hujan di luar.
"Lain kali bisakah kau gunakan matamu?! Kau bisa merugikan orang lain kau tau?!" Bentaknya pada seseorang yang duduk tersungkur membelakanginya.
"Maaf." Balas gadis itu dengan suara lirih dan hampir tak terdengar.
Pria berambut pirang yang berdiri di depan mobilnya tersebut segera membelalak begitu ia menyadari bahwa seorang perempuanlah yang duduk tak berdaya disana.
"Ah, maaf Nona. Apa yang kau lakukan disini? Ini sudah malam dan juga hujan. Ada yang bisa kubantu?"
Pria itu merubah nada bicaranya sembari meringkuk mendekati gadis itu yang masih tertunduk di depan mobilnya.
Sungguh sangat di sayangkan, gadis itu hanya diam. Sesaat kemudian gadis berambut auburn itu berdiri perlahan dan berjalan tertatih meninggalkan pria yang berniat menolongnya.
"Sungguh Nona, jika kau butuh bantuan aku bisa membantumu. Dan perkenalkan, namaku Kise Ryouta jika kau ingin tau. Dan kau bisa memanggilku Kise. Siapa namamu?" Kata pria itu ikut berdiri.
Gadis itu berbalik dengan tatapan tajam. Butiran hujan yang meluncur melewati rambutnya memberi kesan misterius namun sexy bagi sang pria.
"Panggil aku Tenten saat kau bisa membantuku melenyapkan para iblis tak berhati itu." Balasnya dengan suara dingin.
"Iblis?" Kise melirih tak mengerti.
Wush..
Hembusan angin yang entah darimana datangnya meniup apapun yang ada di sana. Termasuk helaian kain jas hitam yang Kise gunakan juga gaun pendek yang Tenten kenakan. Begitu juga rambut panjang cokelat itu, yang tertiup kebelakang memperlihatkan keadaan wajah kacaunya pada pria berambut pirang itu.
Kelerang topaz Kise membelalak terkejut melihat lebam dan bekas merah di sudut bibir Tenten. "N-Nona.. kau.."
Kise mendekati gadis di hadapannya. Ia mengangkat tangannya hendak meraih dagu Tenten.
"Jangan sentuh aku!" Katanya dengan nada kasar menepis tangan Kise.
"Nona, aku hanya ingin menolongmu. Percayalah padaku."
"Kenapa? Kenapa aku harus percaya padamu? Kenapa aku harus percaya kalau kau berbeda dari pria brengsek hidung belang itu hah?!" Sentaknya membuat Kise sedikit menarik diri.
"Karena aku bukanlah orang brengsek yang kau bicarakan itu."
"Kau bercanda?! Mana ada orang terpandang dan berada sepertimu mau menolong gadis miskin dan penuh dosa ini?!"
"Ada. Akulah orangnya. Sungguh Nona, biarkan aku menolongmu. Aku paling tidak bisa melihat wanita terluka dan menderita."
"Pergilah, jangan pedulikan aku." Tenten mulai beranjak dari tempat tersebut.
"Jika kau tidak mau menerima bantuanku, baiklah tak masalah. Tapi izinkan aku paling tidak melihat keadaanmu. Anggap saja sebagai ungkapan maaf dariku karena tadi sempat mencacimu."
"Tidak perlu. Cacianmu tidaklah berarti untukku. Menerima banyak cacian tak bermoral adalah hal biasa bagiku. Dan cacianmu tadi bukanlah apa-apa."
Kise membatin dalam diam. 'Demi Tuhan, gadis ini..."
Diiiin~
Suara klakson mobil bersuara nyaring dan panjang di tengah perbincangan kecil antara Kise dan Tenten. Dua manusia yang berada di depan mobil sontak terkejut dan mengalihkan pandangan pada seseorang di dalam mobil. Kedua mata Kise dan Tenten menyipit akibat sorotan cahaya lampu mobil yang mengarah pada mereka.
"Pria tak berguna." Gumam Kise mengepalkan tangannya gemas.
Pria berambut pirang itu kembali pada Tenten. Perlahan namun pasti Kise mendekati gadis itu dan tak lama kemudian tanganya menyentuh bahu kanannya.
Tentu saja Tenten terkejut dan segera menarik diri. Namun belum sempat ia melakukannya, telapak tangan Kise mengeratkan pegangannya. Dan saat itu terjadi, Tenten bersumpah bahwa ia sangat takut kalau pria berambut pirang itu melukainya. Karena jujur saja, ia sedang tidak dalam keadaan baik untuk melarikan diri dari seorang pria yang hendak berbuat macam-macam padanya. Tenaganya sudah terkuras saat ia berusaha melarikan diri dari pria jelek bertubuh tambun tadi.
"Tenang Nona, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tenangkan dirimu dan masuklah ke mobilku, aku akan berbuat sesuatu pada luka-luka di wajahmu." Katanya menenangkan.
Dahi Tenten berkerut. "Apa kau bodoh? Untuk apa aku percaya padamu?"
"Aku tau Nona, kau baru saja lepas dari keadaan yang entah apa itu. Tapi melihat wanita cantik sepertimu di keadaan seperti ini membuat hatiku teriris. Akan kuantar kau pulang setelah aku mengobati luka-lukamu. Atau agar kau lebih percaya, aku bisa membawamu ke klinik yang tak jauh dari sini."
Pertahanan Tenten melemah. Kedua bahunya yang tadinya terangkat menurun perlahan di barengi dengan tatapannya yang kosong pada ribuan air yang menghujam ke aspal jalan.
Kise melepas jas hitamnya dan mengalungkan benda tersebut pada gadis di hadapannya. Bukan untuk melindungi Tenten dari dinginnya air hujan, tapi untuk menutupi bagian tubuh atas gadis itu yang terekspose dari mata umum meski tak ada seorang pun di sana kecuali dirinya.
.
.
Kepulan asap cokelat panas di atas meja kayu berwarna putih di dapur rumah seorang pria berambut pirang beranama Kise menjadi perhatian Tenten selagi dirinya berusaha menghangatkan dirinya menggunakan jubah handuk pemberian pria itu.
Ia sudah membersihkan dirinya dari guyuran hujan tadi. Tubuhnya sedikit gemetar meski air yang ia gunakan untuk mandi tadi adalah air panas. Tenten mengigit bibir bawahnya dan tak terasa cairan hangat terasa meleleh membasahi pipinya. Kedua tangannya mengenggam ujung jubahnya dengan posisi memeluk pingangnya di atas kursi kayu.
Tidak ada yang bisa Tenten lakukan karena sang pemilik rumah sedang sibuk dengan temannya yang berambut merah menyala tadi. Dan juga Kise berkata bahwa akan ada seseorang yang lebih ahli untuk menangani luka-lukanya. Entah siapa lagi yang akan datang, namun yang pasti Tenten sekarang takut jika keputusannya untuk ikut kerumah Kise adalah pilihan yang salah.
"Kise-san, aku sudah datang."
Suara seorang gadis menggema di seluruh ruangan. Membuat Tenten sedikit terkejut karenanya. Hanya selang beberapa detik iris hazelnya melihat gadis berperawakan tak seberapa tinggi bersurai madu berdiri di pintu dapur dengan satu tangan menyentuh kusennya. Iris hazel keduanya bertemu. Meski begitu, kedua menyiratkan tatapan yang berbeda arti.
"Kau siapa?" Tanya gadis berambut pendek itu pada Tenten.
"Aku..."
"Kita sudah membicarakan ini tadi saat di telfon bukan?" Kata Kise tiba-tiba datang merangkul bahu gadis itu.
Tentu saja sang pemilik bahu terkejut dan segera menoleh pada Kise yang berdiri di sebelahnya. Mengapit dirinya di antara tubuh tegapnya dan kusen pintu.
"Dia membutuhkan jemari terampilmu Riko Sayang. Kau lihat lebam dan luka di wajahnya? Orang yang tepat untuk pekerjaan itu adalah kau."
Gadis bernama Riko itu mengangguk mengerti. "Baiklah. Aku tau. Dan untuk permulaan, bisakah kau menjauh dariku? Badanmu sangat bau dan basah." Katanya mendorong Kise menjauh.
"Bukankah itu yang membuatmu tak bisa jauh dariku?" Godanya menyentuh dagu Riko.
oOo
"Jadi.. siapa namamu?" Riko membuka pembicaraan setelah dua gadis itu diam selama Riko mengobati lukanya.
"Aku Tosihiro Tenten. Terimakasih atas bantuanmu. Aku merasa lebih baik sekarang." Ulasan senyum tipis terlihat mengembang di wajah Tenten.
Riko memasukkan peralatannya kedalam kotak obatnya dan beralih pada Tenten setelahnya.
"Sama-sama. Senang bisa membantumu. Kurasa kita bisa jadi teman. Atau saudara?" Alis Riko terangkat cepat.
"Saudara?"
Gadis itu mengangguk ringan. "Iya saudara. Apa kau tidak merasa bahwa kita ini hampir mirip?"
Tenten tertawa kecil.
"Kupikir tidak." Lirih Tenten. "Orang-orang baik seperti kalian tidaklah pantas ada di sisi manusia hina sepertiku."
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
Dengan mata sedikit berair, ia melepas bebatan handuk yang membungkus rambut basahnya dan hendak berjalan menuju kamar mandi.
"Sudahlah tidak perlu kau pikirkan. Aku harus segera mengeringkan bajuku agar aku bisa lekas pulang."
"Pulang? Keadaanmu belum memungkinkan untuk kau pulang. Lagipula di luar hujan. Kau harus tetap di sini sampai lukamu mengering. Akan infeksi jika sampai luka itu terkena air hujan."
"Sungguh aku harus pulang. Jika tidak.."
Tenten menghentikan kata-katanya. Gadis itu tertegun sesaat menatap kosong ke sembarang arah.
Riko mendekati Tenten menyentuh bahu gadis itu. "Jika tidak?"
'Mereka akan menghajarku.' Imbuh Tenten dalam hati.
"Baiklah, apapun alasanmu aku tidak mengijinkan kau pulang sekarang. Beristirahatlah terlebih dahulu. Aku dan Kise-kun akan mencari sesuatu yang hangat untuk kau dan Akashi."
"T-tapi.."
"Ayolah. Semuanya akan baik-baik saja." Kata gadis bersurai pendek itu menggelayut bahu Tenten.
"T-tapi.. kalian mau kemana malam-malam seperti ini?"
"Bukankah sudah kubilang akan mencari sesuatu yang hangat untuk kau dan si arogan Akashi? Ini Tokyo Nona, kapanpun dan apapun bisa kau temukan di sini." Alis Riko bergerak-gerak keatas dan kebawah.
oOo
Lampu temaram di kamar Kise masih bertahan sejak pria pirang itu memutuskan untuk keluar dari sana dan lebih memilih pergi entah kemana.
Seseorang yang berbaring di ranjang Kise dengan posisi telentang perlahan beringsut bangun dan sesaat mengucek kedua matanya. Kepalanya terasa berputar dan juga sakit. Jemari panjangnya terangkat ke kepala dan meremas bagian kanan kepalanya berharap rasa sakitnya sedikit lenyap. Tapi apa mau di kata, Tequila yang ia tenggak tadi terlalu banyak. Bukan salah orang lain, melainkan salahnya sendiri. Kise bahkan sudah jelas-jelas memperingatkan dirinya agar tak terlalu terlena pada cairan alkohol itu. Namun bukan Akashi namanya jika ia menurut begitu saja.
Masih dalam balutan kemeja dan celana panjang sisa kerja tadi pagi, Akashi perlahan menurunkan kakinya dari peraduan hangat tersebut dan bermaksud ke dapur untuk menemukan sesuatu yang mungkin bisa sedikit menenangkan pikirannya. Ia tidak berharap banyak pada lemari es seorang Kise yang jarang berada di rumah. Tapi segelas air putih mungkin akan terasa cukup baginya untuk sedikit mengatasi rasa sakitnya dan membasahi kerongkongan keringnya.
Setelah pintu berawarna putih yang menjadi akses antara ruang kamar dan ruangan lain terbuka, ia melenggangkan kaki panjangnya keluar. Memang tingginya tak sebanding jika di bandingkan dengan Kise, namun ia termasuk pria yang tinggi menurut orang lain.
Lagi-lagi ia mengucek matanya dan membuka kancing kemejanya. Akashi menuruni tangga dengan tempo gerakan layaknya orang biasa yang tak mengalami apa-apa. Sedikit pusing namun ia tetap bisa berjalan dengan normal.
Tak mempedulikan keadaan sekitar, ia segera menuju dapur dan mengambil apa yang dia inginkan. Setelah mendapatkannya, barulah ia tersadar bahwa ada seseorang yang sedang berbaring di atas sofa ruang keluarga sang pemilik mata topaz. Alisnya perlahan menyatu saat melihat helaian cokelat yang di kuncir menggantung pada sandaran sofa. Akashi tidak tau siapa orang itu. Namun yang jelas, ia sedang menghadap ke layar LED besar di depannya yang menyala.
"Kau siapa?" Tanya Akashi tanpa basa-basi.
Sedetik kemudian pemilik surai cokelat itu tersentak dan otomatis berdiri menghadap Akashi yang berdiri tak jauh di belakangnya.
"A-aku.."
Wajah Akashi kembali dingin saat gadis itu berbalik menatapnya. Ia tau siapa gadis yang berdiri di hadapannya hanya dengan menggunakan jubah handuk dan juga plester luka di beberapa sudut wajahnya.
"Oh, kau si gadis pelacur." Katanya ringan.
"Jaga mulutmu Tuan!" Rahang Tenten mengeras menahan emosi.
"Jika bukan lalu untuk apa kau kemari? Aku melihatmu saat di guyur hujan beberapa jam yang lalu di jalanan komplek. Dan karena sedikit rayuan dari Kise yang membuatmu terlena, kau sudah berani tampil dengan busana seperti itu di rumah orang yang tidak kau kenal. Apalagi namanya kalau bukan gadis pelacur?"
"Tuan, kau tidak tau siapa aku dan kau tak berhak berkata seperti itu padaku. Jika kau masih meneruskan perkataanmu itu, mungkin saja aku bisa berbuat hal yang lebih padamu."
Akashi tertawa renyah.
"Berbuat lebih apa? Kau akan memuaskanku di ranjang lebih dari saat kau memuaskan Kise, begitu?"
Tenten melangkah menghampiri pria itu. Setelah ia merasa lebih dekat dengan Akashi, tangan kanan Tenten terayun begitu saja ke udara dan mendaratkan tamparan keras pada pipi pemuda itu.
Jelas saja Akashi terkejut. Tidak pernah ada seorang pun yang berani melakukan ini padanya bahkan teman dekatnya sendiri. Tapi kali ini, seorang gadis yang hanya bermodalkan jubah handuk yang melekat di tubuhnya memiliki nyali besar untuk menampar wajahnya.
Akashi mengeluarkan smirknya. Menatap tajam Tenten yang tak lebih tinggi darinya. Ujung jari kanannya menyentuh bagian merah bekas tamparan sang gadis di pipinya. Baiklah, mungkin gadis itu berpikir tidak akan mendapat konsekuensi yang ia terima setelah menampar pipi Akashi. Tapi ia salah besar. Akashi murka dan pria itu tau bagaimana cara membalas tangan brutal yang baru saja menamparnya.
"Kuharap kau tau konsekuensi atas perbuatanmu, Nona!"
Aura dingin Akashi menyelimuti Tenten. Gadis itu mencoba mundur namun gagal karena Akashi terlebih dahulu menarik tangannya mendekat. Cengkraman kuat Akashi pada pergelangan tangan sang gadis membuat sang pemilik merintih kesakitan dan mencoba untuk melepaskan diri. Namun apa mau di kata, tidak akan ada seorang pun yang bisa meredakan emosi singa yang sedang memuncak.
Pria itu terus menyeret Tenten kelantai atas dan membawa masuk sang gadis kedalam kamar yang ia tempati tadi. Ia membanting kasar Tenten ke atas ranjang lalu berbalik untuk mengunci pintu kamarnya dan membuang benda kecil itu ke sembarang arah. Hazel Tenten sempat melihat kuningan kecil itu jatuh masuk kedalam bawah lemari kayu jati yang berada di sisi dinding.
Tenten sedikit memindik takut ketika mata berbeda warna Akashi terlihat menyala akibat pantulan cahaya lampu di atas laci.
"Kau sudah berani menyentuhku dengan tangan penuh dosamu, dan sekarang akan kubuat kau menyesal terlahir di dunia ini." Kata pria itu dingin.
Pandangan Akashi menggelap. Persetan dengan strata keluarga Akashi yang menjunjung tinggi martabat dan kehormatan seorang wanita. Gadis ini di telah memporak porandakan garis batas emosi dalam dirinya. Jika hanya bicara mungkin ia bisa terima. Tapi tadi, ketenangan batinnya terusik karena satu tamparan dan itu membuatnya murka.
Satu cengkraman keras Tenten terima begitu saja dari Akashi ketika pria itu menindih tubuhnya cepat dan dengan brutal mencumbu leher jenjangnya. Banyak yang hal yang Tenten pikirkan untuk keluar dari keadaan ini. Namun tenaga yang ada pada dirinya tak cukup kuat untuk melakukan itu semua. Ia hanya berusaha menjauhkan pria di atasnya dengan memukul berkali-kali punggung Akashi.
Tak peduli dengan rasa sakit yang Akashi terima dari Tenten ketika gadis itu memukul punggungnya. Pria berambut cerah itu terus saja memberikan 'kiss mark' pada leher Tenten meski ia agak kesulitan di karenakan gadis itu yang menoleh kesana-kemari memberontak tak karuan.
Setelah di rasa cukup, Akashi beringsut berdiri menatap gadis di hadapannya penuh nafsu. Lagi-lagi ia menyeringai dan sesaat kemudian ia melirik laci yang tak jauh darinya. Pria itu tau apa isi laci tersebut berkat kebiasaan disiplin Kise yang selalu mengembalikan barang-barangnya ke tempat semula setelah di gunakan.
Langsung saja dengan satu gerakan cepat, ia membuka laci tersebut dan meraih gunting dari dalam sana.
Akashi mendapatkan apa yang dia inginkan dan beralih pada Tenten yang masih terdiam karena syok dengan raut wajah ketakutan. Akashi meraih kedua bahu Tenten, menarik berdiri gadis itu dan membanting kasar punggung kecil tersebut pada dinding.
Masih dalam keadaan dirinya di antara dinding dan Akashi, Tenten berusaha diam namun tak berhenti untuk memberontak. Mata Tenten mendelik takut begitu ia menyadari perlahan benda tajam di tangan Akashi naik. Dengan nafas memburu, ia mencoba tenang. Sedetik kemudian mata hazel Tenten tertutup rapat.
Crash..
Ikat rambut putih milik Riko yang ia gunakan untuk mengikat rambut panjangnya putus dan otomatis membuat rambut setengah basahnya terurai menutupi sebagian wajahnya. Ia membuka matanya dan sedikit tersenyum lega. Namun lagi-lagi perasaan itu tak berlangsung lama. Tenten kembali di buat terkejut saat Akashi menghimpit dirinya sementara tangan kirinya menahan pergelangan kanannya dan tangan kanannya merangkul pingganya erat. Gadis itu terpejam rapat ketika ia tak dapat bernafas karena Akashi yang secara paksa melumat bibirnya kasar.
"Hhh, kau pria gila! Lepaskan..."
Hanya racauan seperti itu yang keluar dari bibir Tenten sesaat ketika Akashi melepas cumbuan basahnya untuk sekedar bernafas.
Tak ada jawaban apapun dari Akashi. Pria itu terus melumat bibir ranum sang gadis tanpa ampun.
Setelah Akashi puas melakukan adegan dinding yang ia lakukan, ia menarik Tenten dan kembali menempatkan Tenten pada ranjang. Ia melempar gunting yang sebelumnya berada di tangannya ke sembarang arah.
Gadis itu segera bangkit untuk keluar dari sana. Setelah berhasil turun dari ranjang, ia meringkuk dan memasukkan tangannya ke bawah lemari untuk meraih kunci yang tadi jatuh kesana.
Tenten gemetar. Tentu saja, bukan hanya gemetar. Ia ketakutan setengah mati. Bagaimana tidak, sebelumnya ia berhasil meninju perut pria berbadan tambun yang akan merenggut kegadisannya setelah bersusah payah mencari celah. Tapi setelah ia mendapat kebaikan hati dari seorang pria, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit karena mendapatkan kelakuan brutal temannya yang dendam karena tamparan yang ia layangkan.
Sadar akan Akashi yang mendekat, Tenten segera berdiri meski ia gagal mendapatkan apa yang ia cari.
Tidak berhasil. Akashi lebih cepat dari yang ia bayangkan. Saat Tenten berdiri, yang ia sadari adalah kedua tangan Akashi sudah memeluk pinggangnya dari belakang.
"Diamlah kau gadis pelacur. Bukankah ini pekerjaanmu? Kenapa kau jual mahal dengan menolakku, hah?!" Akashi membalik tubuh Tenten dan merengkuh rahang mungilnya dengan kedua tangannya.
Tenten sesenggukan. Ia berusaha berontak namun selalu gagal. Air mata yang sejak tadi ia bendung tak dapat lagi di tahan. Tangisnya pecah. Air matanya turun begitu saja membasahi tangan Akashi yang masih berada di wajahnya.
"Kumohon Tuan, maafkan aku. Kau boleh membalas tamparanku jika memang itu maumu. Kau boleh membalas tamparan itu berkali-kali lipat. Tapi kumohon tidak untuk ini." Katanya dengan suara parau.
"Tadinya itu yang aku mau. Tapi setelah melihat keagresifanmu dan tubuh molekmu, aku berubah pikiran. Kau berhasil menarik eksistensiku dan aku ingin mendapatkan yang lebih dari yang Kise dapatkan. Berapa yang kau mau? Sebutkan saja."
"Tidak terjadi apapun antara aku dan Kise. Aku juga tidak butuh uangmu. Yang aku inginkan hanyalah pergi dari sini."
Akashi menyeringai sembari menundukkan wajahnya tanpa melepas tangannya dari wajah Tenten. Tak lama ia pun mendongak dan tertawa terbahak.
"Pergi dari sini? Itu yang kau mau?"
Tenten mengangguk lemah.
Brakk..
Satu tangan Akashi memukul pintu lemari yang berada tepat di belakang Tenten.
"Tidak! Kau tidak akan pergi kemana-mana. Kau harus menuruti perkataanku dan itu adalah mutlak. Tidak ada penolakan!"
.
.
Deru pendingin ruangan di telan bulat-bulat oleh dua insan yang berbaring di peraduan dengan hanya di tutupi oleh sehelai bed cover putih. Tangan sang gadis ia selipkan di bawah bantal putih sementara tangan yang lainnya mencengkeram ujung selimut yang menutupi tubuh hingga batas dadanya. Sedangkan sang pria meletakkan tangan kirinya melewati kepala Tenten sekaligus di gunakan sebagai bantal oleh gadis itu. Tangan kanannya menelusup ke balik selimut merengkuh dada Tenten membunuh jarak di antara mereka merasakan kehangatan tubuh yang di hasilkan oleh keduanya.
Mata Akashi terpejam rapat, mempererat rengkuhannya pada gadis bersuari cokelat di depannya. Sesaat ia mencium puncak kepala Tenten lalu meletakkan dagunya di sana. Akashi tersenyum sesaat ketika ia mendengar nafas berat yang Tenten hembuskan.
"Apa kau sudah lebih tenang sekarang?" Akashi melirik Tenten lewat sudut matanya.
"Kau bercanda? Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan. Meski keadaanku tak baik, tapi otakku masih bisa di gunakan untuk berpikir."
"Boleh aku mengetahui lebih jauh tentangmu?" Tanya Akashi.
Kedua mata Tenten terbuka pelan.
"Untuk apa? Bukankah kau hanya menganggapku seorang pelacuran?"
"Jawab saja! Apa kau benar-benar seorang pelacur?"
"Apa kau ragu tentang identitasku?"
"Jika kau lebih senang menyebutnya sepert itu, terserah. Tapi di lihat dari permainanmu, kau bukan pemain yang handal. Tempomu masih kacau. Kau tidak bisa menyelaraskan gerakanku. Pelayananmu benar-benar buruk." Cecah Akashi perlahan.
Akashi lelah. Tentu saja. Setelah satu jam ia beradu pada Tenten, tenaganya terkuras habis. Di tambah lagi Tenten yang tak henti-hentinya berontak sampai pada akhirnya gadis itu menyerah ketika kejantannya menyatu dengan lubang sucinya.
"Kau benar. Aku memang tidak ahli dalam bidang itu. Itu karena aku memang bukan pelacur. Keadaan yang memaksaku menjadi seperti ini. Namun hingga detik dimana kau membasahi daerah intimku dengan lidahmu, aku sudah merasa menjadi gadis kotor. Di tambah lagi ketika kau menerobos daerah terlarangku. Aku sudah merasa masa depanku hancur di tangan seorang pria yang tidak kukenal." Ujar Tenten panjang lebar dengan sesekali menghirup nafas panjang dan membuangnya perlahan.
Akashi terkejut bukan main. Apa yang sudah dia lakukan? Mencuri kesucian seorang gadis yang selama ini menjaga daerah pribadinya hanya untuk orang yang pantas. Sungguh Akashi bersumpah, ia tak tau apa yang merasukinya hingga ia melakukan hal sekotor ini.
Baru tadi pagi tunangan yang sangat ia cintai memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Ia sudah di buat stress oleh itu semua. Di tambah lagi masalah pekerjaan yang sangat memuakkan.
Entah iblis macam yang merasukinya hingga tega merenggut hal yang sensitif bagi setiap wanita. Padahal selama ini ia selalu menjunjung tinggi martabat wanita di atas segalanya berkat didikan dari keluarganya. Ia bahkan menahan diri pada tungangannya dan pada gadis mana pun untuk melakukan perbuatan sejauh ini meskipun dia ingin. Karena ia berjanji pada dirinya sendiri, di saat ujung kejantannya memasuki selaput dara seorang wanita untuk pertama kalinya, ia bersumpah akan menjadikan wanita tersebut menjadi miliknya selamanya. Dan kini, tepat di hadapannya adalah wanita yang ia renggut paksa kesuciannya. Itu artinya-
"Tak perlu kau pikirkan. Aku akan melupakan semuanya dan menganggap tak ada yang terjadi di antara kita." Kata Tenten tiba-tiba.
Apa yang gadis ini katakan? Bagaimana bisa ia melupakan kejadian ini begitu saja? Jujur saja Akashi tak mau melupakan apa yang baru saja ia lakukan dengan gadis ini. Meski hanya beberapa saat, tapi Akashi sungguh menikmatinya dan kini seolah menjadi candu tersendiri baginya. Aroma tubuh Tenten, lenguhan suaranya ketika ia memanjakan daerah intimnya dengan sapuan lidahnya, juga rintihan serta jeritan eksotisnya ketika mereka mencapai klimaks. Sungguh kejadian yang tak akan Akashi lupakan walau hanya sesaat.
"Melupakannya begitu saja?" Akashi tertegun.
Tenten mengangguk pelan.
"Iya. Aku di ajarkan untuk menghilangkan memori yang kualami bersama pelanggan yang tak kuinginkan oleh para iblis berwujud manusia itu. Dan berkat dirimu, aku bisa mempraktekannya sekarang dan aku tak perlu ragu lagi untuk kedepannya melakukan hal seperti ini dengan pria lain." Jawabnya.
Hati Akashi terasa seakan di tusuk oleh tubuan jarum halus ketika Tenten melontarkan kata-kata seperti itu. Bercinta dengan pria lain? Yang benar saja. Baru beberapa jam yang lalu ia mengenal Tenten dan ia sudah merasa menjadi pemilik gadis ini. Akashi tidak akan rela dan membiarkan hal seperti ini terjadi pada Tenten dengan pria lain. Tidak. Sudah cukup ia melepaskan wanita yang ia cintai sekian lama. Ia tidak ingin lagi melihat gadis yang sudah berhubungan dengannya pergi untuk kedua kalinya.
"Jangan lakukan lagi!" Sergah pria itu bernada dingin.
"Sudah kepalang basah. Aku sudah gagal menjaga harga diriku. Untuk apa lagi aku bersikap segan. Lagipula banyak yang akan senang mendengar kabar tentang jatuhnya harga diriku."
"Kukatakan sekali lagi padamu! Tetap pertahankan harga dirimu. Jangan membiarkan laki-laki lain menyentuhmu."
Lagi-lagi Tenten menghela nafas. Ia beranjak duduk dan meraih jubah handuk yang ia gunakan tadi di bawah ranjang.
"Sudahlah Tuan. Kau tidak perlu sungkan. Memang inilah yang mereka harapkan dariku. Susah payah aku menjaga harga diriku dan kini telah rusak karena seorang pria. Aku menjaga sikapku mati-matian hanya untuk menjadi manusia yang berbeda dari iblis-iblis di sekitarku sekaligus menjaga nama baik Marga yang di sematkan di belakang namaku." Kata Tenten di tengah ia membalut dirinya dengan kain tebal itu. "Seperti yang kau katakan tadi Tuan, kau akan memberikan berapapun yang kumau. Setelah aku membersihkan tubuhku, kita akan membuat kesepakatan harganya."
Gadis itu beringsut turun meninggalkan Akashi yang masih terdiam pada posisinya menuju ke kamar mandi. Pria itu tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang di lontarkan oleh gadis itu. Ia bersumpah hatinya terasa teriris melihat Tenten yang mengucapkan kalimat itu dan meninggalkannya di atas ranjang begitu saja.
Drrt.. drrt..
Ponsel Akashi yang sebelumnya di letakkan oleh Kise di bagian atas tempat tidur bergetar lama. Tanpa melepas matanya dari Tenten yang masih berjalan menuju ke kamar mandi, ia meraih ponsel dan menerima panggilan tersebut.
"Hn?" Tanyanya dengan nada datar.
'Akashi, aku tau apa yang coba kau lakukan pada gadis itu. Jangan pernah menyentuhnya karena dia gadis baik-baik. Buka pintunya sekarang karena aku sudah berada di depan!' Kata Kise yang lebih menjurus ke perintah.
"Apapun yang kami lakukan bukanlah urusanmu. Sekarang dia milikku dan tidak ada yang berhak atas dirinya selain aku. Pergilah dari sini. Tinggalkan kami berdua." Kata Akashi lalu menutup panggilannya.
'Demi Tuhan apa dia gila?! Memintaku untuk pergi dari rumahku sendiri?!'
Seperti itulah racauan Kise yang dapat Akashi dengar dari dalam kamar. Tak peduli dengan ocehan pria berambut pirang itu, Akashi segera bangkit menghampiri Tenten yang sudah berada di kamar mandi. Pria itu membuka paksa pintu kamar mandi yang tak terkunci. Akashi diam sesaat ketika mendapati Tenten sedang telanjang di bawah guyuran shower di atasnya.
Tenten yang tadinya menghadap ke dinding segera berbalik begitu ia menyadari Akashi berdiri dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Kedua tangannya yang tadi ia gunakan untuk membasuh rambutnya ketika keramas otomatis turun menutupi tubuh telanjangnya meski hanya sebagian kecil saja.
"Sepeser pun tidak akan kuberikan jika kau menganggapnya sebagai bayaranmu. Tapi akan kuberikan semua milikku sekarang juga tak peduli kau menolak atau tidak karena aku menginginkanmu."
Brakk..
Akashi menutup kasar pintu kamar mandi lalu menerkam tubuh mungil Tenten di bawah guyuran shower. Keduanya basah tak tertahankan. Busa shampo dari surai panjang cokelat Tenten turun perlahan memberikan kesan intim lebih dalam pada mereka berdua.
"Ahhnn..."
Tenten mengejan dengan mendongakkan kepalanya ke atas ketika tangan Akashi meremas bagian intimnya tanpa aba-aba. Di tambah cumbuan mesranya pada lehernya membuat gadis itu larut semakin dalam pada permainan Akashi. Otomatis Tenten mengalungungkan lenganya ke leher Akashi dan menempelkan dadanya pada dada bidang Akashi. Ia meletakkan dagunya di bahu kanan Akashi menikmati setiap sentuhan yang memberikan sensai nikmat dan menggelikan dari pria berambut merah itu.
"Kau milikku dan itu perintah." Kata Akashi di tengah kegiantannya memanjakan Tenten.
To Be Continued...
Ran Megumi comeback! XD
Crossover Kuroko no Basket X Naruto.
Pada tanya kenapa?
Karena Ran lagi suka sama Kuroko no Basket dan ingin membuat fanfic tentang mereka tanpa membuang Tenten kesayangan XD
Aneh? Gaje? Absurd?
Just for fun aja minna :) Ini hanya twoshoot. Anggap aja sebagai selingan di tengah Ran melanjutkan 'Gadis pencuri' sama 'Ambivalence' :))
See you guys ;))
