Summary : Erza baru saja meninggal. Saat liburan musim panas, aku sempat melihatnya sedang bermain di depan sekolah, kuharap itu bukan mimpi, ternyata dia benar-benar Erza. Kau aslikan, Erza?
Fairy Tail bukan punya author, tetapi punya Hiro Mashima
Pada hari Senin, lebih tepatnya pada tanggal delapan, bulan Juli lalu. Erza, sahabatku, telah meninggalkan dunia ini dengan mengengam setangkai bunga ditangannya. Ia tersenyum, menandakan telah pergi dengan iklas. Padahal biasanya, Erza menangis dibalik tirai rumahnya. Mungkin di mata orang lain dia adalah gadis lemah dan cengeng, tetapi dimataku dia lebih tegar dari siapapun.
Dirinya yang saat itu berada dibalik tirai, menjadi awal dari pertemuan ini. Siang itu aku sedang dalam perjalanan pulang, samar-samar aku melihat seorang anak perempuan yang sedang menangis. Tanpa kusadari, kakiku melangkah ke rumah bercat hijau tersebut. Kini dengan kedua mataku, dengan jelas bisa kulihat punggungnya. Suara tangisan itu membuat hati kecilku ini merasa iba, mungkin itulah penyebab kakiku bergerak secara tiba-tiba.
"Apa yang kamu tangisi?"
"Hiks…hiks…"
Tanganku seperti bergerak sendiri. Aku membuka jendela rumah yang kebetulan tidak dikunci olehnya. Tangan kananku mengelus kepalanya pelan, berharap ia akan segera berhenti menangis. Anak yang kira-kira berumur dua belas tahun tersebut menoleh kearahku dan mengusap air matanya.
"Kakak ini siapa? Maling?" tanyanya dengan wajah polos
"Hanya kebetulan lewat saja. Kenapa kamu menangis?"
"Bagaimana kakak bisa tau, jika aku menangis?"
"Entah, firasatku berkata begitu" jawabku berbohong, padahal suara tangisannya sangat terdengar jelas
"Kata ibu, jika ada orang asing yang bertanya tidak boleh dijawab. Maaf, aku tidak bisa memberitau kakak"
"Tidak apa-apa kok. Sepertinya aku terlalu dekat denganmu, padahal kita baru bertemu"
"Untuk apa minta maaf? Justru aku ingin kamu lebih dekat denganku"
"Hey, aku ini orang asing. Kamu tidak takut padaku?"
"Kakak adalah pahlawanku. Jika kakak tidak mendatangiku, aku akan terus menangis hingga mataku terasa sakit untuk dikedipkan"
"Kamu terlalu berlebihan" ucapku sambil tersenyum malu
"He…hei…apa boleh aku memelukmu? Meski hanya bisa memeluk lehermu, kumohon…"
"Ba…"
Belum selesai aku berbicara, dia langsung memelukku dengan eratnya. Pelukannya begitu hangat, mendadak aku teringat akan ibu yang berada di surga. Ingin aku membalas pelukannya, tetapi tanganku terlalu kaku untuk digerakkan. Setelah melepaskan pelukannya, aku bergegas pergi meninggalkannya. Matahari sudah mau terbenam, sebentar lagi malam akan tiba. Tiba-tiba saja anak itu berteriak, sehingga langkahku terhenti.
"Kita belum berkenalan!" teriaknya sambil berjalan mendekatiku
"Memang penting?"
"Tentu saja, karena kakak adalah pahlawanku. Maka dari itu aku harus mengenalmu"
"Namaku Jellal, lebih lengkapnya Jellal Fernandes"
"Namaku Erza, Erza Scarlet. Aku punya satu permintaan, apa kakak mau mengabulkannya?"
"Kalau tidak sulit mungkin aku bisa"
"Kumohon jadilah temanku!"
"Se…serius?"
"Apa kakak mau?"
"Ba…baiklah" ucapku merasa ragu
"Sebelum pulang, aku ingin kakak mengucapkan sesuatu, sebagai tanda perkenalan, boleh?" pintanya
"Eto…jangan menangis lagi, kamu pasti lebih cantik jika tersenyum" ucapku tanpa memandang kearahnya, karena merasa malu
Setelah mengucapkan itu aku mengelus kepalanya sekali lagi. Sebuah senyum polos menghiasi wajahnya yang manis. Senja menjadi penanda perpisahan kami. Semenjak saat itu, kami berdua menjadi lebih dekat.
Pertemanan yang kami jalin tidak selalu manis, terkadang duka menambah indahnya persahabatan kami. Seingatku hari itu adalah hari Senin. Sebuah hari yang benar-benar buruk bagiku. Aibku sebagai seorang anak geng terbongkar karena beberapa orang mencariku untuk balas dendam.
"Kamukan yang bernama Jellal Fernandes?" tanya salah satu dari mereka
"Ya, itu aku. Ada perlu apa mencariku?"
"Apa kau lupa pada kami?!"
"Memang kalian siapa?" tanyaku sekali lagi
"Kami adalah orang yang kau hajar dengan pukulanmu!"
Secara tiba-tiba orang tak dikenal itu memukulku hingga terjatuh. Sudah kuduga, semakin banyak pertengkaran yang ditimbulkan, semakin banyak yang ingin balas dendam. Aku yakin bukan hanya mereka yang berkeinginan untuk balas dendam. Entah sudah berapa geng yang kukalahkan dengan tanganku ini. Ini adalah karma, aku siap menerimanya.
"Ada apa? Bukankah kamu orang yang paling agresif diantara semua anggota gengmu?!"
"Aku bukan lagi anggota geng! Aku adalah murid biasa!" tegasku
Sebanyak apapun aku membela diri, tetap saja itu tidak akan merubah kenyataan jika aku ini pernah menjadi anggota geng. Seseorang yang tidak kuharapkan muncul malah muncul tepat dibelakangku. Tanpa kusadari Erza terus memperhatikanku sedari tadi, aku hanya bisa terdiam seribu bahasa tanpa memandangnya.
"Kakak!" panggilnya
Dia memelukku dengan erat, seperti waktu itu. Ada apa dengannya? Ingin aku bertanya, tetapi perasaan bersalah terus menghantuiku. Bersalah karena tidak pernah menceritakan masa laluku padanya.
"Oh, rupanya kamu pedofil"
"PEDOFIL?! Apa ma…"
"Kakak bukan seorang pedofil! Dia pahlawanku!" teriak Erza kepada orang-orang tersebut
"Pahlawan? Orang seperti dia? Otakmu miring ya?" sindir salah satu dari mereka
"Terserah apa kata kalian. Jika kalian ingin memukul kakak, pukul aku terlebih dahulu!"
"Kau berani juga bocah. Aku terima tantanganmu"
Orang ini benar-benar serius akan ucapannya. Dia memukul Erza hingga terpental kebelakang, langsung saja aku berlari menghampiri Erza. Tak lama kemudian polisi pun datang, membuat gerombolan orang itu pergi meninggalkan kami berdua.
"Erza, apa kamu baik-baik saja?"
"A..aku baik-baik saja, hanya sedikit terasa sakit"
"Seharusnya kamu jangan sembarangan berkata seperti itu! Aku…aku tidak mau kamu terluka"
"Tetapi aku ingin melindungi kakak"
"Bukankah melindungimu adalah tugasku? Kamu tidak perlu melakukannya"
"Meski begitu aku akan tetap melakukannya! Dimataku kakak sangatlah berharga, aku tidak punya seseorang yang amat berharga, aku…maka dari itu aku ingin melindungimu! Berharap bisa menjadi sepertimu, bisa menjadi seorang pahlawan sepertimu!"
"Erza…apa setelah ini, kamu akan membenciku?"
"Tentu saja tidak! Tidak peduli seperti apa kakak di masa lalu, yang paling penting adalah masa sekarang"
Aku kagum padamu, mungkin Erza adalah teman terbaik sepanjang masa yang pernah kumiliki. Hal paling buruk yang terjadi adalah, ternyata selama ini Erza mengidap penyakit yang tidak ada obatnya. Sekarang aku hanya bisa melihatnya terbaring lemah tak berdaya, tidak ada senyum yang terpancar dari wajahnya kini.
"Maaf, jika selama ini aku merahasiakannya"
"Kenapa kamu tidak ke rumah sakit?" tanyaku tanpa mempedulikan omongannya barusan
"Apa kakak lupa? Penyakit yang kuidap ini tidak ada obatnya"
"Tapi, kita tidak akan tau jika tidak berusaha. Siapa tau kamu bisa diselamatkan"
"Aku pasrah, ini adalah takdir. Kakak juga harus menerimanya"
Menerimanya dengan semudah itu? Jika kamu bisa maka tidak denganku. Aku mana bisa membiarkan teman berhargaku mati begitu saja? Aku tidak ingin merasa kesepian lagi di dunia ini, apa salah jika memiliki harapan seperti itu?
"Selama aku hidup, hanya kamu satu-satunya temanku" ucapku memulai kembali pembicaraan
"Kakak juga satu-satunya temanku. Karena penyakitku ini aku tidak bisa bersekolah. Ayah dan ibu sudah bercerai, ibu sering pulang malam dan tidak pernah mempedulikanku. Mungkin setelah aku mati, ibu tidak perlu lagi merawatku, dia akan menjadi lebih bebas"
Apa ibumu sekejam itu? Aku merasa iba padamu, ucapku dalam hati. Dari hari kehari kondisi Erza semakin memburuk. Teman macam apa aku ini? Hanya bisa memandangnya tanpa berbuat apapun, apa hal yang kulakukan ini cukup? Apa itu membuatnya senang? Aku merasa gagal sebagai temannya.
"Apa kakak tau bunga melati?" pertanyaannya memecahkan lamunanku
"Tau, aku punya banyak di kebun rumah"
"Aku ingin melihat bunga melati. Tolong bawakan ya?"
"Tapi…apa tidak apa-apa meninggalkanmu sendirian?"
"Tenang saja, aku tau kakak akan kembali lagi. Jadi aku akan menunggumu"
"Tunggu aku Erza…"
Aku hanya berharap, semoga kamu tidak menutup matamu terlebih dahulu. Jarak dari rumah Erza kerumaku cukup jauh, sehingga aku harus mempercepat langkahku. Ketika sampai di kebun belakang rumah, aku langsung bertindak dan gesit memetik bunga. Setelah merasa cukup, aku kembali berlari untuk pergi ke rumah Erza. Firasatku benar-benar buruk, sangat buruk…
Setiap hembusan nafas
Setiap langkah kaki yang terambil
Sehelai demi sehelai kelopak bunga berguguran
Mnejadi sang penanda jejak langkah kaki
Jalan terasa amat panjang, serasa tiada ujung
Peliuh yang keluar dari sekujur tubuhku
Kini berubah menjadi setetes air mata
Bunga yang kupegang tinggalah setangkai
Bunga itu kuletakkan di atas tangannya yang mungil
Berharap terjadi suatu keajaiban
Tetapi…
Aku sadar akan suatu hal
Keajaiban hanyalah omong kosong
Persahabatkan kami berdualah keajaiban itu
Nyawa hanya satu
Tetapi persahabatan kita adalah selamanya
Sampai jumpa…
"Sampai jumpa Erza…" ucapku sambil memegang tangan kanannya erat-erat
"Bahkan di saat-saat terakhirmu, aku tidak bisa menemani disisimu. Aku benar-benar gagal sebagai pahlawanmu, sebagai sahabatmu. Apalagi, untuk terakhir kalinya aku tidak bisa memelukmu, aku menyesal…"
"Untuk terakhir kalinya, biarkan aku memelukmu Erza"
Kulitnya masih terasa hangat, seperti biasanya. Terakhir aku melihat Erza sebelum dia dikubur. Kulitnya menjadi lebih dingin, meski begitu rambutnya tetap halus dan juga aku masih bisa mencium wangi shampoo yang selalu dipakainya. Di lubang itulah Erza akan dikubur, bukankah dia takut gelap? Apa dia akan baik-baik saja?
Kini aku telah memulai liburan musim panas. Mungkin aku akan sendirian lagi, di tahun ini. Daripada bosan mengurung diri di rumah, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah. Sudah jelas di sana tidak ada siapapun. Tiba-tiba saja aku melihat sesosok wanita berambut scarlet panjang sedang menari-nari di depan sekolah. Sosok itu sangat familiar, bukankah itu…Erza?
Bersambung…
