REMAKE ROCK WITH ME
Pengarang: Kristen Proby
Chanyeol Gitaris band rock terkenal di dunia 'XXX' adalah orang terakhir di bumi ini yang akan Wu Baekhyun percaya. Dia sudah belajar tentang mencintai seorang selebriti dengan cara yang keras dan tidak ingin mengalaminya lagi.
Setiap kali Baekhyun bersikap kasar padanya, dia menjadi semakin tertantang. Apa yang sebenarnya telah ia lakukan padanya?
Sementara Chanyeol juga tidak terbiasa menghadapi wanita yang seolah memperlakukannya seperti ia adalah makhluk beracun.
Daya tarik seksual di antara mereka begitu kuat, Baekhyun dapat merasakannya. Tidak mungkin Baekhyun bisa menyangkal akan janji kenikmatan yang akan Chanyeol berikan ketika mereka bersama.
Namun kenikmatan selalu hadir dengan rasa sakit dan ketika rahasia yang terungkap dan kepercayaan diuji, siapa yang akan lari dan siapa yang akan mengejar?
.
.
.
CHAP 1
"Kau baik-baik saja?" Kris berbisik di telingaku saat dia memelukku. Kami semua sedang berkumpul di rumah barunya Luhan, sepupuku.
"Tentu saja, kenapa tidak?" Aku menyeringai. Kris mengedikkan bahunya dan kami berdiam cukup lama, kemudian kami sama-sama memandang satu Objek. Yaitu, Chanyeol. Adik Minseok (Tunangan Luhan).
"Menurutku Chanyeol tidak seburuk seperti apa yang kita pikirkan selama ini." Ujarku. Kakakku mengerutkan kening dan melirik kembali ke dalam rumah. "Dia bisa diajak bercanda." Sambungku lagi.
"Kuharap kau tidak akan menyesal dengan ucapanmu barusan." Katanya sebelum aku meninggalkannya menuju ke Mobilku.
Aku melambai ke arahnya sebelum masuk ke dalam mobil Mercedes putihku. "Kita akan bertemu di rumah ibu dan ayah pada hari Minggu kan?"
"Ya, kita akan bertemu di sana." Dia melambaikan tangan lalu bergabung dengan Zitao, istrinya yang sudah ada di dalam mobil lalu mereka pergi.
Aku memasang sabuk pengamanku dan mengendarai mobilku keluar dari pekarangan Rumah Luhan.
Semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing, kecuali Chanyeol sendiri yang masih membantu Luhan mengangkat beberapa kotak perkakas.
Aku merasa lega karena akhirnya bisa menjauh darinya.
Dia terlalu tampan untukku.
Oke, bukan itu masalahnya.
Aku melihat sesuatu dalam diri Chanyeol yang menggangguku. Tidak menakutkan, tetapi semua itu karena dia begitu ... menggairahkan. Dia membuatku tertarik dengan cara yang belum pernah kualami sebelumnya. Ini tidak ada hubungannya dengan band atau uangnya.
.
.
.
Tiba-tiba, beberapa mil jauhnya dari rumah Luhan aku tersentak ke depan.
Sial, ban mobilku kempes.
Aku menepi ke sisi jalan dan keluar dari mobil. Hujan mulai turun dengan deras dan udara menjadi dingin, Seoul terkenal dengan udara dingin yang menggigit di musim dingin. Terima kasih Tuhan, aku berpakaian sangat pas untuk hari ini, jeans, sepatu kets serta hoodie.
Aku berdiri di tengah hujan, hoodie merah yang kuapakai menutupi rambutku dan aku menatap ke arah ban ku yang bocor. Ini adalah akhir yang sempurna diminggu ini. Aku menghela napas dan melihat ke atas, ke jalan di sekitarku lalu kemudian menendang ban Mobilku dengan keras, dan sialnya itu membuat jariku sakit.
Aku melompat sambil berputar-putar dan kemudian menatap lagi kearah banku dengan kesal.
Ban sialan.
Yah, sebenarnya aku bisa saja menelepon jasa derek, tapi ini hanya ban kempes, dan aku bisa menggantinya tanpa harus menunggu seseorang menghentikan mobilnya dan membantuku.
Aku membuka bagasi mobilku, mengeluarkan ban cadangan, dongkrak dan kunci roda. Aku tidak tahu sebutan dari alat-alat itu, tapi aku bersyukur sekali bahwa ayahku sudah pernah mengajariku bagaimana menggunakannya.
Ketika aku bersandar pada mobil dan mengatur dongkrak di bawah as roda, ada mobil lain yang berhenti di belakangku.
Orang itu, Chanyeol
Tubuh rampingnya keluar dari mobil warna hitam miliknya dan berjalan ke arahku, sepatu Converse hitamnya berderak di atas kerikil. Dia mengenakan jaket kulit, terbuka di bagian depan, memperlihatkan kaos putih dan celana jeansnya yang longgar. Dia menutupi kepalanya dengan Beanie hitam.
"Ada masalah?" Dia bertanya dengan setengah tersenyum, bibirnya yang ditindik menarik perhatianku.
"Hanya ban kempes. Aku bisa menggantinya. Pergilah" Aku mulai bekerja melepaskan baut.
Chanyeol belum bergerak. Dia mengawasiku seperti Mandor bengkel.
"Kau tidak harus tinggal." aku ulangi lebih tegas dan melihat ke wajahnya yang tampan.
"Apa kau benar-benar berpikir bahwa aku akan meninggalkanmu di sini? di pinggir jalan untuk mengganti ban sendirian?" Dia bertanya, matanya dingin, dan Aku mengerutkan kening.
"Aku bilang aku bisa menanganinya."
Alih-alih segera kembali ke mobilnya dan pergi, dia malah bersandar di mobilku, menyilangkan tangan di dada, dan memandangku dengan matanya yang gelap sama dengan warna awan mendung yang siap menumpahkan air.
"Terserah." Aku mengangkat bahu dan kembali ke tugasku. Ya Tuhan, hujannya dingin dan angin bertiup kencang, membuat tanganku gemetar dan aku berharap ada sarung tangan, tetapi tidak akan kubiarkan Chanyeol melihat ketidaknyamanan ini. Beberapa baut dengan mudah kulepas tapi sampai baut yang terakhir, yang terlalu keras. Ini terlalu sulit.
Aku berjuang melepaskan, mendengus, hingga aku terjatuh duduk.
Tapi tetap saja Bautnya tidak bergerak.
"Ish." Gumamku menatap pada banku.
Aku merasa melayang ketika Tangannya yang kuat membungkus lenganku dan mengangkatku berdiri. "Ya Tuhan, kau sungguh mungil." Gumamnya lalu bergerak ke samping. Dia berjongkok di samping banku dan dengan mudah mengendurkan baut sialan itu.
Ini sungguh memalukan. Buru-buru aku berdehem cukup keras.
"Aku sudah melonggarkannya untukmu, Itu membuatmu mudah melepasnya." Aku mengatakan padanya sambil mengangkat dagu dengan keras kepala.
"Aku tahu." Ia terkekeh dan menarik banku yang kempes dari poros rodanya. Dari kekehannya aku tahu dia sedang Mengejekku. "Apa kau selalu keras kepala?"
Aku bersedekap, menempelkan tanganku ke tulang rusuk untuk menghangatkan telapak tanganku. "Kurang lebih begitu."
Dia tertawa dan menggeleng, jemarinya yang bertato memasang ban baru dan mengencangkan baut rodanya kembali. Aku tidak bisa berpaling dari tangannya, menelusuri warna terang dari tintanya.
Tatonya sungguh indah.
Dia biasanya bertelanjang dada saat konser dan masih banyak tato disana.
Aku menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan membuang gambaran dia bertelanjang dada keluar dari kepalaku saat ia menurunkan dongkrak yang ia pakai, mengumpulkan perkakasku dan menyimpan banku yang kempes kedalam bagasiku lagi.
"Padahal, Kau tidak perlu melakukan itu." Aku mengatakan dengan setengah tersenyum dan kemudian tertawa terbahak-bahak ketika ia merengut padaku.
"Baek, aku tidak akan meninggalkanmu di pinggir jalan untuk mengganti ban sendirian apalagi di tengah hujan. Kakakmu akan menendang pantatku."
Tentu saja. Dia hanya bersikap baik karena Kris. Sama seperti orang lain.
Secara sistematis aku kembali pada gayaku, meluruskan bahu dan membangun dinding itu kembali.
"Kau benar." Aku mundur, berjalan ke mobil putihku dan melarikan diri. "Akan kupastikan bahwa dia tahu jika Kau telah memberiku bantuan. Terima kasih."
"Kau kenapa?" Matanya menyipit melihatku, ibu jarinya terselip di saku celana jinsnya.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
"Kau sedikit rileks saat aku mengganti banmu dan kemudian tiba-tiba kau kembali menjadi ratu es."
Aku bukan Ratu es! Aku manusia, tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu atau orang lain melihatku sebagai wanita rentan!
"Semoga harimu menyenangkan, Chanyeol "
"Hei." Dia menghalangiku di pintu pengemudi, dan mengangkat daguku untuk menatap mataku. "Maaf, aku tidak bermaksud begitu."
Aku menggeleng dan mundur. Ya Tuhan, dia seperti magnet.
Dia memandangku dengan tajam sesaat kemudian mengangkat bahu. "Oke. Hati-hati saat mengemudi. "Dia berjalan kembali ke mobilnya, masuk dengan tenang di belakang kemudi dan menungguku untuk berjalan lebih dulu.
Siapa yang tahu bahwa bintang rock yang begitu terkenal, bisa bersikap gentleman?
Aku melambaikan tangan padanya dan menjalankan mobilku, menghembuskan napas untuk pertama kalinya dalam tiga puluh menit terakhir. Itulah pengaruh dari salah satu pria perkasa. Tidak heran dia begitu terkenal.
Dan aku tidak akan pernah terjebak kepada orang-orang sepertinya lagi.
Tidak akan pernah!
.
.
.
Sehun adalah anak Kris dan Zitao.
Aku tidak biasa memeluk bayi, tapi oh betapa aku memuja Bayi Tampan ini. Kami semua berkumpul di rumah orangtuaku, bersama seluruh anggota keluargaku. Semua keluargaku dan teman-temanku ada di sini dengan anak-anak mereka, Kris dan Zitao dengan Sehun dan Suho dengan Yixing.
Luhan dengan Minseok, dan gadis itu duduk dipangkuan Luhan di sofa, mereka sedang tertawa dengan intim. Luhan mendongak ke arahku dan mengedipkan matanya
.
"Sehun kenapa kau sangat tampan, Hmm?" Bayi manis berumur sembilan bulan ini cekikikan ketika aku memberikan tiupan raspberry di lehernya dan dia mencengkeram rambutku dengan tangan mungilnya. "Uh oh ... lepaskan rambutku, sayang."
Dia cekikikan lagi dan beberapa helai rambut pirangku masuk ke dalam mulutnya. "Ew. Apa kau tahu berapa banyak produk yang kupakai di rambutku, sayang. Ini jelas-jelas tidak bisa dimakan."
"Belakangan ini apapun akan dimasukan ke dalam mulutnya." Gumam Zitao yang duduk di sampingku, di lantai, punggung kami bersandar pada sofa. "Dia juga sering mengeluarkan air liur. Kurasa dia akan tumbuh gigi."
Seperti diberi aba-aba, Sehun tersenyum lebar, bangga menunjukkan kepada kami empat gigi depannya dan kami menertawakannya.
"Dia sangat manis." Aku mencium pipinya.
"Ya, memang." Mata Hitam Zitao bersinar saat ia menatap putranya kemudian ke arahku. "Aku berharap, adiknya juga". Bisiknya.
Apa? Aku terkesiap dan hampir menjatuhkan Sehun. "Kau tidak...?" Bisikku dan dia tersenyum kecil lalu mengangguk, dia tersenyum penuh cinta ke arah Kris yang telah mengawasi kami sedari tadi.
"Kapan kau akan mengumumkannya?" Aku bertanya.
Astaga! Bayi lagi!
"Mungkin setelah makan malam." Jawabnya saat Kris duduk di sebelahku, membuatku terapit oleh pasangan ini, dia mengambil Sehun dari pelukanku.
"Hai sayang." Ia mencium kening bayinya dan Sehun gembira saat melihat ayahnya. "Jadi, dia sudah memberitahumu?" Tanyanya lirih sehingga hanya aku yang bisa mendengar.
"Ya, dan aku sangat bahagia untukmu."
Mata cokelatnya yang lembut menatapku, aku bisa membaca pikirannya. Dia sudah menunggu begitu lama untuk mendapat kebahagiaan ini.
"Terima kasih." Bisiknya dan mencium kepala Sehun lagi. "Aku tidak bisa menunda hal ini lagi, sayang." Ujarnya pada Zitao mesra.
Zitao cekikikan. "Silakan saja." Kris mengangguk lalu berdiri sambil menggendong Sehun.
"Semuanya, aku punya kabar." Sehun melihat sekitar dengan bersandar di lengan ayahnya. Semua orang tenang dan mengalihkan perhatian mereka kepadanya.
Pandanganku menangkap Chanyeol dari seberang ruangan. Ini adalah acara keluarga pertama yang ia datangi, Dan berterima kasih pada Minseok yang telah membujuknya untuk hadir. Aku bertanya-tanya bagaimana dia menghadapinya.
Chanyeol mengedipkan mata padaku, tapi aku dapat melihat ketegangan di sekitar matanya.
Kami seperti satu keluarga yang sangat besar, bahkan lebih besar jika kalian terbiasa dengan keluarga besar dan aku tahu dia tidak terbiasa dengan itu.
Ibuku sudah mulai menangis, mengantisipasi berita ini. Begitulah dia, seperti biasa.
"Zitao dan aku." Kris menarik tangan Zitao sehingga dia berada di sisinya. "Akan punya bayi lagi."
"Astaga!" Jongdae yang pertama berseru, dan ruangan meledak menjadi ramai dengan sorak-sorai.
"Ya Tuhan, apa kalian pabrik bayi?" Kyungsoo bertanya dengan mata berlinang dan ia melompat memeluk Zitao. "Inilah yang terjadi jika kau terus melakukan hal-hal kotor."
"Ya, kami ingin punya banyak anak." Gumam Zitao sambil tersenyum, matanya bahagia. Kris tertawa pada Kyungsoo dan mencium Zitao sebagai rasa terima kasih.
"Ew." Gadis bermata bulat itu cemberut dan mundur.
Saat semua orang terus merayakan kabar baik, aku memutuskan untuk menyelinap keluar ruangan untuk mendapatkan udara segar setelah menyesap sedikit Minuman.
Aku mencintai mereka semua, tetapi terlalu banyak yang mereka lakukan sehingga aku mulai merasakan kebisingan dan aku perlu waktu untuk sendiri.
Aku mengambil sweater dari serambi dan pergi keluar ke teras belakang rumah orangtuaku, menarik napas dalam-dalam, dan bersandar di pagar melihat ke arah hutan di belakang perumahan.
"Kau butuh Tempat sunyi juga?"
.
.
.
-CHANYEOL-
"Kau butuh Tempat sunyi juga?" Tanyaku.
"Astaga!" Dia melompat kaget dan berbalik melihatku, tangannya menyilang di dada, matanya yang Cokelat cerah terbelalak. Aku hanya memberi ekspresi datar, berpegangan pagar di sekitar pinggulku, tetap di tempatku dan berseberangan dengannya tapi dapat mendengar dengusan amarah keluar dari dirinya yang bau Alkohol.
"Maaf, tidak bermaksud menakut-nakutimu." Aku tersenyum padanya dan melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Apa dia akan tersenyum? Merengut? Atau Menegakkan bahunya?
Aku akan senang jika bisa mencoba menghilangkan sifat mudah tersinggungnya.
"Aku hanya perlu satu menit untuk jauh dari kebisingan." Dia menelan ludah dan melihat kembali ke pepohonan. "Kukira kau menikmati Moment kebahagiaan Kris didalam",
Aku menyeringai dan menyilangkan tangan di depan dada. "Kau memiliki keluarga besar yang menyenangkan dan ramai, tapi itu aktivitas yang terlalu banyak bagiku."
"Kau bahkan terbiasa dengan lima puluh ribu penggemar berteriak-teriak dalam satu ruangan Chanyeol, Aku tidak bisa membayangkan jika ini bisa menjadi terlalu banyak untukmu."
"Itu berbeda." Inilah hidupku.
"Well, banyak hal yang dilakukan oleh keluarga ini. Terutama pada satu waktu." Dia tersenyum lembut padaku dan kemudian teringat untuk menenangkan diri lalu memalingkan muka.
Menarik.
"Minseok ingin aku datang, jadi di sinilah aku." Itu benar, dan aku akan melakukannya lagi. Sekarang Minseok menjadi milik keluarga ini, jadi aku akan melakukan apa yang aku bisa, untuk menyesuaikan diri dan membuatnya bahagia.
Selain bandku, satu-satunya keluargaku hanya Minseok.
"Kau baik sekali." Dia menyeringai saat mengucapkan kata 'baik' dan aku tidak bisa menahan tawa dan berjalan ke arahnya.
"Percaya atau tidak, aku bisa bersikap baik."
Dia mengangkat bahu dan menatap tanganku yang mencengkeram pagar lagi. Dia sudah melihat tanganku berkali-kali, Aku penasaran setelah melihatnya apakah tato membuatnya bergairah atau membuatnya jijik.
Biasanya tidak ada jalan tengah diantara kedua jawaban itu, dan aku tidak peduli dia memilih yang manapun.
Dia menarik napas dalam-dalam hingga gemetar dan menatap wajahku, matanya sedikit lebih terang dan bibir merah mudanya sedikit terbuka. Jelas dia bergairah...
Aku dapat memahaminya.
Aku mengangkat tanganku untuk menyentuh pipinya, Hingga kurasakan dia tersentak mengantasipasi dan aku tidak bisa menghindar dari luapan reaksi amarah atas reaksinya. Ini seperti bentuk Traumanya hingga ia membangun sebuah Benteng yang tak mudah ditembus, sekalipun aku merobohkannya dengan kekuatanku.
Apa dia pernah disakiti oleh seseorang?
"Tenanglah." Aku menarik beberapa helai rambutnya dan menunjukkan padanya sebelum membiarkan jatuh ke tanah.
"Maaf." Bisiknya. Kami terdiam sebentar. Aku menarik nafas dan dia mengerti, bahunya sudah rileks.
"Apa yang bisa membuatmu senang? Maksudku hal apa yang akan kau lakukan untuk membuat suatu kesenangan?" Tanyaku.
"Kenapa kau ingin tahu?" Jawabnya, matanya menyipit.
"Karena kurasa aku belum mengenalmu terlalu jauh, dan kita sedang berbagi tempat di teras, jadi sebaiknya kita melakukan percakapan." Ya Tuhan, dia begitu dingin.
Apa yang harus dilakukan agar dia bersikap hangat?
"Aku biasanya lari." Dia mengangkat bahu.
"Lari?" Kataku.
"Ya, kau tahu, di mana kau memakai sepatu kets dan bergerak cepat ke arah depan?"
Dia begitu manis ketika dia bersikap sinis. Dia hebat, suaranya parau, lebih rendah bagi seorang wanita.
Suaranya menakjubkan.
"Aku tahu cara berlari Nona, tapi jenis lari apa yang kau lakukan?"
"Maraton."
Mataku menatap tubuhnya yang kecil, ramping. Dia lebih kurus dari tipe wanita yang kusukai, tapi dia terlihat kencang. Aku ingat bagaimana lengannya yang ramping terasa di tanganku pada waktu itu dan bagaimana mudahnya menarik dirinya untuk berdiri.
"Sudah berapa lama kau lari maraton?" Aku bertanya dan dia bergerak untuk duduk di sampingku di tangga.
"Sejak SMA. Aku juga sering mengikuti beberapa acara maraton besar di sini sepanjang tahun."
Aku mengangguk dan bersandar pada siku.
"Kau berlari juga?" Tanyanya.
"Ya. Saat aku punya waktu. Aku lebih suka berlari di luar ruangan, seperti perlombaan acara-acara tahunan, tapi ketika kami sedang tur, aku memanfaatkan tempat gym yang ada di hotel."
"Aku juga berlari di luar. Berlari di atas treadmill bukanlah hal yang sama." Dia mengangguk dan aku setengah tersenyum dan aku seakan tak bernapas. Baekhyun cantik, dengan rambut pirang terang dan mata Cokelat yang kecil, tapi ketika dia tersenyum, dia bisa membuat para dewa menangis.
Aku mungkin harus menulis sebuah lagu tentang senyumnya.
"Aku biasanya Lari di pagi hari sebelum isi kota ini terbangun." Tambahnya dan aku mengerutkan kening ke arahnya.
Aku harus mengambil napas dalam-dalam sebelum aku berteriak padanya. "Apa kau bermaksud mengatakan bahwa kau berlari di Seoul di pagi hari? Apa ada yang menemanimu?"
"Tidak, aku biasa berlari Sendirian."
Aku menggeleng dan mengusap wajahku, mencoba menekan keinginan untuk melindungi si pemarah kecil ini.
"Itu berbahaya." Gumamku.
"Jadi kau bermaksud akan menjadi bodyguardku ketika aku Lari?" Dia bertanya, suaranya berat dengan nada menyindir, dan aku tidak bisa menahan untuk tertawa. Dia lucu, dan cerdas.
"Aku akan melakukannya." Yah, seringai di wajahnya menghilang, dan dia tertegun untuk beberapa saat, mulutnya menganga dan kemudian ditutup, tidak yakin apa yang harus dikatakan, sampai akhirnya dia menarik diri sambil menatapku hati-hati.
"Baiklah jika kau ingin lari pagi bersamaku. Tapi aku tidak akan memperlambat kecepatanku untukmu, supaya kau tahu. Kau harus mengikutinya."
"Oke." Aku tersenyum lembut padanya dan mendekatinya.
"Aku biasanya lari pagi jam 06:00, tapi." Dia lupa apa yang sedang dipikirkan saat matanya menatap bibirku yang ditindik. Ya, dia menyukai tato dan logam.
Dan aku suka dia. Sangat.
"Tapi?" Aku bertanya padanya.
"Hah?" Dia memandangku, dan kemudian berdeham dan aku tidak bisa menghentikan senyum lebar di wajahku ketika aku melihat pipinya memerah. "Tapi karena aku sedang tidak bekerja, kupikir aku akan berlari sekitar jam tujuh. Apa itu terlalu dini untukmu? Kupikir mungkin kau masih tidur sekitar jam segitu."
"Tidak, aku biasa bangun pagi." Aku membelai pipinya, senang karena kali ini ia bersandar kepadaku bukannya menjauh. "Aku akan berada di tempatmu pukul tujuh. SMS aku alamat rumahmu."
"Aku tidak punya nomormu." bisiknya.
"Aku punya nomormu." Kataku . "Aku akan Me-smsmu agar kau punya nomorku."
"Bagaimana kau bisa punya nomorku?" Matanya kembali menatap bibirku, napas kami tidak teratur.
"Aku bertanya pada Minseok. Waktu itu aku ingin meneleponmu untuk memeriksa mobilmu kembali."
"Oh."
Dia menjilat bibirnya dan aku tidak tahan lagi.
Ya Tuhan maafkan aku.
Aku tangkup leher mulusnya di tanganku, jempolku tertanam kuat di dagunya, dan menggigit sisi mulutnya, menyapu bibir merah muda yang padat dan menggigit sisi lain dan bertanya-tanya apakah bibir vaginanya pink juga.
Dia mendesah dengan erangan rendah saat aku tenggelam ke dalam dirinya, membujuk mulutnya dengan lidahku dan menikmati dirinya. Dia adalah sinar mentari yang seksi dan aku menghisapnya, menikmati setiap tarikan napas, setiap jentikan lidahnya bibirku.
Dia mencengkeram pinggulku, menahan beban tubuhnya padaku, dan aku melingkarkan lenganku di sekitar punggungnya.
Aku merasa seperti Brandal yang mencoba memaksa mencium wanita yang setengah mabuk.
"Tadi itu apa?" Bisiknya. Aku mengerutkan alis. Apa tindakanku tadi kurang jelas jika aku menciumnya?
"Jika kau masih bertanya, itu berarti aku tidak melakukannya dengan benar."
Dia terkekeh, menyandarkan dahinya ke dadaku dan kemudian bersandar untuk melihat ke arahku.
Dia begitu kecil.
Aku mengangkat bahu, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Semua laki-laki yang ada di dalam rumah akan menendang pantatku jika mereka melihatku memeluknya, menciumnya, dan aku tidak bisa menyalahkan mereka jika melakukannya.
"Kau terlihat enak dicium."
"Kau juga!"
Kami melompat terpisah saat mendengar suara Minseok di ambang pintu. Dia tersenyum gembira, sama sekali tidak marah ketika menemukanku dalam posisi sangat dekat dengan sahabatnya, dan aku menghembuskan napas lega.
"Makan malam sudah siap." Minseok memberitahu kami.
"Baik, aku kelaparan." Aku mengedipkan mata pada Baekhyun, menikmati warna merah pipinya. "Besok, jam tujuh."
"Jam tujuh." Gumamnya saat aku berjalan masuk ke dalam, menantikan untuk besok.
.
.
.
TBC
