Prime Wood memanggil namanya. Raut wajahnya terlihat kaget dan penuh rasa tidak percaya, kemudian berubah menjadi agak menyesal. Mungkin dia melihat bagaimana kemurungan itu bisa begitu tampak jelas biarpun remaja laki-laki itu tidak merubah ekspresi datarnya. Kemudian pemuda itu mendekat.
"Kau mau mengurus barang-barangnya?"tanyanya pelan, seolah remaja itu terbuat dari kaca dan Prime terlalu takut untuk menyentuhnya dengan sembarangan.
Permata kelabu itu tidak menatapnya, melainkan terpatri ke bawah. Prime hanya bisa mengulas senyum yang seolah mengatakan bahwa ia ikut berduka. Lama kemudian, seakan remaja itu baru mengerti apa yang ditanyakan oleh seniornya, ia menganggukkan kepalanya. Tidak bicara. Tidak juga menatap. Entah apa yang dia pikirkan.
Prime menggaruk-garuk belakang kepalanya, "Kau tahu, kami pikir tidak akan ada yang datang untuk mengemasi barang-barangnya. Profesor Lupin...aku tidak yakin, apalagi melihat keadaannya kemarin... aku pikir akan lebih baik kalau kami saja yang melakukannya."
Prime tersenyum prihatin, menatapnya penuh rasa pengertian saat iris kelabu itu naik, menunjukkan perhatian pada perkataannya. "Kami sebenarnya tidak mempertanyakan apakah kau akan datang atau tidak. Seluruh Hogwarts tahu kalau kau tidak suka dengan kakakmu. Jadi, kami berniat melakukannya sendiri." Pemuda itu tersenyum, "Tapi, kau datang. Dan aku rasa seperti inilah yang seharusnya terjadi."
"...apa maksudmu?"
Sepasang permata hijau jernih menampakkan kesedihan samar dan sesuatu yang terasa nostalgik. Memantulkan wajah seorang remaja yang berdiri di hadapannya. Seorang adik tiri dari sang Putri Slytherin yang sempurna. Lama terdiam, hingga ia berkata, "Kau melakukan hal yang sudah seharusnya seorang anggota keluarga lakukan. Seperti inilah seharusnya, anggota keluarga saling menyayangi dan peduli terhadap satu sama lain."
Scorpius diam tanpa geming. Iris kelabunya bersinar di balik bayangan poninya yang jatuh menutupi kedua matanya. Secercah emosi yang terlihat rupanya hanya menunjukkan perasaan pahit. Remaja itu tidak terpengaruh terhadap kalimat mutiara seniornya.
"Kau salah," gumamnya, walaupun suaranya kecil Prime masih bisa mendengarnya. "Kau salah," ulang si remaja.
Prime memandangnya dalam diam. Menunggu. Sementara juniornya menunjukkan pergolakan batin saat ia sedikit memalingkan wajahnya ke samping, saat bibirnya bergerak-gerak namun suara yang keluar hanyalah, "Kakakku...dia...dia tidak...menyukaiku..."
"Huh?"
Mata kelabu bergulir, mengembalikan perhatian.
Ia hanya bisa diam saat murid tahun keempat itu menatapnya dengan sorot mata iba. Dan berujar,
"benarkah?"
Terdengar seolah Prime Wood lebih mengerti tentang sikap kakak tirinya padanya.
Dan Scorpius Malfoy nyaris berucap lancang,
mempertanyakan tentang sejauh mana memangnya orang ini mengenal sifat kakak tirinya.
Sejauh mana orang-orang yang memuja kakak tirinya ini tahu sehancur apa hubungan mereka berdua.
Apakah mereka tidak tahu tentang
betapa buruknya kepribadian Atropa Malfoy?
.
.
Hanya Mimpi Buruk di Tengah Malam Berbadai
—an 'Atropa Malfoy' spin off—
Rozen91
Harry Potter © J. K. Rowling
.
.
Dulu, dulu sekali... orang itu adalah kakak yang baik.
Scorpius mengingatnya sebagai kakak yang paling baik di dunia. Yang paling ia banggakan di hadapan teman-temannya. Yang selalu ia bela dari celaan orang-orang yang penuh dengan sorot mata menghina. Scorpius selalu mengingat orang itu sebagai kakaknya. Bagian terpenting dari hidupnya.
Scorpius ingat bahwa dia sangat menyayangi orang itu. Samar-samar, ia ingat ketika masih kecil dan belum bisa berjalan. Belum bisa bicara juga. Seseorang dengan rambut panjang berwarna putih memegang tangannya, menuntunnya untuk berdiri di kedua kaki yang masih gemetar dan tidak stabil. Ia ingat aroma lavender yang tercium saat ia jatuh di pelukan orang itu. Samar-samar ia juga bertanya-tanya tentang ingatan itu. Mungkinkah itu asli? Atau hanya imajinasinya saja?
Scorpius tidak tahu.
Yang ia tahu hanyalah keyakinan mantap di hatinya
tentang seorang kakak terbaik yang pernah ia banggakan.
Yang mengajarinya membaca. Yang menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam ruang rahasia yang dipenuhi rak-rak buku yang tinggi dan berjejer seperti sisik naga. Yang membuka lembaran peta di atas lantai, dan menunjukkan belahan-belahan dunia padanya. Di masa-masa yang tersimpan di dalam memorinya, waktu-waktu berharga ketika anak perempuan yang lebih tua darinya itu mengulas senyum di wajahnya yang penuh dengan kasih sayang. Dan juga
yang melepaskan tangannya dan pergi seperti orang asing
lalu menoleh kembali
hanya untuk melemparkan tatapan dingin padanya.
Dulu, dulu sekali... orang itu adalah seorang kakak yang baik.
Sebelum ia melepaskan tangannya dan pergi seperti orang asing.
xxx
"Aku," Scorpius menelan ludah, "kupikir lebih baik kalau aku sekolah di Durmstrang saja."
"Durmstrang?" Ekspresi ayahnya langsung berubah. Terlipat-lipat dan tidak enak dilihat. Scorpius memilih untuk menatap ibunya.
Astoria tertawa gugup, "Ini...agak sulit, Score."
"Apa yang sulit? Viktor Krum, pemain Quidditch terkenal bahkan pernah bersekolah di sana. Sekolah itu pasti bagus."
"Kalau dilihat dari standarnya, bukankah Hogwarts malah lebih bagus?" Kening ayahnya makin mengerut dalam. Scorpius menahan diri untuk tidak mundur dari pilihannya biarpun Draco Malfoy sewaktu-waktu terlihat akan meledak. "Keluarga kita sudah sekolah di Hogwarts sejak dulu, bahkan sebelum orangtua kakek buyutmu dijodohkan."
Scorpius memelas pada sang ibu, yang sebenarnya lebih setuju dengan ayahnya ketimbang 'Durmstrang' yang...ugh, bagaimana harus mengatakannya? Apa mereka harus menceritakan bagaimana keadaan Durmstrang yang sebenarnya agak...kampungan? Lihat saja reaksi murid-murid sekolah itu saat mereka berkunjung ke Hogwarts untuk Turnamen Triwizard dulu. Astoria sebenarnya tidak peduli dengan standarnya, ia lebih mengkhawatirkan bagaimana Scorpius akan bertahan di situasi yang akan memaksanya untuk hidup seperti orang yang tidak berkecukupan. Astoria belum menyiapkan Scorpius yang masih kecil untuk tantangan hidup sebesar itu.
"Ibu dengar semua teman-temanmu sekolah di Hogwarts. Ini kabar bagus, 'kan? Di sana kau setidaknya punya beberapa orang yang kau kenal."
"Tapi..."
"Ayah tidak bisa memikirkan apa yang salah dengan bersekolah di Hogwarts, Score."
"Ugh..."
Scorpius akhirnya menyerah, menggantungkan kepalanya seperti orang kalah. Ia memang tidak bisa melawan kedua orangtuanya. Astoria mengelus pundaknya.
"Ada apa?" tanyanya lembut, mencoba mengurut hati sang anak agar menerima keputusan ayah dan ibunya. Scorpius hanya bisa berwajah kecut.
"Tidak ada apa-apa. Well, Hogwarts, aku datang." Ia tak bisa mengatakannya dengan nada yang lebih bersemangat. "Aku...akan tidur sekarang." Dengan langkah gontai, ia naik tangga menuju ke lantai dua.
Draco hanya tersenyum menahan tawa. "Setelah dia bersekolah di sana, dia akan bersyukur kita tidak mengirimnya ke Durmstrang."
Astoria setuju.
Dan mereka tidak akan pernah tahu alasan kenapa Scorpius Malfoy lebih memilih pergi ke Durmstrang daripada Hogwarts. Anak laki-laki itu menghela nafas sembari duduk di atas ranjang. Ia resah dan semakin tidak tenang dengan kenyataan bahwa ia akan sekolah di Hogwarts.
Di tempat itu...Hogwarts...
dimana Atropa Malfoy berada.
xxx
xxx
"Itu dia?"
"Dia mirip kakaknya."
"Waah!"
"Hei, kau adik Atropa Malfoy, 'kan?"
Scorpius menahan senyum getir. "Yeah."
"Hebat! Pasti menyenangkan kalau jadi adiknya kan?"
Anak laki-laki itu menahan senyum masam. Ia lantas mengalihkan wajahnya dan meninggalkan anak-anak lain yang menyanjung-nyanjung nama Atropa Malfoy. Seseorang berbadan setengah raksasa dan penuh rambut mengangkatnya ke atas perahu—Scorpius menahan gidikan saat di sentuh. Dan manusia setengah raksasa itu sepertinya seorang guru di Hogwarts, entahlah Scorpius tidak terlalu memerhatikannya waktu di kereta. Namun, salah seorang yang berada di perahu yang sama dengannya memanggilnya 'profesor'. Yeah, jadi mungkin saja begitu.
"Kita sudah dekat," ucap Hagrid, melihat ke depan. Scorpius mengikuti arah pandangnya.
Kemudian ia lantas menggeretakkan gigi, memandang kastil yang menjulang tinggi di atas bukit dan jurang yang terjal. Ia berbisik dengan air muka gugup.
"Here I come, my new hell."
Aku datang, nerakaku yang baru.
Dia tidak akan berdaya di tempat ini.
Dari kejauhan, di menara Astronomi,
Angin menyapu helaian bewarna putih dari pipi seorang gadis.
Memperlihatkan seringai yang diulas oleh bibir yang merah.
"dear brother," katanya, "welcome."
_bersambung_
