A/N: Jika anda menganggap Takao sebagai laki-laki di fic ini, maka akan ber-hint M-preg. Jika anda menganggap Takao sebagai perempuan, maka no problem.
Disclaimer: Kuroko no Basket (c) Fujimaki Tadatoshi. Moon Without the Stars (c) Deemo (c) Rayark Inc. Tidak ada keuntungan yang diambil selain kepuasan pribadi.
Warning: OOC, sinetron beut, future-fic, typo, perubahan sudut pandang tanpa pemberitahuan, etc.
[moon without the stars]
"The End of the Beginning"
Nak, apa kau mendengarku?
Nak, mengapa kau tidak menjawab panggilan papa? Apa kau masih marah?
Nak, tolong jawab papa.
Nak, papa minta maaf. Papa tahu papa egois. Namun ada alasan tersendiri mengapa papa enggan bercerita tentang mama. Bukan apa-apa, hanya saja papa takut. Papa takut kau akan menganggap papa jahat, karena papa sudah jahat pada mamamu.
Nak, apa kau akan memaafkan papa jika papa bercerita tentang mama?
Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Rapatkan selimutmu dan dengarkan cerita papa.
Dia tidak ingat kapan, tapi ia pernah cerita kalau mereka pernah bertemu, di suatu hari di musim panas, entah berapa dekade yang lalu. Mereka, dengan tim sekolah masing-masing, berhadapan sebagai lawan tanding. Tentu saja semua hal berjalan seperti biasanya—timnya yang membantai habis kelompok lawan hingga skor mencapai tiga kali lipatnya. Tentu saja si hijau merasa biasa saja—adegan seperti ini bagaikan makanan sehari-hari. Lain hal dengan si raven, yang merutuk sambil meraung-raung menyesali kekalahannya. Entah menyesali mengapa dulu ia suka ogah latihan, atau menyesali kenapa mereka harus lahir di masa yang sama.
"Sialan!"
Si hijau kembali ke bangku tempat pelatih dan manajernya duduk dan tidak menghiraukan teriakan pilu si raven.
"Aku berhenti main basket!"
Ia tidak merasakan apa-apa saat si raven mengatakan hal itu. Merasa simpati pun tidak. Seperti yang ia bilang, ini sudah bagaikan makanan sehari-hari.
"Berhenti saja kalau begitu," balasnya, "nanodayo."
Bukan kata penghiburan yang keluar dari mulutnya.
Si raven hanya menunduk, menangis sambil mengepalkan tangan. Ia menggertakan gigi, seperti menahan amarah karena merasa dihina.
Mulai detik itu, Takao Kazunari bersumpah akan balas dendam pada shooter nomor satu di Kiseki no Sedai, Midorima Shintarou.
[Nak, itu dosa pertama papa pada mama.]
Ironisnya, mereka bersekolah di bawah atap yang sama saat mereka SMA. Takao merasa gondok sendiri. Rencana mau balas dendam malah jadi teman satu tim. Tapi ia menerima itu dengan lapang dada. Bagaimanapun juga ia tidak ingin membuat tim barunya kalah hanya karena rasa dendam pribadi. Mungkin lebih baik ia mencoba melupakan Midorima, atau mungkin mencoba untuk berteman dengannya. Lagipula, mereka lumayan cocok.
"Shin-chan! Shin-chan! Kukira kau sudah mandi," ujar Takao yang masih mengeringkan rambutnya.
"Aku masih ingin latihan, nanodayo."
"He~ Rajinnyaaa. Tapi aku 'kan sudah ganti baju ..." Keluh Takao sambil manyun.
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk latihan denganku, nanodayo."
"Heeee, tapi aku ini 'kan partner Shin-chan!"
"Tidak."
"JAHAT!" Takao melempar sebuah bola basket ke wajah Midorima, "Kita 'kan sama-sama rookie di pemain inti. Berarti secara otomatis kita ini partner!"
"Tidak."
"KOK JAHAT SIH."
"Memang tidak 'kan."
"Kamu kok tidak tahu cara menyenangkan hati orang sih!"
"Memangnya kau mau aku bagaimana?"
"Aku—" Takao terdiam. Ia baru sadar kalau cara mereka bicara entah kenapa mirip dengan seorang cewek dengan gebetannya yang kurang peka. "—lupakan. Aku akan menemanimu latihan, tapi nge -pass aja ya."
"Apa sih, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan gitu," keluh Midorima, "Gaje, nanodayo."
Takao tidak menggubris hinaan Midorima. Matanya terkunci pada sosok Midorima yang sedang men-dribble bola. Shin-chan itu jangkung ya, pikir Takao tidak penting. Terus atletis, macho, pintar pula. Enak ya yang jadi pacarnya, pasti akan merasa aman dan diayomi. Terus ketika dipeluk, Midorima akan membisikkan kata-kata yang menenangkan dan melelehkan hati. Takao terkekeh, tidak mungkin rasanya Midorima seperti itu—mengingat kepribadiannya yang tsundere.
Tapi jadi penasaran, rasanya dipeluk Shin-chan—
"Bakao! Lihat—"
—gimana ya ...?
"Bakao!" Midorima lari dengan panik, "Kau ini! Katanya mau ikut latihan, tapi malah meleng!"
"Iya, maaf Shin-chan. Aku—"
Takao mengerjap. Yang dilihatnya sekarang adalah wajah Midorima yang amat dekat dengannya. Ekspresi khawatir terlukis dengan amat jelas di situ. Ditambah dengan adanya sedikit hembusan napas yang menggelitiki hidungnya membuat Takao begitu speechless. Karena setiap ia ingin coba berkata yang ada hanyalah rasa gugup karena setiap melihat kemanapun hanya ada fitur wajah Midorima yangohgawtsokyutitu—
"Takao? Kau kenapa? Wajahmu merah."
Harusnyaguengerasabiasaajatapigawtsuaranyajadikedengeranlebihhotoemjinoooo!
"A-AKU AKAN MENUNGGU DI LUAR! A-aku belum mengeluarkan becak! Hahahaha, padahal hari ini 'kan aku yang kayuh!" seru Takao, "Shin-chan santai saja! A-aku akan membelikan oshiruko! Dah, selamat latihan!" Takao pun ngacir keluar gym.
"Dia kenapa sih," tanya Midorima, namun tidak ada yang menjawab.
Midorima pun kembali latihan.
Nak, kau pasti tahu hobi papa. Iya, bermain piano. Papa sangat suka bermain piano, di samping membaca buku-buku kedokteran. Bagi papa, bermain piano itu menenangkan jiwa, dan suara dentingan-dentingan merdu itu melegakan lara.
["Shin-chan, Shin-chan! Kau bisa main piano 'kan? Temani aku latihan nyanyi yuk!"]
Namun, dentingan piano juga sekaligus menyakiti hati papa, karena mengingatkan papa pada mama yang selalu mengiringi papa bermain piano dengan suaranya yang merdu itu.
["Apa sih, minta orang lain saja sana! Aku sibuk, mau belajar untuk ujian kimia, nanodayo."
"Aaaaahh! Shin-chan jahat aaah!"
"Berisik! Jangan merajuk begitu—kau bukan anak kecil."
"Aaaaaaahhh! Pokoknya mau sama Shin-chaaaaaaann!"
"Kau kenapa sih! 'Kan aku bilang aku mau belajar! Kau juga sebaiknya belajar! Lagipula untuk apa sih?"
"Aku mau ikut lomba." Kata Takao sambil nyengir, "Ini ajang bergengsi, Shin-chan. Lebih penting dari ujian kimia. Kalau aku menang, siapa tahu aku bisa jadi artis kayak temanmu itu!"
"Mimpi, nodayo."
"JAHAT."
"Kalau begitu cari orang lain. Tidak harus aku 'kan."
"Nggak! Justru harus Shin-chan, soalnya aku yakin dengan kemampuan menilai Shin-chan. Lagian aku mau Shin-chan yang pertama denger aku nyanyi lagu ini."
Midorima menaikkan kacamatanya. Semburat merah terlihat di pipinya.
"O-oke. Lima menit saja, ya."
"SIP! Makasih, Shin-chan!" Sebuah kecupan di pipi.
"BAKAAAAAAAOOOOOO!"
"HAHAHA! Kutunggu di ruang musik ya, Shin-chan!"]
Papa masih ingat bagaimana rasanya. Ketika jari-jari papa menekan tuts piano dan ia mulai menyanyi. Nak, bahkan juara Japanese Idol saja tidak bisa mengalahkan indahnya suara mamamu. Jangan bilang-bilang mama, tapi asal kamu tahu, suaranya begitu merdu, seperti nyanyian malaikat. Papa tidak bisa berhenti tersenyum ketika melihatnya begitu menghayati isi lagi itu. Cantik. Cantik. Mamamu begitu cantik.
["Bagaimana penampilanku?"
"Pas dengan iringanku."
"Itu pujian?"]
Kau pernah bertanya kenapa papa suka memainkan lagu Moon Without The Stars 'kan? Ini alasannya.
Midorima tidak begitu menyukai pelajaran olahraga. Menurutnya pelajaran itu amat membuang-buang waktu berharganya (apalagi kalau sudah materi basket) yang bisa ia pakai untuk mereview buku-buku sains favoritnya. Lain halnya dengan Takao. Ia begitu mencintai pelajaran ini sampai rela menukar seluruh jam pelajarannya demi pelajaran ini.
"Shin-chan! Ikutan yang di sana yuk!"
"Kau saja, nanodayo. Aku menonton saja."
"Hiiih, gak seru ah. Ya sudah aku duluan ya~"
Hari ini jam pelajaran bebas, dan Takao beserta teman sekelas lainnya memilih untuk bermain lompat tinggi. Midorima tidak ikutan dan hanya menonton dari pinggir lapangan.
"Eh, itu si Midorima kenapa gak ikutan?"
"Shin-chan bilang dia malas. Mungkin takut menang hahahaha."
"Hahahaha sok pede banget si brokoli!"
'Ngomongin orang gak usah di depannya juga sih.' Keluh Midorima dalam hati.
"Takao-san," seorang perempuan berikat kuda memanggil partnernya dari kejauhan, "Papannya sudah kami susun! Sekarang giliranmu yang maju."
"Oke," Takao berlari menghampiri. Ia sedikit berbincang dengan perempuan itu sebelum bersiap-siap. Si perempuan itu tertawa kecil sambil tersipu malu, membuat Midorima (entah bagaimana) merasa kesal sekali.
"Bersedia, siap, go!" entah kenapa aba-abanya malah jadi kayak lomba lari.
Midorima menguap. Kenapa ia jadi merasa ngantuk sekali? Hm, apa karena ia tidak ada kerjaan? Mungkin jika ia cuci muka atau kembali ke kelas—
'GABRUK!'
Midorima kaget ketika mendengar suara itu. Perasaan tidak enak menyelimuti dirinya. Reflek, kakinya berlari membawa badannya menuju kerumunan itu.
"Takao!" Midorima setengah berteriak. Ia lalu membantu orang-orang menyingkirkan papan lompat yang menimpa Takao.
"Ugh, sakit sekali." Ringis Takao, "Tak usah khawatir, Shin-chan. Aku baik-baik saja. Aku sedikit telat melompat."
"Bego, nanodayo!"
"Jangan memarahiku begitu dong! Aku tidak apa-apa kok! Aku tidak lupa kalau nanti siang kita ada latihan tanding—"
"—bukan itu!" potong Midorima, "Kupikir kau kenapa-napa!"
Takao melongo. Kayaknya dia harus beli korek kuping nih.
"Lupakan yang tadi," Midorima memalingkan wajahnya, "Ayo, ku-kutemani ke UKS."
"I-iya," Takao menerima uluran tangan Midorima dengan malu-malu. Jujur, Takao amat terkejut ketika Midorima bilang kalau ia mengkhawatirkan dirinya—sesuatu hal bukan Midorima banget. Takao salah tingkah sendiri. Apa ia boleh menganggap dirinya spesial?
Sementara teman-temannya yang lain ... mereka cukup peka untuk meninggalkan sepasang sejoli itu berduaan. Duh, dasar orang kasmaran.
Midorima mendapati petal bunga sakura di buku sejarahnya. Ketika ia menoleh ke arah jendela, ternyata beberapa bunga sakura sudah mulai bermekaran. Tanpa terasa, sekarang sudah memasuki tahun ajaran baru yang ketiga di kehidupan SMA-nya.
"Wah, udah mekar lagi aja ya!" celetuk Takao tiba-tiba, "Kau tahu artinya? Artinya kita sekarang sudah memasuki—"
"—masa untuk memikirkan jurusan kuliah." Itu jawaban Midorima.
"—bulan penuh cinta!" yang ini jawaban Takao. Sungguh kontras. "Valentine, Shin-chan! Valentine! Ini lebih penting dari mikirin kuliah! INI WAKTU YANG PENTING UNTUK MENGETAHUI SEBERAPA POPULERNYA AKU!"
"Sesukamu, nanodayo." Midorima memilih untuk mengabaikan Takao dan fokus pada buku sejarahnya.
"Huwaaah, aku ngiri deh! Anak kelas sebelah ada yang jadian! Aku 'kan juga mau ditembaaakkk!" Rengek Takao, "Eh, Shin-chan, jangan cuekin aku! Aku lagi kode nih."
"Bilang sana sama gebetanmu, nanodayo."
"Ini aku lagi bilang sama gebetanku, tapi sayang dia nggak peka," Midorima menatap horor, "Aku bercanda! Oke, kok kamu nanggepinnya serius gitu sih, wakakak. Jangan-jangan Shin-chan naksir beneran lagi?"
Takao mengharapkan kepalanya ditimpuk buku sejarah Midorima. Tapi bukannya buku sejarah, malah tatapan kaget—atau sendu? Entah ia tidak mengerti—yang dilontarkan Midorima.
" ... Shin-chan?"
Midorima mengelus rambut ravennya. Napas Midorima begitu menggelitik hidungnya. Lalu jarak di antara mereka hilang, dan kejadian itu berlangsung begitu halus, begitu cepat, seperti kelopak bunga sakura yang berguguran.
'GROSAK'
"Apa?"
"Ada apa?"
"Takao dan Midorima? Kenapa? Mereka bertengkar?"
Sekelas ricuh. Mereka semua berbisik-bisik.
"Shin-chan? Kau—"
Midorima tidak menjawab. Ia meninggalkan Takao yang terjatuh ke lantai. Ia meninggalkan Takao yang penuh dengan tanya.
'Jangan pikirkan yang tadi,' Midorima mengirim sebuah pesan beberapa menit kemudian, 'maafkan aku.'
Takao menyesal. Ia seharusnya tidak memancing Midorima tadi.
'hehe, santai Shin-chan. Tadi kau hanya terpeleset 'kan?'
Takao menggigit bibir bawahnya pelan.
'ya.'
Samar-samar, Midorima bisa mendengar helaan napas penuh penyesalan dari kursi belakangnya.
[Nak, itu dosa kedua papa pada mama. Papa telah menyakiti hati mama.]
Kelulusan SMA adalah momen terpenting bagi seorang siswa. Karena kelulusan SMA menandakan bahwa masa sekolahmu telah berakhir dan juga menandakan jika kau harus siap untuk terjun ke lingkup masyarakat yang lebih luas. Midorima tidak tahu apakah salah jika ia merasa dilema di hari kelulusannya sendiri. Di saat yang bersamaan ia senang (ia berhasil masuk fakultas kedokteran incarannya), namun juga sedih ... meski ia enggan untuk mengakuinya.
"Shin-chan!" Takao menepuk pundaknya, "Kau belum pulang?"
"Nanti,"
"Ada guru yang belum kau salami bukan?"
"Tidak juga, nanodayo." Tapi ada seseorang yang belum aku salami.
"Oh begitu. Aku duluan ya, Shin-chan. Ibuku sudah menungguku. Selamat tinggal."
Selamat tinggal, katanya.
Takao berjalan menjauh.
"Shin-chan,"
Midorima berbalik, "Ya?"
"Aku menyukaimu."
Midorima bergeming. Wajahnya yang kaku menjadi lebih kaku dari biasanya. Jemari-jemarinya langsung mendingin seperti porselen. Harusnya ia tidak sekaget ini begitu mendengar langsung dari mulut Takao.
Belum sempat berbicara, Takao sudah memotong duluan. "Aku tahu Shin-chan ingin bicara apa. Karier lebih penting di atas segalanya 'kan? Karena itu, bisakah kau menciumku? Dianggap rasa kasihan juga tak apa. Asal aku punya kenangan tentang Shin-chan."
Takao mendekat hingga menyisakan sedikit jarak di antara mereka. Takao menelusuri wajah Midorima dengan jari-jarinya. Midorima tidak sedikitpun memprotes, karena sesungguhnya ia amat suka dengan sensasi menggelitik yang jari Takao hasilkan saat bergesekan dengan permukaan kulit wajahnya.
Puas menelusuri wajah Midorima, Takao serta merta merengkuh tangan kiri Midorima yang masih terlilit perban. Tidak ada rasa hangat di sana, yang bisa ia rasakan hanyalah kasarnya perban-perban yang sudah mulai usang itu. Mungkin Midorima lupa mengganti, pikir Takao, atau mungkin karena Midorima tidak mau ganti karena biasanya ia yang gantikan selama satu setengah tahun terakhir ini. Sementara tangan Takao yang lain meremas punggung Midorima begitu keras hingga lecek, dan tangan kanan Midorima memegang leher Takao dengan lembut sambil menuntunnya hingga ke sebuah ciuman.
Setelah itu, tidak ada satupun dari mereka yang saling berbalas kata. Takao berlari menjauh sementara Midorima membiarkannya begitu saja.
[Nak, itu dosa papa pada mama. Papa tidak menahan mama di pelukan papa saat papa bisa. Papa telah menyia-nyiakan mama.]
Setelah itu, papa tidak pernah mendengar kabar Kazunari lagi. Terakhir kudengar, ia sempat cuti kuliah karena suatu alasan, itu juga papa dengar dari kabar burung. Papa pikir, waktu itu karena kami sudah saling mengucapkan selamat tinggal papa jadinya tidak perlu peduli soal Kazunari lagi.
Lima tahun setelah itu, papa lulus dengan nilai memuaskan. Papa lalu direkrut oleh RS Teikou dan bekerja di sini sampai sekarang. Tiga tahun kemudian, papa mengambil gelar S2 papa. Untuk orang seusia papa, papa bisa dikatakan cukup sukses.
Suatu hari, papa diberitahu jika ada pasien baru. Ia telah dioper-oper oleh beberapa rumah sakit karena fasilitas yang belum memadai dan penyakitnya semakin parah. Dan mereka bilang kalau rumah sakit ini adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Karena papa lumayan lowong, akhirnya papa menawarkan diri untuk mengawasinya.
Dan papa amat terkejut—
["Wah, wah. Sebuah kebetulan bisa bertemu di sini, Shin-chan-sensei."]
—ketika menemukan mamamu yang terkulai lemah di sana.
[Nak, papa merasa dihukum oleh Tuhan.]
—tbc
A/N: Oke, fic ini harusnya oneshot, tapi ternyata lebih panjang dari yang diduga. Udah mau 5k words, tapi masih jauh dari kata selesai. Jadi saya putuskan saya pecah jadi 2 atau 3 chapter.
Terima kasih bagi yang sudah membaca. Review sangat dinantikan, siapa tahu mempengaruhi kecepatan update.
~Sign,
Mochiyo-sama
