.

Peringatan: Bagi mereka yang merasa kurang nyaman membaca cerita yang mengandung

ungkapan atau kata-kata kasar dan perilaku tidak terpuji lainnya

kalian bisa memencet tombol kembali sekarang juga.

.

.

.

GETTING BY

This is a story about a teenage girl who has to deal with her difficult yet miserable life.

.

.

Namaku Sakura Haruno. Tahun ini aku akan berusia 17 tahun. Aku hidup di dalam keluarga yang berkecukupan. Ayahku bekerja sebagai salah satu atasan di sebuah perusahaan swasta terkemuka. Tentu saja hal itu membuat keluarga kami serba berkecukupan, bahkan lebih. Sementara ibuku tidak bekerja. Beliau lebih memilih mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Aku mempunyai seorang kakak. Namanya Sasori Haruno. Ia berusia jauh lebih tua dariku. Dua tahun yang lalu ia pindah ke Australia melanjutkan kuliahnya di sana.

Orang-orang menilai keluargaku adalah gambaran dari keluarga bahagia dan juga sempurna. Tentu saja ada alasannya mengapa orang-orang menilai seperti itu. Kami termasuk keluarga yang terpandang karena ayahku mempunyai jabatan yang terbilang tinggi di perusahaannya. Oleh sebab itu, orang-orang memandang kami sebagai keluarga yang mapan. Apalagi dilengkapi dengan seorang ibu yang mendedikasikan hidupnya untuk suami dan anak-anaknya. Serta anak-anaknya yang mampu memperoleh pendidikan yang terbaik. Semuanya terlihat sempurna. Mereka berpikir pastilah banyak orang yang ingin menjadi bagian keluargaku. Itulah pandangan mereka pada keluargaku.

Namun pada kenyataannya, aku tidak suka keluargaku. Aku malah membencinya. Aku benci dengan topeng yang selalu dipakai oleh keluargaku. Kalian bisa melihat betapa berkecukupannya kami. Semuanya terlihat bahagia. Keluarga kami memang terlihat baik-baik saja dari luar tapi tidak dari dalam. Kau bisa melihat betapa tidak baiknya kondisi keluarga kami ketika sudah menjadi anggota keluarga Haruno. Dan seperti hari ini juga, aku harus menerima beberapa pukulan sebuah tongkat berjalan kecil karena terlambat pulang sekolah.

Tak puas memukuliku dengan tongkat, rambutku kini ikut-ikutan dijambak. Entah sudah berapa kali rambutku dijambak oleh ibuku. Aku berjalan mengikuti ibuku karena ia masih menjambak rambutku. Rasanya aku akan mulai mati rasa diperlakukan seperti ini terus hampir setiap harinya. Seperti biasanya ia pasti akan mencari-cari alasan untuk memarahiku. Aku tahu, sangat tahu. Inilah satu-satunya cara yang ia pakai untuk melampiaskan kekesalannya karena sering bertengkar dengan ayah. Tak mendapatkan reaksi apapun, ia langsung melepaskan jambakannya dan mendorong aku supaya cepat menyingkir dari hadapannya.

Aku segera bangkit dan berjalan menuju kamarku di lantai 2. Hal pertama yang aku lihat setelah menaiki tangga adalah sebuah pintu berwarna biru. Inilah pemandangan lain yang paling tidak ku sukai di rumah. Mataku rasanya terbakar hanya dengan melihat pintu tersebut. Aku benci penghuni kamar itu. Sasori, ya dia penghuni kamar tersebut. Bajingan itu kabur begitu saja di saat-saat seperti ini. Meninggalkanku sendirian dengan semua kekacauan ini. Aku berjalan gontai ke arah kamarku dengan warna pintu yang sama dengannya.

Mataku berair menahan emosi yang begitu memuncak ketika sudah memasuki kamarku. Beberapa tetes air mata lolos begitu saja dari mataku karena aku tak bisa menahannya. Tak ada isakan karena aku menggigit bibir bawahku cukup keras. Aku berjalan ke arah kamar mandi di dalam kamarku. Melepaskan seragamku dan segera berdiri di bawah shower. Aku harus segera mandi lalu bersiap-siap pergi les. Setidaknya itulah satu-satunya tempat pelarianku sekarang dari rumah sialan ini.

.

.

.

Hari ini aku membolos les. Mataku sembab dan aku terlalu sedih untuk bisa berpikir. Matahari sudah terbenam beberapa jam yang lalu. Aku duduk di salah satu coffee shop dekat dengan tempat lesku. Menikmati segelas besar Ice Coffee Americano dan croissant. Aku duduk di lantai dua dekat dengan jendela besar tepat menghadap ke jalanan dimana tempat lesku berada. Aku mengamati pemandangan di luar sana. Telingaku sengaja ku sumpal dengan headphone hitam kesayanganku. Aku menganggukkan kepalaku sekali-kali seolah-olah aku sedang menikmati musik. Pada kenyataannya aku tidak memutar musik satupun sejak aku duduk di sini.

Segerombolan anak dari tempat lesku terlihat berjalan ke arah coffee shop ini. Aku bisa melihatnya dari atas sini dengan jelas. Sebentar lagi suasana tenang ini akan berubah menjadi seperti pasar. Seperti dugaanku tak berapa lama kemudian, suara berisik terdengar dari arah tangga. Ku lihat gerombolan yang di bawah tadi itu kini telah sampai di lantai yang sama denganku. Membawa nampan yang berisikan beberapa gelas minuman. Mereka berjalan ke arah meja yang letaknya ada di sebelahku. Aku melepaskan headphone-ku dan menggantungkannya di leher.

"Oh, kau di sini rupanya. Kakashi-sensei mencarimu tadi." Ujar seorang anak laki-laki berambut kuning itu ketika duduk di bangku yang letaknya paling dekat denganku.

Anak laki-laki itu bernama Naruto Uzumaki. Ia mempunyai tanda yang menyerupai garis di pipinya. Ya, memang aneh. Aku sempat berpikir itu tato tapi mana mungkin orang mau membuat tato seperti itu di wajahnya. Tapi kalaupun itu memang benar tato, siapa juga yang akan peduli. Ia kan anak pejabat terkemuka. Kau bisa langsung tahu dari marganya. Kami bersekolah dan les di tempat yang sama. Beruntung aku hanya sekelas dengannya saat di tempat les saja dan bukan di sekolah. Naruto anak yang berisik dan tidak bisa diam. Ia mempunyai kepribadian yang berbeda sekali denganku yaitu ceria. Ia seperti matahari yang terang.

"Omong kosong macam apa itu." Ujarku sambil tertawa. Ya, aku selalu tertidur selama Kakashi-sensei mengajar. Kau bisa menilai seberapa membosankannya kelasnya itu.

"Kau benar. Omong kosong sekali kalau guru itu mencari muridnya yang sering tertidur di kelas." Naruto tertawa dengan keras sembari menepuk pundak teman di sebelahnya.

"Ey, kau sedang menyindirku?" Tanya Shikamaru dengan tatapan kesalnya.

Shikamaru Nara. Si jenius tukang tidur. Hobinya tentu saja tidur. Ia bisa tidur dimana saja dan kapanpun ia mau. Aku sering merasa takjub dengan kemampuannya itu. Ia bahkan masih bisa tertidur di dalam kelas sekalipun sensei yang galak sedang mengajar. Anak sekolah pada normalnya pasti akan kena marah atau hukuman bukan jika tertidur di kelas? Tapi tidak dengannya. Sepertinya guru-guru sudah menyerah untuk memarahinya karena ia selalu bisa menjawab pertanyaan sesulit apapun yang diberikan padanya walau ia tertidur di kelas.

Sementara dua anak lainnya hanya sibuk memandangi perdebatan antara kedua orang temannya tersebut dengan tatapan malas.

Sasuke Uchiha. Pemuda berambut ala-ala emo tapi lebih terlihat seperti pantat ayam bagiku. Untungnya, wajahnya lumayan tampan. Jadi style rambut seperti itu nampak cocok-cocok saja dengannya. Aku berani bertaruh jika mukanya tidak setampan ini, ia hanya akan berakhir menjadi bahan olok-olokan semua orang. Selain tampilan fisik, tak banyak yang aku tahu mengenai Uchiha selain keluarganya merupakan sosok terpandang sama seperti keluarga Naruto. Selain itu, ia bersahabat baik dengan Naruto. Padahal sifat mereka sangat berbeda. Naruto secerah matahari berbeda dengannya yang lebih terlihat seperti langit malam. Walaupun langit malam tampak indah, tapi malam tetaplah malam. Selalu nampak gelap dan misterius.

Anak laki-laki lainnya yang sama pendiamnya dengan Sasuke Uchiha yaitu Gaara. Aku tak ingat nama marganya karena mereka selalu memanggilnya seperti itu. Anak yang sedikit aneh karena bisa-bisanya ia pergi ke sekolah dengan tato yang berukuran cukup besar di dahinya itu. Tatapan matanya tak pernah terlihat antusias. Tentu saja dikarenakan kantong matanya itu. Gaara sama-sama punya sifat pendiam seperti Uchiha. Dan anehnya tetap berteman baik dengan Naruto yang super aktif itu.

Naruto masih sibuk berdebat tidak jelas dengan Shikamaru. Aku tak tahan lagi dengan suara bising ini memutuskan untuk bangkit dari kursiku. Meraih ranselku dan menyampirkannya di salah satu pundakku. Aku pamit pada mereka tanpa suara. Membiarkan Naruto dan Shikamaru yang masih berdebat di sana. Aku berdiri di pinggir jalan memainkan kakiku sembari menunggu taxi. Rasanya berat sekali untuk pulang.

"Pulang saja denganku," ujar suara yang tidak asing lagi di telingaku itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Naruto Uzumaki.

"Aku tidak mau dibonceng oleh orang yang belum punya sim," ujarku sembari tertawa ke arahnya.

"Walaupun aku belum punya sim, tapi aku pengemudi yang baik." Ucapnya meyakinkan diriku.

Aku pun menggeleng mantap.

"Baiklah, saat aku sudah punya sim nanti kau harus mau pulang denganku." Naruto tersenyum dengan lebarnya.

Sebuah taxi berhenti persis di depanku. Aku melirik sebentar plat mobilnya untuk memastikan bahwa itu taxi pesananku. Naruto menyalip tanganku terlebih dahulu ketika hendak membuka pintu taxi tersebut.

"Terimakasih, tapi aku tidak akan mau dibonceng denganmu walaupun kau sudah punya sim." Jawabku cepat seraya masuk ke dalam taxi dan menutup pintunya.

.

.

.

Aku sudah tiba di rumahku tepat jam 9 malam. Aku berjalan pelan memasuki rumahku. Mengucapkan salam lalu berjalan menuju kamarku. Malam ini tak ada suara bising perdebatan antara ibuku dan ayahku. Tumben sekali, pikirku. Aku berjalan ke arah kamarku. Kamarku terlihat gelap, hanya ada cahaya remang-remang dari yang berasal dari lampu di taman. Aku menyalakan pendingin udara dan berjalan ke arah meja belajarku. Menyalakan lampu meja belajar di sana.

Salah satu kegiatan favoritku ketika sampai di rumah adalah melamun. Aku bisa menghabiskan waktuku berjam-jam untuk melamun. Tentu saja bukan lamunan kosong. Lamunanku biasanya berisikan dengan skenario-skenario menarik yang belum pernah atau tidak akan terjadi pada hidupku. Sesekali aku menuangkan imajinasiku itu melalui tulisanku. Aku sudah menulis banyak hal tapi aku tidak punya niat untuk mempublikasikannya.

Hari ini rasanya aku sudah banyak melamun saat di coffee shop tadi. Aku membuka laptop yang ada di depanku. E-mail dan pemberitahuan dari sosial media langsung saja bermunculan. Dan semua itu tentu saja berasal dari Sasori Haruno, si pecundang brengsek itu. Aku menutup kasar laptopku. Tak peduli barang itu akan rusak. Berjalan ke arah kasur dan membantingkan diri di atasnya.

Aku benci Sasori Haruno. Aku benci kakakku. Tidak dia bukan kakakku lagi. Sekarang dia hanyalah seorang bajingan dan pecundang. Ia tidak pernah menjadi sosok yang melindungi. Aku benci sifat diamnya. Aku benci ketika ia tidak pernah melawan ayah yang berbuat tidak adil pada ibu. Aku benci dia ketika ia tetap diam ketika tahu dengan semua kebohongan ayah. Aku benci ketika aku dicaci maki sebagai anak pembangkang karena membela ibuku seorang diri. Aku benci dia. Aku benci ditinggalkan sendirian di sini.


GETTING BY


Aku berjalan keluar dari kamarku. Seperti biasanya sebuah amplop coklat akan menyambut pagi hariku. Ayahku selalu meletakkan uang di sana. Jumlahnya lumayan banyak. Walaupun aku selalu dapat cacian sebagai anak pembangkang, nyatanya ayah tetap memanjakanku. Walau lebih tepatnya ini terlihat lebih seperti suap agar aku memihaknnya. Aku turun ke lantai satu dan berjalan ke ruang makan. Duduk manis di salah satu kursi di sana.

Ayahku sibuk dengan menerima telfon yang kelihatannya penting. Kopinya masil mengepul panas belum tersentuh. Aku melirik ibuku yang sedang menikmati sarapannya sembari membaca majalah kesehatan. Inilah pemandangan pagiku. Walau raga kami di tempat yang sama, tapi hati kami jelas-jelas tidak ada di sini. Aku meraih sepotong roti tawar, meletakkan sepotong telur dan beberapa potong sayuran serta mayonaise di atasnya. Melipatnya lalu membungkusnya dengan tisu.

"Aku berangkat sekolah dulu," ujarku pamit yang hanya ditanggapi dengan anggukan dan dehaman.

.

.

.

Aku berjalan ke arah gerbang sekolahku dan mendapati Naruto yang tak jauh sedang berdiri sedang menyandarkan punggungnya di dekat sana. Aku pasti melupakan bagian dimana anak itu masih menyukaiku sampai sekarang. Inilah pemandangku selama hampir 3 tahun ke belakang ini. Walaupun ia belum pernah menyatakan secara gamblang tentang perasaannya atau fakta bahwa dia menyukaiku, tapi perlakuannya padaku sudah menjelaskan semuanya.

Dia selalu berangkat lebih pagi dariku hanya untuk bisa jalan bersama menuju kelas denganku. Aku sudah berusaha berangkat lebih pagi darinya tapi sia-sia saja. Keesokan harinya dia akan berangkat lebih pagi lagi dariku. Jadi ku putuskan untuk menyerah saja. Lagipula jalan ke kelas bersamanya takkan membunuhku lagi, bukan?

"Pihak sekolah harusnya tak perlu menyewa penjaga lagi untuk menjaga gerbang sekolah," ejekku dengan sengaja.

"Penjaga sekolah mana ada yang tinggi dan tampan seperti diriku ini," jawabnya seraya berusaha terlihat keren.

Aku berjalan melewatinya. Berusaha mengabaikan pertanyaan yang bertubi-tubi ia lontarkan padaku. Ini masih terlalu pagi dan mood-ku belum stabil. Sungguh, aku tidak ingin berlama-lama dengannya. Kelasku berada di lantai dua tepatnya di ujung sayap sebelah kiri. Aku menaiki tangga dan masih mendengarkan celotehan pagi Naruto tentang sarapannya, kejadian pagi tadi saat dia mengendarai motornya, atau bahkan junior yang hampir jatuh di depan gerbang tadi.

"Bukankah kelasmu ke arah sana, Naruto?" Ucapku menghentikan celotehannya.

"Ah kau benar. Kalau begitu kita berpisah di sini. Semoga harimu menyenangkan." Naruto melambaikan tanggannya sembari tersenyum.

"Ya, kau juga." Jawabku. Aku meninggalkannya di sana dan berjalan ke arah kelasku.

Kelasku masih terlihat sepi karena baru beberapa orang saja yang ada di sana. Aku berjalan ke arah tempat dudukku. Tempat dudukku berada hampir di ujung belakang. Lebih tepatnya dua dari belakang. Aku punya tempat duduk yang cukup strategis karena dekat jendela. Selain aku bisa mendapatkan udara segar, aku juga bisa melamun sambil melihat pemandangan di luar. Aku menaruh tasku di atas meja dan menyandarkan kepalaku di sana. Menikmati ketenangan pagi sebelum terusik oleh teman sebelahku.

"Selamat pagi, bitch" sapa Ino padaku. "Masih terlalu pagi untuk tidur lagi," ujarnya sembari menepuk-nepuk punggungku agar aku terbangun.

Ino Yamanaka adalah teman sekelasku sekaligus sahabatku. Dia anak yang baik walaupun terkadang ucapannya seperti orang barbar. Tapi aku tidak pernah merasa terganggu dengan ucapannya karena terkadang aku pun demikian. Ino pindah kemari saat kelas 2. Awalnya kami tak berteman bahkan tak saling mengenal satu sama lain. Hubungan kami menjadi dekat sebagai teman setelah insiden di belakang sekolah waktu itu.

Aku bangkit dari posisiku. Masih duduk lalu menarik rambutnya pelan. "Masih terlalu pagi untuk membuat masalah, pig."

Seorang anak perempuan berambut panjang berwarna ungu gelap dan mata berwarna lavender menatapku. Mata kami bertemu pandang beberapa detik sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Dia adalah Hinata Hyuga. Kami menjadi kenal setelah insiden di belakang sekolah itu. Saat itu Neji Hyuga menyeretku ke belakang sekolah. Memarahiku karena sudah berani-beraninya menggoda Naruto. Aku berusaha melawannya karena merasa tunduhannya itu tak benar tapi ia malah menamparku. Sungguh jantan sekali dirimu. Tak terima, aku menjambak rambutnya kasar. Saat kami sedang beradu jambak rambut, saat itulah Ino datang.

Ino menghampiri kami setelah aktifitas merokoknya itu terganggu dengan suara bising kami. Awalnya dia mengaku tak ingin ikut campur tapi ketika menyadari bahwa Neji adalah seorang laki-laki ia langsung saja ikut menjambak rambutnya. Perkelahian kami semakin sengit. Aku merasa diuntungkan karena Ino juga menyerang Neji. Saat aku bertanya kenapa Ino ikut menyerang Neji, dia bilang dia tidak suka jika ada laki-laki yang menyakiti perempuan apalagi penampilannya menyerupai perempuan juga.

Perkelahian kami tak berlangsung lama. Seorang guru memergoki kami setelah salah satu murid mengadukan insiden perkelahian kami. Kami bertiga pun digiring untuk pergi ke ruang konseling. Di sana kami dihujani dengan pertanyaan bertubi-tubi dan berakhir hampir berkelahi lagi. Akhirnya sensei memutuskan menjatuhkan hukuman bagi kami. Kami harus berlari mengitari lapangan sekolah sebanyak 10 kali dan juga membersihkan halaman sekolah selama 3 hari berturut-turut bersama.

Setelah insiden itu reputasiku di sekolah naik. Aku yang dari semula gadis baik-baik yang pintar menjadi jalang. Begitupula dengan Ino sang anak baru. Kami berdua seketika menjadi terkenal. Ah bahkan, kami berdua sering dipanggil gangster atau sebutan kasar lainnya. Bahkan ada beberapa gosip tak jelas kebenarannya yang menyebar diantara anak-anak. Karena itu pula hubungan kami menjadi akrab setelah insiden itu. Aku bahkan tidak ingat kapan kita bisa menjadi sahabat seperti ini.

Setelah kami tau siapa yang menyebarkan gosip itu. Aku mendatangi Hinata dan memintanya untuk tidak membuat gosip murahan dan juga untuk tidak melibatkan kakak laki-lakinya itu. Aku masih ingat mukanya yang pucat pasi ketika aku bilang kalau aku tahu alasan kenapa kakaknya menyerang diriku. Hinata suka Naruto. Tentu saja aku tahu karena sering menangkap basah dirinya sedang memperhatikan Naruto dari kejauhan. Aku sengaja mengatakan kalau Naruto menyukaiku dan aku tidak akan pernah menghindar darinya hanya karena ancaman Hyuga bersaudara tersebut sebagai balasan atas perlakuan mereka. Dan begini lah hubungan kami sekarang, penuh dengan kecanggungan.

.

Aku dan Ino kini duduk di atap gedung olahraga. Kami suka menghabiskan waktu di sini saat istirahat atau sesaat sebelum masuk kelas pelajaran tambahan. Beberapa minggu yang lalu Shikamaru juga ikut bergabung dengan kami karena di sini satu-satunya tempat yang paling aman untuk merokok. Terkadang aku juga ikut merokok dengan mereka. Bukan karena aku ikut-ikutan mereka, tapi aku memang sudah merokok sejak SMP dahulu.

"Aku benar-benar malas ikut pelajaran tambahan," keluh Ino. "Beruntung orang tuaku tidak memaksakan diriku ikut les malam. Masa mudaku bisa-bisa habis hanya untuk belajar." Gadis itu tertawa cukup keras untuk menunjukan betapa senangnya ia.

"Sial, sekarang aku benar-benar iri denganmu Ino," ujar Shikamaru sembari menghisap rokoknya.

"Aku rasa malam ini, aku akan bolos les lagi. Aku sedang tidak mood belajar." Ujarku mantap.

"Bukankah sensei di tempat les seperti itu akan menelfon orang tuamu jika kau sering bolos?" Tanya gadis berambut pirang tersebut.

"Semuanya sudah ku atur," aku mengeluarkan dua ponsel milikku seraya tersenyum bangga.

"Dasar anak orang kaya," ejek pemuda berambut nanas tersebut lalu mematikan rokoknya dan berjalan meninggalkan kami berdua.

.

.

.

Aku berjalan menelusuri rak-rak khusus novel. Sesekali aku mengambil buku yang terlihat menarik lalu membaca sipnosis di belakangnya. Aku berencana untuk membeli sebuah novel lalu pergi makan malam. Pilihanku jatuh pada sebuah novel tentang perjalanan mencari identitas. Aku segera beranjak dari sana untuk membayar novel itu. Aku melihat sosok yang tidak asing tak jauh denganku. Aku memutar arah dan mendekatinya.

"Rupanya kau, Uchiha. Kau bolos juga rupanya."

"Hn, begitulah." Jawabnya singkat.

Aku melihat ke arah kantung belanjaannya. Ku lihat di sana ada beberapa buku yang terlihat seperti seri komik terbaru. Aku kembali menatapnya dengan tatapan tak percaya, "aku tak menyangka kau suka membaca komik." Ucapan itu lolos begitu saja dari mulutku. Aku merutuki diriku sendiri karena ucapanku.

"Kau pikir aku hanya membaca sesuatu yang serius, eh?"

Sudut bibirnya terangkat sedikit seperti sedang tersenyum. Ia berjalan melewatiku sementara aku hanya mengekor di belakangnya. Kami berdua antri di kasir untuk membayar belanjaan kami masing-masing. Lalu keluar dari toko buku tersebut.

"Waktu lama sekali berlalu," ujarnya sembari menatap jam tangannya.

"Kau hanya membeli komik, tidak mungkin sampai berjam-jam kan." Kilahku. "Kalau begitu aku duluan. Selamat malam, Uchiha." Pamitku padanya.

"Kau mau kemana, Sakura?" Tangannya menarik tas ranselku hampir membuatku terjungkal ke belakang.

"Aku akan pergi makan malam. Kenapa? Kau mau ikut?" Tanyaku asal ceplas-ceplos.

"Baiklah," jawabnya singkat. "Jadi, kita mau kemana?"

Aku sedikit terkejut dengan jawabannya. Pertanyaan basa-basiku dianggap serius olehnya. "Aku ingin makan sushi, kalau kau tidak mau kau bisa pergi."

Ia hanya mengikutiku. Dan sekarang kami kini berjalan berdampingan. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut kami. Ini pertama kalinya kami punya percakapan sepanjang ini. Walaupun kami sering bertemu tapi ia selalu diam karena Naruto lah yang paling banyak bicara dibanding teman-temannya yang lain. Bahkan walaupun kami satu kelas, kami tak pernah berbicara satu sama lain.

Untungnya letak restorannya tidak jauh. Tak beberapa lama kemudian kami pun sampai di restoran. Suasana restoran cukup lenggang. Aku mengeluarkan novel yang baru ku beli barusan setelah memesan makanan yang aku makan. Membuka plastiknya dengan perlahan. Aku membuka novel baruku dengan antusias. Aku suka sekali harum buku baru. Aku terlalu bersemangat dengan novel baruku sampai-sampai lupa kalau saat itu aku tidak sendirian. Suara dehamannya itu yang membuatku tersadar kalau aku tidak sendirian.

"Maaf, aku terlalu bersemangat jika sudah berhubungan dengan buku baru."

"Dasar aneh." Ejeknya dengan seringai di wajahnya.

"Setidaknya aku tidak membeli komik seperti seseorang," balasku.

Dia terlihat sedikit gelagapan, "memangnya membaca komik adalah tindakan kriminal?"

"Hmm, ya." Jawabku cepat. "Tentu saja akan membaca komik akan menjadi tindakan kriminal jika kau mendapatkannya dari mencuri."

"Aku sekarang menyesal mengajukan pertanyaan seperti itu." Ucapnya.

Tak beberapa lama seorang pelayan menghidangkan pesanan kami. Aku segera mengambil sumpitku dan mengucapkan 'selamat makan' sebelum menyuapkan sepotong sushi ke dalam mulutku. Moodku sekarang lebih baik setelah mencium aroma novel baru dan juga makan-makanan enak. Terlebih aku tidak perlu mendapatkan tatapan aneh dari orang-orang karena aku pergi makan sendirian seperti orang yang tak punya teman.

.

"Terimakasih atas makan malam dan tumpangannya, Uchiha. Harusnya kau tak perlu membayar makan malamku juga." Ujarku setelah turun dari motor miliknya itu. Aku menyerahkan helm full-face itu padanya. "Tapi, bagaimana kau bisa tahu rumahku? Aku bahkan tidak memberitahumu."

"Kau lupa kalau aku berteman dengan Naruto?"

"Ah, benar juga kau pasti tahu dari dia. Kepribadiannya bahkan membuatku ragu kalau dia bisa menyimpan rahasia sendirian. Ngomong-ngomong, terimakasih." Ucapku sekali lagi.

"Kau sudah mengucapkannya dua kali, Sakura," jawabnya dari balik helm full-face nya.

"Kalau begitu apa lagi yang kau tunggu, Uchiha? Sebaiknya kau segera pergi dari sini sebelum semakin malam. Kau tahu knalpot motormu itu bisa mendatangkan masalah."

"Cih, dasar tak tahu malu. Aku pergi dulu," ia langsung menyalakan mesin motornya.

Aku berjalan memasuki rumahku. Melepas sepatuku dan memakai sendal khusus dalam ruangan. Aku berjalan ke arah ruang santai karena bisa mencium aroma teh dari sana. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati ayahku tidak duduk sendirian di sana melainkan ada sosok lain yang juga ikut duduk di sana. Tidak, sosok itu bukanlah ibuku. Melainkan seseorang yang sangat aku benci di dunia saat ini. Aku melihat bajingan berambut merah itu duduk di depan ayahku. Ia dengan wajah polosnya tersenyum seraya melambaikan tangannya antusias padaku seolah-olah tak terjadi apa-apa diantara kami.

.

.

.

*to be continued*