Rukia tergesa merapikan meja dapur yang berantakan, karena air dan sisa bubur di atas permukaan marmernya. Tangannya memutar lap dapur seperti mesin penghisap debu. Peluhnya menetes, padahal baru saja berdiri di bawah pancuran shower satu jam yang lalu. Ini semua karena pamannya. Mengapa harus mendapatkan flu di pagi buta dini hari dan menghabiskan waktu paginya?
"Rukia…" erangan Sang Paman terdengar dari kamarnya yang pintunya dibiarkan terbuka. "Aku akan baik-baik saja… kau bisa pergi bekerja."
"Setelah ini semua selesai! Aku baik-baik saja!" balas Rukia yang melempar lap ke sembarang arah, bertengger di atas oven.
Tangannya segera menyambar jas formalnya yang tersampir rapi di punggung kursi, sembari mengecek jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Dia benar-benar terlambat untuk segera memulai aktivitasnya.
Rukia merutuki dalam hati, mengendap perlahan ke arah kamar pamannya. Urahara Kisuke masih menyantap bubur buatan Rukia seperti siput. Bergerak lama dan sesekali cairan kental itu jatuh di atas tubuhnya. Panas dan membuatnya mengernyit.
"Aku akan pergi sekarang, Kisuke," ucap Rukia menahan senyumnya tetap merekah. "Minum obatnya setelah menghabiskan buburnya dan segera tidur. Oh, dan tidak perlu mengkhawatirkan cucian di dapur karena aku—"
"Aku mengerti Rukia-chan. Kau tidak perlu khawatir, pergilah sebelum terlambat," potong Urahara, mengangguk dan membiarkan ingusnya keluar dari hidungnya. Rukia mengernyit jijik karenanya.
"Baiklah. Ittekimasu!"
"Itterashai~"
Rukia berlari secepat kilat ketika sudah menutup rapat-rapat pintu kamar Urahara, menyambar tas Chanel hitam dan memakai sepatu heels lima sentinya. Ketergesaan hampir membuahkan sebuah memar di dahinya—sedikit lagi terkantuk pintu karena gagal menekan kenop pintu.
Napasnya memburu cepat dengan menekan tombol lift berulang kali. Tangga darurat menjadi pilihan terakhir, karena dari lantai dua puluh lima menuju basement adalah pilihan terburuk menggunakan seribu lebih anak tangga. Belum heels-nya yang bisa lepas sewaktu-waktu. Itu sama saja dengan bunuh diri.
Pintu lift akhirnya terbuka, membuatnya segera menekan kembali tombol menuju basement satu. Tubuhnya bergoyang tidak sabaran, melihat angka yang terus turun begitu lambat. Seharusnya dia lebih memilih area lantai bawah daripada lantai teratas gedung apartemennya. Tidak akan memakan waktu lama seandainya kejadian seperti ini terjadi tanpa terduga.
Sepatunya menapaki aspal parkiran dengan ketukan nyaring dua menit kemudian. Tangan kanannya memegang kunci mobil, menekannya begitu mobil putihnya terlihat di belakang tembok penyangga. Ford Fiesta putih yang seakan memanggil tuannya untuk segera dipanaskan.
Rukia mendesah lega setelah duduk di kursi pengemudi. Menyalakan pendingin ruangan dan menunggu beberapa menit agar mesinnya panas. Matanya tidak pernah lepas dari jam di dasbor mobil, hampir menunjukkan pukul tujuh lima puluh dua. Mulutnya bergumam tidak menentu. Kesabarannya sudah menipis dan menghilang sempurna sepuluh detik kemudian.
"Ahhh … lupakan."
Tanpa perlu menunggu, rem tangannya sudah diturunkan dan mengganti posisi stangnya untuk siap melaju. Kakinya tidak menahan saat menginjak gas, hingga suara decitan ban dengan aspal terdengar memekikkan telinga. Dia tidak peduli lagi, bahkan bila ada kucing melompat di depan mobilnya sekalipun.
.
.
.
.
.
Collaboration story:
.
_Bet On You_
.
Present to you by:
Searaki Icchy
Morning Eagle
.
.
.
.
.
Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::
Warning :: AU, OOC, Misstypos, Mature Contents for the next chapters
.
.
.
Chapter 1
.
.
.
"Come on… cepatlah berubah…"
Rukia hampir menginjak gasnya, ketika lampu lalu lintas tidak kunjung berubah hijau. Mengambil pilihan terakhir dan beresiko adalah hal yang seharusnya tidak dipilihnya. Tidak, bila hari ini tidak ada rapat penting bagi petinggi perusahaan. Semuanya harus siap sempurna tanpa cacat. Tidak ingin meninggalkan kesan buruk bagi perusahaan yang menjadi mitra sejak lama.
Perusahaan di mana tempatnya sekarang bekerja sebagai sekretaris CEO—Ashido Corp—yang bekerja sama dengan mitra terpercaya, Kurosaki Group. Bosnya menanti hal ini sejak lama, memberikan kesan baik sebagai 'teman kerja' yang lebih memimpin dan berpengalaman. Rukia tidak akan mengecewakan bosnya, demi apapun di dunia ini.
"Hijau!" Tanpa pikir panjang kakinya menginjak gasnya dan melajukan mobilnya di jalanan tidak terlalu padat.
Pandangannya lurus ke depan, tidak melihat apa yang melaju dari sisi kanannya. Sebuah mobil dengan kecepatan di atas normal melaju tepat ke arahnya. Rukia menyadari beberapa detik sebelum mobil itu nampak begitu dekat di kaca jendelanya. Hitam seperti bayangan yang menghantuinya di pagi hari.
Tangannya spontan memutar setir kemudi dan membanting mobilnya ke arah kiri. Suara klakson terdengar mendengung di telinganya, sebelum benturan ringan tak terelakkan mengguncang mobilnya. Tepat di bagian belakang mobil.
Rukia mengerang dalam duduknya, merasakan seat-belt yang hampir mencekik tubuh mungilnya. Kepalanya sedikit membentur setir dan sekarang berdenyut kencang. Matanya mengerjap, berusaha mengerti kejadian yang sudah terjadi di depan matanya.
Perlahan dia melihat ke kanan, mendapati mobil sport hitam menubruk badan mobilnya. Lamborghini Murcielago yang terlihat baik-baik saja. Dan saat itu pintunya terangkat ke atas seperti pesawat antariksa. Seseorang keluar dari kursi pengemudi.
"Mengapa ini harus terjadi padaku?" erang Rukia yang segera melepaskan seat-belt dan membuka pintunya. Kakinya sedikit oleng ketika memijak aspal. Dunia seakan berputar dan membuatnya harus bertumpu pada pintu mobil.
Orang itu kini berdiri di hadapannya, dengan suara sepatu terdengar berima. Rukia bisa mencium wangi parfumnya dari sini, dusk maskulin yang memikat. Wajahnya terangkat karena sebagian akal sehatnya teralih, menatap lekat-lekat pria yang menjulang tinggi seperti papan reklame. Hal pertama yang ditangkap oleh mata besarnya adalah warna jingga. Itu rambutnya.
"Nona, kau mengambil jalurku." Suaranya terdengar ditahan-tahan. Rukia merasakannya, rasa kesal juga jengkel dari pria bermata tajam itu.
"Itu jalurku dan aku tidak salah selama lampu berwarna hijau," balas Rukia tidak merasa salah, memegangi kepalanya dengan sebelah tangan. Dan kebalikannya, pria itu berdiri sempurna tanpa ada sesuatu yang cacat.
"Kau tahu jalurku adalah rute berbelok ke kanan dan mobilmu mengambil jalur sebelah kanan," jelas pria itu, memeragakannya dengan kedua tangannya sebagai jalurnya. "Itu sangat berbahaya dengan kecepatan yang kau kendarai. Seharusnya kau mengambil jalur lebih ke kiri."
"Dan seperti kau tidak melakukannya juga, tuan," sindir Rukia dingin. Dia berjalan memutar dan melihat dampak apa yang diderita mobil kesayangannya.
Matanya terbelalak lebar, ketika mendapati benturan itu merusak badan mobilnya. Cat terkelupas dan permukaan yang tidak lagi rata. Dalam hati dia mengutuk kejadian hari ini.
"Kau merusak mobilku," bisik Rukia tidak percaya. Kedua tangannya terangkat di udara. "Dan mobilmu terlihat baik-baik saja. Benar-benar tidak adil."
"Baiklah, begini lebih cepat," ucap si pria sambil merogoh kantong celana kainnya. Dia mengeluarkan sebuah buku kecil—cek. Tangannya menulis sesuatu, sebelum menyobeknya dan memberikan kepada Rukia. "Ambil ini."
Rukia mengerjap, melihat angka yang tertera memiliki banyak nol. Dia tidak terlalu mempermasalahkan berapa harga service-nya, hanya saja pria ini bertindak keterlaluan. Tidak ada rasa bersalah di raut wajahnya, selain rasa dongkol dan alis yang bertaut tajam.
"Ada apa? Cepat ambil. Masih ada urusan yang harus kuselesaikan. Kupikir jumlah ini tidak akan kurang untuk memperbaiki mobilmu itu."
"Thanks, but no thanks!" Rukia membalas ketus. "Lebih baik kau masukkan kembali kertas berhargamu itu." Dan ia pun berlalu pergi masuk ke dalam mobil.
Dia ingin secepat mungkin pergi dari sini, meminum aspirin dan melanjutkan tugasnya yang terbengkalai. Tangannya sigap tanpa mempedulikan rasa sakit di dada juga kepalanya. Matanya mengerjap cepat. Sudah lama Rukia tidak merasa terhina seperti sekarang. Mengingatkannya akan kenangan yang dibencinya sepenuh hati.
Rukia segera melajukan mobilnya kembali, meninggalkan pria yang masih mematung di pinggir jalan dengan menggas mobilnya sekencang mungkin. Sebuah kertas cek teremas di tangan kekarnya. Tidak bisa disangkal bahwa kali ini juga dia merasa terhina. Belum pernah ada yang menolak sebuah cek dengan nilai yang tidak sedikit. Bahkan, ini dari tangannya sendiri.
"Game on, huh?" Pria itu tersenyum sinis, tidak melepas target yang tak pernah diduganya.
.
.
.
Rukia berlari menelusuri koridor panjang, mendapat perhatian dari para pegawai kantor juga petugas kebersihan yang kebetulan lewat. Napasnya terputus-putus dan tidak tenang, merasa rasa gugup mencekik lehernya. Jantungnya semakin berdegup kencang, ketika menyadari CEO dan dua manajer sudah menunggu di ruang rapat di ujung koridor. Dia pasti akan kena marah di hari pertama minggu yang baru. Kesialan buruk yang datang terus menerus.
"Urahara!" panggil salah satu manajer marketing yang terlihat gempal juga rambut beruban. Jasnya hampir tidak menutupi perut buncitnya. "Kau dari mana saja? Rapat hampir dimulai!"
"Maafkan saya—"
"Tidak perlu terburu-buru, Urahara-san. Ambil napasmu dulu."
Rukia tersentak begitu bosnya yang angkat bicara. Ashido Kanou, Sang CEO muda perusahaan. Terlihat memikat dengan jas hitam Armani dan senyum simpulnya. Selalu tenang dalam situasi apapun.
"Sampai kapan kau akan memanjakan sekretarismu ini, Ashido-san? Kinerja yang buruk seperti ini sama sekali tidak bisa ditolerir!" Si manajer bersikeras menolak, menunjuk Rukia dengan telunjuknya. "Dan kali ini Kurosaki yang akan datang! Kau tahu itu tidak mudah mengundangnya secara langsung untuk datang kemari."
"Kurosaki adalah mitra kerja yang sudah lama bagi perusahaan. Tidak perlu diragukan dia akan datang kapanpun. Dan kupikir, Uraharaa-san sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik," jawab Ashido tanpa melirik wajah Si manajer yang berubah pucat. "Bukan hal yang tepat saling mencari kelemahan teman sendiri, sebelum memperbaiki apa yang ada pada diri sendiri. Bukan begitu, Urahara-san?"
Rukia tersenyum menyetujui, mengangguk cepat sebelum memasuki ruangan dengan berlembar-lembar kertas yang dibawanya. "Saya akan mempersiapkan materinya."
"Tidak perlu terburu-buru, karena mungkin Kurosaki-san akan datang terlambat."
Rukia mendengarkan sambil menyusun kertas di setiap meja dan kursi yang tersedia. Ashido duduk di bagian ujung meja, bersandar santai dan memerhatikan jam berlalu.
"Sang CEO sendiri?" tanya Rukia.
"Kurosaki Ichigo—putra dari Kurosaki Isshin. Dia teman lamaku, dan aku mengharapkan pembicaraan kerja sama ini tidak terlalu berkesan formal." Ashido menatap kedua manajer marketing dan pemasarannya bergerak gugup gelisah. "Mereka terlihat berlebihan."
"Anda menertawakan mereka?"
"Tidak perlu bicara seformal itu bila kita hanya berdua, Rukia."
"Tapi—"
"Ayolah, Rukia. Kau tahu kan bagaimana sejarah kita dulu?"
"Teman," koreksi Rukia. Dia enggan menatap Ashido yang berusaha membujuknya kembali pada masa lalu. "Hanya teman, Ashido. Aku lebih nyaman dengan hubungan kita yang sekarang."
"Aku mengerti..."
Meski agak kecewa karena Rukia lagi-lagi menolaknya secara terang-terangan, Ashido hanya bisa tersenyum maklum.
"Kurosaki-san sudah datang!" ucap si manajer marketing terlalu keras.
Suasana kembali ke sebelumnya, menepis atmosfer baru yang hampir terbentuk di dalam ruangan. Rukia berjalan cepat dan berdiri di belakang Ashido yang merapikan jasnya. Dua manajer seperti penerima tamu, bersikap terlalu ramah namun ricuh.
Sang Kurosaki memasuki ruang rapat, diikuti oleh sekretaris pribadinya di belakang. Seperti gerak lambat yang menegangkan, Rukia melihatnya perlahan dari bawah dan berjalan ke atas. Hingga mata mereka bertemu. Hampir saja Rukia tidak bisa mempertahankan ekspresi datarnya.
Pria itu. Rukia tahu jelas siapa dia.
"Kurosaki-san, selamat datang di Ashido Corporation," ucap Ashido yang maju lebih dulu, mengulurkan sebelah tangannya untuk berjabat.
Mata Ichigo tidak lepas beberapa detik dari gadis mungil yang sekarang berusaha bersembunyi di belakang tubuh Ashido. Senyumnya tersungging, mengetahui targetnya lebih dari sebuah permainan biasa. Dia menemukannya di tempat tak terduga, salah satu gedung yang akan menjadi sumber pendapatan ganda baginya.
"Perlukah kesopanan yang terlalu formal, old friend?" tanya Ichigo membalas jabatan tangannya dan menepuk punggung Ashido. "Senang bertemu denganmu lagi, Kanou."
"Tiga tahun yang lalu adalah terakhir kita bertemu di Amerika. Kau tidak berubah, Ichigo."
"You'll never forget all that memories, don't you? Three fucking years won't change me at all, dude."
Rukia tersentak, tidak menyangka bahwa pemimpin dua perusahaan besar adalah teman lama. Tiga tahun yang lalu, adalah saat kelulusan Ashido di Universitas Amerika. Mereka adalah teman semasa kuliah, itu yang bisa disimpulkan oleh Rukia. Dan pria itu—Kurosaki Ichigo adalah pria yang benar-benar berandal. Tidak hanya dari rambut dan sikap angkuhnya, gerak tubuh juga tatapannya setajam buaya.
Ashido dan Ichigo melupakan sejenak tujuan mereka di tempat itu—lebih memilih membahas masa lalu dan terkadang melontarkan candaan dalam bahasa asing. Kasar, Rukia bisa mendengar umpatan dan ungkapan tidak senonoh. Berbeda dengan budaya Timur yang lebih menjunjung etika sopan santun. Bahkan, kedua manajer juga sekretaris pribadi Ichigo. Wanita terlalu kaku dengan rambut dicepol dan baju monokrom. Kacamatanya sedikit melorot, ketika mendengar bosnya berbicara melantur.
Beberapa menit berdiri terlalu canggung dengan tumit yang mulai pegal, akhirnya Ashido memulai rapat dengan Ichigo. Rukia berdiri di depan laptop yang menyala, mengikuti instruksi Ashido ketika menjelaskan inti dari rapat mereka. Gadis itu mengontrol layar proyeksi berupa diagram laba rugi hingga contoh model proyek yang akan segera dibangun.
Rukia menahan rasa tidak nyaman dan keringat dingin yang membasahi tenguknya. Semua karena pria itu. Ichigo mengarahkan pandangannya hanya kepada Rukia. Dan entah bagaimana tidak ada yang menyadarinya, selain mereka berdua. Seperti ditusuk oleh rasa dendam yang melayang di udara, jatuh tepat di jantung dan kepala Rukia. Dia benar-benar membenci pria kasar itu. Tidak sepantasnya dia menjadi seorang CEO sukses, pikir Rukia.
Empat puluh lima menit berlalu, setelah penjelasan padat dan tanya jawab dari pihak Kurosaki. Setelah mencapai kesepakatan, Ichigo menandatangani berkas yang diberikan Rukia kemudian. Janji untuk saling membantu dalam finansial dan kebutuhan. Dua perusahaan besar siap untuk menguasai dunia Internasional.
Kedua manajer berusaha menarik perhatian Kurosaki, membahas segala hal mengenai dunia bisnis dan pergolakan saham. Ichigo melayani mereka mau tidak mau, mendapati perbincangan membosankan yang berujung tawa yang tawar juga memuakkan. Sudut matanya mendapati Rukia sedang membicarakan sesuatu dengan Ashido—terlihat serius dan berkesan pribadi.
"Senang bekerja sama denganmu, Ichigo," ucap Ashido kemudian, menghampiri Ichigo dan menjabat tangannya sekali lagi. "Maaf aku harus meninggalkanmu sekarang, masih ada hal yang harus kutangani dan kuselesaikan. Yamashita-san, Hojou-san." Ashido memanggil kedua manajernya, untuk segera mengikutinya.
"Kupikir kita harus membicarakan masa lalu di lain waktu, Kanou." Ichigo tersenyum ramah kepada teman lamanya, menepuk bahunya bersahabat. "Ohh—aku hampir lupa. Bolehkah aku meminjam dokumen proyek yang sudah kaubuat? Mengenai konsep awal juga pembahasan demografi dan pemetaannya."
"Tentu, Ichigo," jawab Ashido. "Berkasnya ada pada sekretarisku. Rukia?"
"Ya?" Spontan Rukia menjawab dan menyesali sudah membuka suaranya. "Ahh… saya memiliki kopiannya."
Dia harus bertanggung jawab untuk membantu mitra barunya, sekaligus atasan tak langsung. Kesialan bertambah di punggung yang sekarang semakin menunduk.
Ashido berlalu pergi dengan tergesa, diikuti dua bawahan yang bergerak lebih lambat. Menyisakan tiga orang yang saling menatap. Dua lawan satu.
"Nanao, ponselku tertinggal di mobil," celetuk Ichigo sambil memberikan kunci mobilnya.
"Memangnya perlu untuk sekarang? Kau bisa menunggu setelah dokumennya—"
"Sekarang." Ichigo bersikeras, mengerutkan dahinya dalam. "Bagaimana kalau ayahku menghubungiku? Atau mungkin saja Ukitake-san?"
"Baiklah, baiklah," gumam Nanao menyerah, menggerutu sambil menuruti apa perintah atasannya. Dia beranjak pergi dengan menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Separuh ingin mencekik bos tampannya.
Rukia menghindari tatapan yang diberikan Ichigo, ketika pintu ruang rapat ditutup tiba-tiba. Ichigo menguncinya dari dalam, membuat Rukia bergidik ngeri dan mencari alasan untuk menghindari situasi yang semakin menekannya. Ini sungguh tidak baik. Rukia harus bersikap setenang mungkin.
"Sekarang tinggal kita berdua." Ichigo melonggarkan dasinya dengan sebelah tangan. "Rukia? Kita bertemu lagi."
"Saya akan segera memberikan dokumennya, jadi tidak perlu melakukan hal yang merugikan kita berdua."
"Merugikan? Kau yang menolak cekku, bukan? Kupikir hanya kau yang rugi, nona. Aku sudah bermurah hati kepadamu sebelum ini."
"Lalu?" Rukia mendelik tidak suka, memikirkan cara lain untuk segera menyambar kunci di pintu keluar dan berlari sejauh mungkin.
Ichigo bersandar pada meja rapat, menumpukan kedua tangannya sebagai penyangga. Dia mendesah lelah, mendongakkan wajahnya ke langit-langit. Rukia meneguk ludahnya sendiri, ketika mengamati leher jenjang pria itu dan bagaimana lekukan indahnya terbentuk. Hal yang mustahil dimiliki oleh seorang salah satu pebisnis berpengaruh di Jepang.
"Lalu, aku menuntut ganti rugi, nona. Atas apa yang kaulakukan padaku—mempermalukanku dan menjatuhkan harga diriku."
"Untuk alasan apa?" Rukia masih terlihat tenang, menahan segala emosinya lebih ke dalam.
"Kau harus menerima apa yang diberikan kepadamu." Tunjuk Ichigo pada Rukia yang mematung. Rahangnya mengeras karena rasa dongkolnya. "Sebagai contoh, bila atasanmu memberikan sesuatu kepadamu. Katakanlah kenaikan jabatan dan kelipatan gaji dua kali lipat. Apa kau akan menolaknya begitu saja?"
"Itu tidak ada hubungannya dengan masalah tadi, Kurosaki-san. Masalah strata tidak bisa memperbaiki apa yang terjadi di luar sana."
Ichigo bangun dari sandarannya dan mencengkram dagu Rukia dengan sebelah tangan. Gadis itu terkejut bukan main, menahan napasnya saat kedua mata coklat menyala Ichigo membara murka. Pria itu bermasalah dalam mengontrol emosi, apalagi di hadapan wanita yang berusaha mempermainkan dirinya. Ini adalah permainannya, dan seharusnya Rukia tidak ada kontrol sama sekali.
"Mulutmu sungguh berani, Rukia." Ichigo berbisik tajam pada telinga Rukia, membangunkan kesiagaan juga rasa dingin yang menusuk. "Apa perlu kuajarkan tata krama yang harus kaupatuhi bila berhadapan dengan orang yang lebih tinggi darimu? Bagaimana kalau dimulai dengan merasakan bibir ranum yang tajam ini berubah untuk mematuhiku."
Rukia mendorong Ichigo menjauh, terengah ketika pria itu menyeringai puas. Napasnya naik turun, hampir kehilangan akal sehatnya sendiri. Seorang pria angkuh dari strata teratas, kini menginjak-injak harga dirinya. Mimpi buruknya muncul dalam bentuk paling jahat dan hina. Dalam rupa seindah matahari sore di ujung cakrawala. Semuanya terasa sangat tidak adil.
Memangnya siapa pria itu? Sudah seenaknya menabrak mobilnya, sekarang dia malah mengatakan ingin membuat dirinya patuh?
Dasar pria kaya gila berbahaya…
"Ini berkas yang Anda butuhkan," dengan cepat Rukia membanting pelan dokumen yang Ichigo butuhkan di meja. "Jika tidak ada lagi yang Anda butuhkan, saya undur diri."
Rukia melangkah maju menuju pintu keluar. Memutar kunci pintu dan membukanya lalu menghilang dari pandangan mata Ichigo. Wanita itu berjalan angkuh meninggalkan Ichigo seorang diri tanpa peduli pria itu adalah CEO yang memegang nyawa perusahaan tempat Rukia bekerja. Tindakan membangkang secara terang-terangan dari Rukia membuat Ichigo menyunggingkan seringai.
"The game is already on, huh?"
Tidak ada yang lebih menarik daripada ini. Ichigo menikmatinya, bagaimana semuanya berawal. Pertemuan tidak terduga dan menemukan sebuah kesenangan yang meracuni sistem tubuhnya. Mengubah jalan berpikirnya menjadi lebih jernih juga menuruti instingnya berjalan. Sekarang semuanya terarah kepada Rukia—satu-satunya yang tidak akan dilepaskannya.
.
.
.
.
.
To be continued…
.
.
.
.
.
Author's note:
Fic baru, kolaborasi dengan Searaki Icchy nee~ It's a (big) surprise for you! Kaget pas Icchy nee ngajak collab bareng dan ak suka dengan ide ceritanya, drama romance yang bikin dag dig dug. Fiuhh … rate M dan multichap. Masih akan banyak konflik untuk ke depannya dan kami harap kalian suka dengan fic ini! Happy reading and enjoy the story!
