Pertemuan Badai
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warning: AU, OOC, OC, misstypo(s), multi-chapter, long-chapter
.
.
.
Chapter 1 : Gadis Di Bawah Badai
Cuaca bukan main buruknya hari itu. Angin-angin bersemilir kasar membelai-belai nyiur kehijauan. Hujan seakan ingin sekali berlama-lama di Konoha, memberikan curahan air membahana untuk seluruh warga desa yang lebih memilih bercengkerama di dalam rumah masing-masing. Di sebuah jendela besar bertepi, duduk seorang gadis berambut merah muda yang sesekali mengacak-acak rambutnya frustasi. Di dekatnya bergumul buku-buku pelajaran, alat tulis dan kertas-kertas yang dicoret-coret olehnya dengan tinta pena 3 warna. Nafasnya berderu putih, membuat embun berkerumun di jendela besar rumahnya. Di bawah jendela, vas bunga diletakkan, digantikan dengan dirinya yang duduk seraya menekuk kakinya menjadi 90 derajat. Hujan masih bertalu-talu dengan deras di luar.
"Sakura!" pekik wanita dewasa berambut sama dengan gadis itu dari luar kamarnya, "Makan siang telah siap! Turunlah!"
"Iya, Kaa-san. Nanti aku turun," jawab Sakura, sang gadis merah muda yang duduk di tepi jendela, dengan suara lesu. Terdengar suara derap langkah menjauhi pintu, "hah.. kalau hujan begini bagaimana bisa aku kerja kelompok ke rumah Ino.." Ia menghembus nafas berat, lalu beranjak dari jendela, mengembalikan vas bunga ke tempat asalnya. Ia pun langsung keluar kamarnya, menuruni undakan-undakan tangga menuju ruang makan yang tergabung dengan dapur.
"Ah, Kaa-san," ujar Sakura seraya menarik bangku dari meja makan, "hari ini aku ingin ke rumah Ino."
"Kalian ada kerja kelompok?" tanya Misaki, ibu Sakura, "Lebih baik tunggu hujannya reda."
"Tapi, Kaa-san.. Aku ingin mengerjakan karya ilmiahku untuk tugas dari Ibiki-sensei," ujar Sakura lesu. Ia mengambil nasi, lalu menaruhnya ke piring. Setelahnya, ia mengambil lauk dan menaruhnya di atas nasi miliknya, "kalau aku tak mengerjakannya, bisa-bisa Ibiki-sensei memarahi kami lagi.."
"Kan masih ada besok, Sakura?" tanya Misaki, lalu memakan nasi karenya berhadapan duduk dengan anaknya. Sakura menggeleng.
"Tugasnya akan dikumpulkan besok, Kaa-san," jawab Sakura. Ponselnya tiba-tiba bergetar, "sebentar, Kaa-san. Ada telepon." Sakura menempelkan ponselnya di telinga kirinya, "Halo?"
"Forehead! Hari ini badai lebat sekali, ya? Bagaimana kita kerja kelompoknya?" Misaki menoleh ke arah anaknya yang menelepon.
"Siapa?" tanya Misaki.
"Ino," jawab Sakura, "eh, Ino-pig, bagaimana kalau kau ke rumahku saja?"
"Kalau aku sudah dibolehkan daritadi, aku telah berdiri di depan pintu rumahmu, forehead!" Sakura geleng-geleng kepala.
"Sebentar, pig," ujar Sakura lalu menoleh ke arah ibunya yang sedang minum air es, "bolehkah aku ke rumah Ino, Kaa-san?"
"Bisa Kaa-san bicara dengan Ino sebentar?" tanya Misaki. Sakura mengangguk.
"Sebentar, pig, Kaa-sanku mau bicara denganmu." Sakura langsung menyerahkan ponselnya ke ibunya.
"Halo, Ino?" tanya Misaki.
"Ah, halo tante.. hari ini badai lebat sekali. Kami ingin mengerjakan karya ilmiah kami, hanya tinggal laporannya saja, kok.. boleh?"
"Tante khawatir nanti Sakura jadi sakit.." ujar Misaki dengan nada cemas.
"Gak bakal, tante! Sakura-chan itu kuat, kok! Hehe.."
"Ah, bisa saja, Ino.." ujar Misaki seraya tertawa kecil. Sakura lanjut memakan makanannya setelah memastikan bahwa ibunya baik-baik saja.
"Bolehkah, Tante? Akan ada banyak yang lainnya untuk ikut mengerjakannya bersama kami, kok.. Aku janji Sakura tak akan pulang lewat dari jam makan malam.."
"Baiklah. Tante titip Sakura ke kamu, ya.." Sakura tersenyum kecil seraya mengunyah makan siangnya.
"Tentu saja, Tante!" Misaki langsung tersenyum dan mengangguk pelan. Ia memberikan ponsel itu ke Sakura.
"Pig, aku akan ke rumahmu sekitar 15 menit lagi. Tunggulah," ujar Sakura.
"Baiklah. Aku tunggu, dan jangan sampai telat!" Sakura pun memutuskan sambungan teleponnya, lalu menaruh ponselnya ke dalam sakunya.
"Berhati-hatilah akan badai nanti, Sakura," ujar Misaki. Sakura mengangguk. Makan siang Sakura telah habis saat Misaki meminum air esnya, "cepat sekali, Sakura? Sangat bersemangat?"
"Tentu saja, Kaa-san!" sahut Sakura senang, "Aku akan ke atas sebentar, ya." Misaki mengangguk. Sakura mencium pipinya, lalu beranjak naik ke kamarnya. Misaki hanya tersenyum melihat tingkah laku anaknya, lalu bersiap mencuci piring-piring kotor mereka.
Sakura Haruno terlahir di keluarga kecil Haruno yang tinggal di salah satu distrik di Konoha. Ibunya, Misaki Haruno, bekerja sebagai suster di RSU Konoha, sedangkan Sakura bekerja part time di supermarket dekat sekolahnya, Konoha Gakuen. Ia sekarang telah menginjak tahun ke-2 bersekolah disana, masih tingkat 3. Setengah tahun lagi, ia akan naik ke tingkat 4. Di Konoha Gakuen sendiri terdapat 12 tingkatan, yang berarti setiap murid harus bersekolah selama 6 tahun. Ayahnya, Mizuko Haruno, adalah seorang pilot yang jarang pulang kerumah. Tinggallah Sakura dan Misaki di rumah mereka, dan setiap 3 bulan sekali, Mizuko datang ke rumah untuk singgah beristirahat melepas rindu.
Sakura memasuki kamarnya, mengambil tas kecil warna kuning miliknya. Ia masukkan semua alat tulis dan buku-buku pelajaran yang berseliweran di tepi jendela kamarnya. Ia melihat sosoknya di cermin, berputar-putar sebentar. Ia mengambil jaket tebal warna merah marun miliknya, menutupi kaus bergambar bunga matahari miliknya. Jins hitam setia melekat pada kaki jenjangnya, menutupi kakinya sampai batas mata kaki. Rambutnya yang panjang sebahu ia ikat rendah, menyisakan anak rambut di kepala kiri dan kanannya, lalu menjepit anak rambut kiri dengan jepitan rambut polos warna hitam. Setelah dirasa cukup, ia turun dari kamarnya menuju rak sepatu di dekat pintu keluar. Diliriknya ibunya yang tengah beristirahat sehabis mencuci piring di wastafel dapur.
"Kaa-san, aku pergi dulu," pamit Sakura. Misaki mengangguk, lalu menemani Sakura sampai rak sepatu di dekat pintu keluar, "berhati-hatilah di rumah."
"Kau juga berhati-hatilah dijalan. Pakailah payung hitam itu." Misaki menunjuk ke arah wadah payung yang terbuat dari jalinan-jalinan rotan kekuningan. Sakura mengangguk, lalu ia mengambil payung besar warna hitam dari rak payungnya, "Kalau badai belum reda, sebaiknya kau berteduh." Sakura mengangguk.
"Aku pergi, Kaa-san," ujar Sakura. Ia membuka pintu, lalu menutup pintunya setelah melihat wajah ibunya yang tersenyum seraya melambaikan tangannya ke arah Sakura. Dibukanya payung hitam besar itu, lalu ia berjalan menembus badai yang bergumul-gumul. Setidaknya, badai sekarang tak terlalu deras dibandingkan yang tadi. Ia berlari melintasi lanskap tanah becek jalan depan rumahnya. Air-air menguasai Konoha. Selokan tampak tak mampu lagi menampung air, ditumpahkannya seluruh air yang ditampungnya, menggenangi jalan Konoha yang kini berwarna kecokelatan. Sakura terus berjalan menembus badai, tak dihiraukannya hujan deras menghalanginya. Satu tekadnya; menyelesaikan laporan karya ilmiah miliknya.
Sakura baru berjalan setengah jalan, badai semakin menderas. Payungnya tampak tak mampu lagi menahan beban angin yang dilawannya, sehingga payung itu terdorong ke belakang. Sakura bersusah payah untuk menahannya, ia terdorong lalu mendorong, ia tertarik lalu menarik. Jalanan semakin lengang saja saat ia semakin merasa kehilangan kendali payungnya. Payung hitam besarnya menutupi sebagian besar badannya yang kecil, menantang angin badai yang kuat menerjang. Becekan-becekan yang gemercikan di jins hitamnya yang tak lagi kering bersih, tak ia pedulikan. Ponselnya ia selamatkan dengan menaruhnya ke dalam tasnya –yang tak berhasil karena tasnya terbuat dari kain yang mudah menyerap air. Ia menyesal membawa tas itu bersamanya, lalu menghentakkan kaki kirinya sebal –yang justru membuat becekan semakin mengotori kakinya. Kedua tangannya sibuk mempertahankan payungnya. Kakinya tak henti-hentinya bergerak, entah itu untuk maju-mundur, ke samping kiri-samping kanan, atau pun menghentak-hentak sebal. Tenaganya hampir habis, dan akhirnya ia terjengkang ke belakang dengan payung menutupi badannya seraya semakin bergeser ke belakang. Gemuruh semakin bersahut-sahutan dengan keras, membuat Sakura sesekali berteriak kaget. Ia tahu, ia harus menyelamatkan dirinya dengan segera agar ia tak tersambar listrik, namun dimana? Semua tempat berteduh terasa tak aman; gedung-gedung tinggi, pepohonan, lapangan.. Ia menyerah! Seorang Sakura Haruno menyerah! Ia terjengkang semakin ke belakang, kepalanya membentur aspal. Payungnya terjengkang ke belakang, semakin kencang Sakura menariknya, semakin kencang pula ia bergerak. Ia menangis sesenggukan, ia meringis kesakitan, namun tetap mempertahankan payung besar pemberian ayahnya untuknya saat ia kehujanan sepulang sekolah 3 tahun lalu. Ia tak mau kenangan indah itu hilang begitu saja hanya karena badai!
Sakura sesekali memegangi kepalanya yang berdenyut saat terkena air hujan. Ia menangis seraya meminta tolong untuk mempertahankan payungnya. Tak seorang pun yang mendengarnya, dan ia berharap tak ada, karena ia terlihat sangat memalukan. Jaket merah marunnya tak lagi berwarna merah, bahkan sampai terbuka kancingnya dan lepas satu. Kaus putih bergambar bunga matahari miliknya telah berubah warna menjadi cokelat, senasib dengan jins hitam miliknya. Rasanya Sakura ingin tegak dan berlari menembus badai, namun badannya yang telah kehabisan tenaga membuatnya tak kuat lagi untuk mengumpulkan tenaganya bahkan sekadar untuk berdiri dan mengambil payungnya yang makin lama makin menjauh darinya. Ia menahan tubuhnya dengan tangan kanannya, membiarkan tangan kanannya itu menyentuh dinginnya air banjiran hujan yang kotor, sementara tangan kirinya memeriksa bahwa tasnya tak terlalu basah –dan ternyata tasnya hanyut! Oh, sungguh nasib sial bagi Sakura Haruno! Ia berusaha untuk berdiri, ia harus berdiri!
Sakura akhirnya bisa terduduk di tengah hujan, hanya itu yang bisa ia lakukan. Tasnya ia tarik, menjaganya agar tak ikut hanyut. Ponselnya tak lagi ia pedulikan, ia lebih mementingkan payung hitamnya yang telah menjauh terbawa angin. Ia berlari menuju arah payungnya, dengan segenap kemampuan yang ia punya, tongkat payung hitam itu tergapai oleh Sakura.
"Berhasil!" sahutnya girang. Namun, badannya semakin terbawa angin. Ia merasa tubuhnya akan melayang, dan ia tak ingin hal itu! Setidaknya, biarkan ia menyelesaikan laporan karya ilmiahnya dan biarkan Ino memberi tahu Ibiki-sensei bahwa tugas mereka telah selesai! Ia menaruh gagang payung itu dengan erat ke bahu kanannya, lalu menariknya sekuat tenaga. Ia menangis, merengek dalam hatinya. Tak apalah ia kelihatan konyol sekarang, ia hanya ingin seseorang menolongnya. Hanya satu kali ini saja, batinnya. Tasnya ia biarkan bergentol mengikutinya berjalan merintangi angin yang kini tak seganas tadi. Air matanya tak mengalir ke bawah, kecepatan angin membawanya ke samping langsung. Ia bertahan mempertahankan payung hitam besar miliknya, lain kali ia akan minta payung lipat saja pada ibunya. Tak ada pilihan lain, batinnya. Akhirnya ia berusaha menutup payungnya di tengah badai. Guntur kembali bergemuruh, membuat Sakura tersentak kaget dan menutup telinganya dengan kencang dan berlutut seraya menangis. Ia berteriak kencang, melepaskan payungnya yang kini tengah terbang rendah. Ia langsung berdiri, dan mengejar payung yang kini telah kembali menyentuh tanah. Ia merasa kepalanya semakin berat karena terantuk batu, tangannya semakin bergetar hebat, bibirnya kembali memucat. Ia terjatuh, tasnya dibiarkannya di atas tubuhnya. Hujan semakin deras menerpa Konoha, dan ia tak tahu nasib payung hitam itu sendiri. Ia menolehkan kepalanya yang masih bisa bergerak, sedikit ke arah kiri, mengikuti kemana payung hitam itu berjalan –dan payung itu menghilang! Ia memejamkan matanya sebentar, membersihkan bulir hujan yang bercampur air mata dari matanya, lalu kembali membukanya. Ia tampak sangat berantakan sekarang, sesampainya di rumah Ino ia harus meminta pertanggung jawaban!
Ia mencoba menggapai-gapai udara rendah. Tangan kirinya terasa sangat kaku untuk digerakkan, dan hal itu membuatnya semakin putus asa dan merasa minder. Dikalahkan oleh sebuah badai? Memalukan sekali! Ia mencoba untuk menegakkan tangannya dan kakinya dengan semua tenaga yang ia punya.
"Ber.. gerak.. lah.." gumamnya pelan terselubung dengan suara hujan yang mengalahkannya, "Tidak.. payung.. Tou..-san.." Ia kembali menangis. Matanya terasa sangat perih dan memerah. Kepalanya terasa semakin sakit, dan ia baru tersadar bahwa luka lamanya juga terletak di kepalanya. Matanya tercengang membuka dengan lebar, namun kembali menyipit karena derasnya hujan membawa air garam yang membuat mata emeraldnya semakin mengeruh. Sinar matanya semakin meredup. Ia merasakan kepalanya sedang berada di ambang ketiadaan, dan ia tak mau itu terjadi, tentu saja! Ia masih sayang dengan kepalanya yang ia gunakan untuk mendapatkan gelar juara di kelasnya, dan itu harus hilang hanya karena terjatuh di badai? Konyol sekali!
Semakin ia berusaha untuk bergerak, semakin membatulah badannya. Kini semua badannya bergetar dengan hebat, ia menggigil. Ia bagai seonggok daging busuk di kulkas; terabaikan di tengah kedinginan. Ia berusaha menutupi jaket merah marunnya yang semakin membuka menampakkan kaus cokelat miliknya. Semakin ia berusaha menutupnya, angin seakan mendengar semua kata hatinya, mencoba membukanya dengan deruan yang lebih kencang. Ia merasa kepalanya terasa blank, semuanya berwarna blur. Ia kembali memandang arah dimana payung itu hilang, ia kembali menangis. Matanya kembali merasa sembab, karena pengaruh garam yang dibawa hujan yang bercampur dengan air mata kesedihannya. Ia telah menghilangkan kenangan dari ayahnya itu. Tasnya telah bagaikan kausnya, berwarna kecokelatan. Ia tak sanggup melihat ke arah ponselnya yang nasibnya tak ia ketahui sekarang. Tiba-tiba, ia merasa kepalanya mengeluarkan sesuatu hal yang kental dan hangat. Mungkin hanya lumpur, pikirnya. Ia merasa semakin lemah, penyakit hipotermia akut miliknya semakin kambuh, bibirnya kini berwarna memerah oleh cairan kental hangat. Hidungnya juga berfungsi tak seperti yang diinginkannya, dari mengeluarkan gas, tadi air, sekarang cairan kental yang turun ke bibir atasnya. Ia mengelapnya dengan lidahnya yang terasa sangat kelu, cairan itu terasa asin. Pasti tercampur garam air hujan, batinnya lagi. Ia tersenyum di tengah badai itu, dan tiba-tiba sekelebat bayangan hitam menghampirinya. Mungkin aku akan hilang disini.. batinnya sedih. Ia tersenyum lembut, namun matanya tak kunjung menutup. Ia bingung dan heran, lalu melihat dari sekelebat cahaya kecil yang menembus matanya, sepasang kaki di tubuh bagian kirinya! Ada yang menyelamatkannya, syukurlah!
"Ini payungmu?" tanya orang itu dengan pelan. Sakura hanya terdiam. Ia tak bisa menggerakkan mulutnya untuk berkata-kata. Cairan itu semakin deras mengucur, dan orang itu semakin menyematkan raut wajah panik di hadapan Sakura. Segera saja ia langsung berusaha mengangkat gadis itu, melihat ke dalam tasnya. Ia menemukan dompet dan ponsel. Mungkin bisa ia gunakan nanti, untuk info gadis ini, namun bukan sekarang. Ditutupnya payung hitam tadi, lalu ia menggendong Sakura dengan bridal style menembus hujan. Pakaian warna hitam kebiruan miliknya kini bercipratan dengan darah milik gadis itu. tragis, batinnya. Gadis itu, Sakura, terlihat sangat tragis. Badannya berlumuran lumpur, tak ada yang selamat, dan orang itu tak tahu apa penyebabnya. Ia semakin mempercepat langkahnya, menuju salah satu toko yang menyediakan cahaya terang untuk tempat gadis itu bisa diselamatkan, suatu toko bunga. Tak dipedulikannya badannya ikut basah bersama gadis itu, bercampur dengan darah-darah segar yang keluar, bahkan ia tak peduli bahwa angin semakin menentang langkahnya yang sedikit terseok.
Orang itu sampai di depan pintu sebuah toko bunga, Yamanaka's Flower Shop, lalu segera bergegas masuk ke dalamnya.
"Selamat datang," sapa seorang gadis dari balik konter. Rambutnya yang pirang panjang diikat ekor kuda, "ada yang bisa saya ban-SAKURA!" Ia langsung keluar dari meja konter, menghampiri orang yang menggendong sosok merah muda di tangannya. Gadis itu sangat mengenaskan, bersimbah darah. Gadis pirang itu langsung menangis melihat sahabatnya yang sangat ia kenal itu tak sadarkan diri.
"Siapa Anda?" tanya gadis pirang itu panik, "Apapun yang Anda lakukan, terima kasih sekali! SAKURA! SAKURA! DENGARKAN AKU! APAKAH BISA DENGAR? TOU-SAN! KAA-SAN! CEPAT PANGGILKAN AMBULANS! SAKURA DALAM BAHAYAA!" pekik gadis itu panik. Ia menepuk-nepuk pipi Sakura. Kedua orang tua gadis itu langsung keluar menuju toko, dan langsung panik saat melihat sosok merah muda yang bergelimangan darah itu semakin memucat, "KAA-SAN! SAKURA SEMAKIN MENDINGIN!"
"Tenanglah, Ino! Kami sedang memanggil ambulas, mereka akan sampai 5 menit lagi!" sahut ibu Ino dengan suara tak kalah panik, "Bagaimana keadaan Sakura?"
"SANGAT BURUK, KAA-SAN! YA AMPUN, SAKURA! APA YANG IA LAKUKAN TADI? CEPAT KATAKAN PADAKU!" bentak gadis pirang itu kepada orang yang tengah meletakkan Sakura ke sebuah bangku panjang di toko. Ia mengangkat bahunya.
"Saat aku menemukannya, ia telah terbaring dengan darah yang berlumuran di badannya. Ia sangat kritis saat kutemui tadi. Ini tas dan payungnya," ujar orang itu lalu memberikan tas yang basah dan payung hitam yang setengah rusak, "sepertinya ia terjebak dalam badai."
"SAKURA! KAU BODOHHH!" pekik Ino kepada gadis merah muda yang tengah terbaring lemah itu, "AH! PONSEL! MANA PONSELMU, FOREHEAD! NAH INI DIA!" Ino langsung memencet digit angka dengan tangan bergetar. Tangannya ikut berlumur darah Sakura. Orang itu mengangguk paham. Namanya Sakura, ya? tanya orang itu dalam hati. Orang itu –lebih tepatnya pemuda itu, hanya terduduk dengan tenang di samping gadis yang terbaring lemah di dekatnya. Ia berusaha keras menyembunyikan semburat paniknya. Ia hanya ingin bebas hari ini dari rumahnya, dan langsung disambut dengan gadis berlumur darah tengah badai tadi?
"TANTE? INI AKU, INO! SAKURA TELAH SAM..SAMPAI DI TE-TEMPAT KAMI! SA-SAKURA AKAN KA-KAMI BAWA KE RSU! SE-SEBAIKNYA TANTE KE-KEMBALI KE RSU SETELAH BEKERJA! JA-JANGAN PULANG DULU! SAKURA.. SAKURA DALAM BAHAYA, TANTE!" Suara bersahutan dengan telepon yang dilakukan Ino memecahkan keheningan suasana yang ditemani oleh derasnya badai. Syukurlah, ponsel Sakura dimatikan saat ia ingin pergi tadi. Jadi, tak merusak sirkuit di dalamnya. Dan untung saja, ponsel itu tahan air, hanya saja tak tahan bila dibiarkan berlama-lama di dalam air. Bunyi sirine darurat dari ambulans pun terdengar. Langsung saja Ino menyuruh para suster untuk keluar membawakan kasur beroda dari dalam mobil. Kedua orang tua Ino ikut serta, menemani Ino menuju RSU Konoha.
"Apa yang kau lakukan? Kau tak mau ikut?" tanya Ino pada pemuda yang tampak ragu di hadapannya, "Kau harus menjelaskan semuanya ke ibunya!" Pemuda itu tampak ragu sejenak, lalu memilih untuk mengangguk pelan. Ia juga harus bertanggung jawab untuk penjelasan ke ibu gadis itu nanti, bukan? Ia mengikuti Ino dari belakang, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Bajunya yang bericikan darah, ia biarkan saja. Ia berpikir ia harus langsung selesaikan semua ini dengan ringkas dan cepat, lalu kembali menyelesaikan semua urusan hidupnya. Ia langsung masuk ke mobil ambulans, mengambil tempat di kursi panjang hijau lumut sebelah gadis pirang yang belum ia kenal. Gadis itu menangis terisak seraya memegang lengan kiri Sakura dengan kedua telapak tangannya yang berdarah terkena darah Sakura. Kedua orang tua gadis itu yang duduk di hadapannya hanya menatap Sakura dengan sendu, kecuali ibu gadis itu yang tampaknya lebih melankolis, ia menangis dengan membawa sapu tangan warna hijau.
"Oh iya, pemuda," ujar gadis pirang itu menoleh ke arah pemuda itu, "siapa namamu? Masa aku harus memanggilmu pemuda terus-terusan?" Gadis itu memberikan tangannya ke pemuda yang tampak cuek itu, "Namaku Yamanaka Ino. Aku sahabat dari gadis ini. Gadis ini namanya Haruno Sakura. Terima kasih telah menyelamatkannya.."
"Hn," sahut pemuda itu. Ia menjabat tangan gadis bernama Ino itu dengan cepat, lalu langsung memasukkannya kembali ke dalam saku celananya, "Uchiha Sasuke."
TO BE CONTINUED
.
.
.
AN: AKHIRNYA MULTI-CHAP PERTAMA YANG BIKIN AKU SREG NERUSINNYA! T^T BIASANYA AKU HANYA SUKA MEMBUAT LONG ONESHOT, KALI INI AKHIRNYA AKU MOOD BIKIN MULTI-CHAP! HUAHAHAH! Pairing seperti biasa, fav pairing, Tomat Merah Jambu! Ngahahah XD #plakk Ah, review, onegaai? Aku baru kali ini semangat bikin multi-chap == mohon bantuannya dan kritiknya =="
28/04/12 -kags
