Innocent Flower
Disclaimer: Hidekaz Himaruya
Rate: M (bukan main-main karena beda dengan rate M yang biasa saya buat)
Warning: bondage/domination, non-con, rape, oral sex, underage sex. Explicit sex and hentai. Don't like don't read. This fic made for my friend (for challenge of course).
Tiina terbangun di tengah malam, merasa kedinginan. Ia terbaring di tempat tidur yang nyaman dan empuk, tubuh telanjangnya tertutupi selimut yang terbuat dari satin. Ada sesuatu yang salah, ia tidak bisa melihat apapun. Ia diculik sekarang. Dan siapa yang menculiknya sekarang?
"A—aku dimana?" tanya Tiina gemetaran. Mencoba posisi duduk tetapi itu sulit baginya, kedua tangan dan kakinya diikat seperti tahanan. Merasakan tubuhnya sudah tidak ada sehelai benang pun dan mencoba untuk melepaskan diri tapi ia gagal. Usahanya sia-sia belaka.
Seingat Tiina, semalam ia berada di rumah sendirian dan Tino sedang pergi ke Rusia untuk mengurus konser black metal dari negara asal Tino, Lordi. Karena tidak ada orang di rumah, ia tidur dengan hanya mengenakan celana dalam dan bra. Dengan bodohnya ia tidak mengunci pintu rumahnya dan memberikan kesempatan penculik untuk memperlakukannya seperti ini. Semoga saja, ia belum diapa-apakan oleh penculiknya.
Jika itu terjadi maka tidak lebih dari mimpi buruk.
Tiina merasakan ada tangan besar yang menyentuh bahunya erat hingga ia memekik kencang dan tangan itu segera berpindah ke perut Tiina yang datar lalu ke bibir Tiina. Ia ingin berteriak kencang sekarang tetapi mulutnya ditahan hingga Tiina tidak bisa berteriak.
"Jangan berteriak!" ucap suara itu serak dan melepaskan tangannya dari mulut Tiina hingga tidak bisa berteriak. "Tiina!"
Tiina terkesiap, ia menyadari suara yang memanggilnya. Ia sangat mengenalnya dan bukan tidak mungkin bahwa orang itu adalah—jangan katakan jika itu adalah tetangga sebelahnya. Ini sama sekali tidak mungkin sedikitpun.
"To—tolong, ja—jangan lukai aku," Tiina memohon dan mendesah ngeri. Ketakutan seolah-olah nyawanya hanya tinggal satu ujung jari saja. "Ja—ja—jangan perkosa aku."
Pria itu melepaskan penutup mata yang dipakai Tiina dan pria itu adalah Berwald, tetangganya yang berusia tiga puluh sembilan tahun. Sejak dulu, Tiina mencintai tetangganya itu tetapi Berwald menolaknya mentah-mentah ketika ia berusia empat belas tahun dan terjadi ketika dua tahun yang lalu. Sekarang, pria itu ada di sini dan mengikatnya seperti ini. Ia menunduk ke arah seluruh tubuhnya dan tanpa ada balutan busana sedikitpun. Celana dalam dan bra yang ia kenakan hilang entah kemana. Berwald menatapnya dengan tatapan bernafsu, membuat Tiina bertanya-tanya apakah pria itu sudah mengambil keperawanannya.
Tetapi itu tidak mungkin, karena tidak ada darah sedikitpun di tempat tidur dan ia tidak merasa sakit. Ia pernah mendengar dari teman-temannya bahwa ketika berhubungan seksual untuk pertama kali itu akan terasa sangat sakit hingga tidak bisa berjalan selama berhari-hari.
Berwald berpikiran mengenai sesuatu yang lainnya, ia sudah memiliki niatan seperti itu setelah menonton film dewasa yang diberikan Matthias. Ia menyesal dulu pernah menolak Tiina karena ujung-ujungnya ia mencintai Tiina setengah mati. Kesempatan itu datang ketika Tino memutuskan untuk pergi ke Rusia selama satu minggu. Ingin melakukan cara halus tetapi kemungkinan besar gagal karena ia pernah menolak Tiina dulu. Mungkinkah Tiina masih mencintainya seperti dulu?
Ya atau tidak, tetap harus ia laksanakan. Ia akan membuat Tiina jatuh cinta setengah mati kepadanya.
Untuk kedua kalinya dan tidak akan pernah terlupakan bagi Tiina.
"Tidak akan ada yang memperkosamu di sini," desis Berwald tajam. "Kita akan bersenang-senang."
Kesempatan itu datang ketika Tiina lupa mengunci pintu di malam hari, pada pukul sebelas malam. Diam-diam ia menyusup ke kamar Tiina dan mendapati Tiina tertidur pulas hanya dengan pakaian dalam saja. Hasrat yang dimilikinya menyala-nyala begitu besar hingga berani menculik Tiina ke rumahnya.
Ia lelah dengan pekerjaannya. Sangat lelah sehingga ia membutuhkan hiburan yang menyenangkan hatinya. Hiburan itu didapatnya dari Tiina dan gadis itulah yang selalu menjadi incarannya, sampai kapanpun juga.
Tiina yang seperti itu seolah-olah mengundang Berwald untuk berbuat lebih jauh lagi. Mengajak Berwald untuk membuka milik Tiina perlahan-lahan. Ibaratnya Tiina menyodorkan diri untuk Berwald dengan kemasan yang begitu cantik nan menggoda.
"Kau milikku sekarang, Tiina," desis Berwald dan memainkan payudara gadis itu. Bukit kembar milik Tiina begitu manis, ujungnya berwarna pink muda dan itu masih akan terus berkembang. Ia membayangkan bagaimana jika Tiina sudah dewasa. "Aku akan bercinta denganmu. Malam ini juga."
Ber—bercinta, Berwald pasti benar-benar sudah gila. Ia tidak berani membayangkan jika tubuhnya ditindih seperti ini. Ditindih oleh pria sebesar Berwald dan ia akan menjerit-jerit kesakitan selama seminggu penuh. Membayangkan mencium bibir pria itu saja sudah membuat Tiina ketakutan dan gemetaran.
"A—apa, tidak dan ini hanya bercanda?" ucap Tiina gemetaran sementara Berwald terus menghisap payudaranya dengan kasar hingga ujungnya mengeras. Ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari vaginanya. Cairannya dan ia tidak mengerti mengapa bisa terjadi?
Berwald menatap Tiina yang tampak kelelahan akibat serangan mendadaknya ini. Tahu bahwa perlakuannya terhadap Tiina sangat keterlaluan dan tidak terpuji sekaligus memalukan. Hawa panas menyelimuti tubuh Berwald sekarang. Minta dibebaskan sepenuhnya dari neraka ini dan melampiaskannya ke dalam milik Tiina sepenuhnya. Membuat Tiina menjadi miliknya seutuhnya dan ia tahu bahwa Tiina masih perawan karena ia sudah mengeceknya tadi. Ia menahan seluruh hasratnya ketika mengikat Tiina agar tidak terlepas begitu saja. Menunggu Tiina tersadar dan melakukannya di depan Tiina. Baginya, melakukan itu dalam keadaan sang partner sedang tertidur itu merupakan hal yang paling gila yang pernah ada dan itu akan membuat Berwald terkesan seperti pria banci sepanjang masa.
Desahan Tiina membuat Berwald semakin bernafsu dan penisnya menegang. Ia bebas memonopoli Tiina malam ini juga dan gadis itu tidak akan melawan karena ia sudah mengikatnya dengan erat. Wajah Tiina merah padam dan matanya tidak bisa berhenti menatap Berwald, antara malu sekaligus menginginkan lebih lagi. Berwald terus menggoda, memilin dan mencubit payudaranya hingga Tiina memekik kecil karena geli dan gemetar.
"U—ung, Ber. Hen—hentikan, aah—"
Ia tidak mau menghentikannya sebelum ia melakukannya dengan benar dan segera seluruh tubuh Tiina, sedikit demi sedikit tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun serta meninggalkan beberapa bekas kemerahan di sana sebagai tanda cinta Berwald untuknya. Dari semua yang telah Berwald jelajahi, tentu yang paling menarik baginya adalah daerah kewanitaan Tiina. Ia memainkan alat vital Tiina seolah-olah benda itu merupakan mainan semata, menyentuhnya dan mengeksplorasinya. Ingin mengetahui apa rahasia Tiina yang tersembunyi.
"Ini yang kau mau?" Berwald bertanya pelan dan mencium bibir Tiina hingga gadis itu nyaris kehabisan nafas. Bukan ciuman biasa melainkan ciuman panas. Menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Tiina dan mencari-cari dimana lidah Tiina, memainkan lidah Tiina. Tiina berusaha menghindar tetapi gagal, Berwald ingin terus menguasainya secara penuh. Memancing-mancing lidah Tiina untuk membalas gerakannya. Dalam posisi seperti ini, rasanya tidak enak dan sakit di kedua pergelangan tangannya begitu terasa.
Lama mereka saling bertaut lidah, kira-kira sekitar lima menit lamanya. Permainan selesai dan menumpahkan saliva dari mulut Berwald yang terhubung dari mulut Tiina. Tiina melepaskan ciuman Berwald, tetapi saliva mereka masih menyatu dan tidak lama kemudian terputus begitu saja. Nafas Berwald tersengal-sengal tetapi ia tidak memperlihatkan itu di hadapan Berwald. Ia tidak mau Tiina melihat sisi memalukan itu.
"Jangan lakukan itu lagi!" Tiina memohon dengan nada sedih, ada ketidakrelaan di dalam hatinya sekaligus keraguan mendalam. "Lepaskan aku!"
Sayang, ia lebih menuruti nafsunya sendiri dibandingkan perasaan Tiina. Membiarkan Tiina berada di dalam penderitaannya sendiri. Ini semua salah Tiina yang membuat Berwald menderita setiap malamnya, membayangkan yang tidak-tidak mengenai Tiina. Melampiaskan semua hasratnya terhadap Tiina dengan cara melakukan sendiri. Sekarang, ia akan melakukannya secara nyata dan melepaskan semua hasrat terpendamnya yang ditutupi rapat-rapat.
"Cantik," desahnya dingin dan melepaskan kedua kain yang mengikat kaki Tiina. Membuka paha Tiina selebar mungkin agar pria itu bisa melihat milik Tiina seutuhnya. Begitu rapat dan indah, menggoda pria manapun jika disodori hal semacam ini. Ia menjilat klitoris gadis itu dan Tiina semakin mendesah kencang. Sesuatu yang hangat mengalir, membasahi seluruh vaginanya. Tanpa adanya rasa jijik sedikitpun, Berwald menjilat cairan yang keluar dari vaginanya. Membayangkan bagaimana rasanya ketika ia bisa menerobos pertahanan tersembunyi Tiina.
Deru napasnya sama sekali tidak beraturan dan Tiina hanya bisa pasrah ketika Berwald menyetubuhinya dengan seenaknya. Ia ingin segera terbebas dari sini dan berharap ketika terbangun ini hanya mimpi buruk semata. Ia tidak tahu bahwa bercinta melibatkan hal-hal semacam ini.
"Nikmat rasanya," ucap Berwald, terus menjilatnya dan tidak peduli akan wajah malu Tiina. "Kau milikku, tidak boleh pergi dariku."
Tiina terdiam, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Lebih baik ia menuruti apa kata Berwald daripada ia terkena masalah. Seandainya ia mengunci pintunya baik-baik, tidak akan kejadian seperti ini. Menyesal akan kebodohannya sendiri dan mungkin ini semacam hukuman untuknya.
"Kau cantik," ucapnya parau dan mengangkat kepalanya dari kewanitaannya. Wajah Berwald penuh dengan cairan Tiina. Menjilat cairan yang tersisa di sekujur bibirnya. "Tipe istri idaman pria manapun juga. "
Setelah semuanya selesai, Berwald akan minta izin pada Tino untuk memiliki Tiina untuk dirinya sendiri. Menjadikan Tiina sebagai istrinya. Ia tidak mau peduli akan fakta bahwa Tiina masih berusia enam belas tahun dan cenderung mengabaikan hal tersebut. Tiina memang istri idaman pria manapun. Begitu ramah, manis, cantik dan penurut. Mampu memuaskannya hingga membuatnya gila seperti ini. Gadis sekecil Tiina yang begitu polos.
"Be—ber," Tiina berucap penuh ketakutan mendalam ketika salah satu jari Berwald masuk ke dalam vaginanya dan membuat gerakan-gerakan asing di sana. "I—itu rasanya sakit sekali."
"Tidak akan lama," tambahnya dengan penuh keyakinan. "Hanya sakit sebentar."
Ia melepaskan jari yang berada di dalam milik Tiina dan darah mengalir di sana. Ia melepaskan seluruh pakaiannya sendiri di depan Tiina, memperlihatkan tubuh telanjang Berwald dengan seksama.
"Aku tidak menyangka, tubuhmu sebagus ini," Tiina berucap dengan penuh gemetar. Berwald memang benar-benar pria dewasa dan ia hanyalah tubuh anak-anak. Dalam keadaan seperti ini, seolah-olah ia dalam posisi korban, korban om-om pedo lebih tepatnya. Tiina tidak berani membayangkan bagaimana reaksi kakaknya jika sampai tahu bahwa Tiina berhubungan seksual dengan orang yang jauh lebih cocok menjadi ayahnya. Kakaknya bisa dibilang sangat protektif terhadapnya dan menutup semua celah untuk pria belang.
Berwald memberikan senyuman kecil pada Tiina. Tanpa banyak bicara ia melepaskan kedua ikatan tangan Tiina. Menggengam salah satu tangan Tiina dengan erat, memojokkan tubuh Tiina ke kasur supaya Tiina tidak bisa kabur darinya. Ia akan mulai sekarang dan tidak ada yang bisa menghentikannya, termasuk Tiina sendiri.
"Izinkan aku untuk melakukannya, Tiina," Berwald berkata pelan. Nadanya terdengar lemah sekarang. "Untuk memasukimu."
Tiina pasrah, ia mulai menikmatinya dan tubuhnya tidak bisa berbohong akan hal itu. Hatinya memang tidak ingin melakukannya tetapi tubuhnya meminta lebih lagi. Ia mengangguk kecil sebagai bentuk persetujuan.
Dalam hati Berwald tersenyum puas dan mulai mendorong penisnya memasuki milik pribadi Tiina dengan pelan agar Tiina tidak terlalu kesakitan. Tiina memejamkan matanya, kesakitannya akan segera datang. Sebisa mungkin ia menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak menjerit kencang. Matanya sempat menatap mata Tiina, pandangan mereka beradu. Setetes air mata mengalir di wajah putih Tiina.
"Ssh," Berwald menenangkan Tiina dan memeluk gadis itu erat serta menekan pinggang Tiina untuk menahan miliknya. "Apa aku melukaimu?"
Tiina membalas pelukannya dan kejantanannya terus bergerak di milik pribadinya. "N—nggak, Ber. Aku nggak—AARGH!"
Kejantanannya bergerak semakin cepat dan mulai berusaha mendobrak pertahanan kokoh milik gadis itu. Berbagai cara ditempuh agar miliknya bisa diterobos secara sempurna. Gagal, ia mencoba lagi dan pada akhirnya ia berhasil melakukannya setelah ketiga kalinya. Menyadari bahwa Berwald sudah di dalam, Tiina tersadar akan sesuatu bahwa omongan itu benar adanya dan sama sekali tidak ada unsur mengada-ada. Milik Berwald yang begitu besar membuat Tiina kesakitan ketika Berwald terus merangsek ke dalam.
Ada sesuatu yang robek di dalam miliknya. Ia sudah kehilangan miliknya yang berharga. Mata Tiina mendadak buta dan tidak mampu melihat apapun.
Hanya untuk sesaat.
Ia akan menjadi milik Berwald sepenuhnya, pria itu akan memonopolinya. Salah satu temannya juga pernah berkata padanya jika pria ingin memilikinya secara penuh, ia akan merenggut kegadisan milik gadis yang diincarnya. Sesuatu yang tidak akan pernah dipelajari di sekolah atau dimana pun juga. ia harus bisa mengetahuinya sendiri. Merasakan sakit di dalam kewanitaanya, pusing sekaligus mual.
"Be—Ber!"
Sedangkan Berwald, ia merasakan akan ada sesuatu yang keluar dan ia masih berada di dalam milik Tiina. Cairan dari kejantanannya yang disebut dengan sperma, tertumpah di dalam vaginanya. Membasahi rahimnya.
Lima menit lamanya tubuh mereka bersatu dan membiarkan Tiina merasakan sendiri sensasi kenikmatan yang diberikannya. Tiina yang tadinya merasa sakit, pada akhirnya ia merasa nyaman dan seperti dibawa ke awang-awang. Ia tidak pernah mengira bahwa pengalaman pertamanya akan seperti ini.
Setelah itu, Berwald melepaskan diri dari Tiina dan turun dari ranjang. "Aku akan memberikanmu hadiah?"
Tiina merasa lemas sekaligus malu. Ini semua bagaikan mimpi indah sekaligus mimpi buruk. Mengambil selimutnya dan menutupi seluruh tubuhnya, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Berr."
Pria itu tidak menjawab dan mengambil sesuatu di lemari. Sesuatu yang ia beli di Paris ketika ia sedang dinas di sana. Khusus untuk Tiina seorang. Sebuah kamisol transparan berwarna merah beserta celana dalam.
"Pakai ini," ucap Berwald kasar dan menyerahkan kamisol itu pada Tiina. "Atau aku yang akan memakaikanmu."
Tiina tersenyum lembut pada Berwald. "Akan lebih baik Ber yang memakaikannya untukku, moi."
Mendengar perkataan Tiina, hasrat yang dimiliki Berwald kembali bangkit begitu saja. Memakaikan benda tersebut ke tubuh Tiina perlahan-lahan seraya menikmati pemandangan yang tersaji di dalamnya. Wajah manis Tiina ketika ia memakaikan benda tersebut, indah tiada tara. Memperlakukan Tiina seolah-olah Tiina adalah istrinya.
Ia membaringkan Tiina dengan perlahan, mencium tengkuk Tiina. "Jag alskar dig, Tiina."
"Mina rakastan sinua," Tiina berkata lagi dan mulai terlelap. "Biarkan aku tidur."
"Tidurlah," Berwald berkata dan menyelimuti tubuh Tiina. Membiarkan Tiina terbenam dalam pelukannya, di dalam selimut.
Mungkin ketika Tiina terbangun besok pagi, ia akan mendapati itu hanyalah mimpi semata.
FIN
A/N Maaf terlalu vulgar, saya mencoba membuat fic yang menyebut kata vital. Fic ini requestan temen saya. Concrit is allowed but flame is not. Okay.
