Haikyuu! © Furudate Haruichi
.
Warning : OOC, typo(s), etc.
Not love story, just friendship.
.
Happy reading!
.
.
.
Jika menyangkut Bokuto maka sebentar itu tidak akan pas. Tidak mungkin bisa menyatu, antara Bokuto dan waktu yang sebentar. Akaashi paling tahu itu.
Ia sudah berpengalaman. Beberapa hal sampai sudah menjadi seperti nafas dalam hidupnya.
"Akaashi, berikan toss untukku!"
"Geh." Akaashi terang-terangan menghela nafas. Wajahnya yang malas itu harusnya menjadi tameng agar orang-orang tahu kalau dia bukan tipe orang yang bersemangat lebih untuk melakukan hal diluar batas.
Tapi Bokuto tetaplah Bokuto, keinginannya agar terwujud merupakan nomor wahid.
"Kumohon...! Hanya sebentar. Aku janji!" Bokuto terus merengek.
Akaashi tahu, kata sebentar yang dijanjikan Bokuto itu bohong. Ia belajar dari pengalaman pertama saat kelas satu dulu.
"Baiklah, hanya sebentar."
Tapi Akaashi menyetujuinya.
Mungkin karena Bokuto sudah menyebut namanya dengan benar. Mungkin juga karena ia tidak ingin mendengarkan rengekannya lebih lama. Memangnya dia bisa menolak?
Tak apalah, toh Akaashi juga menikmati pujian dari setiap toss yang ia berikan.
.
.
.
Akaashi lagi-lagi ingat bahwa kata sebentar tidak akrab dengan orang bernama Bokuto Kotaro. Ia salah mengira kalau itu hanya berkaitan dengan voli, ternyata di luar kegiatan voli kata sebentar juga tidak berlaku bagi kapten timnya itu.
Akaashi seharusnya ingat itu sebelum menyetujui untuk menemani Bokuto pergi ke game center. Tapi tidak, Akaashi melupakan kemungkinan itu dan terjebak dalam waktu yang tidak sebentar bersama Bokuto.
"Bokuto-san, ini sudah gelap. Ayo pulang," ajaknya dengan suara hampir putus asa.
"Sebentar lagi Akaashi, aku masih belum mendapatkan hadiahnya," jawab Bokuto tanpa menoleh. Ia fokus mengangkat boneka burung hantu lucu dari claw machine.
Sudah berapa kali Akaashi dijanjikan ucapan manis itu? Hampir setiap kali ia mengajak Bokuto pulang saat pemuda itu tengah bermain ia selalu dirayu dengan kata sebentar lagi tersebut. Tapi yang namanya sebentar lagi itu tidak juga terwujud.
"Woow, berhasil! Akaashi aku mendapatkan bonekanya, aku memang hebat!"
Akaashi tidak tersenyum, tapi pujiannya tulus. "Ya, kau memang hebat Bokuto-san. Jadi, ayo pulang."
"Baiklah," jawab Bokuto cepat. Ia tersenyum lebar pada adik kelasnya itu dan mengulurkan bonekanya. "Ini untukmu."
Akaashi langsung melebarkan matanya terkejut. "Eh? Tapi kau sudah susah payah mendapatkannya, uangmu hampir habis untuk ini. Kenapa kau memberikannya padaku, Bokuto-san?"
"Karena aku berusaha mendapatkannya untukmu. Terima kasih sudah menemaniku, aku sangat senang. Lain kali kita ke sini lagi."
Akaashi tertegun. Bokuto mengatakannya dengan nada yang biasanya, dengan ekspresi yang biasanya, dengan kepolosan yang biasanya, tapi Akaashi merasakan kehangatan yang tidak biasanya.
"Ya. Tentu, Bokuto-san."
.
.
.
Liburan musim panas. Kamp pelatihan sudah selesai. Masih ada waktu satu hari untuk beristirahat sebelum kembali masuk pada aktivitas sekolah. Akaashi ingin memanfaatkan hari yang singkat ini dengan beristirahat dan memanjakan diri. Tapi ternyata tidak sesederhana dan semudah itu.
"Kapan kau akan pulang, Bokuto-san?" tanyanya malas dari atas kasur.
Bokuto duduk selonjoran sambil menyenderkan punggungnya di ranjang Akaashi. Jari-jarinya sibuk menekan-nekan tombol pada stik game dan matanya tidak lepas dari layar televisi. Ia sedang bermain game milik Akaashi. Di rumah Akaashi. Dan di kamar Akaashi.
"Aaargh, aku kalah! Gara-gara Akaashi mengajakku bicara."
Akaashi mengerut tidak suka. "Tidak Bokuto-san, kau memang tidak ahli memainkannya. Sama sekali bukan gara-gara aku."
"Gara-gara kau, Akaashi. Mungkin saja aku akan menang kalau kau tidak mengajakku bicara," tukas Bokuto.
Ia sudah melupakan game-nya dan ikut duduk di atas kasur Akaashi. Mereka duduk bersila berhadapan. Mata Bokuto menatap nyalang pada Akaashi, sama sekali tidak ingin mengalah untuk argumennya.
"Bisa kau jelaskan kenapa itu bisa jadi salahku Bokuto-san?" tanya Akaashi menuntut.
"Tentu saja!" sahut Bokuto yakin. "Karena kau bicara padaku kau mengalihkan konsentrasiku, pikiranku yang harusnya ada pada permainan tadi harus terbagi untuk menjawab pertanyaan darimu. Karena itu, kekalahanku ini gara-gara kau Akaashi."
Pemuda kalem dan tenang itu mengangkat alisnya tinggi.
"Tidak begitu, Bokuto-san. Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana aku bisa mengalihkan konsentrasimu?"
Bokuto tersentak. Akaashi benar.
"Aaahh, aku capek. Aku mau tidur." Bokuto menjatuhkan diri. Ia tengkurap di atas kasur Akaashi dan membenamkan wajahnya di bantal.
"Bokuto-san, ini kamarku. Jangan tidur di sini, jika kau memang sudah lelah kembalilah ke rumahmu."
"Aku terlalu lelah untuk itu." Suaranya teredam bantal. "Main game dan berdebat denganmu membuatku capek. Biarkan aku seperti ini sebentar lagi."
"Aku tidak keberatan mengantarmu," kata Akaashi.
"Kumohon sebentar lagi, Akaashi."
Akaashi menghela nafas. "Kau itu kelelahan karena tidak mau istirahat. Aku akan membiarkanmu selama lima menit, setelah itu akan kuantar kau pulang."
Bokuto berbalik badan. Ia menatap Akaashi dengan berbinar. Pemuda itu merasa hal tersebut bukan pertanda baik. Sinar mata Bokuto mengatakan ia menginginkan sesuatu.
"Aku berubah pikiran," ungkap Bokuto.
"Jadi kau mau pulang sekarang?" tanya Akaashi sedikit berharap.
Bokuto menggeleng, membuat bantal Akaashi bergeser dan hampir jatuh dari kasur. "Aku akan menginap di sini."
"Apa?!"
"Habisnya kamarmu nyaman sekali. Aromanya juga memenangkan. Aku menyukainya. Jadi, aku akan menginap di sini malam ini."
"Tapi Bokuto-san—"
"Lagi pula orang tuamu tidak ada di rumah. Aku akan menjadi teman tidurmu, kau bisa memintaku menemanimu ke kamar mandi atau ke dapur tengah malam nanti. Kita juga bisa begadang dan bercerita banyak hal sampai tertidur—ah, apa itu namanya?"
"Pjamas party," jawab Akaashi datar.
"Ah ya, itu! Bukankah ini terdengar menyenangkan Akaashi?"
"Aku tidak takut ke kamar mandi atau ke dapur tengah malam sendirian, Bokuto-san. Aku juga sudah besar, tidak memerlukan teman tidur. Aku baik-baik saja sendirian di rumah."
"Sudah, sudah, tidak apa-apa. Ayo cepat tidur!"
Bokuto menarik tangan Akaashi, membuat pemuda itu jatuh terbaring di samping Bokuto. Akaashi sedikit terimpit antara tubuh Bokuto dan tembok kamarnya.
"Kasurmu kecil sekali Akaashi."
"Karena ini ukuran single. Kalau tidak suka kau bisa pulang."
"Aku tidak keberatan kalau nantinya aku menendang punggungmu," ujar Bokuto setengah bercanda.
"Aku harap aku yang melakukan itu," balas Akaashi.
"Tidak mungkin, kakimu tidak akan kuat menjatuhkan tubuhku yang besar."
Akaashi membulatkan mulut. "Ah, benar juga."
"Akaashi, aku minta maaf sebelumnya," ucap Bokuto tiba-tiba.
Setter Fukurodani tersebut mengernyitkan kening. "Maaf untuk apa?"
"Maaf kalau saja nanti malam aku tidak bisa tidur dengan tenang dan tidak sengaja menendangmu, memukulmu, atau menindihmu. Aku sudah minta maaf sekarang, jadi jika besok kau bangun dengan tubuh nyeri-nyeri jangan salahkan aku."
"Cara tidurmu mengerikan, Bokuto-san."
"Jika kau melihatku dalam keadaan memalukan, jangan ceritakan pada siapa pun di klub voli."
"Tidak akan."
"Aku mungkin tidur mendengkur karena terlalu lelah."
"Aa, itu mengerikan. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau begitu."
"Makanya aku minta maaf di awal."
Akaashi diam kali ini. Dia bukannya mengabaikan Bokuto, Akaashi hanya sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang harusnya mereka lakukan dari tadi.
"Bokuto-san, bukankah seharusnya kita segera tidur? Kita besok harus sekolah."
"Itu karena kau tidak mematikan lampunya," jawab Bokuto.
"Tapi kau yang paling dekat dengan lampu, Bokuto-san. Kumohon, matikan lampunya."
"Ini kamarmu, aku tidak ingin menyentuh barang-barangmu sembarangan."
Akaashi mengerlingkan mata jengah. Jika diteruskan perdebatan ini akan panjang, mengingat sebentar itu tidak berlaku bagi Bokuto. Ia bangun, berdiri di atas kasur dan mencondongkan diri untuk meraih sakelar yang menggantung. Akaashi kembali berbaring setelah mematikan lampunya.
"Akaashi, saat kau berdiri tadi, bayanganmu kelihatan besar."
"Tentu saja. Itu karena ada cahaya dari lampunya," jawab Akaashi. Ia melipat selimutnya sedemikian rupa hingga sedikit menyerupai guling agar bisa dipeluk. Guling miliknya sudah disabotase Bokuto dan sudah dipeluk erat dari tadi. "Lampunya sudah mati, ayo tidur."
"Sebentar lagi, Akaashi. Aku masih ingin bercerita banyak hal denganmu."
Akaashi tidak mencuci kaki, tangan dan wajahnya malam ini. Ia juga tidak menggosok gigi atau minum susu seperti yang ibunya nasihatkan. Itu semua karena ia menuruti kata sebentar laginya Bokuto. Karena Akaashi tahu, kata sebentar memiliki arti sama dengan lama di kamus pribadi Bokuto.
"Besok kita sarapan apa? Apa kau bisa masak? Atau kita lari ke rumahku dan sarapan di sana? Seragamku kan juga ada di rumah. Akaashi besok kita bangun pagi-pagi sekali, lalu lari pagi. Kau bawa seragam dan tas sekolahmu, kemudian kau akan mandi dan sarapan di rumahku. Ini akan jadi hari pertama sekolah yang hebat!"
Sebentar yang tadi dikatakan Bokuto bisa saja melebih jam dua belas malam. Akaashi juga ragu semua bisa terlaksana seperti rencana sempurna yang dibicarakan Bokuto barusan, karena ia yakin akan bangun kesiangan jika menuruti cerita Bokuto yang sebentar.
Sebentar itu mitos, jika itu dikatakan dari mulut Bokuto.
.
.
.
Owari.
