Ia hanya menatap samar dalam sisian gelap yang mampu membayangi di tepian sudut hatinya. Menatap samar dengan sapuan luka yang bersemayam melipat dalam satuan cerita. Hanya terdiam dalam balutan ketir yang melekat rapat menempel erat pada jiwa. Ia termangu dengan alunan rintihan debam air yang bertubrukan menghantam lapisan bumi.

Ia terdiam, tak memperdulikan tetesan hujan membasahi tubuh ringkihnya. Mata coklat yang kian meredup kini menatap bayangan tinta dalam kanvas yang tercecer di tepian sudut ceritanya.

Tak adakah satu sisipan kebahagian untuknya? Apakah memang seperti inilah dirinya, yang hanya mampu terdiam disaat sergapan rasa yang kian mencongkel hatinya. Tak adakah sedikit saja perasaan kepadanya, mengiba pun ia tak apa asalkan sosok itu mau menatapnya walau hanya sekilas. Ia rela menerimanya, ia rela jika harus menggantikan nyawanya hanya untuk menghentikan waktu sejenak saat sosok itu mau melihatnya.

Namun apa? Ia bukanlah siapa-siapa tak ada sesuatu hal yang berharga dalam dirinya. Ia hanyalah sebuah figuran dalam satu rangkaian kisah dihidupnya. Ia tak mampu untuk terus berdiri menatap apa yang tak seharusnya ia dapat.

Karena satu hal. Satu hal yang pasti tertulis jelas dalam otaknya. Satu hal yang mampu memporak-porandakan benteng hidupnya. Satu hal yang pasti, bahwa dirinya tak pantas untuk sosok sempurnanya, bahwa dirinya tak pantas untuk Oh Sehun...

Karena...

Luhan takan pernah mampu untuk menggapianya..

Karena Luhan tak pantas untuknya..

Tak pantas untuk Oh Sehunnya.

Part Of Soul

.

.

.

Cast:

Lu Han

Oh Sehun

Pair:

HunHan

Warn:

BL, typo (s), messing EYD, Newbi, and the other imperfections of my story.

Presented by

Mr Taka Hiahashi

.

.

.

.

.

Part Of Soul

_Prologue_

Seorang laki-laki manis tengah berjalan di koridor sekolah. Tangan mungil miliknya mendekap erat tumpukan buku tebal yang memang bisa jatuh tercecer kapan saja. Deer eyes miliknya mengerjap pelan mengedar kearah kiri dan kanan kedua kakinya berjinjit mencoba mengintip dari tumpukan buku yang menenggelamkan tubuh mungilnya.

Ia tetap berjalan dalam balutan keheningan, manik jernih berwarna coklat itu tak henti - hentinya menyapu jalanan ini. Bibir tipis merah muda nya nampak mengerucut sebal dan sesekali menggembung saat ia meniup untaian poni yang menutupi keningnya.

Ia sebenarnya tak mau melakukan ini; membawa setumpuk buku tebal untuk disimpannya menuju perpustakaan. Seharusnya ia kini sudah pulang, sedari tadi suasana disini juga sepi para murid langsung berhamburan keluar saat bel penanda waktu pulang sudah berdentang. Jadilah ia, sendirian berjalan menuju gedung sebelah barat yang berbalik arah dengan kelasnya.

Luhan melangkah terseok-seok saat melihat tempat tujuannya kini sudah di depan mata. Ia segera masuk dan dengan cepat menyusun tumpukan buku itu.

Ia kembali berjalan keluar dan terus melangkah. Ia berhenti sejenak saat mendengar gelak tawa yang begitu menggema memenuhi suatu ruangan, suara riuh jelas tertangkap jelas kedua telinganya.

Dengan penasaran ia mencoba mengintip dari baik celah pintu yang terbuka. Bisa ia lihat disana terdapat beberapa anak-anak tingkat akhir. Bibir mungilnya mengembang saat melihat sosok namja berkulit pucat yang berjalan menghampirinya. Ia tersenyum senang saat namja itu bergerak memegang tangannya.

Namun senyumnya sirna saat sosok itu dengan cepat membalik tubuhnya dan tanpa perasaan menjambak rambut coklat gelapnya.

Luhan meringis pelan saat merasakan perih pada bagian kepalanya.

"Apa yang kau lakukan disini, Hem?" Alunan suara datar mengalun memasuki gendang telinganya. Terasa berat dan begitu dingin.

"Apa yang kau lakukan, Hah?!"

"Akhh..." Luhan memekik pelan saat Sehun menarik kencang rambutnya dan tanpa ragu membenturkan kepalanya ketembok.

"Bukankah sudah ku peringatkan. Agar kau, tidak menghampiri ku saat sekolah." Suara baritone yang mengalun berat tampak begitu menekan mengukuhkan kehendaknya.

"Paham?"

"P..pa..paham." cicit Luhan pelan.

'Duagh'

"Apa kau paham?!"

" paham!" Luhan berteriak tertahan, ia sungguh ingin menjerit saat rasa pening juga rasa sakit kembali menghantam nya saat rambutnya kembali dicengkram erat dan kepalanya kembali dibenturkan oleh Sehun dengan sadis nya.

"Hem..good boy."

Sehun tersenyum senang, ia kemudian menepuk-nepuk rambut Luhan. Dan dengan tenang ia mengecup lelehan darah yang mengalir di dahi Luhan.

.

.

.

Bahkan kau tak rela teman-temanmu tau bahwa aku mengenalmu. Kau berkata bahwa dirimu mencintaiku, kau bahkan marah jika aku tertawa bahagia bersama namja lain. Namun mengapa? Mengapa kau tega menyiksaku seperti ini, kau tak pernah menganggapku ada. Kau berkata seolah-olah akulah yang memilikimu, namun kau juga bertindak jika aku hanyalah sampah yang kebetulan berada dalam wadah meludahmu.

.

.

.

" Sehunna"

Luhan memanggil pelan Sehun yang sedang memejamkan kedua matanya. Ia kini I berada di atap gedung sekolah. Kedua tangan kecilnya memeluk satu kotak besar yang terbungkus kain berbahan katun berwarna biru terang.

Bibirnya mengatup rapat, matanya mengerjap pelan dan menyipit saat kedua ujung bibirnya membentuk suatu lengkungan indah ketika ia tengah menatap sempurnanya sosok Oh Sehun.

"Sehun.."

"Sehun ah.."

Suara lembut Luhan kembali mengalun lembut membelai bersama buaian angin yang sejuk menerpa. Kedua tangan putihnya dengan ragu menyentuh tangan pucat itu. Ia menggoyangkannya dengan perlahan.

"Sehun..ah.."

"Apa?!"

Suara keras itu membentak nya. Luhan hanya mencoba bertahan berdiam diri dengan tubuh gemetar melihat bagaimana sosok Sehun memandangnya tajam.

Luhan tersenyum manis, mengabaikan rasa kaget nya. Ia dengan senang menunjukan kotak yang dibalut kain itu ke arah Sehun.

"Sehunna, apa kau lapar? Maukah kau makan bersama ku?" Luhan bertanya pelan dan lembut. Kedua matanya menatap Sehun penuh.

"Heh. Kau?" Sehun Mendesis dan bertanya dengan mata memandang remeh pada sosok dihadapannya.

Luhan mengangguk ragu. Ia sangsi juga melihat Sehun yang memandang bengis ke arah nya. Ia dengan bangga mengangkat kotak itu kearah Sehun. Matanya berbinar senang, saat Sehun menerima kotak bekalnya.

Namun senyum Luhan kembali direnggut paksa saat Sehun dengan mudahnya membanting apa yang telah susah ia buat.

Luhan menatap nanar pada Jari - jari mungilnya, plaster tampak penuh memenuhinya. Ia hanya bisa meringis pelan saat melihat hasil susah payahnya tercecer berantakan dan mencuat keberbagai arah.

Luhan menatap Sehun dengan tatapan sendu yang dibalas seringai mengejek kearahnya.

Mata Luhan kini mengembun siap untuk melepaskan aliran carian asin. Luhan menutup mulutnya, saat Sehun berlalu dan tanpa perasaan menginjak makanan yang tercecer tak berbentuk tepat di depannya.

.

.

.

Kau tak pernah menghargai apa yang aku lakukan padamu. Semua yang ku usahakan tak pernah berarti apapun di matamu. Kau memperlakukan ku seprti aku memang tak ada artinya, kau selalu memperlakukan ku seperti aku hanya seongok daging tanpa hati yang mampu bertahan bahkan jika kau mengirisnya perlahan dan tanpa sungkan menabur garam dalam setiap sayat yang kau torehkan.

.

.

.

"Lu, apa Sehun masih sering menyakiti mu?"

Seorang pria manis bermata bulat bertanya pada sesosok pria manis lain yang tengah be jalan beriringan.

"Sehun, baik kok. Ia tak pernah menyakiti ku." Luhan menjawab pertanyaan sahabatnya ini. Di iringi dengan senyuman manis yang terlukis indah di wajahnya.

Sementara itu sahabat Luhan hanya menatap Luhan dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Lu, apa kau yakin mampu bertahan dengannya?"

Namja manis itu kini tersenyum, dan menatap teduh lawan bicaranya.

"Tentu, Kyungie. Memang hal apa yang harus membuat ku pergi dari sisinya?" Luhan menatap pada wajah kyungsoo, ia kembali tersenyum manis yang dibalas tatapan datar.

Merekapun berjalan, menelusuri jalanan yang ramai. Mereka berdua terus berjalan dan secara tiba-tiba sebuah motor melaju cepat kearah keduanya.

Kejadiannya begitu cepat, kendaraan itu menabrak kearah mereka berdua dan keduanya pun terbanting kearah jalanan dengan keras.

Luhan mengerang pelan merasakan rasa sakit saat kepalanya terantuk tepian trotoar. Ia meringis saat merasakan sakit yang begitu hebat menggerogoti kakinya.

Luhan menatap pada Kyungsoo yang sedang terisak pelan. Sepertinya tangannya terluka, dan kakinya terkilir. Laki-laki manis itu terduduk dan matanya basah.

Suara riuh menghampiri mereka. Pandangan Luhan mengabur bersama dengan rasa pening yang menghujannya. Dalam kesadaran yang menipis bisa Luhan lihat seorang pemuda berkulit pucat menerobos kerumunan, raut khawatir tampankentara di wajah tampannya. Degupan jantungnya terasa dua kali lebih cepat, ia tak percaya jika Oh Sehun sedang berlari menuju kearahnya. Ia tersenyum senang, hatinya berbunga saat melihat Sehun dengan tergesa berlari kearahnya.

Namun lengkungan itu hanya tinggal lengkungan. Luhan mematung saat hanya derap langkah yang ia terima. Hatinya mencelos saat hanyalah angin yang menghampirinya. Ia dapat merasakan satu goresan pedang menghunus tepat kedalam hatinya, membelah dan dan mencabik-cabik keseluruhan.

Luhan hanya menatap sendu pada Sehun yang sedang menghampiri Kyungsoo dan mendekapnya erat.

Luhan lalu menatap kosong kearah Sehun yang saat ini mengangkat tubuh Kyungsoo dan berlalu tanpa menatap kearahnya.

.

.

.

Sekali lagi kau torehkan luka kepadaku. Kau hancurkan kembali harapan ku, kau bahkan tak sudi untuk melihatku. Kau lebih peduli kepadanya yang merintih kesakitan daripada aku yang berlumuran darah dan dengan senyuman bodoh menanti kedatanganmu dan berharap satu dekapan hangat darimu.

.

.

Dan disini lah Luhan berada, bersembunyi dibalik tembok dingin di temani rintik air yang menyapanya. Sebenarnya Luhan berada disini untuk memenuhi permintaan Sehun. Dan ia dengan tersenyum bodoh menunggu sosok Oh Sehun, namun setelah ia menunggu seharian Sehun tak kunjung datang pula padanya. Dan kini hari sudah beranjak malam, air hujan dengan tenang membasahi tempatnya berdiri. Ia lalu berlalu sambil menunggu berharap Sehun akan datang padanya.

Namun apa balasnya? Ia kini berdiri diatas rintikan air melihat bagaimana hangatnya Oh Sehun pada sahabatnya. Ia melihat bagaimana manisnya Oh Sehun memperlakukan sahabatnya.

Luhan merasakan sayatan halus saat kedua sosok itu tanpa perduli saling memagut satu sama lain. Pertahanan yang susah payah ia bangun kini hancur berantakan. Ia merasa sayatan itu semakin dalam menggores hatinya.

'Tes'

'Tes'

'Tes'

Luhan tersenyum getir saat tangannya mendapati darah yang mengalir dari hidungnya. Tangan nya yang bergetar mencoba meraih ponsel yang tersimpan pada kantung jaket nya.

Luhan menghubungi seseorang di sebrang sana. Ia terus menatap hampa pada dua objek penglihatannya. Nada sambungan kini menari nari do kepalanya, sampai telinganya menangkap satu suara yang begitu ia rindukan.

"Umma..." bisik Luhan lirih.

"Aku ingin pulang. Bersamamu..."

.

.

.

.

Karena ku tak sanggup bila harus terus tetap bersamamu.

Aku tak sanggup bila harus terus mengejar sosok sempurnamu.

Aku tak sanggup bila harus berdiri tegar dengan sayatan luka Karenamu.

Aku tak bisa bila harus mengejar kehampaan ini.

Sosok mu layaknya fatamorgana yang tak mungkin kuraih.

Kau bagaikan angin yang takan pernah bisa ku genggam.

Kini aku pergi.

Kini aku melepasmu.

Aku tak sanggup bila harus terjerat dalam balutan luka yang kau ciptakan.

Selamat tinggal Sehunku

Semoga kau bahagia atas apa yang kau dapatkan.

Maafkan aku bila pernah membuatmu malu atas kekurangan yang ku miliki.

Maafkan aku atas segala salah yang telah ku perbuat.

Semoga kau bahagia

Dan

Selamat tinggal

Cintaku

.

.

.

TBC

A/N: eum sebenarnya ini adalah fic pertama saya. Saya juga merupakan newbi yang mencoba menciptakan fic gaje ini. Saya mohon bimbingan serta kritik dan sarannya. Maaf bila banyak kekurangannya. Akhir kata.

.

.

.

Mind to Review?