Title : Dreams That Connect Us

Pairing : utama Giotto X Tsuna. Yang lain belum tahu. =D

Disclaimer : Reborn bukan punya saya. =D

Ciao. Heavel disini. =D

Ini adalah fanfict bersambung ku dalam bahasa Indonesia yang pertama. Biasanya saya spesialis one-shot. XD Aku ambil settingnya saat episode terakhir Vongola Primo Arc di Anime, semalam sebelum mereka kembali lagi ke masa depan (aku lupa episode berapa =P) dan kemudian bakal kulanjutin dengan ngikutin alur manganya, sebelum battle terakhir dengan Byakuran.

Trus, maaf ya kalo judulnya aneh. Aku gak kepikiran lagi. =D

Oke deh silahkan baca aja ceritanya =D

Cerita ini, kudedikasikan untuk Chel-san yang pen namenya Chel di Cieli! XD XD berhubung dia waktu itu pernah minta saya buat fanfic lagi.

Enjoy~ XD


#1

Tsuna tersenyum lega melihat Chrome akhirnya berhasil mendapatkan bukti kelayakannya dari Demon Spade, Primo Mist Guardian. Perjuangan panjang yang memakan waktu seharian, dimana semuanya—bukan hanya Chrome—harus bergulat dengan ilusi buatan Demon Spade, akhirnya terbayar juga karena bukti kelayakan ini lah yang sangat diperlukan untuk melawan Byakuran dan Millefiore-nya di masa depan. Sekarang, tinggal giliran Tsuna saj—

"Aku telah melihat semuanya—" kata-kata ini mengalihkan perhatian Tsuna dari Chrome ke sumber suara tersebut, yaitu Vongola Primo. "Aku telah melihat tekad yang dimiliki oleh Decimo. Tekad yang sama seperti yang pertama kali aku lihat. Kau, Vongola Decimo, tetap layak dan pantas menjadi boss Vongola."

Tsuna membelalakan matanya dan memandang tidak percaya dengan kata-kata Primo. Ini, berarti sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Primo tersenyum lembut membalas pandangan tidak percaya Tsuna.

"Primo, aku rasa kau terlalu lembek terhadap anak itu. Kau tidak melakukan apapun? Yang benar saja, Primo," kata Spade mengernyitkan dahinya tidak puas. Primo hanya melirik sebentar dan menghela nafas.

"Apa yang kau lakukan telah cukup untuk mengetesnya—" Primo kemudian kembali menatap Tsuna. "Well, sekarang…"

Tsuna mengerjapkan matanya. Eh? Sekarang… apa? Ekspresi Tsuna menunjukkan sekali bahwa ia bingung. Di samping Tsuna, Reborn menghela nafas lalu kemudian segera memukul kepala Tsuna dengan keras.

"Aw! B-buat apa itu, Reborn?" rintih Tsuna mengelus-ngelus bagian kepalanya yang dipukul oleh tutornya itu. Kenapa sih hobi sekali memukul kepalanya?

"Keluarkan Vongola box mu, Bodoh."

….

"Oh! Ya.. Tentu—" sahut Tsuna mukanya sedikit memerah. Tsuna cepat-cepat mengeluarkan boxnya dan menghadap Primo lagi sambil tertunduk malu. Pria berambut pirang itu tertawa kecil dan dalam kedipan mata, tubuhnya berubah menjadi lidah api dan segera melesat masuk kedalam Vongola box milik Tsuna. Tsuna tersenyum kecil. Semuanya sudah selesai.

Setelah itu, api berwarna oranye muncul lagi dan sosok Vongola Primo kembali terlihat. Matanya yang berwarna sama seperti dying will flamenya menatap Tsuna, dan kemudian tersenyum.

"Dengan bukti itu, berarti tugas kami sudah selesai—" sosok Primo dan juga guardiannya mulai terlihat kabur dan seketika itu juga, Tsuna merasakan sesuatu seperti menekan jantungnya. Kenapa seperti ada yang mengganjal di hatinya? "Aku berharap kalian bisa menggunakan kekuatan yang kalian dapatkan dengan sebaik-baiknya demi keluarga Vongola." Lalu semua sosok generasi pertama Vongola berubah kembali menjadi api dan mulai melesat kedalam cincin Vongola masing-masing.

Semuanya berlangsung begitu cepat. Tsuna tidak sempat mengatakan apapun, tetapi Tsuna melihatnya. Melihat sosok Vongola Primo melayang kearahnya kemudian mendekat kearah telinga kirinya, membisikkan sesuatu. Mata Tsuna terbelalak lebar dan dalam sekejap, sosok Vongola Primo menghilang.

"Kita akan bertemu lagi segera, Decimo…"


Tsuna menghela nafas sambil melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Sungguh hari yang melelahkan. Seharian disibukkan oleh tes dari Daemon Spade sekarang waktunya untuk beristirahat! Tsuna berguling di tempat tidurnya kemudian memeluk bantalnya sambil menghela nafas lagi. Malam ini adalah malam terakhir Tsuna bisa merasa tenang untuk sesaat, karena besok Tsuna dan semuanya harus kembali lagi ke masa depan, untuk mengalahkan Byakuran. Kekalahan di battle of Choice tidak akan terulang lagi.

Cowok berambut coklat itu berguling lagi dan memandang ke langit-langit kamarnya lalu melirik sedikit kearah ranjang gantung milik tutornya. Reborn sepertinya masih berdiskusi sedikit dengan Uni. Tsuna menghela nafas lagi untuk kesekian kalinya dan lalu kembali teringat dengan kata-kata yang dibisikkan Vongola Primo tadi.

"Kita akan bertemu lagi segera, Decimo…"

Tsuna menggigit bibir bawahnya dan menarik nafas dalam-dalam. Aneh. Aneh sekali. Kalimat itu biasa. Biasa kalau diucapkan oleh orang yang m-masih hidup. Tapi ini? Apakah berarti Vongola Primo akan datang lagi menemuinya? Dalam bentuk apa? Bukankah tidak mungkin kecuali diadakan upacara atau apalah seperti awal-awal tes ini dimulai? Tsuna memejamkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepala. Semakin dipikirkan semakin pusing. Besok dia akan menceritakannya kepada Reborn atau Uni. Sekarang waktunya untuk tidur.


Tsuna memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Vongola Decimo itu sekarang berada di tempat yang asing. Sebuah taman yang dihiasi oleh banyak bunga dan juga pohon-pohon rindang, dimana langit terlihat sangat biru, dihiasi dengan awan-awan putih yang melayang-layang di langit. Tsuna memandang ke langit yang luas. Aneh. Tsuna sedang berada di dalam mimpinya kan? Tetapi kenapa semuanya terasa sangat nyata?

"Ciao, Decimo…"

Tsuna tersentak kaget dan kemudian berusaha mencari-cari sumber suara itu, suara yang familiar itu dan disanalah sumbernya. Vongola Primo sedang berdiri sambil bersandar di sebuah pohon besar dan rindang sambil tersenyum kearah Tsuna yang merasakan hal ganjal di dadanya lagi.

"P-Primo?"

Vongola Primo hanya tertawa kecil sambil berjalan yang lebih muda. Dying will flame masih dengan gagah berkobar di dahinya. Mata oranye itu membuat Tsuna hanya bisa terpaku dan merasa bahwa semua tentang dirinya bisa dibaca dengan mudah. Mata yang seakan-akan bisa membaca pikiran seseorang. Tsuna menelan ludah dan walaupun pikirannya mengatakan untuk segera menjauh, tubuhnya hanya bisa terpaku. Mata coklat Tsuna mengalihkan pandangannya dari Primo dan melihat kearah lain.

Tsuna lalu merasakan tangan yang besar mengacak pelan rambutnya yang sudah berantakan, membuatnya jadi tambah berantakan. Tsuna lalu melihat kearah Primo lagi yang tersenyum lembut kearah Tsuna, dengan tatapan yang… Tsuna tidak bisa mengartikannya.

"Kita bertemu lagi, Decimo. Seperti yang aku katakan."

Tsuna tertunduk kemudian mengangguk pelan. Entah kenapa, tetapi Tsuna bisa merasakan sedikit kebahagiaan karena ternyata bertemu Primo lagi. Mungkin, senang karena ada orang yang bisa diandalkan, orang yang bisa diminta nasihat? Ya… pasti senang karena itu. Tsuna lalu menatap Primo lagi.

"B-bagaimana bisa?"

"Hmm. Aku.. sebenarnya kurang tahu teknisnya secara pasti. Tetapi ituisiku mengatakan ini semua disebabkan karena kalian bersama arcobaleno itu memanggilku dan yang lain. Pemanggilan itu seperti membuka gerbang yang terkunci di cincin Vongola sehingga aku dan yang lain bisa keluar untuk memberikan tes kelayakan itu. Selama 10 generasi, hal ini baru terjadi pertama kali. Walaupun tugasku sudah selesai, pemanggilan itu membuatku lebih bebas. Sehingga kalau dahulu aku hanya bisa menetap di dalam cincin, aku bisa berhubungan juga dengan pemilik cincin ini, yaitu kau, Decimo, sesuai dengan yang kukehendaki."

Tsuna mengerjapkan matanya kemudian mengangguk-angguk mengerti. Aneh, tetapi lumayan masuk akal.

"Ah, apakah berarti selama ini, Primo selalu berada di dalam cincin Vongola ini? Selama 10 generasi?" tanya Tsuna menunjuk cincin Vongola yang ada di jarinya. Primo mengangguk.

"Ya. Seperti yang kau lihat saat mengikuti trial pertamamu. Aku selalu berada di cincin itu. Melihat semuanya. Aku tahu semua permasalahan yang kau hadapi sekarang, Decimo."

Tsuna mengangguk-anggukan kepalanya lagi. Begitukah? Tsuna memandang wajah Vongola Primo lagi dengan lebih seksama dan kemudian muncul satu pertanyaan lagi. Kenapa Vongola Primo selalu dalam hyper mode?

"P-Primo, kalau boleh bertanya, kenapa anda selalu dalam hyper mode?"

Primo mengerjapkan matanya dan kemudian bergumam,"Sekarang kau katakan…" Pria yang lebih tinggi itu kemudian menutup matanya dan api di dahinya perlahan mulai menghilang. Primo perlahan membuka matanya dan Tsuna bisa merasakan nafasnya tertahan. Tsuna bisa melihat mata berwarna biru yang sama dengan warna langit yang menaungi mereka berdua. Primo kemudian tersenyum lebar dan mengacak rambut Tsuna lagi. Dalam waktu sekian detik, sosok boss yang penuh wibawa dan perlu dihormati menghilang, menghadirkan sosok seseorang yang rasanya suka bersenang-senang.

"Wah. Ternyata bisa!—" ujar Primo nyengir, lalu menghela nafas lega. "Menyenangkan rasanya bisa keluar dari hyper-mode. Setelah sekian lama…"

"Er.. Jadi…"

"Oh ya. Jadi begini, selama ini walaupun aku mau, aku tidak bisa kembali ke mode normal. Alasannya adalah karena seperti yang kau ketahui, aku sudah tidak punya tubuh yang ada hanya jiwa ku dalam bentuk dying-will flame itu dan aku tidak bisa mengaturnya, sehingga aku selalu dalam mode hyper. Tapi, karena pemanggilan itu, sepertinya aku bisa mengatur kembali dying-will flamenya. Aku… tidak begitu yakin juga sih kalau itu alasannya. Hahaha." Kata Primo tertawa kecil.

Rasanya aneh sekali melihat Vongola Primo keluar dari hyper-modenya, karena betul-betul terlihat seperti orang lain. Siapa yang akan menyangka kalau ternyata Vongola Primo bisa juga terlihat seperti orang biasa yang ceria?

Primo melepaskan jubah hitamnya, lalu melepaskan sarung tangannya—yang Tsuna akhirnya menyadari kalau bentuk normal sarung tangan Primo juga sarung tangan wol, tetapi hanya ada symbol I, bukan 27 seperti punya Tsuna—yang kemudian diletakkan atau lebih tepatnya dijatuhkan ke samping Primo. Rompi dan dasi juga dilepaskan dan kemudian menyusul barang-barang lain yang sudah lebih dulu dijatuhkan.

Tsuna ikut duduk melihat Primo duduk dan walaupun seharusnya ini hal yang biasa, Tsuna dapat merasakan mukanya memerah saat melihat Primo mulai membuka beberapa kancing kemeja putihnya, sehingga menampakkan sedikit dadanya yang bidang, lalu mulai menggulung lengan kemejanya yang membuat penampilan Boss pertama Vongola itu lebih seperti seorang bartender. Tsuna cepat-cepat menoleh ke tempat lain, berusaha mengembalikan warna wajahnya dan detak jantungnya seperti semula.

Suasana kemudian hening. Tidak ada suara-suara lain kecuali bunyi kicauan burung-burung dan juga bunyi angin yang berhembus. Usaha Tsuna untuk menenangkan detak jantungnya ternyata gagal total. Detak jantungnya semakin cepat karena sekarang Tsuna merasa entah kenapa gugup. Kenapa Primo berada di hadapannya? Apakah Tsuna telah melakukan suatu kesalahan? Apakah Primo ternyata salah telah memberikannya bukti kelayakkan dan ingin mengetesnya lagi? Tsuna mulai memainkan ujung bajunya dan menunggu kalau-kalau Primo akan mulai berbicara. Tetapi sepertinya pendiri Vongola itu tidak akan berbicara dalam waktu dekat. Kalau tidak ada yang memecah keheningan ini, Tsuna yakin jantungnya akan meledak dalam waktu dekat!

"P-Primo—"

"Giotto," potong Primo sebelum Tsuna bisa mengatakan sesuatu.

Eh? "A-apa?" tanya Tsuna bingung. Primo kembali menatap Tsuna sambil tersenyum—entah kenapa Tsuna merasa jantungnya melonjak saat melihat senyum itu.

"Jangan panggil aku primo lagi. Giotto. Itulah namaku," jelas Pri—Bukan, Giotto kepada Tsuna.

"Oh.. ah. Baiklah. Giotto-san…" ujar Tsuna lagi dan suasana pun hening lagi. Tsuna hanya bisa berteriak-teriak frustrasi dalam diri karena keheningan ini.

"Bolehkah aku memanggilmu Tsunayoshi?—" Kali ini giliran Giotto yang memecah keheningan. "Aku tahu kalau orang Jepang tidak begitu nyaman apabila seseorang yang tidak dikenal menggunakan nama depannya. Ya.. Jadi…?"

"Ah. Ya. Ya. T-Tentu saja. A-aku merasa tidak begitu nyaman kalau dipanggil dengan nama keluargaku. P-panggil aku Tsuna saja juga tidak apa-apa, G-Giotto-san," kata Tsuna tersenyum gugup. Sial. Kenapa sekarang dia berbicara seperti orang gagap? Pasti dikira bodoh.

"Hahaha. Tidak. Aku akan memanggilmu Tsunayoshi dan kau tidak usah gugup, Tsunayoshi," kata Giotto tertawa kecil. Tsuna merasakan mukanya kembali memerah dan tertunduk malu. Suasana kembali diam untuk kesekian kalinya, tetapi sebelum diamnya ini membuat orang frustasi, Tsuna sudah memecahkannya lagi.

"Ah.. jadi.. Giotto-san… Apakah ada suatu kesalahan?"

"Eh? Kesalahan apa maksudmu, Tsunyoshi?"

"… Emm.. Giotto-san ingin melakukan tes yang lain kan? Ternyata aku tidak begitu layak menjadi boss Vongola dan akhirnya ingin mengetes lagi secara pribadi? Begitu kan?" tanya Tsuna menunduk kebawah.

….

"Eh? Kau serius dengan apa yang kau katakan?" tanya Giotto perlahan. Tsuna mengangguk, lalu menatap Giotto dengan pandangan yang memelas, tanpa Tsuna sadari.

"Ya. Itu kan tujuannya Giotto-san ada disini?" jawab Tsuna lesu masih dengan tatapan memelas itu/. Giotto diam, lalu dalam sekejap, Giotto tertawa. Tsuna cuma bisa bengong. Apa yang lucu? I-itu kan alasan yang masuk akal! Muka Tsuna menjadi setingkat lebih merah lagi.

"J-Jangan tertawa!"

Butuh beberapa saat sampai akhirnya pria pirang dihadapannya itu berhenti tertawa. Giotto mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menghentikan tawanya dan untunglah berhasil. "M-maaf. Hahaha. Tapi, ekspresi wajahmu sangat-sangat lucu. Soal tes itu, seperti yang sudah kukatakan, kau memang pantas jadi Boss Vongola. Kau tidak perlu takut. Kau seharusnya bisa melihat bahwa dirimu memang pantas memimpin Vongola, Tsunayoshi."

Tsuna mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Memangnya mukanya sejelek itu? Tetap saja itu bukan sesuatu yang perlu ditertawakan kan? "J-jadi, apa alasan Giotto-san datang menemuiku lagi?"

Giotto menghela nafas dan kemudian tersenyum lagi. "Apakah memang butuh suatu alasan untuk bisa bertemu denganmu, Tsunayoshi? Kalau begitu, aku tidak tahu harus menjawab apa, karena tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu."

Tsuna mengernyitkan dahinya tidak percaya. Cuma itu? "B-bohong. Pasti ada alasan lain kan, Giotto-san?"

Giotto tertawa kecil mendengar jawaban Tsuna dan melihat mimik wajah Tsuna. "Tidak. Aku tidak berbohong. Aku hanya ingin bertemu denganmu dan berbicara denganmu, bukan sebagai boss Vongola, tapi hanya sebagai manusia yang satu dan yang lain. Aku sudah mengawasimu sejak hari kau mendapatkan cincin Vongola ini, dan aku ingin mengetahui lebih jauh lagi sosok boss kesepuluh Vongola. Apakah tidak boleh?"

"B-bukannya tidak boleh… tapi tetap saja!—" Tsuna memikirkan apa lagi yang bisa ia sampaikan, tetapi ternyata tidak ada. "Ya.. tetap saja…. Ah lupakanlah!"

Giotto tertawa lagi. Ternyata cowok yang lebih muda disampingnya memang semenarik apa yang selama ini Giotto perhatikan. Dari mulai ekspresi wajahnya, gaya berbicara dan tingkah lakunya, semuanya tidak bisa membuat bosan seseorang.

"Jadi, Tsuna—"

Giotto menoleh keatas langit lalu raut mukanya seketika berubah menjadi, lebih sedih? Tsuna memandang Giotto bingung. Ada apa?

"Sepertinya sudah waktunya kita berpisah untuk hari ini, Tsunayoshi.."

Mendengar perkataan itu, Tsuna entah kenapa merasa sangat kecewa. Aneh.

"J-jadi..?"

"Kita akan bertemu lagi nanti saat kau tertidur lagi, Tsunayoshi. Sekarang ini sudah waktunya kau untuk bangun," ujar Giotto berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada Tsuna, untuk membantu Tsuna berdiri. Tsuna menerima uluran tangan itu dan mengangkat tubuhnya lalu menggumamkan terima kasih.

Kemudian, tubuh Giotto dan juga taman di sekeliling Tsuna mulai terlihat kabur dan transparan. Tsuna terbelalak kaget.

"Eh? G-Giotto-san?"

"Sampai jumpa nanti, Tsunayoshi…" ujar Giotto sambil tersenyum dan kemudian sosok Giotto dan taman di sekeliling Tsuna menghilang.


"Oi, Tsuna."

Suara siapa?

"Tsuna-san."

Tsuna perlahan membuka sebelah matanya. Siapa sih yang membangunkannya pagi-pagi? Tsuna berusaha memfokuskan pandangannya ke 2 sosok yang sekarang berada di samping ranjangnya. Matanya akhirnya berhasil mengirimkan informasi mengenai 2 sosok tersebut. Reborn dan Uni ternyata. Tsuna melihat ke sekelilingnya. Lambo dan I-pin ada di kaki tempat tidurnya. Ia sudah berada di kamar tidurnya lagi.

"Bangun juga, kau Bodoh. Kalau kau tidak bangun dalam waktu 10 detik tadi, aku sudah tidak peduli apakah kepergian kita ini rahasia atau tidak," kata Reborn menatap Tsuna dengan dingin. Uni hanya tersenyum lemah dan Tsuna pun akhirnya teringat ada apa.

"Ah. K-kita akan kembali ke masa depan hari ini?"

Reborn memutar bola matanya. Apakah muridnya memang harus kembali menjadi orang idiot di saat-saat seperti ini? Leon pun kemudian berubah menjadi pistol dan seketika berada di genggaman tangan Reborn. "Cepatlah. Kau. Bersiap. Siap. Bodoh."

"B-baiklah!" ujar Tsuna panik melihat pistol yang ditodongkan dengan cepat segera keluar dari tempat tidurnya.

"Itu semua bukan mimpi biasa kan?"


Oke deh! XD sekian chapter segini. Panjang juga loh.. 7 halaman. Hahaha.

Untuk lanjutannya.. mohon bersabar menunggunya, karena plot cerita ini masih kacau balau. Hahaha. Tapi karena masih liburan, aku akan berusaha mengupdate secepatnya. =D

Bagaimana pendapat anda sekalian?

Mohon review ya!

CIAO~ =D